Switch to English |
Dalam waktu dekat, apabila keputusan presiden yang tengah digodok sekarang ini lolos, maka satuan TNI tidak lagi bertugas menjadi penjaga pertambangan, instalasi gas dan minyak, dan industri-industri yang dianggap "vital' bagi negara. Pada bulan Juni lalu pemerintahan Megawati telah merancang sebuah usulan pengalihan wewenang pengelolaan keamanan terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap `vital.' Setengah proyek-proyek vital tersebut adalah perusahaan yang bergerak di sektor energi, termasuk pertambangan, minyak atau instalasi gas. Menurut Menko Polkam Ad-interim, Hari Subarno, undang-undang yang baru itu hanya akan memungkinkan kesatuan TNI terlibat dalam masalah keamanan di wilayah penambangan atas permintaan aparat kepolisian setempat. Meskipun demikian, Kapolri Dai Bachtiar mengatakan bahwa polisi tidak bisa mengambil alih peran militer karena masih kekurangan personil.
Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto, yang mengusulkan penarikan pasukan TNI sebagai penjaga keamanan, mengatakan bahwa "sejak pasukan TNI terlibat dalam penjagaan keamanan, perusahaan-perusahaan tersebut telah mengabaikan masalah keamanan di wilayah mereka. Bagaimanapun, Endriartono mengatakan bahwa pihak keamanan akan tetap "menjaga wilayah itu demi kepentingan mereka."
Tahun lalu, Endriartono dan pihak TNI telah dipermalukan ketika perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport, telah dipaksa mengungkapkan dihadapan pemegang saham bahwa mereka telah memberikan bayaran sejumlah 10 juta dolar kepada pihak militer. Menjaga keamanan proyek-proyek vital-apakah dibutuhkan atau tidak-sesungguhnya telah menjadi sumber dana ekstra-budgeter yang menguntungkan bagi pihak militer, disamping juga bisnis-bisnis ilegal dan legal lainnya.
(Sumber: Jakarta Post 25/Jun/04. Untuk informasi pelengkap mengenai kasus Freeport, lihat DTE 57.
Dokumen milik pemerintah AS yang dibuka untuk publik pada bulan Juli lalu menunjukkan, bahwa pada tahun 1969 pemerintahan Nixon telah mengabaikan begitu saja keberatan rakyat Papua ketika wilayah itu menjadi bagian wilayah Indonesia. Duta besar AS untuk Indonesia saat itu mengatakan bahwa operasi-operasi militer Indonesia "telah menimbulkan ketakutan dan desas-desus tentang pemusnahan massal" di antara rakyat Papua. Sejak saat itu, sekitar 100.000 orang Papua menjadi korban di tangan orang-orang Indonesia. Laporan yang dikeluarkan oleh Fakultas Hukum Yale University pada bulan Desember 2003 telah menunjukkan keprihatinan mereka terhadap tindakan-tindakan pemerintah/militer Indonesia selama 30 tahun terakhir yang mungkin dapat dikatakan sebagai genosida atau pemusnahan massal. Persoalan ini penting untuk diselidiki lebih lanjut.
(Kontak WPAN: wpan@redwire.us. Sumber: WPAN13/May/04; Asia Times 13/Jul/04; Yale Daily News 3/Feb/04)