Switch to English
Down to Earth Nr. 51, November 2001

Adat dan Hutan

Pada bulan April 2001, ICRAF dan AMAN menyelenggarakan serangkaian lokakarya tentang adat dan hutan-kebun (agroforestry). Rangkaian lokakarya tersebut difasilitasi oleh Dr. Marcus Colchester, direktur Forest Peoples Programme yang juga merupakan anggota Komite Manajemen DTE. Program tersebut didanai oleh BSP-Kemala. Berikut ini adalah draft laporannya, yang berjudul: "Adat dan Agroforestry: sejumlah refleksi".

Dalam rentang waktu 4 minggu, sebanyak 8 lokakarya informal dan interaktif telah diselenggarakan dengan partisipasi dari berbagai kelompok masyarakat adat di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Lokakarya berfokus pada 4 pertanyaan yang diangkat dari tuntutan-tuntutan AMAN yang dirumuskan dalam Kongres tahun 1999(*). Tuntutan tersebut antara lain: "Kami tidak akan mengakui negara, kecuali jika negara mengakui (keberadaan) kami". Ke-empat pertanyaan kunci dalam lokakarya tersebut adalah:

  1. Bagaimana harapan Anda akan bentuk pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat?
  2. Hak-hak macam apa yang Anda inginkan atas tanah dan sumber daya alam?
  3. Siapa (orang atau lembaga) yang sebaiknya mewakili masyarakat Anda dalam bernegosiasi dengan kelompok lain atau orang luar?
  4. Jika Anda menginginkan pemerintahan mandiri, melalui lembaga apa Anda akan mewujudkannya? Bagaimana Anda akan berhubungan dengan PemDa (yang ada saat ini)?
Pandangan yang terlontar menanggapi pertanyaan tersebut cukup beragam. Walaupun tidak banyak menjadi bahan perdebatan terbuka, kelompok-kelompok masyarakat adat memiliki pendapat yang kuat terhadap pertanyaan itu. Dalam lokakarya terungkap bahwa peserta memahami system (adat) mereka tetapi belum pernah memikirkannya secara terinci tentang bagaimana system tersebut dapat dimasukkan dalam struktur dan hukum negara yang (jika) direformasi. Lokakarya tersebut bertujuan untuk menggali sejumlah dilemma kelembagaan dalam masyarakat adat Indonesia, dengan mengacu pada contoh-contoh bagaimana masyarakat adat di tempat lain menghadapi situasi yang serupa.

(1) Bentuk-bentuk penentuan nasib sendiri: pada level politik yang mana masyarakat adat menuntut pengakuan?

Contoh-contoh dari tempat lain menunjukkan bahwa masyarakat adat memilih berbagai bentuk penentuan nasib sendiri. Mulai dari bentuk negara mandiri (misalnya: kepulauan Pasifik), negara dalam negara (Amerika Serikat), wilayah otonomi (Nunavut, Kanada) hingga bentuk desa atau distrik otonomi (Guyana). Sejumlah pelajaran dari contoh ini adalah bahwa masyarakat kecil dalam negara besar masih menghadapi tantangan yang sama. Selain itu, wilayah yang terlalu besar dengan kelembagaan yang lemah menghadapi tantangan yang besar.

Dalam rangkaian lokakarya tersebut terungkap bahwa semasa dijajah bangsa lain, bangsa Indonesia terjajah namun masyarakat adat memiliki kebebasan. Sebagai bangsa merdeka, Indonesia bebas tetapi masyarakat adat terjajah. Reformasi berarti memberikan kebebasan kepada masyarakat adat. Masyarakat adat Indonesia mencari pengakuan dalam Undang-Undang Dasar negara, UU Dasar Agraria dan PerDa melalui proses partisipasi reformasi hokum. Mereka juga menginginkan pemulihan pluralisme hukum, dengan otoritas setara untuk hukum adat dan hukum negara dalam wilayah tradisional dan dengan kejelasan interelasi kedua unsur tersebut.

Tuntutan-tuntutan khusus mencakup pengakuan atas otoritas sipil adat, seperti penyelenggaraan pernikahan; penggunaan nama-nama tradisional bagi lembaga dan nama tempat; hak untuk menyelenggarakan sistem pendidikan sendiri. Otonomi dituntut dalam berbagai tingkatan, namun jelas dalam kerangka sebuah negara.

(2) Hak-hak atas tanah dan sumber daya alam

Pengalaman masyarakat adat di tempat lain menunjukkan bahwa hukum yang keliru lebih buruk daripada tidak ada hukum. Ketika masyarakat adat mendapat hak perorangan atas tanah, maka kehilangan tanah justru semakin terpicu menjadi lebih cepat dan lebih mudah dijual (masyarakat asli Amerika dan Maasai). Pemecahan di Amerika Selatan adalah dengan melindungi tanah melalui pencatatan tanah kolektif yang tidak dapat dipindahtangankan.

Di Indonesia hak penuh untuk memiliki, mempertahankan, mengelola, mengatur, mengendalikan, menggunakan dan mewarisi tanah sedang diperjuangkan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang peserta: "Dalam masyarakat kami, kami tahu bahwa kami berhak atas tanah dan sumber daya alam, baik yang berada di atas dan di dalam tanah. Beberapa Undang-undang dan Kebijakan menggolongkan hutan kami sebagai hutan negara dan tambang adalah milik negara. Kami tidak melihatnya seperti itu. Saya memiliki rambut di tangan dan juga di kulit. Semuanya milik saya. Saya juga memiliki daging dan tulang di dalamnya. Tidak seorangpun yang berhak mengambilnya dari saya. Tetapi kebijakan negara telah memilah-milah unsur tersebut dan dengan demikian juga telah mencerai-beraikan (hidup) kami. Kami ingin tanah kami kembali utuh".

Masyarakat adat menuntut hak atas tanah dan wilayah sebagaimana dipetakan oleh masyarakat sendiri. Walaupun sangat jelas apa yang mereka inginkan, mereka tidak begitu mengerti bagaimana hal tersebut dapat sesuai dengan pencatatan tanah oleh negara. Kebingungan ini tidak mengherankan, mengingat situasi pencatatan tanah di Indonesia pada umumnya masih kacau.

Pasar tanah sangat kuat di beberapa daerah dan mekanisme adat untuk mengatur pengalihan tanah menjadi lemah karena adanya penerapan UU Dasar Agraria dan sistem desa. Di Toraja, Sulawesi Selatan, 80% tanah telah tergadai dan spekulasi tanah meningkat bersamaan dengan munculnya tekanan untuk menyediakan tanah bagi hotel dan perkebunan kopi. Masyarakat kelas atas dan pemilik tanah semakin banyak bermukim di kota dan semakin tidak berhubungan dengan adat.

Ada beberapa pandangan tentang penjualan tanah. Beberapa peserta bahkan menuntut hak jual-beli tanah, sebagian lain menginginkan tanah diatur oleh lembaga adat, kelompok lainnya berpendapat bahwa tanah adat sebaiknya tidak dapat dialihkan tetapi pemindahtanganan dalam kelompok masyarakat yang sama diperkenankan jika sesuai dengan hukum adat.

Masalah ini dipandang sebagai isu utama untuk dibahas lebih lanjut "Jika sistem kepemilikan tanah yang tidak realistis tidak diterapkan atau dipilih sembarangan".

Menanggapi pertanyaan, apakah hutan adat sebaiknya diambil dari hutan negara atau tidak, perasaan yang jelas terungkap adalah bahwa hutan tersebut harus direbut kembali (walaupun tidak selalu harus terjadi demikian di negara lain). "Pada dasarnya, kesan menyeluruh adalah bahwa masyarakat sangat tidak percaya terhadap pemerintah dan mereka ingin keluar secepatnya dari jurisdiksi Departemen Kehutanan". Di Toraja, beberapa peserta lebih terbuka terhadap gagasan untuk melindungi hutan dan hutan-kebun mereka melalui mekanisme yang menjamin hak penggunaan dan pengelolaan eksklusif atas hutan.

(3) Wali hukum: siapa yang sebaiknya mewakili masyarakat adat?

Masalah-masalah di tempat lain antara lain, kurang akuratnya perundang-undangan dan kurangnya tanggung gugat lembaga-lembaga adat.

Walaupun kritis terhadap pemimpin adat yang korup, sebagian besar peserta menginginkan pengakuan atas pemimpin mereka, dengan penekanan yang berbeda-beda atau sejauhmana tindakan tambahan perlu dilembagakan untuk mengatur pemimpin adat mereka. Banyak masyarakat menginginkan proses pengambilan keputusan yang lebih melibatkan. Mereka sepakat bahwa orang luar harus mematuhi adat jika ingin masuk ke wilayah adat.

Kesimpulannya, yang agak merisaukan, masalah wali hokum tampaknya belum banyak dipikirkan oleh masyarakat adat.

(4) Pemerintahan Mandiri

Contoh-contoh pemerintahan langsung atau tidak langsung dalam masa kolonialisme juga dibahas. Juga bahaya peran serta adat secara langsung dalam struktur administrasi pemerintahan negara yang dapat mengarah kepada ko-optasi, dimana pemerintahan diangkat dari masyarakat adat lalu digantikan oleh otoritas negara. Pelajaran yang bisa ditarik: "Tetap buka keragaman pilihan.Sebaiknya lembaga adat/tradisional berada diluar struktur administrasi negara".

Masyarakat adat yang berpartisipasi dalam lokakarya menghendaki pemerintahan mandiri menurut hokum adat dan lembaga adat. Pemisahan kekuasaan (antara unsur-unsur legislator, eksekutif dan hukum dari lembaga adat) juga dibahas. Kurangnya pemisahan kekuasaan dipandang sebagai masalah dalam organisasi sosial adat.

Kebutuhan akan mekanisme penanganan konflik, terutama atas tanah, juga didiskusikan. Masyarakat bersikeras bahwa sudah ada mekanisme penanganan konflik adat atau dapat dihidupkan kembali. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul antara lain: bagaimana kita mencegah anggota masyarakat untuk pergi ke lembaga peradilan negara jika peradilan adat dianggap tidak menguntungkan mereka? Dan, badan peradilan mana yang akan menangani konflik antara berbagai pihak atas isu yang menyangkut kawasan non-adat?

Masa depan Adat

Kesepakatan umum yang tercapai adalah bahwa adat mengalami tekanan berat karena tidak ada pengakuan, karena pemaksaan penerapan lembaga-lembaga negara; juridiksi yang tidak jelas atas hukum-hukum adat yang ada, tekanan pasar dan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai yang dianut masyarakat local. Dampak merusak dari agama-agama juga ditekankan dalam banyak pertemuan.

Lokakarya juga menerima bahwa tidak semua ada baik adanya. Peserta mengatakan bahwa adat sebaiknya luwes, dibawah kendali masyarakat dan perlu terus dikaji ulang. Gagasan bahwa hukum adat sebaiknya mengacu kepada pedoman hak-hak asasi manusia internasional juga diterima secara luas.

Kebutuhan untuk menangani masalah yang dihadapi oleh adat juga diakui. Salah seorang pembela adat dari Kalimantan mengungkapkan: "Kita telah menjadi heterogen. Beberapa pihak mau bergabung dengan sistem mayoritas "nasionalis", sementara yang lain mau mengikuti adat. Apakah kita akan memaksa kelompok minoritas yang ingin minoritas untuk mengikuti sistem tradisional kita? Apakah kita perlu membagi wilayah kita? Apakah kita harus mengusir mereka? Jika kita tidak mengatasi hal ini dengan bijak, kita akan menghadapi revolusi saat ini juga, barangkali secara fisik".

Kesimpulan laporan tersebut adalah bahwa masalah yang paling nyata dihadapi oleh gerakan adat harus disikapi jika masyarakat adat tidak mau lagi hak-hak mereka dicurangi. Dan jika adat mau dijadikan dasar pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat.

Marcus menyudahi laporannya dengan catatan positif: "Dalam perjalanan ini, kekaguman saya terhadap AMAN semakin berkembang. Kemauan para anggota AMAN untuk menghadapi berbagai tantangan menumbuhkan harapan dalam diri saya, bahwa adat memiliki peluang untuk menjadi kekuatan penting dalam menjunjung keadilan lingkungan di Indonesia".

(*) Lihat DTE 41, Mei 1999 dan Edisi Khusus DTE, Oktober 1999 (Bahasa Inggeris) untuk mengenal AMAN dan Kongres lebih jauh.


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link