Switch to English


Down to Earth No.76-77, Mei 2008

Warisan Suharto

Bulan Mei ini merupakan peringatan ke sepuluh tahun jatuhnya Suharto dari kursi kekuasaan. Mantan presiden, yang memimpin rezim militer yang memerintah Indonesia selama 32 tahun tersebut meninggal di usianya yang ke 86 pada bulan Januari tahun ini.


Meninggalnya Jenderal Suharto bukan berarti berakhirnya era tersebut. Drama mengenai Suharto minggu lalu jelas menunjukkan bahwa Orde Baru masih merupakan kekuatan yang besar di negara ini. Berbagai peraturan, kebijakan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pada masa pemerintahan "Orde Baru" Soeharto, masih terus mempengaruhi Indonesia pada saat ini, meskipun telah terjadi reformasi politik. Suharto dipaksa untuk turun dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998 di tengah-tengah protes massal, kekacauan ekonomi dan kelumpuhan politik. Tuntutan-tuntutan hukum mengenai tindakan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia dimentahkan karena alasan kesehatan, meskipun bekas presiden tersebut masih dapat bermain golf, melayani wawancara dan menerima kunjungan. Selama hari-hari terakhirnya orang-orang terkemuka, termasuk para mantan kepala negara, perwakilan ASEAN dan tokoh-tokoh politik senior, berbondong datang untuk memberikan hormat di samping tempat tidurnya, sementara para politisi di Indonesia lebih menyerukan agar masyarakat menunjukkan simpati dan pengertian daripada melanjutkan tuntutan pengadilan. Banyak obituarium, bahkan di beberapa media internasional, membicarakan Suharto sebagai negarawan besar yang membawa stabilitas dan kemakmuran bagi Indonesia. Laporan tersebut mengabaikan berbagai kerusakan sosial dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh rezim Orde Baru.


Suharto dan militer - tak terpisahkan

Suharto merebut kekuasaan pada tahun 1965 melalui gerakan pembersihan anti komunis di mana paling tidak 500.000 orang terbunuh. Antara 50.000 sampai dengan 100.000 orang ditahan tanpa proses pengadilan selama 14 tahun dan ribuan orang lainnya di'cap' memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia yang terlarang.

Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa â€" Golkar. Bahkan saat ini, komando teritorial dari angkatan bersenjata mencakup seluruh wilayah darat dan laut dengan hirarki sistem kontrol dari propinsi ke tingkat desa yang pararel dengan birokrasi administratif.

Pada tahun 1975, Indonesia menginvasi dan mencaplok wilayah Timor Timur. Lebih dari seperempat dari 700.000 penduduk meninggal dalam perang saudara dan kelaparan yang terjadi sebagai akibat perang. Puluhan ribu orang terbunuh oleh aksi militer untuk melawan gerakan pro kemerdekaan di Aceh dan Papua Barat. Pelanggaran hak asasi manusia meluas, termasuk penghilangan orang dan pembunuhan, terjadi di wilayah konflik tersebut dan di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kopassus dipercaya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya "pembunuhan misterius" terhadap para pelaku kriminal kecil pada awal tahun 1980 an. Di seluruh nusantara, konflik antara kelompok masyarakat dengan perusahaan atas tanah dan sumberdaya alam ditekan â€" dan kadangkala dengan brutal.

Sistem hukum di Indonesia, yang merupakan dasar kekuasaan Suharto, sangat tidak efektif karena korupsi dan praktik patronase (perlindungan). Pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir pada tahun 2004 dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh militer di Papua yang terus terjadi, termasuk pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay pada tahun 2001, menunjukkan bahwa budaya impunitas masih terus berlangsung.


'Bapak Pembangunan'

Dengan menyebut dirinya sebagai "Bapak pembangunan", kebijakan-kebijakan Suharto sangat jelas mengacu pada ekonomi liberal. Indonesia yang pada awalnya miskin dengan sebagian besar wilayah pedesaan, telah diubah menjadi salah satu macan ekonomi Asia Tenggara melalui pertumbuhan yang mengandalkan ekspor yang sebagian besar berasal dari eksploitasi sumberdaya alam dan tenaga kerja secara serampangan. Negara mengklaim dan menguasai tanah, hutan serta sumberdaya mineral serta menjual konsesi besar dan jangka panjang kepada perusahaan-perusahaan besar.

Perusahaan-perusahaan multinasional sangat ingin untuk ikut mendapatkan kesempatan mengeruk kekayaan alam Indonesia yang berlimpah, terutama dengan persyaratan-persyaratan istimewa yang ditawarkan para ekonom Suharto lulusan Amerika Serikat. Freeport MacMoran mendapatkan hak tunggal untuk menambang cadangan emas dan tembaga yang besar di Papua Barat; Exxon-Mobil mengeksploitasi ladang gas alam di Arun-Aceh; Rio Tinto membangun pertambangan emas dan batubara di Kalimantan Timur. Perusahaan-perusahaan ini telah mencetak keuntungan milyaran dolar setiap tahun, dengan diuntungkan oleh penindasan hak asasi manusia, pengabaian hak masyarakat adat dan lemahnya pengendalian lingkungan. Mereka dapat bersembunyi di belakang pemerintah dan militer setempat bila muncul protes dari masyarakat setempat atas hak tanah, kekerasan, pelecehan seksual maupun polusi. Brimob melindungi areal mereka, seperti yang masih terjadi saat ini di beberapa tempat.

Dukungan kepada keluarga presiden dan para pendukungnya, termasuk miliiter, adalah bagian utama gaya kapitalis kronisme Suharto. Sebuah contoh klasik adalah Mohamad "Bob" Hasan yang pada tahun 1950 an menjadi pemasok pasukan (waktu itu) Kolonel Suharto, kemudian menjadi penguasa kayu dengan hak-hak spesial untuk ekspor kayu lapis pada tahun 1970an dan menjadi Menteri Perdagangan dan Industri di tahun 1990an. Pemegang monopoli perdagangan kayu ini secara de facto menjabat sebagai Menteri Kehutananan di Indonesia selama beberapa dekade. Ia juga mengendalikan yayasan-yayasan yang menjadi sumber penghasil uang bagi keluarga Suharto, seperti Nusamba Group yang memiliki saham pada perusahaan pertambangan Freeport-Rio Tinto Grasberg (lihat DTE 38). Ia didakwa korupsi pada tahun 2001 setelah adanya penyelidikan mengenai proyek pemetaan hutan yang dilakukan oleh salah satu perusahaannya.


Pengorbanan bagi hutan dan masyarakat di sekitar hutan.

Antara tahun 1965 sampai 1997, Indonesia diperkirakan kehilangan hutan seluas 40-50 juta hektar akibat penebangan, konversi ke lahan pertanian, pertambangan, proyek-proyek infrastruktur dan urbanisasi. Selain terjadinya pengurangan kekayaan keanekaragaman hayati, hancurnya hutan-hutan tersebut merupakan pemusnahan tempat tinggal, kebudayaan dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar hutan. Masyarakat adat kehilangan akses atas tanah adat dan sumberdaya alam.

Lebih jauh lagi, pemaksaan sistem standar pemerintahan desa oleh Orde Baru secara seragam di seluruh wilayah Indonesia telah menindas hampir semua model pemerintahan lokal yang tradisional. Pada banyak kasus hal tersebut telah merusak secara permanen integritas kebudayaan setempat. Pada daerah dimana perbaikan masih dimungkinkan, diperkirakan proses pemulihan tersebut memerlukan waktu satu generasi.

Hal lain yang masih menjadi perdebatan adalah program transmigrasi yang merupakan bencana sosial dan lingkungan terbesar di Indonesia. Antara tahun 1969 sampai tahun 1999, sekitar 4,5 juta orang telah dipindah-mukimkan - terutama dari Jawa, Madura dan Bali - ke lokasi-lokasi transmigrasi di luar pulau dengan biaya yang cukup besar dari Bank Dunia dan beberapa donor internasional. Beberapa lokasi transmigrasi terbukti cocok sebagai area pertanian dan menjadi pemukiman baru yang berkembang. Akan tetapi, pembangunan tersebut merebut tanah adat dari masyarakat tanpa ijin dan menghancurkan hutan. Secara keseluruhan, program ini telah gagal dalam hal pengurangan kemiskinan, pembangunan pertanian dan pengurangan tekanan perkembangan penduduk. Banyak transmigran malah semakin terpuruk karena kondisi lahan yang buruk, kurangnya akses ke pasar, perencanaan yang tidak matang dan sebagai akibatnya mereka meninggalkan rumah baru mereka untuk mencari penghidupan di kota.

Gelombang besar perpindahan penduduk Indonesia ke Papua Barat melalui transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah ditambah oleh transmigrasi sukarela yang didorong pemerintah, telah memberikan dampak besar pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat adat setempat. Penduduk Papua telah terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Kebijakan Suharto yang mengijinkan perusahaan-perusahaan nasional dan internasional untuk mengeruk kekayaan alam yang diperselisihkan telah menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat Papua dan mendorong munculnya tuntutan untuk memerdekakan diri. (Lihat pula Papua/extractives article).

Pada masa tahun 1970 sampai 1980 an, ekspor minyak dan gas alam sangat membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih dari 6% setiap tahunnya. Amerika Serikat, bersama dengan negara-negara lain di dunia, menutup mata atas terjadinya berbagai korupsi di Indonesia, nepotisme, dan buruknya catatan mengenai hak asasi di Indonesia, karena pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan anti komunis mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bank Dunia menyebutkan kediktatoran Suharto sebagai 'murid teladan'. Badan internasional yang lain yaitu IMF dan FAO mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan Suharto telah mengurangi jumlah kemiskinan dan membantu meningkatkan kemakmuran relatif. Akan tetapi selagi kekayaan Indonesia berupa hutan, emas, batubara, minyak dan gas alam, dikeruk oleh konglomerat-konglomerat nasional dan internasional, tingkat kematian ibu, bayi dan anak masih tetap tinggi. Saat ini, dengan perkiraan tingkat kemiskinan di bawah 17%, puluhan juta orang masih terus berjuang untuk hidup di bawah garis kemiskinan atau tepat di garis kemiskinan.



Mega Proyek beras di Kalimantan Tengah

Pada tahun 1995, Presiden Suharto meresmikan sebuah proyek 1 juta hektare di area hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah.

Proyek kontroversial ini direncanakan akan memindahkan 300.000 keluarga dari Jawa ke Kalimantan Tengah untuk membantu Indonesia menuju swasembada beras. Komunitas Dayak asli tersingkirkan ketika hutan-hutan dibuka dan kanal-kanal dibangun untuk keperluan pengairan lahan persawahan tersebut, tapi kemudian para petani transmigran segera mengetahui bahwa padi tak dapat tumbuh di area tersebut.

Kombinasi antara tanah gambut kering dan sisa-sisa batang kayu mati menimbulkan bencana lebih lanjut berupa kebakaran di musim kemarau panjang pada tahun 1977. Kabut asap tebal selama berminggu-minggu mempengaruhi kesehatan penduduk dan gambut yang terbakar meningkatkan emisi karbon secara global.

Proyek tersebut secara resmi ditinggalkan pada tahun 1999, akan tetapi area tersebut masih rusak dan masyarakat asli setempat telah kehilangan sumber penghidupan mereka. Kanal-kanal drainase mempermudah pembalak liar membersihkan sisa kayu dari area tersebut. Proyek tersebut, yang dikenal masyarakat setempat sebagai Proyek Lahan Gambut sejuta hektare (PLG), telah menghabiskan anggaran pemerintah sebesar US$500 juta , belum termasuk biaya untuk merehabilitasi area tersebut.


Kemana larinya semua uang tersebut?

Keberhasilan ekonomi Orde Baru dilukiskan sebagai bangunan rumah di atas pasir pada waktu krisis moneter melanda Asia Tenggara pada tahun 1997. IMF menawarkan skema penyelamatan yang menyertai paket bantuan untuk mengatasi krisis tersebut, dan tekanan publik selanjutnya memaksa presiden Suharto meninggalkan kursi kepresidenan. Negara-negara ASEAN lainnya dapat lebih cepat kembali pulih dari kondisi krisis, sementara Indonesia harus menderita tekanan ekonomi selama satu dekade dengan tingkat pengangguran yang semakin besar dan bertambahnya angka kemiskinan. Masyarakat miskinlah yang lebih terpukul, akan tetapi sebagian masyarakat kelas menengah baru juga menjadi miskin. Eksploitasi sumberdaya alam ditingkatkan untuk melunasi hutang-hutang yang menumpuk selama pemerintahan Suharto.

Elit lingkaran Suharto telah membangun kerajaan finansial dengan menginvestasikan keuntungan yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumberdaya alam ke dalam industri manufaktur, real estate dan perbankan. Pada awal tahun 1990 an bank-bank baru tak lebih sebagai sumber modal pribadi bagi pemiliknya. Bisnis perbankan dan banyak usaha lainnya didanai dari pinjaman luar negeri dalam bentuk dolar AS. Pemerintah juga mengambil hutang internasional untuk menutup defisit anggaran pemerintah dan untuk membiayai proyek-proyek publik. Ketika krisis keuangan terjadi Indonesia tertindih beban hutang lebih dari US$140 milyar, sekitar setengahnya adalah pinjaman oleh sektor swasta. Sebagai bagian dari 'upaya penyelamatan', pemerintahan pasca Suharto harus mengambil tanggungjawab atas sebagian hutang-hutang bank termasuk yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan pengolahan hutan.

Meskipun Suharto mengaku hidup sederhana, ia mengendalikan kerajaan bisnis bernilai milyaran dolar. Melalui sistem yayasan yang kompleks, ia dan keluarganya menerima limpahan dari kontrak-kontrak yang diadakan pemerintah dan aliran uang dari perusahaan negara serta yayasan-yayasan. Istrinya dikenal sebagai "Nyonya Tien persen" sebagai sebutan ejekan atas komisi-komisi yang diduga diperoleh dari berbagai kesepakatan bisnis. Keenam anaknya, bahkan cucunya menjadi milyarder melalui keterlibatan mereka di berbagai sektor bisnis termasuk dalam industri pulp, kertas, semen, kayu lapis, cengkeh, jalan tol, pembangkit listrik, mobil dan bank.

Suharto menuntut majalah Time ke pengadilan karena telah memberitakan bahwa ia memiliki simpanan di bank asing sebesar US$15 milyar, dan memenangkan kasus tersebut di Mahkamah Agung Indonesia. Meskipun demikian, pada tahun 2007 Suharto menduduki peringkat teratas pada daftar pemimpin dunia yang mencuri uang negara. Daftar tersebut dirangkum oleh lembaga Transparansi Internasional dan dikutip oleh PBB serta Bank Dunia. Diperkirakan Suharto telah menyelewengkan uang negara sebesar antara US$15 milyar dolar dan US$35 milyar. Bank-bank di Inggris, Swiss dan Singapura dicurigai menyimpan uang tersebut.

Tidak diragukan lagi, patronase terhadap keluarga Suharto dan para pendukungnya (termasuk anak-anaknya yang bergaya hidup mewah dengan berbagai kesepakatan bisnis yang tidak jelas) diperkirakan sebagai penyebab raibnya milyaran uang. Meskipun demikian, sebagian kekayaan Indonesia juga terhambur untuk biaya birokrasi yang besar serta untuk partai kendaraan politik Orde Baru, Golkar. Operasi militer di Timor Timur , Aceh dan Papua Barat juga menguras keuangan Indonesia.

Kebocoran pengeluaran pemerintah dan bantuan internasional diperkirakan sekitar 20% sampai 30% selama tahun-tahun pemerintahan Suharto diketahui oleh Bank Dunia maupun lembaga keuangan internasional lainnya, namun demikian mereka menutup mata terhadap hal tersebut. Terjadi kehebohan ketika informasi tersebut bocor dari dokumen internal Bank Dunia pada tahun 1998. Namun demikian korupsi tetap merajalela. Indonesia masih tetap berada di urutan atas sebagai tempat yang buruk untuk berbisnis. Survei Transparansi Internasional mengenai masyarakat bisnis internasional dan analisa negara pada tahun 2007 menempatkan Indonesia pada urutan ke 143 dari 179 negara.


Bahayanya bernostalgia

Ada tanda-tanda bahwa penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta mulai kecewa dengan langkah menuju demokrasi yang sudah berjalan selama 10 tahun terakhir ini. Saat ini kebebasan pers sudah lebih tampak dan partai-partai politik berkembang jumlahnya, akan tetapi reformasi masih sangat ditunggu, termasuk di bidang pertanahan, masih harus dilaksanakan. Korupsi masih terus merajalela dan kesenjangan antara yang kaya dengan sekitar 100 juta orang yang hidup dalam kemiskinan semakin menganga.

Bagaimanapun, setiap upaya untuk membangkitkan 'nostalgia Suharto' dan mengembalikan lagi rezim otoritarian, harus ditolak dengan tegas. Sangat penting untuk belajar dari sejarah dan untuk mengungkapkan kembali kejahatan-kejahatan Suharto beserta kroninya terhadap masyarakat Indonesia dan lingkungan alamnya, dan tidak untuk memaafkan dan melupakannya. Seharusnya tidak ada kekebalan hukum bagi kerabat dan kelompoknya yang telah mengambil keuntungan secara finansial dari berbagai kegiatan korupsi. Mereka yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia harus dituntut.

Politikus di Indonesia masih mengikuti gaya kepemimpinan Suharto dengan mengandalkan ekspor kekayaan alam Indonesia yang terus menyusut pesat. Pengembangan perkebunan skala besar di antaranya untuk kelapa sawit dan bubur kertas, sangat berisiko menimbulkan bencana lingkungan, meningkatkan ketegangan sosial dan risiko ledakan dan kehancuran ekonomi. Mega proyek seperti pembangunan1,5 juta hektare perkebunan di sepanjang perbatasan Kalimantan merupakan ancaman terulangnya kembali bencana PLG (lihat kotak atas) dan hanya akan menguntungkan saudagar-saudagar lokal. Berbagai upaya untuk mengatasi perubahan iklim tampaknya lebih dianggap sebagai peluang baru penghasil uang daripada sebagai upaya perlindungan hutan dan masyarakat yang bergantung hidup di dalamnya. Undang-undang perlindungan lingkungan di Indonesia harus sepenuhnya dilaksanakan baik oleh perusahaan nasional maupun internasional serta harus dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga peradilan independen yang cakap. Harus ada transparansi mengenai bisnis yang dikelola oleh para politikus dan militer. Lebih daripada itu, Indonesia memerlukan paradigma pembangunan baru yang dilandasi atas penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan serta kesetaraan penghidupan.



Rezim Suharto dituntut bertanggung jawab

Para aktivis hak asasi manusia di Jakarta sedang berupaya membentuk Tribunal Rakyat bertepatan dengan peringatan sepuluh tahun turunnya Suharto. Ide tersebut bertujuan untuk mengungkap kembali catatan kejahatan Suharto serta untuk mencari keadilan internasional, sebagai contoh melalui Pengadilan Kriminal Internasional di Hague, mengingat lemahnya sistem peradilan dan kentalnya kekebalan politik di Indonesia. Konsepnya mengacu secara longgar pada pengadilan kejahatan perang internasional yang digagas oleh aktivis perdamaian dan filsuf Bertrand Russel pada tahun 1960 untuk menanggapi intervensi militer Amerika di Vietnam.

Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) telah membentuk tim untuk melakukan investigasi mengenai kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan pada masa Orde Baru. Beberapa pesiunan jenderal (didukung oleh Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono) menolak untuk bekerjasama dalam proses ini. Perwakilan dari masyarakat sipil telah menekan presiden, Mahkamah Agung, DPR dan Mahkamah Konstitusi untuk mendukung posisi Komnas HAM tersebut, yang merupakan mandat konstitusionalnya. Namun demikian, sampai sejauh ini belum ada institusi pemerintah yang ditunjuk.


Untuk informasi mengenai program transmigrasi di Indonesia dan mega proyek beras di Kalimantan Tengah lihat laporan khusus DTE, Juli 2001.

(Sumber: Washingtonpost.com 10/Sept/07; Jakarta Post 19/Sept/07, 8/Jan/08, 16/Jan/08, 27/Jan/08, 28/Jan/08, 6/May/08; The Guardian 28/Jan/08; New YorkTimes 28/Jan/08;
soeharto-online.blogspot.com/2008/01/suharto-ex-dictator-of-indonesia-dies.html;
news.bbc.co.uk/1/hi/world/asia-pacific/1222147.stm;
rainforests.mongabay.com/20indonesia.htm;
www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2007;
siteresources.worldbank.org/INTEAPHALFYEARLYUPDATE/Resources/550192-1194982737018/ID-EAP-Update-Nov2007.pdf; www.unicef.org/infobycountry/indonesia_statistics.html#0)



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link