Switch to English

Down to Earth No.75, November 2007

Festival Kehutanan Adat Indonesia Pertama

Pada bulan Agustus 2007, KpSHK organisasi berbasis di Bogor menyelenggarakan pertemuan masyarakat adat seluruh Indonesia untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Laporan ini yang dikumpulkan dari sejumlah bahan membuka wawasan kita tentang perkembangan yang positif dan masalah yang berlanjut di tingkat akar rumput pada kawasan hutan adat.


Sasaran Festival Kehutanan Adat Indonesia pertama adalah terus berlanjutnya konflik di kawasan hutan antara negara dan masyarakat adat. Sebagian besar masyarakat adat Indonesia tinggal di dalam kawasan hutan, di mana 70% diantaranya masih di bawah kewenangan Departemen Kehutanan. Artinya, banyak peluang konflik terjadi akibat klaim kepentingan yang berbeda.

Hukum Indonesia hampir tidak melindungi hak-hak masyarakat adat atas hutan, bahkan pengakuan akan keberadaan masyarakat adat. Sementara itu, penerapan otonomi daerah telah mendorong daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan untuk melakukan eksploitasi sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) percaya bahwa kunci utama pemenuhan hak pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat adat terletak pada adanya pengakuan hukum atas keberadaan masyarakat adat oleh pemerintah daerah.


Semangat komunitas

Kerumitan di sektor kehutanan terkadang menurunkan semangat kesadaran masyarakat adat akan kemampuan mereka mengelola kawasan hidup mereka. Kembali kepada semangat komunitas adalah jalan tepat memperjuangkan pengakuan keberadaan dan hak pengelolaan kawasan hidup masyarakat adat, terutama yang masih bergantung penuh kepada keberadaan hutan.

Untuk kembali kepada semangat komunitas, KpSHK melalui dukungan banyak pihak mengadakan satu acara akbar tentang keberadaan masyarakat adat dan hak pengelolaan atas kawasan hutan. Secara umum Festival Kehutanan Adat Indonesia bertujuan untuk menemukan strategi bersama antarkomunitas dalam memperbaiki kondisi kehutanan di Indonesia. Secara khusus acara ini bertujuan untuk:

  1. Menginisiasi Forum Kehutanan Adat Indonesia. Forum ini adalah wadah komunikasi antarmasyarakat adat dalam mempertahankan kawasan-kawasan dan hutan mereka.
  2. Menemukan strategi dalam pengamanan hutan adat. Upaya bersama ini akan dijadikan dasar masing-masing komunitas dalam mempertahankan kawasan-kawasan dan hutan adat.
  3. Belajar bersama dalam pemanfaatan hasil hutan agar terjadi pertukaran pengetahuan antarkomunitas dalam mengembangkan produk-produk hasil hutan.
  4. Promosi keberadaan komunitas adat melalui model-model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.

Festival Kehutanan Adat Indonesia yang diselenggarakan pada 4-9 Agustus 2007 di Bogor, Jawa Barat terdiri dari 4 bagian acara:

Festival Kehutanan Adat yang pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia ini cukup banyak menarik perhatian komunitas adat untuk berpartisipasi. Paling tidak sebanyak 21 komunitas masyarakat adat yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, NTB dan NTT terdaftar sebagai peserta dalam Festival Kehutanan Adat ini.


Pengalaman pengelolaan hutan adat

Pengalaman adalah guru yang paling baik. Untuk memperkaya wawasan para peserta Festival Kehutanan Adat Indonesia (FKAI) saling bertukar pengalaman. Misalnya, bagaimana mereka dapat bertahan hidup dengan disaat negara harus mengimpor beras, mencoba mencari energi alternatif di saat listrik belum masuk ke kampung, tarif dasar listrik (TDL) naik, BBM juga tidak mau ketinggalan untuk merangkak naik, serta bagaimana memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) disaat orang diributkan dengan ilegal loging. "Kita semua bisa hidup, asal kita tahu apa yang kita miliki dan bagaimana cara memanfaatkan" kata Herman warga Kiarasari. "Kami mempunyai air dan kami dapat memanfaatkannya dengan baik sehingga kami tidak kesusahan dengan listrik, sawah bisa diairi, dan kolam tidak kering" tegasnya kembali yang sangat bangga dengan mikrohidronya yang berkekuatan 40 Kwh. Jika ditelusuri dan dihubungkan dengan isu yang sedang hangat mengenai perubahan iklim, maka sebenarnya kontribusi komunitas adat serta praktek pengelolaan hutan yang lestari merupakan kontribusi nyata untuk menjaga fungsi jasa lingkungan hutan. Meskipun tekanan ekonomi dan tidak keberpihakan kebijakan pengelolaan hutan terhadap komunitas adat semakin kuat tetapi tidak menyurutkan komunitas adat untuk menjaga hutannya.

Seperti yang diungkapkan langsung oleh Yorri, peserta masyarakat Tondano, kelompoknya telah berhasil menciptakan energi alternatif (etanol) dari pohon aren (Arenga pinata), yang diberi nama 'cap tikus'1 yang akan diproses kembali untuk menjadi bahan bakar. "Aren bukan hanya menghasilkan gula, tetapi dapat menghasilkan barang yang lebih benilai dari gula, 'cap tikus' adalah salah satunya".

Pada sisi lain, tekanan terhadap praktek pengelolaan hutan adat pun semakin meminggirkan komunitas adat secara sosial dan ekonomi. Seperti yang dituturkan beberapa peserta Festival Kehutanan Adat Indonesia berikut ini:

"Rotan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Kutai khususnya. Rotan ada di sekitar rumah kami, dan di kebun-kebun kami," ujar Laik, seorang petani dan pengrajin rotan dari Kutai. Sayang sekali sekarang ini harga rotan anjok hanya mencapai Rp 500-1000 per kg karena adanya perubahan kebijakan pemerintah yang masih menganggap bahwa rotan adalah tanaman liar dan tidak dibudidayakan sehingga terkena pajak yang menyulitkan pemasaran rotan. Kondisi ekonomi masyarakat adat sangat sulit, apa lagi kalau mereka mempunyai satu produk utama yang terkena berbagai aturan yang membatasi. "Rotan kami tidak bisa keluar dari kampung karena ada aturan yang tidak memperbolehkan untuk menjual rotan batangan. Selain itu munculnya Pemenhut no. 55 tahun 2006 dan Permenhut no. 63 tahun 2006 makin menyulitkan pendistribusian hasil panen rotan kami," ujar Patmawaty, Ketua Perkumpulan Petani Pengrajin Rotan Kutai.

Kain tenun Flores yang sangat terkenal sekarang mendapat ancaman dari bahan-bahan kimia dan sarung produksi massal yang dipaksa- kenalkan kepada masyarakat Flores. "Kain ini adalah jati diri kami. Kami dapat saling mengenal jati diri dengan hanya melihat pada kain yang dikenakan saja," kata Melania yang saat itu mengenakan kain tenun Flores yang mencerminkan dirinya seorang perempuan yang masih lajang. "Saya sangat sedih ketika masyarakat kami tidak mendapatkan bahan-bahan untuk membuat kain tenun, karena kami diusir dari hutan tempat hidup kami, padahal itu adalah jati diri kami," tegasnya dengan berapi-api.

Tantangan yang dihadapi masyarakat adat dalam mempertahankan kehidupannya sangat berat, seperti yang disampaikan oleh Selester, anggota masyarakat adat Mentawai, "Kami masyarakat Mentawai adalah masyarakat komunal yang biasa hidup dalam satu lingkungan. Kemudian muncul program pemerintah yang mengharuskan kami tinggal dalam rumah yang terpisah sehingga kehidupan kami tidak berjalan seperti yang kami harapkan. Jaman boleh berubah, simbol boleh berganti, tetapi nilai harus tetap terjaga."

(Disarikan dari berbagai materi Festival Kehutanan Adat Indonesia 2007)


1 Cap Tikus adalah sejenis minuman berakohol (± 45%) yang khas dari Sulawesi Utara. Minuman berakohol ini diproduksi secara tradisional (home industry) dan juga dipasarkan umum hampir diseluruh Sulawesi.



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link