Down to Earth Nr. 61 Mei 2004

Pelaku Protes memblokade tambang batubara milik Australia

Penduduk lokal, dengan dukungan organisasi masyarakat adat, telah mengganggu kegiatan pertambangan batubara PT Bahari Cakrawala Sebuku pada bulan Februari. Mereka melakukan protes terhadap dampak penambangan di pulau Sebuku, di selatan pulau Kalimantan..

Blokade jalan menuju pertambangan batubara Sebuku merupakan bagian dari aksi protes, yang dilancarkan penduduk lokal dengan dukungan PERMADA dan ornop-ornop lokal pada bulan Februari lalu. . Tambang itu dioperasikan oleh PT Bahari Cakrawala Sebuku, sebuah perusahaan dengan modal sebesar 80% milik Australia Straits Resources Limited. Aksi itu merupakan yang terakhir dari serangkaian blokade sejak bulan Desember tahun lalu. Ratusan penduduk bergabung dalam aksi blokade pada tanggal 12 Desember yang berlangsung selama 6 jam. Protes itu memicu tanggapan keras dari aparat keamanan. Pada pertengahan Februari sekitar 200 pasukan Brimob dan aparat militer berada di pulau Sebuku, menciptakan suasana intimidasi yang menyebabkan para pemimpin masyarakat akhirnya menerima pembayaran kompensasi.

Koalisi Ornop pendukung komunitas telah melontarkan kecaman terhadap tindakan tersebut. Pihak kepolisian dan pejabat pemerintah telah melakukan perundingan mengatasnamakan perusahaan. Pemimpin komunitas lokal, Abidin Thaher, mengatakan kepada koran lokal Radar Banjarmasin bahwa dibawah tekanan polisi dan pejabat pemerintah lokal, penduduk desa terpaksa menerima pembayaran sekitar Rp 900 juta sebagai ganti rugi yang mereka terima. Ia juga menyebutkan berbagai soal penting yang ada dalam persoalan itu, seperti masalah transparansi pengelolaan dana pembangunan; reklamasi wilayah pertambangan yang sampai sekarang belum dilaksanakan oleh BCS; serta masalah pembuangan limbah di tempat pertambangan yang membahayakan masyarakat.

Berry Nahidin Furqan dari Koalisi Ornop untuk Sebuku mengatakan ia akan menuntut perusahaan itu ke pengadilan dan mendesak dilakukannya audit lingkungan terhadap kegiatan perusahaan.

JATAM menyatakan bahwa BCS diduga kuat telah melakukan pelanggaran terhadap sejumlah perundangan di Indonesia, termasuk undang-undang otonomi 1999, undang-undang tahun 2000 tentang pulau kecil, dan undang-undang konservasi tahun 1990 serta undang-undang kehutanan tahun 1999, yang melarang dilakukannya penggalian lubang tambang terbuka di kawasan lindung.

Straits Resources menuding `kelompok penduduk non-Dayak yang mencari-cari pembayaran yang tidak benar dan illegal dari perusahaan' sebagai dalang aksi tersebut.. Pada situs webnya perusahaan menyatakan bahwa perusahaan itu memiliki reputasi taatterhadap kewajiban lingkungan dan penghargaan terhadap masyarakat. Perusahaan itu juga mengatakan bahwa sampai saat ini tidak pernah ada keluhan dari pemerintah maupun masyarakat terhadap perusahaan.

Meskipun demikian, laporan rinci yang disusun jaringan advokasi pertambangan JATAM memberikan pandangan berbeda. Laporan ini mengatakan bahwa kegiatan perusahaan telah mengakibatkan pencemaran terhadap lahan, aliran sungai dan lingkungan pantai, yang semuanya menyebabkan kemerosotan tajam hasil tangkapan ikan yang penting bagi kehidupan masyarakat.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh BCS, ditambah lagi dua tambang bijih besi di pulau itu, telah menggunakan sumber daya air di pulau itu secara besar-besaran, dan hanya sedikit saja yang tersisa bagi masyarakat. Demikian isi laporan JATAM. Masyarakat di desa Kanibungan dan Sekapung telah mengalami kemerosotan ketersediaan air bagi kebutuhan rumah tangga mereka.

Pada tahun 2001, perusahaan itu telah merubah aliran Sungai Mangkaran-yang sebelumnya merupakan tempat penduduk desa Sarakaman menangkap ikan. Pada tahun 2002 BCS juga telah mengubah aliran Sungai Kanibungan. Pada tahun berikutnya, 63 penduduk desa Kanibungan telah mengeluarkan pernyataan yang menolak kegiatan pertambangan di wilayah mereka, termasuk juga di wilayah aliran air. Pada bulan Oktober 2003, Abidin Thaher yang berasal dari desa Kanibungan, menulis surat terbuka di Banjarmasin Post, dengan judul "PT BCS merusak desa kami". Perusahaan menanggapinya dengan penolakan terhadap tuduhan tersebut dan mengancam akan menggugatnya atas dasar pencemaran nama baik.


Cadangan Alam

Pada tahun 1994, BCS telah mendapatkan konsesi sekitar 11.980 hektar-yang mencakup lebih dari setengah pulau Sebuku. Penambangan batubara telah dimulai pada tahun 1998 dengan jumlah produksi total mencapai sekitar 8.296 ton selama periode waktu 1998-2002. Sebagian besar hasil penambangan itu diekspor. Konsesi yang dimiliki BCS termasuk juga perkebunan karet penduduk, tanah pertanian, kebun dan tempat tinggal.

Termasuk dalam konsesi tersebut wilayah kawasan lindung seluas 6.500 hektar di Selat Sebuku. Peraturan Departemen Kehutanan yang dikeluarkan pada tahun 1998 telah mengubah kawasan lindung ini menjadi wilayah produksi hutan dengan tujuan memberikan ijin bagi perusahaan untuk melanjutkan kegiatan mereka. Tahun berikutnya di wilayah ini hutan bakau telah ditebang untuk kegiatan pertambangan di bawah kesepakatan penyewaan tanah dengan Departemen Kehutanan. Hutan bakau tersebut sesungguhnya adalah tempat pembiakan udang dan ikan yang sekarang ini punah, yang menjadi pukulan besar bagi mata pencaharian lokal. , Straits Resources sekarang ini sedang dalam proses pembelian perusahaan tambang emas Indo Muro Kencana di Kalimantan Tengah-yang juga milik perusahaan rekanan mereka dari Australia, Aurora Gold. Perusahaan ini sebelumnya telah memiliki sejarah konflik kekerasan yang panjang dengan masyarakat setempat (Lihat DTE 52).

(Sumber: Kerebok Dec/03 Vol5/40; JATAM: Infosheet PT. BCS & Penghancuran Pulau Sebuku at www.jatam.org; Radar Banjarmasin 17/Feb/04, 2/Mar/04; Straits Resources ASX Announcement 19&24/Feb/04 at www.straits.com.au)


Surat Terbuka

Pada bulan Februari, JATAM dan 52 organisasi masyarakat sipil lainnya telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Megawati; pejabat pemerintah dan parlemen Indonesia, serta pihak pejabat di Kalimantan Tengah, sebagai dukungan bagi komunitas lokal dan PERMADA.

Surat yang salinannya juga dikirim kepada Perdana Menteri Australia John Howard menunjukkan persoalan-persoalan yang muncul akibat kegiatan pertambangan BCS, menuduh perusahaan melanggar peraturan perundang-undangan pemerintah Indonesia, dan menjelaskan bagaimana masyarakat telah mencoba pendekatan-pendekatan non-konfrontatif sebelum akhirnya mereka melakukan pemblokadean.

Surat itu mendesak para pejabat kepolisian propinsi dan lokal di Sebuku dan ibukota Banjarmasin, untuk menahan diri dari tindak kekerasan yang akan menyebabkan `konflik terbuka'. Surat itu juga mendesak BCS untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dan menghentikan upaya licik untuk menyelesaikan pesoalan melalui intimidasi, kekerasan dan penangkapan.

Organisasi itu juga mendesak pemerintah Australia untuk tidak hanya melakukan lobi kepada pemerintah Indonesia, yang hanya menyebabkan persoalan Sebuku menjadi semakin buruk, seperti yang pernah dialami perusahaan Nusa Halmahera Mineral/Newcrest di Maluku Utara. (Lihat DTE 60 untuk informasi lebih rinci mengenai peristiwa yang terjadi di wilayah pertambangan ini pada bulan Januari 2004 yang menyebabkan beberapa orang tewas).



Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link