Switch to English


Down to Earth No.76, Mei 2008

Debat seputar REDD, hak adat dan kontrol terhadap funding

Ada banyak arus perdebatan internasional mengenai perubahan iklim yang tengah berlangsung. Di sini, kami akan fokus pada tiga isu perdebatan yang cukup menonjol antara masyarakat sipil dan pemerintah dan antara Utara dan Selatan: pencegahan deforestasi atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD); hak adat; dan kontrol terhadap dana perubahan iklim internasional.


Konteks dari diskusi tentang tiga aspek dari negosiasi ini adalah semakin mendesaknya kebutuhan untuk menciptakan kemauan politik global untuk mengatasi perubahan iklim dan untuk menyepakati arah aksi internasional di Kopenhagen di tahun 2009. AS dianggap sebagai hambatan utama dalam negoisasi, dengan menolak berkomitmen pada target penurunan emisi gas rumahkaca/ greenhouse gas (GHG), sebelum para penghasil utama emisi GHG dari dunia berkembang seperti Cina dan India turut menegaskan komitmen mereka pula. Rasa frustrasi dunia internasional yang tampak di Bali, mendapat secercah harapan bahwa siapapun pengganti George Bush di Gedung Putih akhir tahun ini akan mengambil posisi yang lebih lunak. Seluruh pihak sepakat bahwa untuk mencapai kesepakatan pasca Kyoto merupakan suatu capaian yang besar.


Skema REDD - mencegah deforestasi...dan tanggung jawab?

Keputusan untuk memasukkan pencegahan deforestasi dalam diskusi membuka jalan bagi COP15 mensyaratkan pengawasan yang ketat oleh organisasi masyarakat sipil. Penggunaan pendanaan karbon untuk melindungi hutan mendapat dukungan luas dari pemerintah, termasuk negara-negara dengan area hutan yang luas seperti Indonesia, namun ditentang oleh banyak organisasi masyarakat sipil yang mengambil hak asasi manusia sebagai titik awal mereka. Deforestasi - yang terjadi kebanyakan di negara-negara tropis - menyumbang 18-20% emisi karbon per tahun. Banyak penandatangan UNFCCC melihat bahwa penurunan deforestasi merupakan cara yang relatif mudah dan murah untuk menghasilkan penurunan emisi global sementara negara-negara Utara terus saja melanjutkan apa yang selama ini mereka lakukan.

Sementara penurunan drastis angka deforestasi sangat diperlukan di negara-negara seperti Indonesia, terdapat keprihatinan bahwa skema REDD1 bisa memprioritaskan konservasi daripada pengurangan kemiskinan, menguatkan kontrol negara terhadap hutan dan semakin meminggirkan masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan, termasuk masyarakat adat.

Terdapat keprihatinan lebih dalam mengingat bahwa skema REDD didanai oleh institusi yang dikontrol oleh negara maju (seperti Bank Dunia), atau sektor swasta (melalui pasar karbon) akan melayani kepentingan negara-negara dan perusahaan itu, daripada penduduk yang tinggal di dalam dan bergantung pada hutan untuk kehidupan mereka.

Pasca pertemuan Bali, juru bicara untuk bank investasi perdagangan karbon Inggris, Climate Change Capital, memprediksi bahwa penetapan target-target emisi yang mengikat akan menciptakan 'peluang pasar yang sangat besar'. Ia mengatakan bahwa kita kemudian akan melihat "kekuatan uang swasta yang mengalir untuk tujuan moral".2 Tapi seberapa jauh sektor swasta dapat dipercaya? Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa mencampurkan keuntungan dan moral tidaklah mudah dalam praktiknya, terutama bila yang menjadi taruhan adalah tanah penduduk, sumberdaya alam dan mata pencaharian. Perusahaan umumnya lebih tertarik pada keuntungan (profit) jangka pendek daripada perubahan iklim jangka panjang.

Skema semacam itu bisa memperburuk kemiskinan dan melanggar hak atas tanah serta sumberdaya alam di mana hak masyarakat lokal dan masyarakat adat lemah atau tidak mempunyai status di dalam hukum nasional, seperti misalnya di Indonesia. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dari Utara dan Selatan menandatangani sebuah pernyataan di Bali yang menyoroti dampak sosial potensial bagi 1,6 milyar penduduk yang tergantung pada hutan untuk tempat tinggal dan kehidupannya. Pendanaan karbon artinya bahwa "perusahaan dan negara kaya bisa membeli hak untuk terus menghasilkan polusi", bunyi pernyataan itu, "sementara komunitas miskin acapkali berada terperangkap dalam kontrak komersial jangka panjang yang tidak menguntungkan".3

Keprihatinan lain terhadap REDD adalah bahwa skema pencegahan deforestasi dapat mengalihkan perhatian dari prioritas yang lebih mendesak yaitu pengurangan tingkat konsumsi energi per kapita dari negara-negara maju (AS berada di posisi teratas), dan pemangkasan tingkat emisi keseluruhan di negara berpenduduk besar seperti Cina dan India dimana kombinasi antara pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang besar telah melambungkan tingkat emisi gas rumah kaca. Pernyataan masyarakat sipil di Bali tersebut memperingatkan bahwa perdagangan karbon telah digunakan sebagai “suatu tindak penyamaran untuk mengelak dari peraturan dan menunda aksi mendesak yang diperlukan untuk mengurangi emisi dan mengembangkan solusi alternatif yang rendah karbon."4

Lagi pula, tidak ada jaminan bahwa perdagangan karbon akan mampu menurunkan emisi. Menurut penyelidikan baru-baru ini yang dilakukan oleh Institute for Policy Studies5 yang berkedudukan di AS, Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) dari Protokol Kyoto tidak berjalan.


Hak adat

Masyarakat adat telah tampil sebagai salah satu kelompok yang melontarkan kritik paling keras atas proses dan isi dari negosiasi resmi tentang perubahan iklim - khususnya atas proposal pencegahan deforestasi, yang akan mempengaruhi banyak komunitas yang bergantung pada hutan. Mereka menuntut keterwakilan yang lebih besar dalam proses UNFCCC dan pengakuan atas hak mereka, yang selayaknya menjadi jantung dari upaya-upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Di konferensi Bali, delegasi adat protes karena mereka tidak diikutsertakan dalam pertemuan antara Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer, dengan masyarakat sipil. Para pemrotes memakai penutup mulut bertuliskan 'UNFCCC' sambil berdemonstrasi di luar sidang resmi pada tanggal 7 Desember.

Para wakil adat menyoroti kurangnya cakupan untuk berpartisipasi dalam negosiasi (misalnya berkebalikan dengan situasi dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati, CBD) dan sangat sedikitnya rujukan mengenai masyarakat adat dalam dokumen UNFCCC. "Tidak ada tempat duduk maupun papan nama untuk masyarakat adat dalam sidang paripurna, juga tidak ada tempat bagi United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues, badan tertinggi di PBB yang menangani hak masyarakat adat," kata Hubertus Samangun, juru bicara Indonesia untuk delegasi masyarakat adat pada pertemuan Bali.6

Dalam suatu pernyataan, dimana para perwakilan tidak diijinkan hadir di sesi pembukaan COP13, International Forum of Indigenous Peoples and Climate Change (IFIPCC) menyatakan bahwa masyarakat adat lah yang menderita dampak terburuk perubahan iklim tanpa ikut menjadi penyebabnya. Dikatakan bahwa mereka "tdak seharusnya ditempatkan pada posisi menderita akibat strategi mitigasi yang memungkinkan negara maju dapat terus melanjutkan pola konsumsi yang berlebihan."

Pernyataan tersebut menuntut adanya kerjasama yang mengakui keadilan sosial, integritas lingkungan hidup, dan hak asasi manusia lainnya dan yang "menciptakan iklim yang tidak membiarkan keserakahan mendominasi kebutuhan kemanusiaan".

IFIPCC juga menuntut:

Beberapa laporan terbaru telah membantu membawa posisi masyarakat adat dan perubahan iklim ke permukaan. Laporan-laporan tersebut membahas dampak perubahan iklim terhadap masyarakat adat, resiko-resiko potensial (serta keuntungan yang mungkin didapat) dari upaya-upaya mitigasi dan adaptasi dan termasuk rekomendasi mendesak untuk melindungi partisipasi serta hak-hak adat dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan ilkim.

Sumber-sumber itu mencakup:


Kendali dana

Perselisihan yang muncul untuk mengontrol pendanaan aksi perubahan iklim mempunyai pengelompokan pihak yang berbeda dari pihak yang berdebat mengenai pendanaan karbon untuk hutan. Keterlibatan Bank Dunia yang kuat dalam pengelolaan dana mendapat dukungan dari negara-negara maju (termasuk AS dan Inggris Raya), sementara pemerintah negara berkembang (dibawah Kelompok 77) serta Cina menginginkan dana-dana dikelola oleh PBB, dibawah konvensi perubahan iklim, atau suatu badan baru yang independen. Kelompok masyarakat sipil, sejauh ini, sangat kritis terhadap berbagai usulan Bank Dunia atas berbagai 'dana investasi iklim', dan cara-cara penyusunan proposal yang gegabah dan tidak transparan.

Oleh karena itu, meskipun UNFCCC mendapat kritik karena proses pengambilan keputusan yang lamban dan tidak inklusif, banyak kelompok - terutama mereka yang memantau lembaga-lembaga keuangan internasional - akan lebih condong untuk mempercayai UNFCCC daripada Bank Dunia, sebagai badan yang bertanggung jawab dalam pendanaan perubahan iklim.

Sebuah update terakhir yang diterbitkan oleh Third World Network,8 menjelaskan bagaimana Bank Dunia pada awalnya mengusulkan tiga pendanaan - Clean Technology Fund (CTF, dengan besaran target US$5-10 milyar); Forest Investment Fund (US$300-500 juta, dengan sasaran program REDD) dan Adaptation Pilot Fund (US$300-500 juta), bersamaan dengan pendanaan payung Strategic Climate Fund (SCF) yang akan bertindak sebagai kendaraan untuk menerima dan membayarkan dana donor kepada pendanaan dan program-program khusus. Saat ini, kata TWN, titik beratnya adalah untuk segera membentuk CTF dan SCF, dan Forest Investment Fund direncanakan terbentuk akhir 2008 atau awal 2009. Adaptation Pilot Fund, nama baru dari 'Climate Resilience Pilot Programme', akan didirikan sebagai program dibawah SCF. Dana investasi iklim ini diharapkan dapat menarik kontribusi besar dari negara-negara maju, yang akan menyalurkan dana melalui berbagai bank pembangunan multilateral, termasuk Kelompok Bank Dunia sendiri.

Bentukan lain Bank Dunia, the Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), yang akan dikaitkan dengan Forest Investment Fund, sudah diluncurkan pada pertemuan Bali (lihat kotak di bawah).

Aksi-aksi di atas telah menumbuhkan kekhawatiran besar di antara kelompok masyarakat sipil yang mempertanyakan kapasitas Bank untuk dapat mengelola milyaran dolar dana perubahan iklim dengan efektif. TWN khawatir bahwa Bank akan menempatkan dirinya sendiri sebagai pihak yang penting, atau sebagai pemain kunci, dalam mengendalikan perubahan iklim.' Kekhawatiran tadi meliputi:

Menurut TWN, Bank telah menanggapi beberapa kritik tersebut dengan menekankan konsistensi terhadap Bali Action Plan dan melakukan beberapa revisi mengenai struktur pengelolaan dana dengan melibatkan beberapa negara berkembang. Namun demikian, perubahan tersebut tidak menyelesaikan "permasalahan yang melekat dan kontradiksi mendasar" yang terkait dengan rancangan dan implementasi pendanaan yang diusulkan. Sebagai contoh, Adaptation Fund yang diusulkan Bank Dunia bersaing langsung dengan Adaptation Fund yang disepakati di Bali yang mayoritas anggotanya adalah negara-negara berkembang (lihat pula artikel sebelumnya). TWN menyerukan agar dilakukan upaya-upaya untuk mengembangkan dana multilateral yang lebih 'murni' untuk pendanaan perubahan iklim dalam struktur UNFCCC, yang akan memberikan keterwakilan negara berkembang yang layak dalam struktur pengelolaan, untuk menjamin bahwa dana digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati secara internasional dan sesuai dengan tujuan pengaturan perubahan iklim internasional.



Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan Bank Dunia Dicerca

Kontroversi seputar badan baru di Bank Dunia, yang diresmikan di Bali pada bulan Desember tahun lalu ini, mencakup ketiga hal tentang perubahan iklim yang kita diskusikan di atas, - REDD, hak-hak adat dan pendanaan. FCPF telah memaparkan argumentasi atas prinsip-prinsip REDD dan pendanaan karbon sebagaimana tersebut di atas, beberapa dari kritik yang sama diarahkan pada keterlibatan Bank Dunia dalam merancang dan mengelola dana perubahan iklim, dan terutama telah menarik perhatian dari masyarakat adat yang akan menanggung dampak negatif dari proyek-proyek yang dilaksanakan di bawah pengawasan Bank Dunia (lihat juga DTE 74 ).

Menurut Bank Dunia, FCPF dirancang untuk ' menjadi pijakan bagi suatu sistem insentif skala besar untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dengan menyediakan sumber-sumber dana segar untuk pemanfaatan yang lestari atas sumberdaya hutan dan konservasi keanekaragaman hayati, bagi lebih dari1,2 milyar penduduk yang hidupnya sedikit banyak tergantung terhadap hutan'.10

FCPF terdiri dari dua skema - Mekanisme Kesiapan (Readiness Mechanism), untuk membantu sekitar 20 negara berkembang untuk siap berpartisipasi dalam program insentif REDD, dan Mekanisme Pendanaaan Karbon (Carbon Finance Mechanism), yang menjadi percontohan pembayaran karbon bagi sekitar lima peserta Mekanisme Kesiapan yang berhasil. Setiap mekanisme memiliki dana perwalian (trust fund) sendiri, dengan Bank bertindak sebagai pengawas bagi keduanya.


Keprihatinan kelompok adat

Prioritas utama dari FCPF adalah mitigasi perubahan iklim, yang menempatkan pengurangan kemiskinan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak-hak adat sebagai hal yang sekunder. Brosur FCPF menyebutkan bahwa program REDD di bawah FCPF harus dirancang untuk "menghindari hal-hal yang merugikan bagi penduduk lokal dan lingkungan" serta meningkatkan penghidupan "jika memungkinkan". Bank menyatakan bahwa kegiatan REDD dapat meningkatkan penghidupan bagi komunitas lokal dengan mengamankan kepemilikan adat atau hak atas tanah hutan dan atas produk dari tanah hutan mereka. Namun demikian, tidak disebutkan penegakan hak adat atau menjamin persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau free, prior and informed consent (FPIC) bagi penduduk sebagai persyaratan mendasar.

Kekhawatiran masyarakat adat terhadap FCPF disampaikan di Bali oleh Ketua UNPFII, Victoria Tauli-Corpuz pada saat peluncuran FCPF. Ia menunjukkan pengalaman sejarah yang negatif dengan inisiatif yang serupa, posisi rentan masyarakat adat walaupun ada Deklarasi Masyarakat Adat oleh PBB, dan catatan buruk dari negara-negara yang menjadi target REDD seperti Brasil, Republik Demokrasi Kongo dan Indonesia dalam pelestarian hutan. "Maka, hal tersebut menjadi penting dari sisi moral dan legal bahwa masyarakat adat sepenuhnya dilibatkan dalam perancangan, implementasi dan evaluasi inisiatif yang berkaitan dengan REDD."11

Corpuz berpendapat bahwa keberhasilan upaya mencegah deforestasi terutama tergantung pada apakah masyarakat adat mendukung mekanisme seperti FCPF. Guna memperoleh dukungan masyarakat adat, lanjutnya, FPCF dan aktor-aktor lainnya, antara lain, perlu untuk:

  • menyatakan bahwa mereka mengakui dan menghormati hak-hak adat yang termaktub di dalam Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat;
  • mendapatkan FPIC sebelum inisiatif REDD apapun diterapkan di wilayah adat;
  • meningkatkan kapasitas mereka untuk menghadapi pelaku dan latar belakang terjadinya deforestasi sebagaimana diidentifikasi oleh UNFF;12
  • memastikan bahwa, apabila FCPF diterima oleh masyarakat adat, mereka akan terwakili di dalam struktur pengelolaan FCPF dengan tingkat yang sejajar dengan pemerintah, donor dan sektor swasta;

  • memastikan bahwa konsultasi dilakukan dengan masyarakat adat yang terdampak secara langsung dan bahwa segala dokumen diterjemahkan ke dalam bahasa utama yang mereka fahami dan disebarkan sebelum konsultasi berlangsung.

Dalam pernyataan terpisah mengenai REDD yang dikeluarkan di Bali, IFIPCC (forum masyarakat adat internasional untuk perubahan iklim) mengambil posisi yang jelas terhadap kegiatan REDD. Forum menyatakan bahwa aktivitas seperti REDD akan menghasilkan lebih banyak pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan akan berujung pada pengambilalihan hutan mereka oleh negara dan pedagang karbon.13 Forum meminta Human Rights Council dan Special Rapporteur on the Human Rights and Fundamental Freedoms of Indigenous Peoples untuk memonitor potensi pelanggaran HAM yang berkaitan dengan kegiatan REDD.

Forest Peoples Programme yang berkedudukan di Inggris telah mempublikasikan sebuah survei mengenai pandangan masyarakat adat terhadap FCPF dan sebuah dokumen tentang FCPF, yang menyoroti kelemahan utama FCPF sekaligus menguraikan pengembangan serta strukturnya. Kedua dokumen tersebut menunjukkan kegagalan memalukan Bank Dunia untuk berkonsultasi sebelumnya dengan masyarakat adat mengenai FCPF - sebaliknya, Bank Dunia malah memilih melakukan konsultasi retroaktif (setelah obyek konsultasi terbentuk) tahun ini, dikarenakan oleh banyaknya kritik. Dokumen ini dapat di-download dari FPP di: www.forestpeoples.org/documents/forest_issues/bases/forest_issues.shtml


Organisasi Non-Pemerintah (Ornop)

Ornop-ornop yang menghadiri konferensi Bali mendesak agar FCPF tidak diluncurkan sehubungan dengan kekurangan FCPF yang serius, termasuk struktur pemerintahan yang timpang, kurangnya tranparansi, kurangnya perhatian terhadap mandat Bank Dunia untuk pengurangan kemiskinan dan terlalu bergantung kepada mekanisme berbasis pasar untuk membayar REDD.14

Pengkampanye perubahan iklim untuk WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebut peluncuran FCPF sebagai 'agak konyol'. "Orang akan mengira bahwa Bank Dunia mempunyai usulan yang sangat bagus, baik untuk penduduk dan, tentu saja, bagi kalangan bisnis. Namun kenyataannya, tidak ada yang melihat bahwa Bank, melalui pinjaman dan kebijakan pembangunannya, tengah mempromosikan deforestasi di negara tropis seperti Indonesia," tulis Torry Kuswardono, dalam artikel untuk Bretton Woods Project, yang berjudul 'Whoever loses, the Bank always wins' (Siapapun yang rugi, Bank selalu menang). Ia menjuluki FCPF sebagai 'inisiatif baru Bank Dunia untuk untuk menjadi makelar karbon hutan'.15

Laporan terkini dari Rainforest Foundation Inggris menyimpulkan bahwa "FCPF bisa menjadi bukti pengalihan yang sangat mahal dan tidak efektif dari tugas penting menghentikan deforestasi hutan tropis dalam jangka pendek melalui mekanisme yang sudah ada". Lebih lagi, penelaahan terhadap FCPF telah mengungkap bahwa Bank Dunia tidak melakukan analisis apapun atas dampak yang mungkin timbul dari kredit 'pencegahan deforestasi' di pasar karbon yang ada. Laporan Carbon Sunk tersedia di www.rainforestfoundationuk.org/. Lihat pula update dari Bretton Woods Project, eg www.brettonwoodsproject.org/art-561066.


Catatan:
1 Lihat DTE 74 atau DTE's Bali Briefing untuk melihat latar belakang dari pencegahan deforestasi.
2 US Pours Cold Water on Bali Optimism, The Guardian 17/Des/07.
3 Bali Declaration: Protecting the world's forests needs more than just money, 10/Des/07
4 Bali Declaration: Protecting the world's forests needs more than just money, 10/Des/07
5 World Bank Climate Profiteer oleh Jane Redman, Sustainable Energy and Economy Network, IPS, www.ips-dc.org/reports/#292
6 Pernyataan Pers IFIPCC, 7/Des/08, www.globaljusticeecology.org/connections.php?ID=81
7 Pernyataan dari Indigenous Peoples Forum dalam Alter Eco newsletter, December 2008.
8 Celine Tan, Third World Network: 'World Bank's Climate Funds Will Undermine Global Climate Action' 10/Apr/08. See www.twnside.org.sg/
9 Lihat DTE's 2004 factsheet on the EIR and web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTOGMC/0,,contentMDK:20605112~menuPK:592071~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:336930,00.html
10 Forest Carbon Partnership Facility Booklet.
11 Statement on the Announcement of the World Bank Forest Carbon Partnership Facility, oleh Victoria Tauli-Corpuz, Chair UN Permanent Forum on Indigenous Issues, 11/Des/07.
12 The United Nations Forum on Forests. www.un.org/esa/forests/index.html
13 Pernyataan oleh IFIPCC on REDD agenda item at the UNFCCC climate negotiations, Nov 2007
14 NGO Statement on the World Bank's Proposed Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) 30 November. Down to Earth termasuk salah satu penandatangan.
15 Torry Kuswardono, Whoever loses, the Bank always wins, Profits from Indonesia's forests next, Bretton Woods Project, 1/Feb/08 di www.brettonwoodsproject.org/art-560001



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link