Switch to English
Down to Earth Nr. 48 Februari 2001

Sengketa Hak Rakyat dan Lingkungan Semakin Membara

Ketika eksplorasi minyak dan gas secara besar-besaran terus berlangsung di Indonesia, tuntutan masyarakat di tempat industri-industri tersebut beroperasi semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan kompensasi yang adil.

Masyarakat Riau, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa tengah berjuang dalam perlawanan tak seimbang melawan perusahaan-perusahaan Transnasional yang paling berkuasa di dunia. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah dan kehilangan mata pencaharian, pekerjaan dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang dari wilayah mereka.

Kecil sekali dukungan dari pemerintah daerah atau pusat terhadap perjuangan yang mereka lakukan. Sektor minyak dan gas tetap merupakan perhatian utama pemerintahan Abdurrahman Wahid di Jakarta karena perannya yang sangat penting dalam perekonomian dan menjadi pokok utama dalam strategi "penyelamatan" ekonomi yang berorientasi pada ekspor, terutama gas. Komoditi ini sedang dipertimbangkan sebagai sumber pendapatan utama bagi Indonesia di masa depan.

Pemerintah berupaya mengajukan undang-undang baru tentang minyak dan gas pada bulan April tahun ini. Undang-undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya melicinkan jalan proses swastanisasi perusahaan minyak negara, Pertamina. Selain itu, undang-undang tersebut akan semakin membuka lebar pintu masuk bagi perusahaan asing untuk bersaing di pasar dalam negeri Indonesia. Sebelumnya, upaya pemerintah menggolkan undang-undang baru tersebut telah mengalami kegagalan sebanyak dua kali.

Dengan demikian, tuntutan ekonomi menyebabkan eksploitasi kandungan alam tetap menjadi prioritas utama dibandingkan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Meskipun mereka menginginkannya, pemerintahan daerah setempat pun tidak dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah pusat [beberapa laporan menunjukkan bahwa mereka lebih peduli terhadap bagaimana mendapatkan pendapatan daripada menghentikan pengaruh industri-industri tersebut terhadap rakyatnya]. Di bawah sistem otonomi daerah, pembuatan keputusan tentang minyak dan gas tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat.

Dalam lingkup internasional, ada suatu dukungan kuat pemerintahan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional meskipun industri minyak dan gas telah diakui sebagai penyumbang terbesar proses pemanasan global. Dengan kemenangan George Bush, pemerintahan yang pro industri perminyakan sekarang ini menduduki Gedung Putih. Dengan demikian, kita akan melihat bahwa dukungan Amerika akan semakin menguat bagi perusahaan-perusahaan minyak di Indonesia, termasuk perusahaan raksasa seperti Exxon-Mobil, Chevron/Texaco, Conoco dan Amoco/Amro.

Protes Terhadap Caltex, Riau

Di Propinsi Riau, Sumatra, protes kelompok-kelompok masyarakat secara terpisah terhadap perusahaan asal Amerika Serikat, PT Caltex Pacific Indonesia berpusat pada tuntutan mendapatkan ganti rugi, pekerjaan dan pembagian keuntungan perusahaan. Caltex, yang merupakan perusahaan patungan antara Chevron Corp dan Texaco Inc., adalah produser terbesar minyak mentah di Indonesia.

Pada awal November 2000, penduduk desa yang menuntut ganti rugi bagi tanah mereka, melakukan pembakaran terhadap 4 sumur minyak di wilayah minyak Batang. Aksi itu menyebabkan kerugian sebesar $240.000. Menyusul setelah aksi tersebut, lima orang ditahan untuk dimintai keterangannya.

Pada bulan yang sama, M Yatim, seorang pemimpin masyarakat adat Sakai, mengatakan bahwa ia telah meminta 1% pembagian seluruh keuntungan perusahaan sebagai cara untuk meningkatkan standar hidup suku Sakai. Ia menuduh Caltex "merampok dan mengeksploitasi tanah mereka." Yatim mengatakan pula bahwa ia sebelumnya telah meminta dukungan Duta Besar Denmark, Michael Stenberg, yang sebelumnya telah bertemu dengannya dalam suatu kunjungan ke propinsi tersebut. Seperti dikutip Detikworld, sang duta besar mengatakan bahwa ia "siap berjuang untuk suku Sakai" dan akan membawa masalah mereka ke parlemen Denmark.

Pada bulan Januari, anggota-anggota suku Sakai melakukan aksi pendudukan di kantor perusahaan di Dumai Barat. Mereka menuntut klaim ganti rugi segera dipenuhi akhir bulan tersebut.

Minggu-minggu berikutnya, anak-anak muda pengangguran mengambil sekurang-kurangnya 20 kendaraan milik perusahaan kontraktor sebagai protes terhadap penolakan perusahaan untuk mempekerjakan mereka. Selanjutnya, polisi telah melakukan penangkapan terhadap lebih dari seratus orang penduduk Sakai di Mandau, Kabupaten Bengkalis, setelah mereka menolak menyerahkan kembali kendaraan-kendaraan tersebut. Tetapi sesepuh masyarakat, M. Yatim, menolak keterlibatan para pemuda Sakai dalam peristiwa itu. Ia menuduh ada pihak lain yang mencoba merusak citra masyarakat Sakai.

Sampai bulan Agustus tahun lalu, penduduk setempat melanjutkan serangan mereka terhadap instalasi-instalasi Caltex (lihat DTE 47). (Sumber: Straits Times 8/Nov/00; Dow Jones Newswires 7/Nov/00; Petromindo 21, 23/Nov/00, 16,20,24 & 26/Jan/00)

Aksi Buruh

Pada akhir bulan November, perusahaan Caltex dilanda pemogokan para buruh yang diorganisir oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Ratusan orang yang bekerja untuk 33 perusahaan sub-kontraktor Caltex melakukan protesnya di Duri. Mereka menuntut upah yang lebih tinggi. Dalam pemogokan yang melibatkan lebih dari 3000 pekerja dan berlangsung selama beberapa hari, mereka memaksa untuk menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukan di 17 menara bor. Aksi tersebut mendapat tanggapan dari Mentri Pertambangan dan Energi, Purnomo Yusgiantoro, yang mengatakan akan meminta polisi untuk menghentikan setiap pemogokan yang akan mengganggu produksi minyak Caltex. Ia juga mengatakan bahwa sebelumnya ia telah memberitahu perusahaan untuk "menghubunginya secara lansung" setiap saat kegiatan produksi mereka terganggu.

Pada bulan Januari sekitar ratusan mantan pekerja Caltex berdemonstrasi di luar kantor perusahaan di Rumbai, menuntut penyelesaian tuntutan pensiun mereka. Perusahaan menjanjikan akan segera mengurus tuntutan mereka dalam waktu seminggu.

Pada bulan yang sama, LSM setempat, FPTK, mengajukan tuntutan hukum terhadap 16 perusahaan yang beroperasi di Riau, termasuk perusahaan jasa perminyakan dan gas PT Halliburton, PT Schlumberger dan PT Borindo. Perusahaan-perusahaan tersebut dituduh telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap para pekerja Indonesia serta tidak mampu memenuhi standar keamanan minimum di dalam kondisi kerja mereka. Selain itu, perusahaan itu juga melanggar standar ILO.

Persaingan Sengit

Pemerintahan propinsi Riau nampaknya lebih tertarik untuk mendapatkan pembagian keuntungan dalam salah satu proyek minyak Caltex daripada menyelesaikan konflik-konflik yang muncul akibat kegiatan perusahaan.

Ketika kontrak Caltex terhadap blok CPP habis masa kontraknya pada bulan Agustus tahun ini, pihak Indonesia akan mengambil alih kontrak tersebut. CPP sekarang ini menghasilkan 60.000-80.000 barel minyak mentah setiap harinya. Jumlah tersebut terhitung kecil dibandingkan total produksi harian Caltex yang mencapai 695.000 barel per hari. Pemerintah Daerah Riau sebelumnya menginginkan penguasaan terhadap pembagian keuntungan blok CPP, tetapi pemerintahan Wahid menolak keinginan tersebut dan lebih memilih Pertamina sebagai partner mayoritas mereka. Pertarungan selama beberapa bulan berakhir dengan keputusan pembagian 20% keuntungan bagi pemerintah daerah yang tetap ngotot untuk mengoperasikan blok tersebut. Para mahasiswa Riau juga yang mengajukan penguasaan lokal terhadap proyek itu menuntut agar blok tersebut ditutup jika pemerintah daerah tidak diberi kesempatan untuk mengoperasikannya.

Pada masa-masa setelah kejatuhan Suharto pada tahun 1998, Riau adalah salah satu wilayah yang kaya dengan sumber daya alam yang menuntut kemerdekaan jika mereka tidak diberikan kekuasaan lebih besar terhadap sumber daya tersebut (Petromindo 7/Dec/00; 13,24,25/Jan/01).

Kalimantan Timur: Unocal dan Vico

Protes-protes terhadap polusi dan kompensasi di terminal minyak dan gas Unocal, Tanjungsantan, berakhir dengan kekerasan pada akhir Oktober lalu saat polisi bergerak mematahkan blokade tersebut [lihat DTE 47]. Sekarang ini perusahaan asal Amerika Serikat tersebut terlibat kembali dalam sengketa yang lain. Kali ini terjadi di sebelah selatan di Kecamatan Semboja, Kutai. Unocal menolak tuduhan bahwa mereka adalah sumber polusi laut dan kolam ikan sepanjang pantai Muara Jaya. Untuk memperkuat pernyataan tersebut, mereka mengutip hasil penelitian yang dilakukan bersama Universitas Mulawarman.

Penduduk setempat sendiri mengeluhkan berkurangnya cadangan ikan dilautan dan kematian prematur ikan-ikan di kolam mereka sejak kegiatan eksplorasi dimulai pada bulan April 2000. Penduduk setempat menunjukkan bahwa menara pemboran hanya berjarak sekitar 500 meter dari garis pantai.

Sementara itu, para petani di desa Bukit Raya di wilayah Semboja, sedang menuntut kompensasi terhadap perusahaan Amerika Serikat lainnya, Vico. Tuntutan itu diajukan atas penggunaan tanah untuk membangun saluran pipa dan pembuangan limbah. Pada tahun 1999, para penduduk desa yang terkena dampat kegiatan Vico, Unocal dan Total Indonesie mengeluarkan pernyataan bersama menuntut pengembalian hak-hak mereka atas tanah, penghentian keterlibatan pasukan keamanan dalam proses negosiasi, kompensasi dan rehabilitasi. (Lihat DTE 43:16). (Petromindo 19 & 24/Jan/01)

Jawa Timur: Premier Oil

Eksplorasi yang dilakukan perusahaan asal Inggris, Premier Oil telah memecah belah masyarakat di Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Menurut laporan suratkabar daerah, Surabaya Post, penduduk setempat menyandera tiga pekerja perusahaan tersebut dan akan melepaskan mereka hanya setelah perusahaan itu sepakat untuk menghentikan operasinya sampai awal bulan Februari.

Sebuah penyelidikan oleh dua faksi dewan di kabupaten Gresik menemukan bahwa tempat eksplorasi Premier – di muara sungai Solo, dapat membahayakan lingkungan dan merugikan para peternak ikan dan petani karena aktivitas perusahaan yang dekat dengan pantai. Anggota dewan, Masluh Fanani mengatakan bahwa penduduk desa juga menolak operasi minyak dan gas karena mereka khawatir terhadap pengaruh negatif kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Ada suatu keprihatinan bahwa kegiatan tersebut akan membawa para pelacur. Para penduduk desa juga merasa tersinggung karena para pekerja Premier dilaporkan telah melakukan suatu "pesta minum-minuman" selama bulan puasa.

Premier Oil, yang memasukan Keppel dari Singapura dan Amerada Hess dari Amerika Serikat diantara para investornya, telah berulangkali dikritik atas investasi mereka di Burma. (Petromindo 11, 19 & 25/Jan/01, Financial Times 21/Dec/00 & others.)

Semakin Banyak Proyek, Semakin Banyak Konflik

Nampaknya rangkaian konflik dan kerusakan lingkungan akan menjadi semakin sering karena beberapa investasi proyek besar, yang sekarang ini dalam proses pengembangan, akan memulai produksi mereka.

Salah satu proyek raksasa yang telah dimulai adalah pembangunan pipa dari ladang gas disekitar Pulau-Pulau Natuna, sebelah selatan Laut Cina Selatan sampai dengan kepulauan Jurong milik Singapura. Proyek yang diresmikan oleh Presiden Wahid pada bulan Januari adalah proyek ekspor gas pertama Indonesia dengan menggunakan pipa. Pipa tersebut membentang sepanjang 640 kilometer melintasi jalur lintas laut yang paling sibuk di dunia. Konsorsium pemodal terdiri dari Pertamina, Conoco (AS), Premier Oil (Inggris) dan Gulf Resources (Kanada). Dengan tingkat ekspor sebesar 350 juta kubik setiap harinya, perusahaan tersebut diharapkan akan memberikan pendapatan sekitar 22 milyar dollar dari hasil penjualan selama 22 tahun ke depan.

Beberapa proyek penting yang sekarang ini sedang dibangun adalah:

Perusahaan akan Memberikan 10% Keuntungan kepada Daerah

Menurut seorang pejabat senior di Kementrian Pertambangan dan Energi, pemerintah sedang mempersiapkan keputusan presiden yang mengharuskan investor minyak dan gas untuk menyerahkan sampai 10% saham mereka kepada pemerintahan daerah. Kewajiban penyerahan tersebut menjadi bagian dari pembagian kontrak. Yang baru adalah bahwa pemerintah daerah akan diberikan prioritas saat saham itu dijual (Petromindo 22/Jan/00).

Hal ini akan menambah tekanan bagi pemerintah setempat untuk menaikan pendapatan- agar mereka memiliki modal yang cukup untuk membeli saham. Hal itu juga berarti bahwa pemerintah daerah akan sulit bertindak sebagai pihak netral apabila terjadi sengketa antara masyrakat dan perusahaan.


Eksplorasi

Di masa yang akan datang, masih ada beberapa eksploitasi lainnya. Indonesia bulan ini melelang 21 blok eksplorasi. Tidak seperti sektor pertambangan, terdapat keinginan besar dari investor asing terhadap lelang tersebut. Gulf Resources (Kanada) telah mengatakan bahwa mereka akan berpartisipasi dalam tender tersebut. Enam perusahaan lainnya diharapkan akan ikut serta dalam lelang itu, khususnya terhadap 6 blok eksplorasi di Selat Makasar. Blok lainnya termasuk 2 blok di Lautan Natuna, 6 di Lautan Arafura (Papua Barat), tiga di Kalimantan, dua di Sulawesi Selatan dan dua di Laut Seram. (Dow Jones Newswires 26/Jan/01; Petromindo 20/Jan/01)

Penyulingan Minyak

Menurut Badan Koordinator Penanaman Modal Indonesia, beberapa investor asing sedang bersiap-siap untuk melanjutkan proyek penyulingan minyak yang mengalami penundaan.

Akibat krisis ekonomi, dari 20 proyek penyulingan minyak yang disetujui pemerintah sejak tahun 1992, tak ada satupun yang berjalan. Termasuk pula 18 proyek investasi asing di mana mereka telah menggaet rekanan asal Indonesia yang berasal dari kalangan keluarga dan kroni Suharto.

Salah satu investor asal Inggris, Mayhill International Trading & Services, mengatakan bahwa pada bulan Januari ini mereka akan mengajukan proyek penyulingan minyak senilai 1.4 milyar dollar di Sumbawa (Nusa tenggara Barat) yang akan mulai beroperasi pada bulan September 2005. Penyulingan tersebut akan menggunakan minyak dari Iran dan akan menghasilkan 150.000 barel perhari. Berita-berita pada bulan Oktober akhir tahun lalu mengatakan bahwa Mayhill kemungkinan akan terlibat dalam dua proyek penyulingan di Aceh dan Lombok (Lihat DTE 47:16)

Dua investor Amerika Serikat (tak disebutkan namanya) merencanakan akan membangun kilang minyak di Tanjungjabung, propinsi Jambi dengan kapasitas pengolahan sedikitnya 30.000 barel perhari.

Pada bulan Desember, BKPM menyetujui dua proyek pengilangan minyak di Pare-Pare (Sulawesi) dan Batam (Riau) (Lihat juga DTE 47:16). (Jakarta Post 24/Nov/00; Petromindo 22/Jan/00)

Limbah Minyak

Badan pengelolaan dampak lingkungan di Indonesia, Bapedal, telah mengancam akan memperkarakan perusahaan-perusahaan minyak dan gas yang tidak bisa menyerahkan laporan-laporan mereka tentang pembuangan limbah dan system pengelolaan limbah mereka. Masnellyarti Hilman dari Bappedal mengatakan bahwa kepala daerah tingkat II atau kecamatan dapat menghentikan perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum berdasarkan pasal 25 Undang-Undang Lingkungan.

Meskipun demikian, pendekatan keras tersebut nampaknya tidak akan terwujud. Masnellyarti mengatakan Bappedal akan mengirimkan surat peringatan terlebih dahulu yang akan memberikan waktu bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun system pengolahan kotoran minyak yang baik.

Manellyarti mengatakan terdapat tiga kasus yang dilaporkan tentang "kotoran minyak" . Masing-masing di Tarakan, Kalimantan Timur (PT Expan); Riau (Caltex) dan yang lainnya di Papua Barat.

Pemerintah daerah Tarakan telah meminta Bapedal untuk memberikan tekanan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di wilayah mereka yang telah menghasilkan ribuan barel kotoran minyak (Petromindo 16&18/Jan/01).

Penyelidikan Pelanggaran HAM Mobil di Aceh

Perusahaan minyak dan gas raksasa Exxon Mobil sekali lagi dituduh terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang tercabik-cabik perang di Aceh.

Penyelidikan terhadap keberadaan personil militer dan polisi di wilayah operasi perusahaan tersebut di Lhoksukon, Aceh Utara, menemukan bahwa ExxonMobil telah mengeluarkan Rp. 5 Milyar (sekitar $530.000) setiap bulannya untuk pasukan keamanan. Penyelidikan yang dilakukan oleh Kontras tersebut menemukan sedikitnya 17 markas militer dan polisi dengan 1000 personilnya dibiayai oleh perusahaan tersebut. Koordinator Kontras Aceh, Aguswandi menyatakan bahwa organisasinya menyatakan bahwa Exxon Mobil "secara moral, politik dan hokum bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh.". (Petromindo 21/Nov/00)

Pada tahun 1999, sekelompok LSM Indonesia untuk pertama kalinya menuduh keterlibatan Mobil dalam pelanggaran HAM. (untuk ketarangan lebih lanjut lihat DTE 39).


Switch to English




Minyak dan Globalisasi

Dunia sekarang ini diatur oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional (TNC) besar yang telah merambah ke dalam setiap wilayah produksi yang tergantung pada minyak alam. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Oilwatch, sebuah jaringan kerja LSM internasional tentang masalah perminyakan.

Dalam pernyataan yang disiapkan untuk "Social Summit" di Porto Alegre, Brazil, kelompok itu menguraikan globalisasi sebagai "suatu proyek yang gagal, didukung oleh ekstraksi minyak alam yang mengancam kehidupan dan masa depan dunia ini." Minyak --yang dikuasai TNC ini telah digunakan dalam kegiatan transportasi, industri dan perangkat mekanik pertanian. Fenomena ini telah menjadi landasan pola globalisasi yang menguntungkan negara-negara industri di Utara atas Dunia Ketiga. Minyak adalah produk yang mendapatkan subsidi sangat besar. Hal ini terjadi karena biaya ekologis dan sosial dari ekstraksi minyak tidak dimasukkan dalam harga jual. Hal ini mengakibatkan sulitnya sumber-sumber energi lain yang bersih, terdesentralisasi dan berdampak rendah untuk bersaing dengan minyak.

Strategi di antara perusahaan-perusahaan minyak dan gas sekarang ini adalah penggabungan menjadi perusahaan raksasa(seperti Exxon/Mobil, BP/Amoco/Arco dan Chevron/Texaco], guna meningkatkan ekstraksi dan konsumsi minyak bumi di wilayah selatan, mengakses wilayah-wilayah baru, termasuk eksplorasi bawah laut (lihat pengembangan Unocal di Selat Malaka) dan membangun jalur pipa gas TNC (lihat jalur pipa yang belum lama ini dibuka dari Natuna ke Singapura serta rencana-rencana lainnya.

Menurut Oilwatch, masyarakat sipil yang berupaya mencari alternatif terhadap arus globalisasi korporasi yang terus berlanjut, harus mencari cara untuk memutus daya gerak yang mendukung proses tersebut. Tuntutan untuk penundaan eksplorasi minyak, boikot dan perlawanan sipil adalah cara-cara yang mereka anjurkan. Masyarakat sipil juga bisa berupaya membangun suatu masyarakat yang tidak dilandaskan pada penggunaan minyak serta mendukung proses perlawanan dari gerakan "Masyarakat Bebas Minyak". Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat adat yang hidup di berbagai belahan dunia.

Oilwatch menganjurkan agar masyrakat sipil melawan strategi kooptasi yang biasa digunakan TNC tersebut untuk mendapatkan kekuasaan lebih besar terhadap kehidupan dan sumber daya alam. Mereka juga menunjukkan bahaya-bahaya program hubungan kemasyarakatan perusahaan-perusahaan tersebut: "Partisipasi sebagai ganti oposisi; konsultasi terhadap proyek menjadi bentuk kesepakatan; dialog menjadi kesepakatan." Akhirnya, Oilwatch menganjurkan agar masyrakat sipil untuk berupaya mengangkat masalah "hutang ekologis" – suatu kerusakan yang disebabkan eksplorasi sampai konsumsi—yang diciptakan oleh industri-industri gas dan minyak.

Social Summit di Brazil yang bertepatan dengan Forum Ekonomi Dunia di Davo, Swiss pada bulan Januari dihadiri oleh perwakilan-perwakilan perusahaan minyak dan perusahaan transnasional lainnya. Untuk Kertas Posisi Oilwatch tentang globalisasi, perusahaan-perusahaan minyak dan transnasional dapat diminta melalui oilwatch@uio.satnet.net dan situs web mereka di www.oilwatch.org.ec.

Langkah Hak Asasi Manusia dari Perusahaan

Mengambil posisi terhadap "Tanggung Jawab Perusahaan" telah menjadi alat penting bagi para TNC untuk memperbaiki reputasi mereka ketika dampak sosial dan ekologis akibat kegiatan mereka tersebar luas.

Pada bulan Desember, tujuh perusahaan besar di Inggris dan Amerika Serikat mengumumkan dukungan mereka terhadap inisiatif pemerintah yang ditujukan untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di fasilitas perusahaan mereka di negara-negara berkembang. Ketujuh perusahaan tersebut termasuk tiga perusahaan minyak dari Amerika Serikat (semuanya terlibat aktif dalam proyek-proyek kontroversial di Indonesia) yaitu Chevron, Texaco dan Conoco, selain juga BP Amoco dan Shell dari Inggris, serta kelompok perusahaan pertambangan Rio Tinto dan Freeport MacMoran. Perusahaan-perusahaan yang tidak termasuk dalam daftar tersebut adalah Exxon Mobil (lihat operasi di Aceh) dan Premier Oil, yang aktif beroperasi di Burma dan Indonesia.

Keterlibatan Freeport dalam tindakan pelanggaran HAM oleh pihak militer di tambang Papua Barat (yang juga dimiliki oleh Rio Tinto) sudah sejak lama diprotes oleh masyarakat setempat dan LSM. Tahun lalu, suratkabar Australia telah mengungkap sejarah pelanggaran HAM Rio Tinto di tambang emas Kelian, Kalimantan Timur (lihat DTE 47).

Sepanjang sengketa sengit ini dengan perusahaan-perusahaan tersebut terus berlangsung, tetap saja sulit untuk meyakinkan masyarakat yang terkena dampak terhadap komitmen perusahaan-perusahaan tersebut untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi sebagai suatu komitmen yang benar-benar tulus. (sumber: Financial Times 21/Dec/00, Petromindo 29/Jan/00)


Switch to English


Tangguh di Papua Barat

Meningkatnya ketegangan di Papua Barat yang ditandai oleh pembunuhan tahanan politik dan penangkapan terhadap pimpinan pejuang kemerdekaan, tidak menghentikan langkah TNC untuk melanjutkan rencana mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut.

Ladang gas lepas pantai raksasa Tangguh, yang terletak di pantai Barat Laut, diperkirakan mengandung 20 milyar kubik gas. Gabungan perusahaan Inggris-Amerika, BP/Amoco, merencanakan untuk memulai produksinya pada tahun 2005 dan sedang mengejar kontrak penjualan dengan Cina. BP merencanakan untuk membangun terminal penampungan gas cair di Shenzen, Hong Kong, jika kontrak mereka disetujui. Perusahaan British Gas plc., juga merupakan investor di Tangguh, di mana mereka tengah membangun 2 ladang berdasarkan kontrak pembagian keuntungan bersama Pertamina.

BP juga memiliki saham sebanyak 50 persen di perusahaan tambang batubara terbesar, PT Kaltim Prima Coal di Sangatta, Kalimantan Timur. Tambang tersebut dipaksa untuk ditutup sepanjang sengketa perburuhan tahun lalu (lihat DTE 47). Presiden Wahid telah menjanjikan bahwa proyek tersebut akan memberi keuntungan bagi rakyat Papua Barat dan mengatakan pula bahwa lingkungan sekitar akan dilindungi selama pembangunan proyek tersebut berlangsung.

Pada bulan September tahun lalu, kepala Bapedal daerah, Ali Kastella mengatakan bahwa proyek Tangguh mengancam ribuan hektar hutan rawa di Teluk Berau dan mengatakan bahwa perusahaan tersebut harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat saat merencanakan aktivitas eksplorasi. Pada awal tahun ini, dilaporkan bahwa kantornya telah menyerukan penundaan eksplorasi lanjutan proyek tersebut sebagai akibat analisis dampak lingkungan yang mereka lakukan (lihat DTE 45: 15)

Proyek Uji Coba EIA

Mentri Lingkungan Indonesia, Sony Keraf, mengatakan bahwa proyek gas Tangguh akan menjadi satu uji kasus undang-undang baru yang memberikan suara hukum bagi penduduk local dalam setiap proyek pembangunan yang diajukan. Tangguh akan menjadi "proyek percontohan" tentang undang-undang yang berkaitang dengan partisipasi masyrakat dalam penilaian dampak lingkungan yang diharapkan dapat diterapkan pada bulan November tahun lalu. Menurut wakil Keraf, Ali Jumardi, pemerintah daerah melalui Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) akan memfasilitasi dialog antara pihak perusahaan dan masyarakat setempat. Penyelesaian sengketa akan menjadi tanggung jawab "mekanisme baru" yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah yang terpisah.

Sampai sekarang ini, proses EIA sebagian besar diabaikan atau sekedar dipandang sebagai formalitas semata oleh para pengusaha. Selain itu, pemerintah daerah seringkali bertindak sebagai agen-agen pihak perusahaan dan bahkan mengirimkan pasukan keamanan untuk memadamkan perlawanan masyarakat terhadap proyek tersebut. Nampaknya setiap undang-undang atau peraturan yang baru tidak akan memberikan dampak positif bagi masyarakat local apabila tidak disertai pula dengan hak masyarakat local untuk mengeluarkan veto terhadap proyek-proyek di wilayah mereka. (Indonesian Observer 21&22/Sep/00; Jakarta Post 12/Jul/00, 9/Dec/00)

Pulau-Pulau yang menghilang

Menurut penelitian Lembaga Penelitian Hutan Indonesia (LPHI) di Sumatra, tujuh pulau di Propinsi Riau telah menghilang sejak tahun 1980 akibat degradasi lingkungan.

Sedangkan hutan-hutan rawa yang mengitari tepian pantai dan berfungsi menahan erosi pantai telah dirusak oleh bocoran minyak mentah dari kapal tanker dan penambangan minyak lepas pantai. Terumbu karang pun mengalami kerusakan yang sama.

Salah satu pulau yang punah, Bangkau, dengan luas lebih dari 2000 hektar pernah menjadi tempat yang dihuni oleh 140 keluarga pada tahun 1970. (Detikworld 23/Nov/00)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link