Switch to English
Down to Earth Nr. 59 November 2003

Protes terhadap bencana fatal di tambang Freeport/Rio Tinto Papua Barat

Longsor besar yang melanda tambang emas dan tembaga Freeport/Rio Tinto di Grasberg, yang mengakibatkan tewasnya delapan orang dan melukai lima lainnya telah membangkitkan gelombang kemarahan dan protes.

Pada tanggal 9 Oktober 2003, terjadi kecelakaan fatal di wilayah pertambangan Freeport/Rio Tinto. Bagian dinding selatan lubang galian tambang perusahaan itu runtuh dan sekitar 2,3 ton batuan dan lumpur menggelosor menerjang para pekerja tambang dan mesin-mesin berat. Menurut Freeport MacMoran, operator pertambangan asal Amerika Serikat itu, terdapat dua pekerja yang tewas, lima luka-luka dan enam lainnya masih belum ditemukan. Kemungkinan besar mereka juga telah tewas.

Sehari setelah bencana tersebut, Mentri Energi dan Pertambangan, Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa aktivitas pertambangan akan dihentikan selama dua minggu sementara tim yang dibentuk pemerintah melakukan penyelidikan tentang sebab-musabab kecelakaan tersebut. Meskipun demikian, kegiatan pertambangan tidak dihentikan seluruhnya, karena lubang-lubang galian yang tidak terpengaruh oleh bencana longsor itu tetap menjalankan aktivitas mereka sementara pencarian terhadap tubuh enam korban lainnya terus dilakukan. Walau bagaimanapun, tambang-tambang bawah tanah, fasilitas-fasilitas penambangan dan dan sistem penghantaran material perusahaan itu tidak terpengaruh oleh bencana yang terjadi.

Freeport sendiri hanya memberikan sedikit informasi tentang bencana longsor yang terjadi dengan menjelaskannya sebagai “kemerosotan material” di sebagian tambang Grasberg.

Peringatan dini

Menurut informasi yang dimuat Sydney Morning Herald, Freeport sesungguhnya telah mengetahui dua hari sebelumnya tentang peringatan adanya bencana longsor. Perusahaan itu telah memindahkan beberapa perlengkapan mereka dari wilayah kejadian, namun membiarkan para pekerja memasuki wilayah berbahaya dengan anggapan bahwa wilayah longsor terbatas di permukaan.

Dalam laporan lainnya, pejabat dari departemen pertambangan, Suryatono, yang juga memimpin penyelidikan bencana tersebut, mengatakan bahwa para pekerja telah memberitahukan pimpinan operasi penambangan Freeport tentang kemungkinan terjadinya longsor. Tetapi pimpinan itu telah membuat suatu “keputusan yang keliru”. Dalam pernyataan sebelumnya, para pejabat pemerintah telah mengatakan bahwa keruntuhan lubang galian tambang lebih disebabkan oleh “bencana alam.”

Freeport MacMOran sendiri sesungguhnya lebih perduli tentang pengaruh longsor tahun ini terhadap target produksi tembaga dan emas mereka, dan terus meyakinkan para investor bahwa kegiatan penambangan terus berjalan dan longsor itu hanya berpengaruh sedikit saja. Perusahaan itu belum memberikan jawaban tentang mengapa dinding galian bisa runtuh, tapi mereka menolak kaitannya dengan tingkat produksi yang terlalu berlebihan.

Tidak dapat disangkal, Grasberg adalah produser utama global: tambang itu memiliki cadangan emas terbesar di dunia, dan juga satu diantara tiga produser tembaga terbesar di dunia. Lubang galian itu sendiri awalnya adalah sebuah puncak gunung yang menjadi penyangga batuan Papua Barat. Sekarang ini, ia telah dieksploitasi dengan tingkat penggalian 200,000 ton setiap harinya. Setelah emas dan tembaga diambil, maka sampah buangan ditimbun di sungai-sungai setempat, untuk kemudian dialirkan menuju 'tempat pembuangan” di dataran rendah di antara lembah-lembah pegunungan dan laut Arafura.

Juga perlu diingat bahwa tingkat produksi seperti itu di wilayah yang secara geologis tidak stabil adalah beresiko tinggi. Selama enam tahun terakhir, telah terdapat sedikitnya empat bencana besar-yang mana tiga diantaranya telah menelan korban (lihat box di bawah).

Gelombang Protes di Jakarta & London

Pada tanggal 28 Oktober 2003, ribuan pemuda Papua Barat dari Aliansi Mahasiswa Papua Barat telah melakukan protes di depan kantor Freeport di wilayah Kuningan, Jakarta.

Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh asosiasi mahasiswa Papua Barat dan juga organisasi Demmak, menuntut agar Freeport membentuk lembaga independen untuk menyelidiki biaya-biaya lingkungan, spiritual, budaya, sosio-ekonomi dan sosio-politik dari seluruh kegiatan yang dilakukan Freeport di Papua Barat. Para demonstran juga menuntut penarikan segera pasukan militer dari wilayah penambangan dan mengakhiri sumbangan keuangan Freeport bagi pihak militer.

Sebelumnya juga, pada tanggal 22 Oktober 2003 bertepatan dengan kedatangan Presiden George Bush ke Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat Papua Barat dan Indonesia mengadakan konferensi pers di Jakarta. Dalam kunjungan Bush itu, terdapat kemungkinan bahwa Bush akan membahas tentang proses penyelidikan tewasnya dua pegawai Amerika Serikat yang bekerja untuk Freeport. Sedangkan kelompok-kelompok masyarakat menginginkan penyelidikan yang lebih mendalam terhadap apa yang mereka sebut sebagai 'kejahatan sesungguhnya' di pertambangan Papua Barat dan juga terhadap nasib ribuan korban.

Protes di Jakarta mendapat dukungan dari para aktivis di London yang mengepung kantor Rio Tinto di London pusat. Pada hari berikutnya, Sabtu tanggal 25 Oktober, jendela-jendela di kantor Rio Tinto dan BP dipecahkan. (BP adalah perusahaan multinasional besar yang hadir di Papua Barat melalui kegiatan proyek gas Tangguh).

WALHI, ORNOP lingkungan hidup Indonesia, menuntut agar pemerintah menghentikan aktivitas-aktivitas perusahaan di wilayah pertambangan. Menurut Direktur WALHI, Longgena Ginting, “Peristiwa itu menjadi bukti bahwa Freeport tidak memiliki kompetensi untuk mengurus produksi pertambangan skala tinggi. Pemerintah harus mengeluarkan aturan untuk mengurangi kapasitas produksi Freeport.” WALHI juga mengatakan bahwa Freeport sesungguhnya menyadari resiko dari operasi mereka di wilayah curah hujan tinggi dan rawan gempa, tapi hal itu tidak menghentikan langkah perusahaan untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka “demi nafsu mengejar keuntungan.” WALHI meminta agar DPR menekan pemerintah untuk melakukan kajian ulang terhadap semua kontrak penambangan dan memperbaiki sistem pemberian lisensi “yang sampai sekarang telah memberikan hak mutlak kepada perusahaan-perusahaan pertambangan atas kerugian masyarakat.”

JATAM, Jaringan Advokasi Tambang, sedang menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang keputusannya mengijinkan penambangan di hutan-hutan lindung, yang menyebabkan struktur tanah bebatuan yang tidak stabil itu memiliki resiko longsor yang tinggi pada musim hujan.

Longsor yang fatal, banjir dan polusi
Freeport mengklaim bahwa mereka memiliki riwayat keamanan dan kesehatan yang baik di wilayah pertambangan. Tetapi bencana pada tanggal 9 Oktober memberikan gambaran sebaliknya seperti juga kasus-kasus kecelakaan lainnya:
  • Pada bulan Juni 1998, suratkabar Indonesia melaporkan bahwa sekitar 20 kaki (sekitar 6 meter) gelombang air limbah dikeluarkan dari Danau Wanagon, membanjiri desa Waa.

  • Pada tahun 1999 terjadi limpahan limbah, tapi tidak ada kecelakaan yang dilaporkan

  • Pada bulan Juli 1999, ORNOP setempat melaporkan bahwa dua orang pekerja Freeport tewas akibat serangkaian banjir dan longsor dekat kota tambang di Tembagapura

  • Laporan tahun 1999 oleh organisasi lingkungan di Jayapura YALI dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menunjukkan bahwa lima penduduk Papua tewas akibat racun tembaga setelah memakan kerang-kerangan (mollusc) dan mahluk hidup di sungai yang terpengaruh pembuangan limbah Freeport.

  • Pada bulan Mei 2000, empat pekerja kontrak tewas ketika beban kelebihan limbah batuan dari tambang-runtuh menimbun danau Wanogan, yang mengakibatkan munculnya gelombang air, lumpur dan batu-batu ke desa-desa di bawahnya.

  • Pada bulan April 2001, WALHI melaporkan bahwa pembuangan limbah dari tambang Freeport/Rio Tinto telah menyebabkan polusi terhadap 35.820 hektar lahan di wilayah muara sungai dari operasi tambang, dan sekitar 84.158 hektar wilayah lepas laut. Polusi juga mencapai wilayah Taman Nasional Lorentz (lihat DTE 49). Polusi itu menyebabkan rusaknya sumber daya sungai dan hutan, serta menghancurkan hidup komunitas adat Amungme dan Kamoro yang tinggal di muara sungai.

(Sumber DTE 39:6, Nov/98; DTE 47; Development Agression, Observations on Human Rights Conditions in the PT Freeport Indonesia Contract of Work Areas With Recommendations. Naskah disusun oleh Abigail Abrash, Konsultan Robert F. Kennedy Memorial Center for Human Rights, Juli, 2002.)


Kapankah Pemerintah akan bertindak tegas?

Pemerintah Indonesia sekarang ini mendapat tekanan publik untuk mengeluarkan tindakan tegas terhadap Freeport. Tetapi pemerintah tidak memiliki keinginan politik untuk melakukannya. Beberapa hari setelah bencana yang terjadi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa pemerintah akan menghentikan operasi-operasi perusahaan itu lebih lama dari jangka waktu dua minggu apabila hasil penyelidikan membuktikan bahwa tingkat produksi adalah penyebab dari kecelakaan. Ia mengatakan jika Freeport terbukti melanggar ijin produksi, maka pemerintah akan menjatuhkan sanksi kepada perusahaan itu. Namun sulit nampaknya untuk membayangkan pemerintah Indonesia akan melakukan langkah seperti itu. Freeport/Rio Tinto adalah perusahaan pembayar pajak terbesar dan memberikan banyak pendapatan bagi pemerintah Indonesia yang perekonomiannya terjerat dalam belitan hutang. Perusahaan itu membayar kepada pemerintah Indonesia sebesar US $ 178 juta dalam bentuk pendapatan perusahaan, termasuk pembayaran pajak sebesar US $ 145 juta dan pembayaran non-pajak sebesar US $ 33 juta. Sikap yang keras terhadap Freeport juga akan menimbulkan resiko keengganan investor lainnya yang sangat tidak diharapkan oleh pemerintah Indonesia yang sangat membutuhkan datangnya para investor.

Alasan lain mengapa pemerintah Indonesia tetap bersikap lunak terhadap Freeport adalah fakta bahwa pemerintah hanyalah pemegang saham minoritas dalam perusahaan itu. Pemerintah saat ini memegang 9,36% saham dari PT Freeport Indonesia, yang kontras dengan jumlah saham Freeport MacMoran sebesar 81,28% dan IndoCopper sebesar 9,36%.

Suara-suara kritis dari kalangan pemerintah Indonesia muncul dari Kementrian Lingkungan Hidup yang secara konsisten menyerukan peningkatan kualitas manajemen lingkungan di wilayah pertambangan. Sayangnya, Menteri Lingkungan tidak memiliki kekuatan politik untuk mengambil tindakan efektif. Selain itu, kepentingan bisnis senantiasa mengalahkan masalah perlindungan lingkungan dan keselamatan pekerja.

Setelah kecelakaan fatal pada tahun 2000, Menteri Lingkungan yang lalu, Sony Keraf, telah mencoba namun gagal untuk mempertahankan kebijakan penghentian sementara produksi penambangan. Ia hanya berhasil memaksa perusahaan itu mengurangi tingkat produksi dari 230.000 ton menjadi 220.000 ton perhari dalam rentang waktu yang singkat. (Lihat DTE 47).

Pada tahun 2001, Badan Perlindungan Dampak Lingkungan menyebutkan bahwa pertambangan Freeport/Rio Tinto dan pertambangan emas Newmonts di Sulawesi Utara sebagai penyumbang polusi paling buruk di wilayah timur Indonesia. Ketua Bappedal, Sony Keraf, mengatakan bahwa tingkat polusi Freeport sangat “buruk” dan memperingatkan bahwa pemerintah mungkin akan menuntut kompensasi atas kerusakan yang diciptakan (see DTE 49).

Menteri Lingkungan sekarang, Nabiel Makarim, telah melanjutkan tuntutan perbaikan dari perusahaan itu. Pada bulan Juni, ia mengatakan kepada Freeport untuk memperbaiki catatan lingkungan mereka atau akan mendapat tindakan hukum. Makarim mengatakan Freeport akan dibawa ke pengadilan jika perusahaan itu tidak memenuhi perbaikan pembuangan sistem limbah pada tahun 2004. Ia mengatakan perusahaan itu memiliki dua pilihan: membangun jalur pipa untuk menyalurkan limbah ke pantai dan memendamnya di dasar laut, atau meningkatkan kualitas wilayah pembuangan. Freeport nampaknya menunjukkan bahwa mereka lebih memilih pilihan terakhir dengan alasan biaya dan resiko yang lebih rendah.

Apa yang akan muncul dari ancaman itu masih harus dilihat. Sampai sekarang, tindakan hukum yang benar-benar berhasil terhadap Freeport berasal dari ORNOP WALHI, bukan pemerintah. Pada bulan Agustus 2001, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Freeport bersalah melanggar undang-undang lingkungan Indonesia (UU No. 23, 1997), dengan secara sengaja menutupi informasi , memberikan keterangan palsu dan menyesatkan publik tentang resiko bencana longsor batu Wanagon pada bulan Mei 2000. Pengadilan memerintahkan perusahaan itu memperbaiki sistem manajemen limbah (lihat DTE 51). Kasus ini kemudian diajukan lagi ke Mahkamah Agung.

Kepentingan TNI dan HAM

Kepentingan bisnis dan politik kekuasaan juga telah menghambat upaya pengusutan masalah-masalah HAM yang berkait dengan kegiatan pertambangan. Pada awal tahun ini perusahaan itu telah dipaksa untuk mengaku bahwa mereka membayar sekitar US $ 1 juta selama lebih dua tahun kepada pihak militer Indonesia untuk keamanan di pertambangan (lihat see DTE 57). Adalah benar bahwa personil TNI bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM yang buruk di wilayah pertambangan selama 27 tahun sejarahnya. Tak ada instruksi pemerintah untuk menghentikan hubungan tersebut. Hal ini dikarenakan pihak militer memiliki kekuasaan yang terus dominan terhadap pembuatan keputusan di Jakarta. Freeport sendiri tidak pernah secara sungguh-sungguh menghentikan hubungan dengan TNI, karena hal itu akan mendorong timbulnya peristiwa kekerasan yang diciptakan oleh militer untuk menunjukkan bahwa perusahaan itu tetap membutuhkan kehadiran TNI.

Membeli Masyarakat

Daripada menghentikan kegiatan mereka dan menegaskan penyelidikan yang layak terhadap pelanggaran HAM yang berkait dengan kegiatan pertambangan, Freeport malah mencoba 'membeli' dukungan komunitas-komunitas lokal dengan memberikan 1% keuntungan mereka untuk pengembangan komunitas. Pada bulan Juni, perusahaan itu mengumumkan bahwa dana pengembangan masyarakat untuk tahun 2004 mencapai sekitar US $ 18,3 juta. Orang mungkin saja berkata bahwa jumlah itu sedikit banyak lebih besar dibandingkan jumlah yang diberikan kepada militer. Tapi fakta juga menunjukkan bahwa dana itu tidak secara langsung dikontrol oleh komunitas. Pada saat yang sama, ancaman pelanggaran HAM terus berlanjut sepanjang pihak militer mempertahankan keberadaan mereka di pertambangan.

Stop press: Militer akan menarik diri sebagai keamanan pertambangan?

Pada tanggal 11 November, media massa mengutip pernyataan Pangab yang mengatakan ia ingin menarik pasukan-pasukan yang menjaga operasi tambang terbesar di negeri ini-termasuk pertambangan Freeport/Rio Tinto.

"Kami bukan tentara bayaran. Kami tidak pernah menandatangani kontrak dengan perusahaan," ujar panglima, Jendral Endriartono. "Pihak militer membutuhkan fokus terhadap konflik-konflik yang menuntut perhatian kami. Kami mengajukan dalam rapat kabinet pada tanggal 4 November untuk tidak lagi menjaga perusahaan itu lagi."

Pengumuman itu kemungkinan berkait dengan tekanan dari Amerika Serikat yang menahan bantuan sebesar US $ 400 juta dalam bentuk bantuan militer kepada Jakarta. Tekanan itu muncul atas tewasnya dua orang guru kebangsaan Amerika Serikat dalam suatu penyergapan militer dekat pertambangan Grasberg pada bulan Agustus 2002.

Penarikan para penjaga militer dari 'proyek-proyek vital' telah menjadi tuntutan terbesar para pembela HAM di Papua Barat dan Aceh. Di Aceh para perwira militer menjadi penjaga instalasi gas dari perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat, ExxonMobil. Keberadaan mereka telah dikaitkan dengan serangkaian pelanggaran HAM yang telah diajukan di pengadilan Amerika Serikat, sebagai kasus yang diajukan oleh International Labour Rights Fund-Lihat DTE 53/54. Di Papua Barat, anggota masyarakat dan aktivis ORNOP merasa prihatin dengan perkembangan-perkembangan di Freeport dan proyek raksasa BP, yaitu proyek gas Tangguh dan penyulingan gas yang direncanakan di Teluk Bintuni. Masyarakat memperhatikan secara seksama apakah Endriartono benar-benar memegang janjinya.

Penarikan aparat militer bukan berarti akan mendorong pasukan brimob yang terkenal berpolah buruk untuk melepaskan perjanjian keamanan yang menguntungkan untuk menjaga fasilitas-fasilitas perusahaan.

(Sumber: Mining NewsNet 11/Nov/03).


Sumber: Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. News Release, 9/Oct/03-lihat www.fcx.com; Suara Pembaruan 17/Oct/03; Siaran Pers WALHI 11/Oct/03; Dow Jones 15/Oct/03; MiningIndo.com 16/Oct/03; FCPN email 27/Oct/03; Sydney Morning Herald 1/Nov/03; lihat juga situs web WALHI www.walhi.or.iddan JATAM www.jatam.org.

Untuk foto-foto mengenai longsor yang terjadi di pertambangan, lihat situs web Mines and Communities http://www.minesandcommunities.org/Company/freeportphot1.htm).


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link