Switch to English
Down to Earth Nr. 67 November 2005

Kebijakan yang mengabaikan sumber energi terbaharui

Kelompok LSM di Indonesia prihatin bahwa kenaikan harga bahan bakar telah menjadi penyebab meningkatnya angka kemiskinan. Dalam waktu yang sama, rencana penggunaan energi jangka panjang gagal mendorong penggunaan energi alternatif dari yang telah ada.

Dunia politik di Indonesia sepanjang bulan puasa lalu telah diwarnai gonjang-ganjing seputar kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM dianggap sebagai bukti pengingkaran janji presiden SBY yang pernah menyatakan bahwa kenaikan harga BBM pada bulan Maret 2005 adalah kenaikan yang terakhir. Kebijakan tersebut telah mengundang protes dan gelombang amarah selama berminggu-minggu. Beban hidup rakyat pun semakin bertambah. Harga bahan bakar, termasuk minyak tanah dan bensin premium naik sampai 126%. Kenaikan ini telah dianggap sebagai penyebab lonjakan inflasi sebesar 17% pada bulan Oktober lalu. Ini adalah angka inflasi tertinggi selama enam tahun terakhir di Indonesia. Perkiraan konservatif menunjukkan indikasi bahwa jumlah orang miskin di Indonesia (yang saat ini sebanyak 60 juta orang) akan bertambah 16% dari jumlah yang sudah ada. [1]

Sayangnya, berhadapan dengan kemarahan publik, pemerintah tidak segera melakukan introspeksi diri atau setidaknya melakukan pengkajian kembali rencana jangka panjang mengenai masalah energi. Meskipun terjadi kenaikan harga BBM dan kemacetan kronis telah menjadi fenomena umum di kota-kota besar, pemerintah Indonesia masih mengabaikan perlunya inisiatif meningkatkan layanan transportasi massal. Sebaliknya, Djoko Kimanto, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah telah mengeluarkan rencana—yang disetujui oleh wakil presiden—untuk membangun enam jalan tol di Jakarta yang rencananya akan menghabiskan biaya sebesar US$2,25 milyar. Langkah ini sudah barang tentu menambah beban kemacetan dan ketergantungan kendaraan pribadi terhadap BBM. Pada saat yang sama, terdapat kebijakan pemerintah propinsi yang lemah. Contohnya adalah kebijakan Pemda DKI Jakarta untuk memperluas rute selatan-utara melalui 'busway'. Sementara itu, proyek pengembangan monorel yang relatif lebih murah masih dalam perdebatan. Hal ini dikarenakan harga tiket monorel kemungkinan besar akan mahal, dan juga karena motor dan sepeda dilarang masuk jalan tol. Langkah ini nampaknya tidak banyak membantu mayoritas penduduk dan kaum buruh.

Di kalangan pengamat asing, pandangan kritis LSM-LSM lingkungan di Indonesia, seperti JATAM dan WALHI, mengenai kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM mungkin membingungkan mereka. Khususnya bagi kelompok lingkungan yang menyerukan agar harga BBM harus dapat mencerminkan biaya lingkungan yang telah dikeluarkan. Namun, kalangan LSM di Indonesia memiliki alasan tersendiri. Kebijakan kenaikan harga BBM sama sekali tidak didasarkan pada sebuah kepedulian terhadap lingkungan, melainkan lebih melayani kepentingan bisnis dan bagian dari langkah pembayaran ulang hutang-hutang yang tidak adil. Dalam perdebatan mengenai energi nasional di Indonesia sekarang, kalangan masyarakat sipil berpendapat bahwa presiden harus memenuhi tanggung jawab untuk menjamin suplai energi yang nyaman, murah dan bersih.


Liberalisasi

Undang-Undang Gas dan Minyak (No. 22/2001) adalah sebuah undang-undang yang memberikan kerangka hukum berjalannya proses liberalisasi industri minyak dan gas di Indonesia. Ia merupakan sarana bagi perusahaan-perusahaan minyak multinasional menyingkirkan monopoli negara dalam produksi dan distribusi BBM yang dilakukan Pertamina. Alasan pemerintah menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM disebabkan oleh meningkatnya komponen biaya yang tidak dapat lagi ditanggung oleh subsidi. Dalam kenyataan, kenaikan harga itu hanya mempermudah jalan bagi pengecer BBM swasta seperti Shell beroperasi di Indonesia. Saat ini mereka telah membuka jaringan distribusi di beberapa tempat di pinggiran Jakarta. Bagi perusahaan asing tersebut, subsidi BBM jelas hanya mempersulit persaingan mereka dengan pengecer lokal.

Memasuki tahun 2005, terjadi lonjakan harga minyak di pasaran dunia yang bergerak dari US$25 per barrel menjadi US$65. Dalam waktu yang sama, pemerintah Indonesia melepaskan kontrol mereka terhadap isu-isu sensitif melalui liberalisasi industri minyak dan gas di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa kenaikan harga barang-barang pokok seperti beras dan minyak adalah isu-isu yang dengan mudah menyulut amarah publik di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah telah melakukan sebuah langkah yang cukup berani dalam hal ini. Harapan pemerintah dengan langkah liberalisasi itu adalah untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri dengan mendorong lebih banyak investasi dalam bidang eksplorasi, produksi, penyulingan dan distribusi BBM.

Tetapi, dengan memperhatikan tingkat kemiskinan di Indonesia dan daya saing yang rendah industri-industri lokal dibanding rekan-rekan mereka dari negara maju, termasuk juga perkembangan industri di Cina, terdapat petunjuk kuat bahwa produksi minyak Indonesia akan lebih banyak diekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Gambaran paling jelas adalah meskipun Indonesia masih memiliki cadangan gas sebesar 500 juta kubik, lebih dari 70% produksi minyak Indonesia telah digadaikan kepada para pembeli dari luar negeri. Kecenderungan ini nampaknya semakin tegas seperti ditunjukkan melalui proyek Tangguh, yang dikelola oleh BP di Papua Barat, yang bersaing menjual produksi mereka kepada para pembeli dari Asia dan Amerika Serikat.


Kritik terhadap cetak biru energi

Sebelum terjadi drama kenaikan harga BBM, para perencana pemerintahan telah menyelesaikan sebuah draft 'Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025'. Rancangan ini akan segera dibahas dalam sesi sidang DPR terakhir. Instrumen yang sama juga telah dbuat, yaitu Kebijakan Energi Nasional 2003-2020. Sayangnya, masing-masing dokumen tersebut disimpan oleh departmen pertambangan, minyak dan gas dengan mengabaikan transparansi dan partisipasi publik.

Segera setelah cetak biru tersebut diumumkan, WALHI mengambil inisiatif dan mengundang BPPT untuk mengadakan sebuah seminar nasional mengenai energi Baru dan Terbaharui di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 2005. Langkah ini dilanjutkan dengan serangkaian pertemuan dengan para ahli untuk menyusun sebuah kertas posisi yang menuntut perubahan mendasar Cetak biru yang ada.

Dalam acara seminar pada bulan Oktober itu, terungkap bahwa cetak biru tersebut bertujuan untuk mencapai sedikitnya 2,4% pasokan dari sumber-sumber energi terbaharui. Angka itu menunjukkan bahwa Indonesia akan menjadi semakin dipermainkan oleh gejolak harga minyak bumi negara-negara maju yang telah lebih dahulu diliberalisasikan. Angka 2,4% sumber energi terbaharui itu masih jauh dari target internasional bersama yang mencapai sedikitnya 20%. Oleh karena itu, para ahli yang terlibat dalam seminar di Jakarta mendesak agar cetak-biru itu disusun ulang dengan tujuan penetapan target pencapaian sebesar 20% pada tahun 2025.

Target itu bagaimanapun masih dapat dicapai dengan mudah mengingat Indonesia cukup kaya dengan sumber-sumber energi terbaharui. Pasokan potensial seperti energi panas bumi, matahari, angin, tenaga air mikro dan energi biomassa diperkirakan akan menghasilkan kapasitas listrik sebesar 160 gigawatt—tujuh kali lebih besar dari kapasitas listrik Indonesia saat ini. Sebagai contoh, pada saat ini terdapat 4.200 megawatt listrik tenaga air yang telah dihasilkan, yang masih dibawah nilai 6% dari perkiraan potensial sebesar 76.000 megawatt di Indonesia. Indonesia sendiri kaya dengan potensi panas bumi: rencana saat ini telah merancang agenda pembangunan instalasi listrik dengan kapasitas 9500 megawatt pada tahun 2025, dibandingkan dengan 800 megawatt yang telah digunakan saat ini.

Seminar WALHI/BPPT mengidentifikasikan kendala-kendala dalam mencapai target 20% sumber energi terbaharui, dan menekankan pentingnya perencanaan pemerintah dan dukungan peraturan bagi sumber energi tersebut. Usulan-usulan yang lahir adalah sebagai berikut:

Ringkasnya, selain mengabaikan implikasi lingkungan penggunaan sumber energi yang berbeda tersebut, cetak-biru itu juga mengabaikan kenyataan bahwa sumber energi yang berbeda hanya cocok dan tersedia di wilayah-wilayah tertentu. Tidak semua sumber terletak dekat wilayah yang membutuhkannya. Sebagai contoh, 25% potensi tenaga hidroelektris terdapat di Papua Barat yang memiliki tingkat kebutuhan energi yang lebih rendah. Sama halnya dengan pembangkit tenaga listrik batu bara akan lebih efektif apabila terletak di lokasi yang tidak jauh dengan tambang batu bara. Gambaran seperti ini cukup jelas di Indonesia dibanding tempat lainnya karena batubara dengan kualitas paling tinggi dijual kepada pembeli dari luar negeri. Sementara batubara dengan kualitas rendah tetap menjadi konsumsi publik di dalam negeri yang banyak mengandung debu dan uap. Hal ini berarti bahwa sejumlah dana yang cukup signifikan akan terbuang percuma dalam membawa batubara dari Kalimantan yang membutuhkan energi lebih rendah ke Jawa. [4] Dalam kenyataan, usulan penting untuk meningkatkan cetak biru tersebut adalah dengan membuat perencanaan yang lebih rinci dan terdesentralisasi di tingkat lokal dan propinsi dibandingkan dibuat dalam skala pemenuhan target nasional.


Energi Geothermal - Kaitannya dengan masalah lingkungan

Upaya memanfaatkan sumber-sumber energi terbaharui tak terhindarkan akan mendorong lahirnya masalah lingkungan, seperti dalam kasus pembangunan waduk-waduk hidroelektris skala besar. Sebagian besar organisasi-organisasi lingkungan hidup tidak mendukung langkah ini mengingat dampak sosial dan lingkungan yang buruk pengelolaan energi tersebut. Meskipun demikian, karena para ahli cukup optimis mengenai potensi sumber daya energi geothermal Indonesia, kita patut memperhatikan prasyarat-prasyarat apa yang terlebih dahulu harus dipenuhi agar penerapannya tetap ramah lingkungan.

Tergantung pada kondisi geologis masing-masing tempat, air yang berasal dari cadangan bawah tanah yang dipanaskan tenaga geothermal memiliki kandungan zat-zat metal berbahaya dan mengeluarkan gas-gas beracun seperti methan, hidrogen sulfide dan amonia. Pada satu sisi uap panas itu memang melahirkan energi. Namun, di sisi lainnya ia juga mengeluarkan zat kimia berbahaya ke udara. Panas yang terkandung dalam limbah air secara ekologis juga memiliki kapasitas merusak jika dialirkan pada air di permukaan tanah. Untuk mencegah kontaminasi air di permukaan tanah, limbah air tersebut harus terlebih dahulu dimasukkan kembali ke dalam tempat penyimpanan awal mereka, sekalian mempertahankan tekanan cadangan panas yang ada. Potensi kontaminasi air permukaan tanah harus dicegah dengan mengembangkan lubang pemboran yang tahan rembesan seperti digunakan dalam industri minyak. Selain itu, endapan dan kerak yang akan terus bertumpuk di pembangkit listrik yang mengandung metal dan sulfur harus diproses terlebih dahulu sebelum digunakan atau dibuang.

Sebagian besar potensi energi geothermal Indonesia bagaimanapun terletak di wilayah-wilayah yang sensitif dari segi lingkungan dan budaya, termasuk di antaranya wilayah hutan lindung di pegunungan. Oleh karena itu luas lahan yang dibutuhkan dalam pembangunan pembangkit tenaga listrik, akses jalan, dan jalur transmisi energi harus diperhatikan dengan baik dan ditekan resikonya. Kegiatan pembangkit tenaga listrik tidak boleh mengganggu pengguna air di hilir. Tema ini telah menjadi perhatian besar di Bali. Walhi Bali telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap pelaksanaan proyek tersebut, yang sejak awal telah menjadi keprihatinan masyarakat yang tinggal di sekitar pusat pembangkit listrik geothermal di Bali. [5] Kawasan yang diusulkan adalah hutan Bedugul yang kaya dengan tanaman asli yang langka. Ke tiga danau, yang terkait dengan Dewi Danu Bratan (dewi pertanian rakyat Bali), memiliki arti yang sangat penting secara ilmiah, ekonomi dan agama. Pengalaman Bedugul menunjukkan bahwa, meskipun pembangkit listrik panas bumi lebih bersih dan sudah barang tentu ramah terhadap lingkungan daripada pembangkit listrik batubara, tetap harus terlebih dahulu mendapat penilaian resiko lingkungan dan sosial, dan mendapat kesepakatan dari komunitas lokal.



Bahaya Briket Batubara

Pada tanggal 1 Oktober 2005, presiden telah mengeluarkan keputusan meningkatkan harga resmi minyak tanah sebesar 185% dari Rp700 per liter menjadi Rp2000, dengan harga eceran mencapai sekitar Rp2.300. Rencana peningkatan harga masih berjalan sampai bulan Januari 2008 yang menempatkan harga minyak tanah sesuai dengan harga pasar internasional. [6] Kenaikan tiba-tiba harga minyak tanah telah menyebabkan kemarahan publik yang luas. Kurang dari seminggu kemudian, Menko Ekonomi Aburizal Bakrie mengungkapkan keputusan pemerintah untuk membelanjakan sebanyak Rp150 milyar dari anggaran nasional untuk membeli 10 juta bata kompor briket batubara. Briket itu sendiri dijual seharga Rp1000 per kilogram. [7]

Ironisnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan telah mendapat tugas untuk mendorong penggunaan briket batubara untuk kebutuhan rumah tangga. Rencana ini akan menimbulkan bahaya kesehatan yang cukup signifikan bagi kaum perempuan yang bekerja di dapur. Badan kesehatan dunia, WHO, telah memperkirakan bahwa penggunaan bahan bakar padat di ruang tertutup akan menyebabkan 1,6 juta kematian prematur setiap tahunnya. Sebagian besar adalah kaum perempuan yang memasak di rumah dan anak-anak mereka. Mereka akan menderita penyakit infeksi pernapasan. Untuk mengatasi ancaman bagi kesehatan publik ini telah diluncurkan Partnership for Clean Indoor Air dalam Pertemuan Dunia mengenai Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002. Inisiatif ini melibatkan PBB dan beberapa pemerintahan negara berkembang seperti Cina dan India. Sayangnya, meskipun turut berperan dalam mempersiapkan persiapan konferensi, Indonesia tidak terlibat dalam kerangka Partnership tersebut.

Studi-studi yang dilakukan di Cina mengungkapkan secara rinci sifat dan penyebab resiko kesehatan bagi perempuan dan anak dalam keluarga yang menggunakan batubara: polycyclic aromatic hydrocarbon yang dihasilkan selama pembakaran arang batubara menjadi penyebab bagi kanker paru-paru dan saluran pernapasan. Selain itu, produk pembakaran hidrokarbon akan meningkatkan tingkat infeksi pernafasan akut dan penyakit paru-paru kronis seperti bronkitis dan emphysema. Selain resiko tersebut, batubara mengandung berbagai tingkat sulfur, merkuri, arsenik, selenium dan flourida. Geological Survey and the Institute of Geochemistry Amerikas Serikat, Guizhou, telah memperkirakan bahwa sedikitnya 3000 orang di Propinsi Guizhou di China Barat Daya telah menderita keracunan arsenik yang kronis, yang diduga akibat mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan kompor batubara.

Batubara yang akan digunakan dalam program briket batubara yang disponsori pemerintah berasal dari PT Batu Bara Bukit Asam dan PT Kaltim Prima Coal. Agenda ini cukup kontroversial mengingat saham Kaltim Prima Coal dimiliki oleh PT Bumi Resources yang mana keluarga Bakri memegang 43% saham. Keluarga Bakri dilaporkan menguasai 40% dari saham industri batubara nasoinal. [8] Konflik kepentingan ini bagaimanapun tidak menghalangi Menteri Aburizal Bakrie untuk mendorong peralihan dari minyak tanah menuju batubara, atau juga pertentangan terbuka antara Bakrie dengan Menteri Keuangan Jusuf Anwar yang melahirkan keputusan memungut pajak sebesar 5% untuk ekpor batubara.

Baik Bukit Asam maupun Kaltim Prima sama-sama tidak memberikan informasi tentang (yang sudah barang tentu beragam) tentang kandungan beracun dalam produk batubara mereka, selain mengatakan bahwa batubara mereka memiliki kandungan sulfur yang rendah. Lembaga penelitian resmi dari BPPT mengakui bahwa masih terdapat persoalan kesehatan dalam penggunaan batubara di ruang tertutup. Mereka merekomendasikan bata batubara tersebut disimpan di luar rumah selama lima belas menit setelah pembakaran, dan apabila digunakan di dalam, harus di dalam ruang dengan ventilasi udara yang memadai. Sebagai tanggapan atas keprihatinan yang muncul, BBPT juga mulai mengeluarkan sertifikasi produksi briket batubara, [9] meskipun langkah tersebut baru menyinggung emisi sulfur dan karbon monoksida. Staf BPPT mengakui bahwa mereka masih belum memperhatikan zat-zat polutan lainnya seperti merkuri, arsenik dan polycyclic aromatic hydrocarbon. [10]


Bahan Bakar Bio dan Minyak Sawit: Kendaraan atau Orang?

Bahan bakar Bio seringkali dinyatakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, khususnya oleh pemerintahan negara utara dalam upaya mereka memenuhi komitmen protokol Kyoto mengenai perubahan iklim. Ini membuka peluang bagi industri minyak kelapa sawit untuk tampil ke depan. Minyak sawit dapat digunakan sebagai pengganti minyak diesel untuk menjalankan mesin dan pusat pembangkit tenaga listrik. Pembangkit tenaga listrik di Belanda sekarang telah menggunakan minyak sawit untuk menghasilkan listrik. Pada bulan Oktober konglomerat agribisnis asal Amerika Serikat, Cargil, telah mengumumkan bahwa mereka akan membangun pabrik bio-diesel senilai US$30 juta di Jerman dengan kapasitas produksi 200.000 ton bahan bakar setiap tahunnya.

Asosiasi Produser Minyak Kelapa Sawit Malaysia sekarang ini gencar mendorong 'kebutuhan' baru tersebut bagi perluasan perkebunan kelapa sawit mereka, termasuk Indonesia, dalam tur loby yang mereka lakukan di Eropa. Pemerintah Malaysia telah memberikan lampu hijau bagi pembangunan bahan bakar bio. Indonesia sekarang ini juga merencanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia di Kalimantan, yang meliputi lahan seluas 1,8 juta hektar. Pada bulan September Menristek telah mengumumkan bahwa tujuh perusahaan telah mendapat lisensi untuk membangun pabrik biodiesel. Beberapa diantaranya memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri. 'Industri ini didukung oleh 5 juta hektare (perkebunan) dan memiliki teknologi pengolahan yang memadai,' ujar Kusmayanto Kadiman. Ia menunjukkan Riau dan Jambi sebagai wilayah yang siap memulai pembangunan produksi biodiesel, seperti juga wilayah perbatasan Kalimantan. Pemerintah lokal nampaknya tengah menanti datangnya pajak dari perusahaan-perusahaan yang akan membuka perkebunan kelapa sawit untuk produksi energi.

Bahan bakar bio dikatakan bersifat netral terhadap karbon, sedangkan arang, limbah pabrik, minyak gula atau serat membuang ke atmosfer karbon yang terkumpul selama masa pertumbuhan tanaman. Meskipun demikian, terdapat masalah serius mengenai dampak terhadap tanah, hutan dan komunitas pedesaan. Didasarkan pada sejarah industri di Indonesia, pengembangan perkebunan kelapa sawit yang tergesa-gesa hanya akan menghasilkan lebih banyak penggundulan hutan, merusak kehidupan lokal, dan menciptakan tanaman monokultur serta meningkatnya kebutuhan zat-zat agro-kimiawi.

Sumber:

  1. Alat Mutilasi Negara: Setahun kebijakan SBY-JK pada sektor Tambang dan Energi (WALHI media release, 20.Oct/05).
  2. Yogo Pratomo, Dirjen LPESDM, berbicara dalam Seminar Nasional tentang Energi Baru dan Terbarukan, Hotel Sofyan Jakarta, 25/Aug/05.
  3. Model yang ada manfaatnya adalah Sumber-sumber Energi Non-Konvesional dari Kementerian India.
  4. Pak Sidik Budoyo dari BPPT berbicara dalam Seminar Nasional tentang Energi Baru dan Terbarukan, Hotel Sofyan Jakarta, 25/Aug/05.
  5. 'Bedugul geothermal project raises controversy', I Wayan Ananta Wijaya, Jakarta Post 11/Aug/05.
  6. 'Harga Minyak Tanah Naik 185 Persen', Kompas, 01/Oct/05.
  7. 'Disiapkan 10 Juta Tungku Briket Batu Bara', Kompas, 07/Oct/05.
  8. 'Sesama Menteri Kok Saling Nyalip!', Wim Asmowiroto, Rakyat Merdeka, 30/Oct/05.
  9. ''Briket Perlu Standar Untuk Menjaga Kesehatan', Media Indonesia, 20/Oct/05.
  10. Wawancara dengan para ahli dari BPPT, 27 Oktober 2005.


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link