Switch to English
Down to Earth Nr. 51, November 2001

Otonomi Daerah: Masa depan yang suram

Di bawah presiden Megawati Sukarnoputri, pemerintahan baru itu menegaskan bahwa ancaman disintegrasi nasional menjadi alasan terlambatnya pelaksanaan kebijakan desentralisasi yang telah berjalan sebelumnya.

Dalam berbagai pernyataannya, presiden Megawati mengatakan bahwa otonomi daerah- yang merupakan kebijakan pemerintah dalam proses desentralisasi pada bulan Januari tahun ini—adalah kunci utama membangun demokrasi di Indonesia. Hal ini terungkap dalam pertemuan Washington pada bulan September lalu, saat Megawati mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan dengan bersungguh-sungguh menjalankan program-program penting "seperti desentralisasi kekuasaan pemerintahan pusat ke pemerintah daerah".

Namun setelah kembali ke Indonesia ucapannya sampai sekarang belum terbukti. Sebaliknya, seluruh masa depan proyek desentralisasi menjadi suram karena presiden Megawati dan beberapa menteri utama dalam kabinetnya memandang proses yang terjadi dalam arus desentralisasi sebagai ancaman terhadap persatuan nasional. Melalui kampanye terarah, pemerintahan Megawati mengemukakan kritik terhadap proses desentralisasi sebelumnya. Hal itu dilakukan sebagai cara membangun keyakinan publik di Indonesia untuk melakukan perbaikan mendasar terhadap undang-undang yang telah ditetapkan sebelumnya.

Walaupun demikian, pemerintahan Megawati masih menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi harus tetap berjalan sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan. Tetapi, melalui pernyataan Dirjen Otonomi Daerah di Departemen Dalam Negeri, Sudarsono, pada bulan September lalu mereka menyatakan bahwa "konsep itu telah menyimpang dari prinsip negara kesatuan. Kami tidak ingin melihat daerah-dearah berkembang menjadi entitas yang terlepas dalam negara Indonesia." Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pemerintah sangat prihatin terhadap "arogansi daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, egoisme dan kebijakan-kebijakan mereka yang rasis." Bahkan menteri dalam negeri Hari Subarno yang baru diangkat juga sependapat dengan gagasan itu.

Ia mengatakan bahwa: "nampaknya ada suatu misi tersembunyi untuk pemisahan wilayah dari negara kesatuan di masa depan." Mentri Pertambangan Purnomo Yusgiantoro –yang juga menjabat sebagai mentri pada masa Abdurrahman wahid, berulang-ulang menyatakan bahwa perkembangan otonomi daerah telah menjadi ancamana menakutkan bagi para pemodal asing di sektor-sektor minyak dan gas. Selain itu, tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Megawati, seperti yang diwakili oleh Wakil Presiden Hamzah Haz, dikenal sebagai orang yang anti kebijakan otonomi darerah. Megawati sendiri lama dikenal sebagai orang yang sangat bersifat nasionalis dan berhubungan erat dengan pihak militer.

Dengan demikian, gagasan bahwa Indonesia sebagai "Negara Kesatuan Republik Indonesia" telah menjadi ujung tombak kampanye berbagai unsur kekuatan politik yang menentang kebijakan otonomi daerah yang dicanangkan semasa mantan presiden Abdurrahman Wahid berkuasa. Salah satu pendukung utama gagasan NKRI adalah Departemen Dalam Negeri. Sekarang ini departemen tersebut telah menjadi semakin bersifat militeristik. Mereka menjadi lembaga penting yang bertugas menjalankan kebijakan desentralisasi ketika kementrian otonomi daerah dihapuskan tahun lalu.

Mentri yang baru, Hari Sabarno, adalah seorang pensiunan letnan jendral. Ia menjadi orang yang melanggengkan pengaruh militer di dalam departemen tersebut. Melemahnya pengaruh Abdurahman Wahid dalam proses pembentukan kebijakan dalam masa jabatannya yang singkat itu menyebabkan tuntutan revisi undang-undang otonomi daerah menjadi semakin kuat. Pada awal tahun ini, Hari Sabarno telah menyetujui peninjauan ulang Undang-Undang No. 22 dan 25, undang-undang yang menjadi landasan dasar kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan tahun 1999. Peninjauan ulang ini dilanjutkan dengan penuh semangat oleh jajaran pemerintahan Megawati. Mereka memiliki tengat waktu sampai November 2001 untuk segera melakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut.

Salah satu perubahan utama yang diajukan adalah pembentukan kembali hirarki pemerintahan dari pusat sampai tingkat propinsi, kabupaten dan kotamadya, kecamatan dan desa. Kebijakan otonomi daerah yang memberikan pengalihan kekuasaan dari pusat ke daerah sebelumnya telah memberikan keuntungan besar bagi pemerintahan kabupaten. Kebijakan itu memberikan mereka pembagian pendapatan yang lebih besar alokasi sumber daya daerah. Dalam kebijakan otonomi daerah yang telah dicanangkan, hubungan antara lembaga pemerintahan dibentuk dalam pola yang non-hirarkis –khususnya antara kabupaten dan propinsi. Hal ini pada akhirnya telah menyebabkan keluhan di antara para gubernur di tingkat propinsi ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki wewenang sama sekali dan bahkan tidak tahu apa-apa tentang perkembangan yang terjadi di wilayah mereka. Ini merupakan hal yang sangat ironis. Gagasan pengalihan kekuasaan kepada pemerintahan kabupaten pada awalnya didasarkan pada asumsi bahwa penguatan kekuasaan yang lebih besar di tingkat propinsi hanya akan mendorong penguatan identitas daerah dan kecenderungan separatisme.

Usulan perubahan tersebut telah membangkitkan reaksi keras dari pemerintahan tingkat kabupaten yang khawatir bahwa wewenang baru yang mereka miliki akan dibatasi. Para Bupati menyerang balik tuduhan pemerintah pusat di Jakarta mengenai penyalahgunaan kekuasaan dengan menuduh pemerintah pusat enggan untuk menyerahkan kontrol mereka. Ketua perhimpunan para Bupati, Syaukani, mengatakan bahwa ia akan menentang setiap perubahan yang terjadi. Namun, Mendagri Hari Subarno menjawab bahwa para Bupati tidak memiliki hak untuk melakukan hal itu. Masalah seperti ini akan menjadi persoalan besar yang akan menjadi pertentangan keras dalam bulan-bulan mendatang.

Dr. Afan Gaffar, seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada yang memiliki sikap pro-otonomi dan ikut serta membantu penyusunan undang-undang tahun 1999 mengemukakan hal tersebut sebagai motivasi pemerintah pusat untuk mempertahankan kekuasaan: "Setiap kementrian di Jakarta merasa ragu untuk menyerahkan kekuasaan mereka, karena banyak para pejabat yang memiliki kepentingan di tingkat lokal dan ingin melindungi sumber-sumber pendapatan pribadi mereka."

Sementara itu, pihak lainnya mengatakan bahwa suara-suara anti-desentralisasi menyalahkan seluruh masalah yang muncul –seperti sengketa antara masyarakat nelayan dan penambangan pasir—terhadap persoalan otonomi daerah, padahal masalah-masalah itu telah muncul jauh sebelum otonomi diterapkan.

Pemerintahan pusat sangat kritis terhadap peraturan-peraturan daerah (perda) yang dikeluarkan oleh DPRD setempat, khususnya terhadap dewan yang menetapkan pajak bagi kegiatan usaha di wilayah mereka. Menurut Sabarno, sampai bulan Agustus tahun ini, kantornya telah menerima sedikitnya 1.979 peraturan daerah dan 1.053 peraturan yang keluar berkaitan dengan masalah perpajakan. Dari jumlah itu, 926 peraturan dianggap memenuhi standar, sedangkan 104 tidak sama sekali. Selanjutnya, Subarno mengatakan masih ada 949 peraturan yang tengah dievaluasi. Menurut Mentri Perdagangan dan Industri, Rini Soewandi, mereka masih dalam tahap pembahasan bersama pemerintahan daerah terhadap 1.006 peraturan lokal yang dianggap mengganggu kegiatan usaha.

Dengan demikian, pajak dan pendapatan adalah masalah utama dalam pertarungan kekuasaan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat di Jakarta. Pemerintah daerah marah bahwa distribusi pendapatan sumber daya mereka masih mengalir ke Jakarta –yang akhirnya menyebabkan kelambatan pengalihan dana tersebut selain juga kecurigaan bahwa mereka tidak akan menerima seluruh jumlah yang telah mereka berikan. Pemerintahan-pemerintahan lokal, yang tidak diijinkan untuk meminjam uang, memandang bahwa inisiatif meningkatkan pajak merupakan sarana menegaskan kontrol lokal. Tetapi hal ini telah menyebabkan munculnya keluhan dari penananm modal yang harus dipajak dua kali. Juga tidak jelas apakah distrik-distrik yang miskin sumber daya akan mendapatkan dana yang cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Persoalan lainnya termasuk juga peratuaran-peraturan yang saling tumpang tindih –dengan berbagai aturan yang saling bertentangan antara pemerintah distrik dan propinsi yang pada akhirnya menciptakan banyak kebingungan.

(Jakarta Post 18/Agustus/01; Kompas 16/Agustus/01; Straits Times 13/Agustus/01; satunet.com 6/Sept/01; laporan tak bersumber dari Sawitwatch 24 & 28/Agustus/01)

Berbagai Dampak

Apa kemudian dampak persoalan tersebut bagi masyarakat banyak? Di beberapa tempat memang terlihat berbagai keuntungan yang diperoleh dengan diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai contoh, di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung mereka telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka. (untuk informasi lebih rinci lihat artikel tentang masyarakat pesisir- bahasa Inggeris)

Sedangkan di wilayah lainnya, otonomi daerah malahan semakin memperburuk keadaan. Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka –suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.

Di Kalimantan Timur, bupati dikabarkan telah mengeluarkan ratusan Hak/Izin/HPH konsensi penebangan kayu bagi 100 perusahaan skala kecil senilai Rp. 50 juta dan Rp. 100 juta. Para raja kayu dengan HPH yang lebih besar dan sudah habis sekarang mulai memanipulasi dan memanfaatkan penduduk lokal untuk membentuk koperasi guna mendapatkan HPH penebangan kayu. Koperasi-koperasi ini berperan melanjutkan operasi penebangan kayu para raja kayu dan memungkinkan mereka untuk tetap menjalankan pengolahan kayu. Barangkali masyarakat lokal mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pembayaran yang mereka terima. Tetapi dalam jangka panjang mereka dirugikan dengan rusaknya sumber daya keamanan sosial mereka. Laporan serupa tentang masalah ini muncul juga dari berbagai tempat lainnya di Indonesia.

Suatu lokakarya di Kutai Barat, Kalimantan Timur, mengidentifikasikan sedikitnya 250 konflik/sengketa di kabupaten itu yang muncul akibat kegagalan untuk mendapatkan pengakuan hak tanah ulayat, klaim tanah yang tumpang tindih, klaim yang saling bertentangan antara pemilik ijin pengolahan hutan yang lama dan baru serta konflik-konflik antara pemilik konsesi dan masyarakat-masyarakat lokal. Para pembicara di lokakarya tersebut mengatakan bahwa situasi yang memburuk di hutan memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi lokal karena penduduk lokal didorong ke dalam gaya hidup konsumtif. Bupati setempat, Rama Asia, mendapat serangan gencar sehubungan dengan dikeluarkannya lisensi-lisensi/hak usaha skala kecil –di distrik itu saja sudah terdapat 622 lisensi—dan menyalahkan kerusakan hutan terhadap para pemegang konsesi penebangan kayu yang lebih besar yang berasal dari Jakarta.

Kementrian kehutanan sekarang ini dilaporkan tengah dalam proses membatalkan kembali suatu ketetapan yang dikeluarkan pada tahun lalu, yang memberikan pengalihan tanggungjawab dalam menangani konsesi-konsesi hutan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah. Larangan sebelumnya terhadap kepala daerah untuk mengeluarkan HPH/HGU/lisensi-lisensi skala kecil diabaikan begitu saja oleh para pejabat distrik.

Kelompok-kelompok masyarakat sipil menyerukan agar otonomi daerah dikembalikan pada jalur semula –yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk memperkuat demokrasi lokal. Selain itu, mereka juga menyerukan agar desakan untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak dilupakan dalam arus cari untung dari sumber daya alam.

(ABC 11/Aug/01; Tempo Magazine 24-30/Jul/01 – edisi ini memiliki informasi yang rinci tentang perubahan hubungan antara para pemegang konsensi lama, kepala daerah dan masyarakat lokal di bawah kondisi-kondisi baru pemerintahan yang terdesentralisasikan. Bisnis, [no date], forwarded via Sawitwatch on 24/Sep/01; Kompas 26/Sep/01)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link