Switch to English |
Paling tidak selama setahun terakhir ini, perkembangan kebijakan yang berhubungan dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam sangatlah cepat. Khususnya sektor kehutanan, perkembangan kebijakan tidak saja mulai dari surat keputusan menteri tetapi juga sampai pada pembahasan undang-undang baru, sebut saja Rancangan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002, PP No. 35 Tahun 2002 dan pada tingkat UU terdapat Revisi Undang-Undang no.41 tentang Kehutanan dan pembentukan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Illegal (atau sering disebut dengan RUU Illegal Logging). Kedua inisiatif UU tersebut merupakan bagian dari Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang dikeluarkan oleh DPR-RI. Meskipun terjadi perubahan peraturan perundangan di sektor kehutanan, tetapi dari sudut paradigma, isi dan pelaksanaan tetap saja berorientasi pada hal-hal sempit dan jangka pendek.
Kegelisahan terhadap kesuraman masa depan hutan Indonesia memang beralasan. Mulai dari laju deforestasi yang tinggi (3,2 juta hektare per tahun), kelebihan kapasitas industri kehutanan (deficit supply), penegakan hukum kehutanan yang lemah, praktek penyimpangan kebijakan dan korupsi, konflik dan sebagainya merupakan sebuah potret buruk pengelolaan hutan di Indonesia. Berbagai kebijakan yang muncul yang "ditujukan" memperbaiki keadaan nyatanya hanya menjawab persoalan-persoalan yang berada di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan kehutanan. Kebijakan kehutanan seperti obat penghilang rasa sakit, sementara penyakit sesungguhnya tidak pernah terobati.
Meskipun dalam UU no.41 tentang Kehutanan dijelaskan ada Hutan Hak/Milik, Hutan Adat1 dan Hutan Negara, tetapi pada kenyataannya saat ini, penatabatasan hutan Negara (gazettement) hanya baru tercapai 15% dari total klaim hutan Negara. Artinya basis klaim pemerintah atas hutan negara sebenarnya hanya berlaku pada hutan yang 15%, yang sudah tertata batasnya dengan jelas. Sementara itu, hutan adat nyaris tidak ada karena bertumpang tindih dengan kawasan yang diklaim sebagai hutan negara. Karena kondisi dan sikap para pembuat undang-undang (RUU Illegal Logging) yang mengingkari kenyataan adanya konflik tenurial justru akan semakin meningkatkan konflik yang terjadi. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, yang hidupnya memang bergantung pada hutan.
Implikasi yang lain adalah pelaku lapangan (penebang) adalah pelaku yang bisa dipastikan akan banyak tertangkap dalam upaya penegakan hukum ini. Jika setiap proses penangkapan pelaku penebangan (yang dianggap illegal) kemudian disidangkan, dan untuk proses persidangan disyaratkan adanya hakim adhoc (salah satunya berlatarbelakang kehutanan) maka bisa dibayangkan kerumitan dan ketidak efisienan sistem, prosedur dan proses hukum dan peradilan di Indonesia khususnya untuk sektor Kehutanan. Berkaca dari kondisi sekarang, persoalan pembentukan hakim adhoc pun bukan perkara mudah dan kenyataannya justru memunculkan konflik dalam sistem peradilan dan hukum di Indonesia.
1 Saat ini UU no.41 tentang Kehutanan belum selesai menjelaskan tentang Hutan Adat dan Hak Ulayat karena belum ada Peraturan Pemerintah (di bawah UU no.41/1999 tentang Kehutanan) yang menjelaskan tentang Hutan Adat dan Hak Ulayat
Mengingat mandat rakyat yang tertuang dalam TAP MPR no IX/2000, semestinya ada usaha untuk mengkaji ulang/evaluasi terhadap semua peraturan perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam termasuk menyandingkan semua RUU. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat apakah paradigma semua UU/RUU itu masih sesuai dengan kenyataan hari ini.
Hal lain yang disoroti Andiko adalah konsultasi publik RUU Illegal Logging yang terbatas, di mana sudah selayaknya masyarakat yang akan terkena dampak dari RUU ini (mereka yang tinggal di dalam dan sekitar hutan) juga dimintai pendapatnya, terutama pada kawasan hutan yang terdapat konflik tenurial. Konsultasi publik menjadi penting karena jumlah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan lebih dari 20 juta orang. Ironisnya konsultasi publik hanya diadakan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Jambi, Makasar, Pontianak dan Papua. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah representasi publik yang hadir dan kota yang dipilih apakah sudah benar dan sah dan masuk akal? "Sederhananya tanpa perbaikan masalah-masalah utama kehutanan, apapun inisiatif yang dilakukan akan potensial menimbulkan konflik baru. Mereka (para pembuat kebijakan) itu terlalu menyederhanakan masalah".
Kondisi "genting" pengelolaan sumber daya alam seperti ini yang juga disoroti Andiko betapa kebijakan yang menjadi panduan pengelolaan sumber daya alam perlu dievaluasi. Evaluasi menjadi sebuah keniscayaan jika melihat kondisi sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia saat ini. (Dua kalimat ttg evaluasi ini tak sama tapi serupa). Dalam periode evaluasi kebijakan dan untuk tetap memberi kepastian hukum bagi pengelolaan sumber daya alam, maka perlu dibuat peraturan antara sebagai sebuah fasilitas dalam masa transisi tersebut. PERPU (Peraturan Pengganti Undang-Undang) merupakan salah satu mekanisme yang bisa ditempuh dalam masa transisi tersebut. Hanya saja PERPU sering tidak dianggap serius, kondisi "genting" sering diterjemahkan secara sepihak oleh pemerintah, misalkan dalam kasus Perpu No. 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Kehutanan yang memberikan landasan untuk terbukanya kawasan lindung bagi penambangan. Dalam kasus rentetan bencana alam (akibat kesalahan pengelolaan) dan kerusakan yang ditimbulkan dalam eksploitasi PSDA selama ini tidak dianggap sebagai sebuah keadaan darurat. Kebijakan antara adalah bukan sesuatu yang luar biasa. Hal itu menjadi biasa jika memang kondisi Negara mengharuskan demikian.
Menurut Andiko, berdasarkan data terakhir kondisi PSDA di Indonesia sudah darurat sekali dengan melihat berbagai degradasi alam, bencana dan konflik yang terjadi. Hanya saja tidak semua komponen bangsa mau tahu dan peduli dengan ini, terutama pemerintah. Kaum intelektual pun tidak banyak bergerak untuk memberikan kesadaran untuk situasi ini.
Saat ini masyarakat yang menjadi korban sendirilah yang harus bergerak dan bersuara, yang artinya kerja-kerja masyarakat sipil seharusnya lebih fokus pada penguatan masyarakat akar rumput (grassroots). Di sisi lain, kerja-kerja kampanye seharusnya juga lebih fokus diarahkan kepada para pembuat kebijakan, ke DPR misalnya. Jika hal tersebut sudah dilakukan dan tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, mungkin ada berbagai hal yang harus diperbaiki seperti bagaimana seharusnya kita mengemas isu, memperhitungkan kelompok sasaran dan dimana hal tersebut dilakukan. Hal lain yang tak kalah penting adalah konsistensi, konsisten memfokuskan pada target, capaian kegiatan yang terukur secara kontinyu. Paling tidak seperti perusahaan swasta memperkenalkan produknya.
Ini juga membawa konsekuensi buat NGO pelaku kampanye, artinya nekat saja tidak cukup, perlu kapasitas yang terus ditingkatkan sehingga dapat berbicara dan berdebat secara elegan dan berbobot. Banyak dari konsep-konsep yang diajukan NGO menjadi pembahasan berbagai pihak, jadi perlu ada peningkatan strategi yang awalnya hanya menjadi watch dog bagi pengambilan kebijakan, sudah saatnya untuk menawarkan konsep-konsep perubahan kebijakan, meskipun tidak semua harus begitu juga. Intinya adalah, ketika kita melakukan advokasi kebijakan, kita harus siap dengan kapasitas dan konsep yang bisa meyakinkan orang.
Dalam upaya menjawab kondisi dan situasi aktual tersebut HuMA bekerjasama dengan mitra di lapangan memahami fakta-fakta lapangan, menggali dan merumuskan alternatif solusi. Kalau kemudian hal tersebut berhubungan dengan kebijakan, maka bentuk kebijakan barunya harus berdasarkan kebutuhan masyarakat korban. HuMA mulai mengembangkan kegiatan-kegiatan kampanye dan pengembangan wacana di DPR langsung dengan peserta anggota DPR. Satu lagi, HuMA memaksimalkan diri pada wilayah-wilayah tertentu saja, wilayah/isu lain biarlah kawan-kawan lain yang mengarapnya. Kalau NGO dapat berbagi wilayah begitu, maka semua wilayah akan dapat tertangani, baru kemudian dikembangkan mekanisme konsolidasi diantara NGO. Kegiatan yang saat ini dilakukan HuMA antara lain: mendokumentasikan praktek-praktek peradilan adat yang masih berjalan di berbagai daerah termasuk mendokumentasikan PERDA (peraturan daerah) yang menyangkut perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat, hukum adat dan wilayah adat; melakukan kajian dan studi terhadap pelaksanaan (dan praktek penyimpangan) UU no.41 tentang Kehutanan di beberapa daerah sebagai bahan penyusunan argumentasi revisi UU tersebut; melakukan pendampingan untuk usaha-usaha masyarakat dalam merumuskan Peraturan Desa (PerDes) yang berhubungan dengan PSDA dan lain-lain.
Meskipun Andiko melihat prospek PSDA akan semakin buruk termasuk meningkatnya konflik, tapi disisi lain masih ada sedikit harapan dengan mengandalkan orang-orang yang berupaya untuk memperbaiki keadaan (termasuk di dalamnya orang-orang yang duduk dalam pemerintahan dan DPR baik pusat maupun daerah). Fakta-fakta kehancuran alam dan lingkungan serta peran media akan menjadi sangat penting bagi penyadaran dan pendidikan publik Seiring dengan hal tersebut upaya penyelamatan sekecil apapun, yang dilakukan di berbagai tempat dan advokasi kebijakan ke jantung pembuat kebijakan juga akan memberi dampak luas jika dilakukan secara terus menerus
Terakhir, kepada DtE, Andiko menyarankan untuk memperluas jaringan dan jangkauan pembaca surat edarannya (newsletter), termasuk mengemasnya dalam berbagai format yang sesuai dengan target pembacanya termasuk kepada para Anggota DPR di Indonesia.