Switch to English
Down to Earth Nr. 50, Agustus 2001

Proyek CDC dikritik karena dampaknya

Masyarakat di Kalimantan sedang berupaya untuk memperoleh ganti rugi yang adil atas tanah dan sumber daya dari dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yang didanai oleh CDC, lembaga keuangan swasta Inggris. Walau sejumlah langkah maju ke arah perundingan sudah dicapai, CDC masih tetap tidak mengakui kalau kebijakan proyek dalam soal pengambilan lahan dan hubungan masyarakat telah menyebabkan konflik sosial, penggundulan hutan dan, bagi beberapa kelompok masyarakat, meningkatkan kemiskinan. Sementara itu, proyek berjalan terus walaupun banyak persengketaan yang masih belum terpecahkan.

Masyarakat di Kalimantan Tengah dan Barat yang terkena dampak dua proyek CDC menginginkan ganti rugi atas kehilangan tanah dan ternak akibat proyek-proyek tersebut. Kedua proyek, PT Agro Indomas (AI) di Kalimantan Tengah dan PT Harapan Sawit Lestari (HSL) di Kalimantan Barat, bersepakat dengan pemerintah tanpa pengetahuan masyarakat sebelumnya. Sebagai hasilnya, sejumlah penduduk setempat mengalami kehidupan yang tak menentu, hak adat mereka atas tanah ditolak dan ternak mereka musnah.

PT Agro Indomas, dimiliki oleh perusahaan Sri Langka, Malaysia, dan Indonesia, dengan investasi utama dari CDC dan bank Belanda, Rabobank. Terletak di kecamatan Danau Sembuluh, kabupaten Kotawaringin Timur perusahaan ini sekarang dikelola oleh salah satu rekanan Malaysia, PT Agro Hope Shd. Bhd. PT AI adalah perusahaan minyak kelapa sawit pertama yang masuk ke wilayah Danau Sembuluh pada tahun 1995 dengan hak untuk mengembangkan 12.000 hektar perkebunan kelapa sawit dan membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton per tahun. CDC melakukan investasi awal sebesar US$ 14,4 juta pada Bulan Maret 1999 dan Rabobank sebesar US$ 10,3 juta pada akhir tahun itu.

PT HSL memiliki konsesi perkebunan mencapai 25.000 hektar di atas tanah adat Dayak dan Madura di kecamatan Manis Mata, kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. PT HSL mulai beroperasi tahun 1993. CDC kini merupakan pemegang saham mayoritas dan manajer proyek tersebut.

CDC menanamkan investasinya di kedua proyek walau telah ada masalah dengan penduduk setempat. Tidak ada analisa dampak lingkungan dan sosial yang tepat yang dilaksanakan walaupun perusahaan menganut kebijakan prinsip etika bisnis.

Bulan September tahun lalu, DTE dan LSM lingkungan hidup Indonesia cabang setempat, WALHI, menyusun dua laporan penting tentang proyek perkebunan AI dan HSL. Laporan tersebut disusun berdasarkan masukan dari masyarakat yang dirugikan, rincian keluhan penduduk setempat atas perusahaan perkebunan tersebut, daftar tuntutan mereka dan rekomendasi tentang bagaimana untuk mulai memusatkan perhatian pada masalah tersebut.

Laporan itu juga mempertanyakan kebijakan CDC menanam modal dalam proyek yang berkonflik mengingat hubungan erat lembaga ini dengan lembaga bantuan luar negeri pemerintah Inggris, DFIF. DFID, yang mempromosikan pembangunan berwawasan lingkungan dan bertanggung-jawab sosial serta keterlibatan pemegang saham dalam pengambilan keputusan untuk proyek-proyek sektor kehutanan, sekarang ini adalah pemegang saham CDC satu-satunya.

Laporan tersebut dikirimkan ke CDC, Rabobank, staff DFID di Jakarta dan Menteri Pembangunan Internasional, Inggris, Clare Short. Laporan direncanakan sampai di tangan menteri tersebut sebelum ia berkunjung ke Indonesia dari perjalanan pertemuan CGI di Tokyo pada bulan Oktober 2000. Ia berkunjung ke ibukota Kalimantan Barat, Pontianak, tempat pertemuan yang diatur untuk memungkinkan perwakilan masyarakat yang dirugikan oleh perkebunan HSL bisa menyampaikan keluhan mereka kepadanya. Menteri berjanji untuk memperhatikan masalah ini dan meminta masyarakat melaporkan kepadanya perkembangan dalam waktu empat bulan mendatang.

CDC menanggapi dengan mengirimkan seorang anggota dari Business Principle Unit di kantor pusat London ke masing-masing proyek untuk mengkaji masalahnya dan menangapi masalah yang diangkat oleh WALHI dan DTE. Kunjungan-kunjungan dilakukan secara singkat dan tidak berlangsung konsultasi yang murni dengan masyarakat. Laporan-laporan tersebut jadi dibuat, walaupun laporan kedua, tentang HSL, baru disebarluaskan kepada LSM yang bersangkutan bulan Juni tahun ini. Walau ada beberapa pengakuan dalam laporan itu tentang praktek-praktek buruk masa lalu dan dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit, sebagian besar dari tuntutan masyarakat yang diuraikan dalam laporan DTE-WALHI diabaikan -lihat komentar DTE atas tanggapan tersebut di www.gn.apc.org/dte/ccdc3.htm.

CDC juga tidak mengakui bahwa proyek telah menyebabkan konflik sosial, penggundulan hutan dan peningkatan kemiskinan. Lebih dari itu, CDC dan perusahaan rekanan mereka juga gagal memahami sifat hak adat penduduk asli. Jadi bukannya memperhatikan kebutuhan masyarakat akan kesinambungan mata pencaharian, CDC justru menuding NGO salah menafsirkan situasinya. Sementara CDC menyusun laporannya, ketegangan meningkat di lapangan. Di Kalimantan Barat, ada laporan-laporan tentang upaya untuk mengintimidasi kelompok-kelompok masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan. Polisi menahan salah seorang pemimpin masyarakat selama enam minggu di sebuah sel sejauh 200 kilometer dari kampungnya setelah konfrontasi kecil dengan seorang pejabat perusahaan.

Pada Bulan Maret tahun ini sebuah pertemuan dilakukan antara DTE, CDC, dan DFID, dan di sana disepakati bahwa peningkatan kondisi untuk berdialog, termasuk keterbukaan yang lebih besar, dibutuhkan jika keluhan masyarakat ingin benar-benar diperhatikan. Juga disepakati bahwa adalah berguna bagi CDC dan rekan perkebunan kelapa sawit untuk melibatkan diri dalam konsultasi yang lebih meluas dengan sumber-sumber ahli dan informasi yang reputasinya baik, khususnya dalam masalah-masalah sosial, seperti hak tanah, penggunaan tanah adat dan mata pencaharian. LSM-LSM Indonesia sudah meneruskan saran-saran ini dalam pertemuan berikutnya dengan staff CDC dan mereka kini meminta DFID menunjuk konsultan yang independen untuk memberi nasehat kepada CDC dalam masalah-masalah ini.

Pada bulan yang sama, DTE menulis kepada Clare Short untuk melaporkan perkembangan sejak kunjungannya Bulan Oktober. Surat itu berisi sebagai berikut : "Sementara jelas bahwa PT HSL-CDC telah melakukan sejumlah upaya untuk mendengarkan kelompok masyarakat yang tidak puas, namun langkah-langkah yang diambil sejauh ini gagal mengamanatkan tuntutan dasar mereka. Ini berpangkal dari keprihatinan penduduk setempat tentang kesejahteraan keluarga mereka dan masa depan mata pencaharian mereka karena tanah mereka dan sistem hutan pertanian mereka sudah diambil alih oleh perkebunan."

Surat itu mengharapkan kabar tentang "langkah-langkah nyata, sasaran pelaksanaan dan jadwal waktunya" dalam waktu dekat. Sejauh ini belum ada jawaban yang diterima.

Pada saat penulisan, negosiasi masih dalam tahap berunding tentang perundingan (talks about talks). CDC masih belum mengakui bahwa metode penyerahan tanah perusahaan (dalam kasus AI) tidak adil dan tetap ragu dengan kesungguhan tuntutan masyarakat. Dengan sikapnya yang tidak terbuka ini, komitmen CDC untuk mencapai penyelesaian jangka panjang yang adil dengan masyarakatmasih harus dipertanyakan. Sangat mengecewakan bahwa pada saat sengketa masih berlanjut, perusahaan perkebunan tidak menyepakati usulan agar pembersihan lahan lebih lanjut sebaiknya ditunda sampai ganti rugi dan penggantian ternak diselesaikan dengan seluruh masyarakat yang dirugikan. Sebaliknya, dalam kasus HSL, perusahaan meneruskan upayanya untuk menempuh penyelesaian yang terpisah-pisah dengan tiap-tiap kampung. Beberapa kampung sudah setuju bukan karena menerima perkebunan kelapa sawit itu tetapi karena tidak ada pilihan lain. Sebagian besar hutan mereka dan tanah mereka lainnya sudah diambil dan ganti rugi yang kecil yang mereka terima sudah habis. Yang lainnya tetap menolak penyelesaian apapun. Pendekatan sepotong daging ini sudah dikecam oleh LSM setempat karena besar kemungkinan akan menimbulkan lebih banyak konflik di masa depan.

(DTE menulis surat ke Clare Short, tanggal 14 Maret 2001; Sengketa antara masyarakat setempat dengan perkebunan kelapa sawit PT Agro Indomas, Kalimantan Tengah, WALHI Kalteng dan DTE, September 2000; Sengketa antara masyarakat adat dengan perkebunan kelapa sawit PT Harapan Sawit Lestari di Manis Mata, Ketapang, Kalimantan Barat; WALHI Kalbar & DTE, September 2000; sumber-sumber LSM)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link