Switch to English
Down to Earth Nr. 60 Februari 2004

BRIK - Pendekatan Yang Cacat

Industri kehutanan Indonesia saat ini mulai menyadari bahwa para konsumen mereka di Eropa dan Amerika Utara menginginkan suatu jaminan bahwa produk-produk yang mereka impor tidak menimbulkan kerusakan terhadap hutan-hutan tropis. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah mempercayakan kepada Badan Revitalisasi Industri Kehutanan untuk menjamin agar industri pengolahan kayu di Indonesia dapat memenuhi tuntutan internasional dalam mengatasi 'penebangan ilegal.'

Menteri Kehutanan Prakosa telah menjanjikan bahwa semua produk kayu lapis yang dikeluarkan oleh BRIK-adalah produk yang telah mendapatkan ijin penebangan legal. Prakosa mengatakan bahwa “Saya akan mengirim surat pernyataan kepada setiap pembeli di Inggris yang menjamin bahwa semua produk plywood itu adalah legal.” Dalam kaitan itu, Prakosa telah mengirimkan misi tingkat tinggi ke London pada bulan Februari lalu-termasuk ketua BRIK, Soewarni, kepala direktorat produksi hutan Suhariyanto dan wakil dari enam perusahaan kayu dan kayu lapis-untuk meyakinkan pemerintah Inggris, importir kayu dan ORNOP-ORNOP bahwa sistem yang mereka terapkan berjalan dengan efektif. Ini adalah jawaban terhadap keinginan federasi perdagangan kayu di Eropa yang menuntut pembuktian bahwa kayu dan produk kayu yang mereka impor berasal dari sumber-sumber legal, selain juga tuntutan dari kelompok-kelompok Greenpeace dan Rainforest Action Network yang telah menjadikan perusahaan-perusahaan importir kayu di Inggris dan Amerika Serikat sebagai target kampanye mereka (Lihat DTE 58 & 59).

Nampaknya pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk melakukan restrukturisasi terhadap industri kehutanan mereka sebagai langkah mengurangi tingkat penggundulan hutan-yang merupakan salah satu tertinggi di dunia dengan tingkat penggundulan setiap tahunnya mencapai empat juta hektar. Upaya menarik mundur industri tersebut memang bukan langkah yang mudah. Prakosa telah menetapkan batasan pada tahun 2004 tentang pasokan kayu dari hutan alam yang mencapai 5,7 juta meter kubik. Meskipun memang kapasitas produksi industri tersebut diperkirakan mencapai 100 juta kubik pada tahun 1999, namun beberapa perusahaan dibidang ini telah mengalami kebangkrutan dalam beberapa tahun belakangan. Perusahaan-perusahaan itu dihimbau untuk mengimpor kayu atau menggunakan hasil produk 'fastwood' yang dihasilkan hutan tanaman industri. Jelas ini bukanlah langkah yang realistis bagi sektor penebangan kayu dan kayu lapis mengingat mereka hanya dapat meraih keuntungan tinggi dengan adanya pasokan tetap kayu gelondongan, yang langsung ditebang dari cadangan hutan tropis yang semakin berkurang di Indonesia.

Kelompok-kelompok kuat dalam industri kehutanan di Indonesia telah memperingatkan bahwa upaya untuk mengurangi produksi tersebut akan berakibat buruk bagi perekonomian Indonesia, seperti meningkatnya pengangguran dan bahkan mempertinggi tingkat 'penebangan ilegal.' Tidak dapat dipungkiri, bahwa sejak tahun 1970an, industri kayu gelondongan, kayu gergajian, kayu lapis, furnitur/perabot dan bubur kertas (pulp) adalah kelompok yang mendapat keuntungan besar dari hasil ekspor mereka. Sumbangan yang mereka berikan terhadap pendapatan devisa asing Indonesia pada tahun 2002 mencapai sekitar 11,5% dari total pendapatan. Ada tanda-tanda bahwa tingkat ekspor tersebut akan mengalami penurunan. Asosiasi Pengusaha Kayu Indonesia (APKINDO) telah melaporkan penurunan ekspor kayu lapis pada tahun 2003 dari 6,5 juta meter kubik pada tahun sebelumnya menjadi 5,5 juta meter kubik. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan telah memberitahukan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bahwa mereka akan melakukan PHK sebanyak 50.000 buruh di Riau dan Kalimantan akibat terjadinya penurunan dalam kegiatan usaha mereka (JP 27/Desember/2003). Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) telah menyatakan bahwa kuota penebangan kayu telah mendorong meningkatnya penebangan ilegal karena perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan mendapatkan pasokan bahan mentah untuk produk mereka. Sementara itu, pemerintah Indonesia sendiri telah menjanjikan kepada industri tersebut bahwa saat ini langkah yang mereka lakukan adalah 'soft-landing'.

BRIK dibentuk secara bersama antara Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta Departemen Kehutanan pada bulan Desember 2002. Badan itu diuraikan sebagai organisasi nirlaba yang dijalankan oleh wakil-wakil pengusaha, bukan pejabat pemerintah. Tujuan yang umum mencakup “upaya realisasi manajemen hutan yang berkelanjutan, dukungan bagi revitalisasi industri hutan dan peningkatan pengembangan dan penggunaan teknologi dalam sektor kehutanan.” Aktivitas utamanya sampai sekarang adalah menerima permohonan ijin untuk mengekspor kayu olahan dari sekitar 4000 industri perkayuan Indonesia. Soewarni juga menyerukan penutupan perusahaan-perusahaan baru yang lapar kayu olahan untuk melindungi industri tersebut.

Sejak bulan Oktober 2003, eksportir kayu Indonesia harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan lisensi baru: yaitu ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan). Untuk mendapatkan sertifikat ETPIK, sebuah perusahaan harus bergabung dengan BRIK. Tak ada biaya keanggotaan, para pemilik pabrik hanya diharuskan memberikan tiga dokumen: yaitu dokumen mengenai jumlah kayu yang mereka gunakan sejak tanggal 1 Januari 2003 sampai tanggal permohonan pendaftaran (Laporan Mutasi Kayu); salinan dokumen transportasi yang menyertai pengangkutan kayu yang diterima (SKSHH); dan jumlah total kayu lapis, kayu gergajian atau fabrikan moulding pada akhir tahun. Data ini akan dimasukkan kedalam sistem komputer BRIK dan BRIK dapat mengolah langsung jumlah kayu yang digunakan setiap pabrik dan membandingkannya dengan produk yang mereka hasilkan. Lebih lanjut, perusahaan yang telah mendapat lisensi harus memberitahukan BRIK setiap kali mereka akan mengekspor produk kayu.

Dalam teori, sistem ini memungkinkan BRIK memeriksa bahwa tidak akan ada perusahaan yang mengolah kayu melebihi jumlah yang mereka dapatkan dari bahan mentah yang mereka dapatkan. BRIK juga dapat memeriksa bahwa bahan mentah yang diterima setiap anggota dilengkapi oleh dokumen-dokumen resmi. Selain itu, BRIK dapat menentukan konsumsi total kayu dari setiap anggotanya dan membandingkan angka-angka tersebut dengan panen tahunan yang diijinkan. Akhirnya, BRIK juga dapat memeriksa apa yang terjadi di setiap pabrik pengolahan kayu dengan melakukan pemeriksaan langsung di lapangan.

Dengan cara ini, BRIK mengklaim bahwa mereka dapat mengaudit jumlah kayu yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan di Indonesia yang menjual produknya ke luar negeri. Daftar ETPIK dapat dicabut jika suatu perusahaan tidak melakukan ekspor selama setahun, atau jika mereka tidak mampu melaporkan setiap perubahan dalam akses terhadap kayu atau mereka terbukti mengekspor “kayu ilegal". Perusahaan-perusahaan yang dicurigai mengekspor jumlah produk kayu melebihi batasan yang dijinkan dalam lisensi mereka dapat dicabut ijin usahanya oleh Departemen Kehutanan.

Pada akhir 2002 dan pertengahan tahun 2003, para penyelidik dari Departemen Kehutanan menangkap basah delapan pabrik kayu lapis besar yang menggunakan kayu ilegal.Mereka sebagian besar adalah anggota BRIK dan mengekspor produk mereka dengan lisensi EPTIK. PT Kayu Lapis Indonesia, yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah, dicurigai telah menggunakan kayu ilegal dari Kalimantan Barat pada akhir tahun 2003. Namun hal itu tidak menutup peluang wakil dari PT Kayu Lapis untuk bergabung dalam kegiatan Lobi pada bulan Februari di Inggris. Ketua BRIK, Soewarni, mengatakan bahwa ia akan menghentikan lisensi ekspor perusahaan itu setelah terdapat fakta yang telah diuji. Namun sampai laporan DTE dicetak, tidak ada langkah yang muncul berkenaan dengan masalah itu.

Sejak awal pembentukannya, BRIK telah mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Monopoly Watch menguraikannya sebagai “kartel produser kayu yang didominasi oleh mantan pengusaha yang berasal dari asosiasi industri kayu lapis.” Para politisi nasional dan lokal mengeluhkan bahwa hal itu hanyalah bentuk birokrasi baru yang hanya menghambat kegiatan ekspor. Para pejabat bea cukai melaporkan tentang sejumlah besar kayu lapis dan produk furnitur/perabot yang menunggu ijin dari BRIK. Lainnya mengatakan bahwa BRIK hanya melayani kepentingan perusahan kayu besar dan pada saat yang sama memberikan beban besar bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.

Meskipun demikian, industri perkayuan Indonesia memandang bahwa BRIK adalah lebih dari cukup untuk memuaskan tuntuan internasional untuk memberikan kepastian legal bagi para eksportir tentang produk kayu mereka. Departemen Kehutanan juga merupakan pembela utama dari BRIK. Bagaimanapun, importir kayu internasional-seperti Timber Trade Federation yang berbasis di Inggris-masih belum merasa yakin dan menginginkan pemeriksaan yang independen bagi pengusaha kayu ekport untuk melacak kayu-kayu mulai dari tegakan pohon sampai masuk ke kilang penggergajian. (BRIK tidak mengeluarkan informasi aktual tentang sumber kayu yang digunakan, sebagai contoh, seperti kayu lapis meskipun terdapat dalam sistem komputer mereka). Pemerintah Indonesia merasa tersinggung bahwa para pembeli di Eropa meragukan efektivitas BRIK dan berbalik menjadi gusar dengan menyatakan bahwa mereka hanya ingin “melakukan studi” terhadap pabrik-pabrik di Indonesia, sementara pabrik lainnya di Singapura, Malaysia dan Cina tetap berjalan tanpa hukuman meskipun mereka juga menggunakan kayu selundupan dari Indonesia.

Kelemahan dalam sistem

Tidak ragu lagi, BRIK adalah langkah maju dalam pemeriksaan dan pengawasan kayu yang digunakan oleh eksportir Indonesia. Pengumpulan data dan analisanya lebih dapat dipercaya dan lebih cepat dibandingkan sistem yang dimiliki Departemen Kehutanan sendiri, berkat kerja keras para staf yang memasukkan data. Namun, BRIK semata bukanlah jawaban bagi masalah penggundulan hutan di Indonesia. Hanya 3.893 perusaahan yang mendapat lisensi dari BRIK (198 pabrik kayu lapis, 1640 pabrik pemotongan kayu, dan 2205 produser furnitur) padahal mungkin masih ada ribuan perusahaan lainnya di Indonesia. BRIK menyatakan bahwa seluruh produser utama ekspor kayu adalah anggota mereka, namun Indonesia juga memiliki kebutuhan besar bagi kayu dalam negeri. BRIK hanya memiliki staf untuk memeriksa jumlah pabrik kayu lapis besar sekali dalam setahun. Lebih lanjut, pabrik kertas dan pulp-yang sejak lama dicurigai sebagai penyumbang terhadap 'penebangan liar'-belum diminta memiliki ijin ETPIK untuk melakukan ekspor. Bahkan pemegang EPTIK sendiri masih dapat secara diam-diam menggunakan sampai sepertiga lebih banyak dari jumlah yang mereka laporkan secara resmi karena tingginya angka pemborosan dalam perhitungan produksi BRIK.

Korupsi yang dikaitkan dengan pengeluaran ijin transport kayu gelondongan juga masalah utama dalam sistem itu. Sistem BRIK tergantung sepenuhnya terhadap dokumen SKSHH sebagai bukti legalitas kayu yang mereka gunakan. Ini adalah mata rantai terlemah dari jaringan verifikasi. SKSHH sepenuhnya adalah tanggungjawab dari Departemen Kehutanan, bukan BRIK. Sistem yang mereka keluarkan terpusat, dan kemudian dikirimkan ke propinsi atau kantor kehutanan di kabupaten. Para pejabat lokal tidak dapat atau tidak mau untuk memberikan stempel perdagangan ilegal ini sesuai dengan dokumen SKSHH. Dan, sejak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, para pejabat kehutanan di Jakarta tidak memiliki wewenang untuk mengawasi mereka. Jika sebuah perusahaan dengan surat SKSHH yang lengkap dan kuota yang sesuai meminta permohonan BRIK untuk pengapalan produk mereka untuk ekspor, maka BRIK harus memberikannya. BRIK hanya dapat memberikan dokumen itu kemudian kepada Departemen Kehutanan apabila kemudian ditemukan pemalsuan.

Kayu Legal?

Kelompok-kelompok masyarakat sipil menyatakan bahwa BRIK hanya menyentuh satu gejala dari krisis lenyapnya hutan di Indonesia dibandingkan menyentuh masalah dasar seperti hubungan antara pengusaha kayu dan komunitas di sekitar hutan. Kelemahan mendasar BRIK dan studi pelacakan kayu gelondongan yang dibiayai importir kayu internasional adalah penerimaan mereka terhadap definisi resmi mengenai kayu legal (lihat boks). Ini sama sekali tidak menyinggung masalah pelanggaran HAM, dan isu penggarapan yang dirujuk dalam buku petunjuk adalah perusahaan, bukannya masyarakat di sekitar hutan.

Penggunaan kata tersebut-yang telah disepakati dan diterbitkan-adalah hasil dari studi terhadap dua propinsi (Kalimantan Timur dan Riau) yang digunakan sebagai bahan lokakarya nasional dan menjadi bagian dari Rencana Aksi Indonesia-Inggris untuk menghentikan penebangan ilegal dan perdagangan kayu yang berkait dengannya.

Meskipun proses yang dilakukan menggunakan istilah konsultasi “multi-stakeholder", kegiatan itu sepenuhnya dikontrol secara ketat oleh Departemen Kehutanan. Proses itu juga berjalan sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan tahun 1999 yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat. AMAN, yang diundang berpartisipasi pada saat terakhir, menolak definisi legalitas itu dan melanjutkan tuntutan pengakuan hak ulayat terhadap tanah-tanah kehutanan, seperti yang terdapat dalam TAP MPR IX, 2001.

WALHI juga menyatakan bahwa pengujian terhadap istilah “legalitas" kayu semata bukanlah jaminan apakah kayu-kayu itu dihasilkan melalui cara “berkelanjutan”. WALHI menyerukan berulang-ulang untuk dilakukannya moratorium terhadap seluruh kegiatan industri penebangan di Indonesia.

"Kayu adalah legal ketika validitas asal-usulnya, ijin penebangan, sistem penebangan dan prosedur, administrasi dan dokumentasi transport, pengolahan dan perdagangan atau pengalihan diuji telah memenuhi semua tuntutan legal."

(draft working definition, Feb 2004)


Inisiatif Internasional

Indonesia telah menandatangani kesepakatan dengan Cina (Desember 2002) dan Jepang (2003) tentang masalah perdagangan kayu-kayu ilegal. Ini merupakan tindak lanjut dari MoU yang telah ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan Inggris pada bulan April 2002. Inisiatif itu berasal dari Pertemuan Birmingham pada tahun 1998 dimana negara-negara G8 bersepakat mendukung program aksi hutan, termasuk komitmen mereka untuk 'menghapuskan penebangan ilegal.” Pada bulan September 2001, sepuluh negara-negara Asia telah menandatangani Deklarasi Bali yang menegaskan bahwa negara-negara produsen dan konsumen kayu akan melakukan langkah tegas melawan penebangan ilegal dan perdagangan kayu berhubungan dengan kegiatan tersebut. Sebuah gugus tugas dan badan penasehat dalam Forest Law and Governance di wilayah Asia Timur telah dibentuk pada bulan April 2002 untuk mendorong kemajuan langkah tersebut serta menjamin proses yang partisipatoris. Badan ini mengadakan pertemuan untuk pertama kalinya di Jakarta pada bulan Januari 2003, namun pertemuan lanjutan pada tahun 2003 telah ditunda yang menimbulkan keprihatinan bahwa penundaan itu akan menyebabkan mereka kehilangan momentum dalam pelaksanaan tugasnya.

The Asia Forest Partnership (Kemitraan Hutan Asia)-yang dibentuk sebagai forum regional untuk memajukan manajemen hutan berkelanjutan di Asia-sejauh ini telah menghasilkan beberapa hasil kongkrit. Dalam pertemuan AFP ketiga yang berlangsung di Jepang pada bulan Desember 2003, terdapat langkah pertukaran gagasan tentang bagaimana memperkuat dan mengembangkan kemitraan dan bersepakat untuk menetapkan agenda dalam waktu dekat untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan.

(Sumber: Jakarta Post 7/Jan/04, 4/Sept/03, 27/Dec/03; Bisnis Indonesia 22/May/03, 25/Sep/03; Suara Pembaruan 11/Apr/03; Kompas 22/Apr/03; Media Indonesia 19/Mar/03)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link