Switch to English


Down to Earth No.80-81, Juni 2009

Perkembangan perubahan iklim di Indonesia

Meskipun pemilihan legislatif dan pemilihan presiden mendominasi kehidupan politik di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir ini, tetap isu perubahan iklim tak mendapat prioritas dalam agenda partai-partai yang bertarung. Sementara itu pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang banyak mengundang kritik. Dua puluh proyek sekarang sedang berjalan di negara ini.


Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dibentuk bulan Agustus tahun lalu jarang menjadi berita utama selama musim pemilu ini. Pemilihan legislatif yang berlangsung bulan April yang lalu akan dilanjutkan dengan putaran pertama pemilihan presiden pada bulan Juli. DNPI tetap saja tak banyak diberitakan dan ini cukup mengeherankan mengingat besarnya perhatian yang tertuju pada COP 13 di Bali dan pentingnya Indonesia sebagai penyimpan karbon utama dan juga penghasil emisi yang besar.1

Kelompok Organisasi Masyarakat Madani (CSO) terkemuka di Indonesia yang menggeluti perubahan iklim, Forum Masyarakat Madani untuk Keadilan Iklim, mengecam pemerintah karena tidak mengambil tindakan atas isu-isu penting seperti membuat rencana bagi adaptasi terhadap perubahan iklim, dan juga pendekatannya terhadap perdagangan karbon dan REDD. Kelompok ini juga cemas karena Indonesia menerima pinjaman untuk pendanaan perubahan iklim. Mereka mengemukakan bahwa penduduk Indonesia tak seharusnya menanggung lebih banyak hutang untuk mengatasi masalah yang secara historis bukan merupakan tanggung jawab mereka.2


REDD di Indonesia

REDD telah menjadi isu yang banyak diperdebatkan di Indonesia, khususnya isu tentang pengimbangan atau ofset (lihat tulisan sebelumnya), hak masyarakat adat, dan potensi biaya serta manfaat skema REDD. Juga terdapat kecaman dari dalam dan luar negeri mengenai peraturan pemerintah yang baru mengenai REDD, yang selesai dibuat pada bulan Mei.3

Peraturan ini memungkinkan adanya kontrol dan pengawasan yang terpusat mengenai proyek REDD di Indonesia. Peraturan ini juga melarang partisipasi masyarakat adat, baik secara hukum maupun finansial.4

Pada bulan Desember 2008, Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan tentang proyek rintisan REDD. (P.68/Menhut II/20085). Ini dilihat sebagai pertanda lebih lanjut bahwa pemerintah ingin memastikan bahwa proyek REDD di daerah, seperti proyek Ulu Masen di Aceh, dan skema yang direncanakan di Papua, tak akan berjalan tanpa persetujuan pemerintah pusat.

Menurut DNPI, peraturan yang terpisah mengenai aspek keuangan REDD akan dikeluarkan sebelum bulan Juni. Pada bulan Januari, Agus Purnomo dari DNPI mengatakan bahwa salah satu isu utama yang tak terselesaikan adalah mengenai perpajakan dan pembagian pendapatan bagi investor, yang telah menyampaikan keberatannya terhadap proposal menteri kehutanan.6

Konsultasi dengan organisasi-organisasi masyarakat madani yang berlangsung bulan Maret tahun ini gagal menggugah pemerintah untuk menanggapi keprihatinan mereka, yang disampaikan ketika draft awal peraturan REDD diumumkan pada bulan Juli 2008.


Keluhan CERD

Pengaturan REDD di Indonesia juga banyak dikecam oleh PBB. Dalam pernyataannya yang dibuat bulan Maret 2009, Komisi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) mengecam draft peraturan REDD karena tak sejalan dengan hak-hak b masyarakat adat. Komisi itu merekomendasikan agar draft peraturan, juga undang-undang yang lain, ditinjau dan diubah untuk memastikan kekonsistenan dengan hak-hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengendalikan wilayah yang mereka miliki secara adat dan untuk memberikan persetujuan atas kegiatan, misalnya REDD, yang dapat memengaruhi mereka.

Dalam pernyataannya CERD juga dengan keras mengecam Indonesia karena gagal memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihargai dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Indonesia memiliki program perluasan minyak sawit besar-besaran dengan tujuan utama untuk memenuhi pasar ekspor, termasuk pasar bahan bakar agro, yang menghancurkan hutan, menggusur masyarakat lokal dan melanggar hak masyarakat adat atas pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan.7

Pernyataan itu disambut baik oleh LSM Indonesia, Sawit Watch dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN, yang menghimbau agar Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) digunakan oleh pemerintah sebagai panduan.8

Terdapat kekhawatiran besar bahwa skema REDD Indonesia pada akhirnya akan memberikan ganjaran bagi perusahaan besar yang menghancurkan hutan (seperti perusahaan bubur kayu dan minyak sawit), ketimbang masyarakat yang tahu bagaimana memanfaatkannya secara berkelanjutan. Hal ini dapat memberikan dampak negatif karena sistem pengelolaan sumber tradisional yang melindungi hutan digantikan dengan skema REDD yang digerakkan oleh pasar yang belum terbukti, yang motivasi utamanya adalah keuntungan, dan bukannya keberlanjutan, penghidupan yang aman dan perlindungan hutan.

Sebuah proyek yang kontroversial di Riau, Sumatra, telah diajukan oleh salah satu perusahaan bubur kayu terbesar di Indonesia, yaitu Asia Pacific Resources International (APRIL). Proyek rintisan REDD perusahaan ini mencakup pengeringan dan pembukaan lahan gambut hingga seluas seratus ribu hektar di Semenanjung Kampar, sambil mengimbangi emisi dari perkebunan ini dengan melindungi dan merehabilitasi 400.000 hektar hutan gambut di dekatnya. Menurut FCPF, badan Bank Dunia yang banyak dikecam, yang membantu mempersiapkan negara-negara dalam menghadapi REDD, proyek-proyek industri bubur kayu dengan perusahaan bubur kayu yang mengembangkan perkebunan di tanah yang mengalami degradasi sangat memenuhi syarat bagi pendanaan karbon karena mereka mengurangi tekanan pada hutan gambut.9 Perusahaan-perusahaan seperti itu ternyata mendapat ganjaran terlepas dari tingginya tingkat kerusakan hutan yang mereka buat sebelumnya. Masyarakat yang tinggal di Semenanjung Kampar belum diberitahukan oleh APRIL bahwa perusahaan itu merencanakan untuk mengambil alih hutan dan tanah pertanian adat mereka dan mengubahnya menjadi perkebunan Akasia.

Dua puluh skema REDD tengah berjalan dalam berbagai tahap pembangunan 10 (lihat DTE 79 untuk mendapatkan gambaran mengenai sebagian proyek, yang terdapat di Kalimantan, Aceh, Riau dan Papua).

Keprihatinan tentang dampak potensial REDD terhadap masyarakat lokal telah mendorong Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) untuk mengeluarkan petisi 'Hutan untuk Rakyat' bagi COP14 UNFCCC di Poznan. Mereka berargumentasi bahwa rencana-rencana REDD mengabaikan kepentingan lebih dari 80 juta penduduk Indonesia yang bergantung pada hutan dan sumber daya hutan. Petisi ini, yang ditandatangani oleh 22 kelompok - sebagian besar merupakan masyarakat lokal - mendukung hak-hak lokal atas hutan, manfaat bagi masyarakat lokal dari inisiatif mitigasi perubahan iklim internasional dan pengurangan konsumsi oleh warga di negara industri akan barang-barang yang terbuat dari bahan yang berasal dari hutan dan lahan hutan di Indonesia.11

Sementara itu, draft PP Hutan Adat dikecam oleh AMAN. Draft ini didasarkan pada undang-undang kehutanan tahun 1999 yang menempatkan hutan adat dalam penguasaan negara. Dalam suratnya ke Presiden, Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan juga mengecam draft peraturan itu karena melarang masyarakat adat memperdagangkan hasil hutan dan menutup kesempatan diakuinya hutan adat. Surat itu mengatakan bahwa draft peraturan tak menawarkan solusi bagi konflik mengenai hutan, tetapi malahan mengesahkan pengambilalihan hutan adat, dengan risiko konflik yang berlarut-larut. Surat itu diakhiri dengan mengatakan bahwa PP Hutan Adat jauh di bawah standar nasional dan internasional seperti yang tertuang dalam konstitusi Indonesia dan yang telah dikonfirmasikan oleh UNDRIP.12

WALHI (Friends of the Earth Indonesia) melihat REDD sebagai solusi palsu atas perubahan iklim dan menganggapnya sebagai kegagalan negosiasi generasi ke dua untuk mengurangi dampak perubahan iklim setelah 2012.13

Meskipun ada perlawanan dari masyarakat madani, rencana untuk mendorong maju REDD dan turut serta dalam inisiatif internasional terus berjalan. Pada bulan Januari, Agus Purnomo dari DNPI mengumumkan rencana untuk membentuk dana trust fund iklim guna menyatukan komitmen para donor, yang akan diluncurkan sebelum bulan Juni.14

Pada awal bulan Maret, Bank Dunia melaporkan bahwa Indonesia telah mengajukan permintaan untuk turut serta dalam FCPF.15 Rencana itu sendiri dan proses persiapannya telah mengundang kekhawatiran di antara kelompok-kelompok masyarakat madani karena hak-hak masyarakat adat dan partisipasi mereka kembali tersingkirkan.16 Pada bulan Desember 2008, LSM FPP dan FERN melaporkan bahwa FCPF telah mengambil jalan pintas selama tahap pertama pengoperasiannya dan dana hutan Bank Dunia tidak mengikuti peraturannya sendiri ataupun kebijakan-kebijakan perlindungan. Tak satu pun rencana REDD yang dipelajari ke dua LSM itu membahas isu-isu penting tentang tata pemerintahan, HAM, reformasi kepemilikan tanah atau hak masyarakat adat atas persetujuan berdasarkan informasi awal yang diberikan tanpa tekanan.17

Pada bulan yang sama, skema REDD-PBB mengumumkan bahwa proyek Indonesia yang 'dimulai dengan cepat' telah disetujui oleh dewan (lihat boks).

Salah satu aspek REDD yang tampaknya membuat Departemen Kehutanan Indonesia kurang sabar adalah seberapa cepat dana REDD akan mulai mengucur ke negara itu. Pada bulan Januari, Agus Purnomo sudah memperingatkan bahwa harapan mengenai REDD harus dikelola, dengan mengatakan bahwa uang itu tak "jatuh begitu saja dari langit hanya karena kita memiliki hutan". Tetapi pada bulan April, Menteri Kehutanan MS Kaban menunjukkan rasa frustasinya mengenai hal ini. Ia dikutip dengan mengatakan bahwa tak ada jaminan bahwa skema REDD yang telah disetujui secara internasional itu akan bermanfaat bagi Indonesia. Ketika membuka seminar nasional untuk mendukung inisiatif perdagangan karbon sukarela di Jakarta, ia mengatakan bahwa diperlukan alternatif yang sederhana dan murah karena skema REDD sulit dilaksanakan dan perlu waktu terlalu lama untuk menyediakan dana. Ia mengatakan bahwa Indonesia berharap untuk memperoleh pendanaan luar negeri senilai hingga US$3,75 milyar (Rp 33,75 triliun) per tahun, tetapi tak dapat mengatakan seberapa besar yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang telah memelihara hutan.

"REDD sungguh dapat menjadi jalan bagi kita untuk memperoleh dana luar negeri bagi pengelolaan hutan," katanya.18 "Kita menyerap karbon, tetapi tidak dibayar untuk itu karena skemanya terlalu rumit. Kita mendesak negara maju untuk memberi insentif. Mereka telah diuntungkan dari hutan-hutan di Indonesia, yang menyerap emisi mereka. Masalahnya adalah, kita tak dapat menunggu dan dengan demikian kita harus mencari skema alternatif yang lebih sederhana dan murah." Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah diminta untuk mengembangkan skema bagi perdagangan karbon sukarela. Direktur LEI Daru Asycara mengatakan bahwa lembaga itu juga mengembangkan standar sertifikasi karbon untuk hutan-hutan yang dikelola masyarakat.19


Konawe Selatan

Skema pengelolaan hutan jati oleh masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, merupakan model bagi pengembangan konservasi karbon, menurut beberapa LSM, Forest Watch Indonesia, Telapak dan JAUH.

Kayu yang diproduksi oleh Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) yang berbasis masyarakat telah diverifikasi oleh Forest Stewardship Council, dan difasilitasi oleh JAUH dan Tropical Forest Trust.

KHJL didirikan tahun 2003 sebagai bagian dari Program Kehutanan Sosial Kabupaten Konawe Selatan untuk mengelola wilayah seluas 720 hektar. Wilayah ini bukan hutan alam, tetapi terdiri dari perkebunan jati (Tectona grandis) yang ditanam secara monokultur atau campuran antara jati dengan mahogani (Switenia sp.).

Telah dibuat perkiraan mengenai kapasitas penyimpanan karbon pada area seluas lebih dari 12,13% dari wilayah itu, yang digambarkan sebagai 'hutan jati milik rakyat' (sekitar 50 hektar). Hasil studi awal menunjukkan bahwa jumlah potensi karbon yang dapat disimpan dalam tanaman itu adalah 13,7 ton per pektar.

Selebaran berisi informasi yang dibuat oleh LSM-LSM itu melaporkan bahwa KHJL tengah mengajukan usulan untuk meningkatkan kegiatannya guna mengelola perluasan wilayah seluas 28.116 hektar di areal bekas tanaman jati yang dijalankan pemerintah.20



REDD-PBB

Pada bulan Maret proposal Indonesia untuk program REDD 'yang cepat dimulai' telah disetujui oleh Badan Kebijakan Program REDD-PBB.

Menurut penjelasan REDD-PBB untuk pers, pemerintah Indonesia, dalam kemitraan bersama UNDP, FAO dan UNEP, dengan dukungan pemerintah Norwegia, siap memulai pelaksanaan tahap yang cepat dimulai ini.

Program ini memiliki tiga prioritas: pensosialisasian skema REDD di Indonesia, termasuk elemen pelajaran yang dapat dipetik; pemfasilitasan peningkatan sistem penghitungan karbon dan pengembangan sistem pembayaran yang adil; dan membantu pemerintah Indonesia melaksanakan inisiatif ini pada tingkat nasional dan lokal.

REDD-PBB menyebutkan bahwa dukungan itu juga "perlu menjamin bahwa masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari skema ini". Alex Heikens, Penasehat Teknis UNDP untuk Unit Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa, jika dirancang dengan baik, REDD dapat meningkatkan pengakuan atas peran penting yang dimiliki masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Sulawesi akan menjadi wilayah fokus bagi program REDD-PBB. Rincian lebih lanjut dapat diperoleh dalam beberapa minggu ke depan.21



Sumber pilihan



Catatan:
1 DTE tak dapat menemukan situs web yang sesuai, sebagai contoh
2 Untuk informasi lebih lanjut mengenai CSF, lihat csoforum.net/
3 Peraturan yang baru, P.30/Menhut-II/2009, 1 Mei 2009 tersedia dalam bahasa Indonesia di www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5364
4 Lihat DTE 79 untuk latar belakang lebih lanjut.
5 Via www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5046
6 Reuters 29/Jan/09
7 Untuk pernyataan CERD lihat see: www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/early_warning/Indonesia130309.pdf
8 Siaran Pers 23/Mar/09 oleh FPP, Sawit Watch dan AMAN.
9 Chris Lang, FCPF's "poster child" would reward forest destroyers in Indonesia, 2/Mar/09. Untuk latar belakang lebih lanjut mengenai FCPF lihat DTE 76-77
10 Reuters 29/Jan/09
11 www.kpshk.org/index.php?option=com_content&task=view&id=123&Itemid=2
12 Surat dari Abdon Nababan, AMAN, ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 6 Mei, 2009.
13 www.walhi.or.id/websites/index.php/media/siaran-pers/97-membedah-rencana-implementasi-dan-perdebatan-redd
14 Reuters 29/Jan/09
15 Reuters 4/Mar/09.
16 AMAN, Sawit Watch dan FPP menulis kepada pemerintah Indonesia dan Bank Dunia untuk menyampaikan keprihatinan mereka. Lihat www.forestpeoples.org
17 Siaran Pers oleh FERN dan FPP 1/Des/08.
18 Reuters 29/Jan/09
19 Bisnis.com 16/Apr/09
20 Community Logging untuk Menyimpan dan Menyerap Karbon: Sebuah Model dari Konawe Selatan [tak ada tanggal]. Forest Watch Indonesia, Perkumpulan Telapak dan Jaringan Untuk Hutan (JAUH) Sulawesi Tenggara. Untuk informasi lebih lanjut hubungi fwi@indo.net.id, telapak@telapak.org, a.halik_jauh@yahoo.com.
21 www.undp.or.id/press/view.asp?FileID=20090311-1&lang=en



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link