Switch to English
Down to Earth No. 41, Mei 1999

AMAN: Suara Baru Masyarakat Adat di Indonesia

Untuk pertama kalinya telah dilangsungkan suatu Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang bertempat di Jakarta. Kongres itu meluncurkan satu aliansi baru kelompok masyarakat adat, atau disingkat AMAN. Pada saat yang sama, kongres juga melancarkan tuntutan agar persoalan masyarakat adat lebih diperhatikan. Tuntutan ini telah diajukan ke pemerintah, partai-partai politik dan masyarakat luas.

Pertemuan itu berlangsung selama satu minggu, dimulai sejak tanggal 5 sampai dengan 22 Maret 1999. Pertemuan ini terselenggara berkat  kerja keras LSM Indonesia yang peduli terhadap masalah masyarakat adat. Selama beberapa bulan, mereka menyusun rencana dan serta mencari dana untuk mengumpulkan masyarakat adat dari berbagai daerah dalam satu kesempatan bersama, menyediakan tempat, membiayai perjalanan dan akomodasi serta kebutuhan lainnya, juga menjamin agar agenda yang disusun dapat dijalankan dan dikembangkan oleh masyarakat adat itu sendiri nantinya.

Peserta kongres mencapai 123 perwakilan masyarakat adat dari berbagai kepulauan, dengan sekitar 50 staf LSM yang mendampingi mereka. Delegasi yang hadir dalam kongres itu sebelumnya telah ditetapkan dalam pertemuan regional masyarakat adat setahun yang lalu. Beberapa pengamat internasional, termasuk Down To Earth dan para akademisi, turut hadir bersama 50 anggota yang berasal dari kalangan LSM. Meskipun para pengamat dan media diijinkan untuk mengikuti semua sessi, tetapi hanya para perwakilan masyarakat adat yang diijinkan untuk menyatakan pendapat dan mengambil keputusan di dalam kelompok kerja dan dalam sessi konferensi penuh.

Selama dua hari pertama acara tersebut dihabiskan dalam diskusi awal tentang berbagai topik untuk mengidentifikasikan isu-isu kunci,. Pada sessi ini dimaksudkan setiap peserta dapat saling berbagi pengalaman dan membiarkan para peserta untuk terbiasa menyatakan pendapat di hadapan publik.

Kegiatan kongres itu sendiri sebenarnya baru dimulai pada hari ketiga. Kelompok-kelompok kerja mulai melakukan pembahasan terhadap masalah utama: seperti sessi yang membahas tentang masalah hak-hak asasi dan politik masyarakat adat; pengaruh perkebunan komersial besar, industri perikanan dan pertambangan tehradap kehidupan masyarakat adat dan juga sessi tentang bagaimana melakukan kampanye internasional.

Turut hadir dalam acara tersebut perwakilan dari organisasi International Alliance of Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest (Aliansi Internasional Masyarakat Adat dan Suku-Suku Hutan Tropis) serta International Workgroup on Indigenous Affairs -IWGIA (Kelompok Kerja Internasional Masyarakat Adat) yang berbicara tentang perangkat-perangkat internasional yang dapat digunakan dalam memajukan kepentingan masyarakat adat. Juga terdapat isu-isu yang berkaitan dengan masalah perempuan.

Namun, hal yang terpenting dari pertemuan itu, setiap peserta mendapat kesempatan banyak untuk saling berbagi pengalaman tentang pelanggaran hak asasi manusia, kolonisasi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah. Peristiwa tersebut menjadi kesempatan untuk menumpahkan seluruh keluhan massa terhadap ketidakadilan yang dialami masyarakat adat selama beberapa generasi.

Delegasi demi delegasi menyatakan rasa frustasi dan amarah mereka terhadap cara bagaimana perampasan lahan terjadi dan dilakukan tanpa pernah berkonsultasi dengan mereka; kemarahan tentang bagaimana  pemerintah memperlakukan mereka sebagai orang yang terbelakang, tidak memiliki ketrampilan dan hanya pantas menjadi penarik turis tanpa sedikitpun menaruh hormat terhadap pengetahuan, budaya atau kepercayaan mereka. Mereka juga menyatakan protesnya terhadap cara di mana pemerintah memaksakan sistem pemerintahan desa yang seragam tanpa mengindahkan hukum adat mereka.

Pandangan seperti ini terungkap pada saat panel yang menampilkan pejabat pemerintah, termasuk Menteri Agraria Hasan Basri Durin dan Asisten Mentri Departemen Kehutanan dan Departemen Sosial yang nampaknya terkejut dengan tiadanya sikap hormat para peserta seperti yang biasa mereka alami dalam berbagai  pertemuan resmi.

Hasil dari diskusi selama satu hari itu adalah pembentukan organisasi baru, AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Penggunaan istilah "Nusantara" sebagai pengganti kata "Indonesia" mencerminkan suatu kesadaran terhadap  permasalahan yang sekarang ini terjadi di Indonesia di mana pengertian batasan negara  menjadi permasalahan dan ditolak oleh delegasi Papua Barat dan Aceh. Pada pertemuan ini, tidak ada delegasi yang mewakili Timor-Timur.

Organisasi baru ini akan beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat adat yang ada di seluruh wilayah kepulauan. Lembaga ini akan diwakili oleh 54 orang anggota Dewan Nasional Aliansi, yang terdiri dari dua perwakilan, laki-laki dan perempuan, dari masing-masing wilayah. Papua Barat akan mempunyai empat orang perwakilan dikarenakan luasnya wilayah mereka. Dikarenakan organisasi-organisasi ini tidak memiliki anggota perempuan, pemilihan wakil-wakil perempuan menjadi tugas pertama masing-masing organisasi saat mereka kembali ke tempatnya masing-masing.

Dewan AMAN yang baru terbentuk itu memutuskan bahwa, karena alasan praktis (kegiatan lobi anggota DPR dan para menteri), sekretariat akan bertempat di Jakarta dan H. Arifin, yang merupakan wakil dari masyarakat Baduy/Bantetn di Jawa Barat dipilih sebagai Sekretaris Eksekutif. Tiga orang sebagai wakil dari wilayah Timur, Tengah dan Barat Indonesia akan bertindak sebagai Komite Manajemen. Kongres selanjutnya diputuskan akan diadakan tiga tahun yang akan datang.

Pada hari terakhir kongres, kelompok aliansi mengeluarkan deklarasi yang dibagi-bagikan pada saat konferensi pers. Isi deklarasi itu menyatakan:

Sedangkan tuntutan yang khusus dari mereka adalah: Pernyataan ini juga menolak penggunaan bahasa yang diskriminatif seperti "peladang liar" atau "suku-suku terasing" dan penggunaan istilah tanah milik negara terhadap hutan dan lahan milik masyarakat adat. "Kita semua sama, Kita semua Manusia dan Kita ingin menentukan masa depan kita sendiri".

Terakhir, Kongres tersebut seolah-olah menjadi suatu pesta perayaan identitas etnis dan daerah. Di loby hotel, terdapat pajangan berupa hasil tenunan, artefak, makanan, foto-foto, musik instrumental, ukirana dan pakaian tradisional. Pada akhir pertemauan, para peserta menari dan menyanyi, bukan untuk turis dan uang, tetapi benar-benar untuk merayakan rasa suka cita mereka.

Protes di DPR

Langkah pertama yang dilakukan oleh Aliansi ini adalah membawa tuntutan mereka untuk disampaikan ke DPR dan Komnas Ham. Pada hari terakhir kongres, aksi unjuk rasa digelar didepan gedung DPR di Jakarta. Sekitar 50 orang, sebagian besar berpakaian tradisional, dikelilingi oleh pasukan anti huru-hara sebelum sembilan orang perwakilan mereka dijinkan masuk ke dalam gedung DPR. Para peserta aksi unjuk rasa merasa marah dan kesal karena betapa sulitnya bagi mereka untuk masuk ke dalam gedung DPR. Seorang peserta aksi berteriak "Kami telah dijajah selama 30 tahun dan sampai sekarang masih sulit bagi kita untuk bertemu dengan pemerintah?". "Nampaknya pemerintah lebih gampang mencuri dari propinsi," ujarnya.

Aliansi menyatakan bahwa mereka ingin isu tentang hak-hak masyarakat adat menjadi salah satu isu penting dalam pemilu bulan Juni nanti. Dalam kongres itu, beberapa partai politik diundang untuk menjelaskan bagaimana pandangan mereka terhadap isu-isu masyarakat adat. Tiga orang perwakilan partai oposisi hadir dalam acara kongres ini dan mereka didesak oleh para peserta Kongres untuk menjelaskan bagaimana masing-masing partai akan mendukung hak-hak masyarakat adat.

Perempuan adat

Kepedulian terhadap masalah perempuan juga disuarakan dengan jelas dalam kongres tersbut melalui kelompok yang disebut Aliansi Perempuan Masyarakat Adat Nusantara. Pembahasan-pembahsaan yang mereka lakukan melingkupi persoalan kemerosotan status perempuan dan partisipasi mereka dalam kehidupan tradisional akibat internvensi yang dilakukan oleh negara.

Program-program pemerintah dan komersial yang mengambil alih tanah masyarakat adat untuk perkebunan, usaha perkayuan, tambang dan proyek-proyek lainnya yang meminggirkan kaum perempuan. Kesempatan kerja dan pembayaran kompensasi lebih banyak ditujukan pada kaum lelaki, dimana status perempuan dibawah hukum adat tidak diakui. Hal ini semakin merongrong peran pengambil keputusan dan kepemimpinan kaum perempuan di dalam masyarakat mereka.

Keluhan utama lainnya di antara para perempuan masyarakat adat ini adalah program keluarga berencana yang disponsori oleh pemerintah di mana perempuan dipaksa untuk menggunakan metode yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah seorang perempuan asal suku Komoro dari Papua Barat menjelaskan bagaimana perempuan menderita akibat efek sampingan metode keluarga berencana secara paksa terhadap mereka. Menurutnya, sebelumnya kaum perempuan dapat mengontrol jumlah anak yang mereka miliki dengan menggunakan obat-obatan tradisional tanpa efek sampingan (Pemerintah Indonesia menjadi pembeli utama produk-produk kontrasepsi melalui cara suntik seperti Depo Provera dan pelepasan jaringan hormon seperti Norplant. Hasil studi telah mengidentifikasikan berbagai problem kesehatan yang dialami para perempuan di wilayah terpencil yang dipaksa mengikuti program KB pemerintah. Mereka dipaksa menggunakan IUD dan spiral. Padahal masih sulit bagi mereka memperoleh perawatan yang cukup baik seperti seharusnya dilakukan apabila menggunakan metode seperti itu.)

Selain kritik terhadap negara, kaum perempuan masyarakat adat juga tidak memiliki rasa takut untuk mengarahkan kritik terhadap masyarakat mereka sendiri. Protes terhadap penindasan kaum permpuan di dalam masyarakat adat mendapat perhatian dari rekan-rekan pria mereka dan menjadi pembicaraan utama selama kongres berlangsung. Point ini digarisbawahi dengan fakta bahwa hanya 20 dari 231 delegasi yang hadir --atau kurang dari 10%-- adalah perempuan. Struktur dari Aliansi sendiri (Lihat bagian utama) harus menjamin bahwa harus terdapat jumlah suara yang seimbang antara perwakilan perempuan dan lelaki. Namun hal ini masih harus dilihat lagi sampai sejauh mana keseimbangan itu akan dicapai.

Hak Berdaulat dan Merdeka

Peserta asal Papua Barat yang hadir dalam konferensi ini menguraikan dengan jernih tuntutan kemerdekaan mereka dari Indonesia agar mereka dapat melindungi hak-hak mereka sendiri. Mereka juga menyerukan kepada kelompok masyarakat adat lainnya agar mendukung perjuangan mereka.

Dalam pertemuan ini, rasa kekecewaan terhadap sifat kesatuan negara Indonesia nampaknya semakin meningkat di berbagai tempat. Sebagai contoh, delegasi masyarakat adat asal Kalimantan, yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai Borneo, ternyata merasa lebih memiliki loyalitas yang kuat terhadap jaringan masyarakat adat yang tinggal di negara bagian Malaysia dibandingkan dengan Indonesia. Satu delegasi dari Sulawesi Utara menyatakan bahwa jika pemerintah tetap mengabaikan hak-hak mereka, mereka akan menuntut untuk memisahkan diri dari Indonesia. Peringatan yang sama juga terdengar dari delegasi yang datang dari Riau dan Maluku.

Meskipun demikian, terdapat pula kelompok lainnya dalam Kongres itu yang tidak menginginkan pemisahan diri dari Indonesia, tetapi tetap menginginkan pemulihan kembali hak-hak mereka. Mereka ingin mendapatkan kontrol terhadap lahan dan sumber daya lainnya serta ingin lebih mematuhi peraturan adat mereka. Mereka juga menuntut penghapusan undang-undang yang diterapkan sejak tahun 1970-an yang memaksakan sistem pemerintahan yang seragam di pedesaan.

Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang pembicara, pemulihan kembali hak-hak masyarakat adat berarti melakukan kembali perubahan terhadap konstitusi 1945 yang mana sistem hukum Indonesia bersandar. Undang-Undang ini memberikan legitimasi bagi negara untuk melakukan eksploitasi segala sumber daya alam yang ada untuk "yang digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat". Persoalannya bagi masyarakat adat dan penduduk miskin di pedesaan adalah kata "rakyat" lebih sering berarti presiden, teman-teman dan keluarganya.

Tonggak Bersejarah Bagi Masyarakat Adat

Kongres tersebut menjadi tonggak bersejarah bagi perkembangan organisasi-organisasi masyarakat adat di Indonesia, karena peristiwa itu merupakan peristiwa pertama kalinya para wakil masyarakat adat hadir dan berkumpul bersama. Sampai sekarang ini, masayrakat adat tampak sulit untuk bersuara dalam satu kekuatan bersama, yang mana pada masa Suharto akan dianggap sebagai suatu kegiatan yang bersifat subversif.

Selama beberapa dekade, masyarakat adat telah berjuang untuk membela hak-hak mereka berhadapan dengan program-program pembangunan pemerintah seperti transmigrasi dan pemukiman penduduk secara paksa yang dilakukan oleh Departemen Sosial. Mereka telah berjuang untuk membela tanah dan sumber daya alam mereka terhadap serangan besar-besaran kekuatan komersial yang dipromosikan oleh pemeirntah. Namun, perjuangan itu biasanya terjadi dalam lingkup loka atau terkadang regional.

Sekarang ini, dengan pembentukan AMAN, masyarakat adat memiliki kesempatan untuk bekerja pada tingkat nasional guna menekan perubahan terhadap kebijakan negara dan undang-undang. Selain itu, organisasi ini dibentuk untuk menjamin agar masyarakat adat tidak lagi diperlakukan sebagai suku-suku terasing yang harus dibantu untuk maju melalui program-program pemerintah. Pemerintah seharusnya mengakui ketrampilan tinggi para manajer di dalam sistem lingkungan yang rentan tetapi dapat mendukung kehidupan jutaan orang lainnya.

(Sumber-sumber: Gaung KMAN --Newsletter berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh anggota OC. Publikasi ini menekankan kemjuan Kongres, dan memasukan tulisan berupa feature tentang berbagai masalah yang dihadapi masyarakat adatt. Lihat juga: Kesan-kesan pribadi staf DTE, AFP 14/3/99; Straits Times 23/3/99)

Catatan: Down To Earth merencanakan untuk menerbitkan laporan lengkap tentang kongres itu kemudian. Jika anda tertarik, kirim surat dan email ke alamat kami.


Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link