Switch to English
Down to Earth Nr. 45, Mei 2000

Kontrak dan Masyarakat

Sekarang ini, perlawanan terhadap kegiatan penambangan skala besar di Indonesia semakin menguat. Hal ini disebabkan oleh menguatnya suara masyarakat tentang pengaruh pertambangan terhadap kehidupan dan lingkungan. Tetapi perusahaan-perusahaan asing telah memperingatkan pemerintah Gus Dur agar tidak merubah perjanjian kontrak yang telah mereka tanda tangani ketika rejim Suharto berkuasa.

Seruan masyarakat maupun LSM agar seluruh kegiatan pertambangan dihentikan sementara saat ini menyebabkan industri pertambangan di Indonesia yang sebagian besar dikuasai modal asing berada dalam posisi bertahan. Belum lagi dengan tuntutan pemerintah lokal yang menginginkan lebih banyak uang masuk dari perusahaan-perusahaan tersebut serta kontrol yang lebih besar terhadap aktivitas pertambangan.

Sementara itu di Jakarta, para menteri tengah berdebat tentang apakah mereka dapat atau tidak dapatmerubah kontrak-kontrak pertambangan yang ditandatangani selama periode kekuasaan Suharto yang terkenal korup. Setelah tiga dekade para pemodal tersebut menikmati peluang yang ada, kini para raksasa pertambangan tengah menghadapi situasi ketidakpastian dan status mereka sebagai primadona pun dalam ancaman.

Sebagai reaksi, perusahaan-perusahaan pertambangan memperingatkan tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan merusak kepercayaan investor apabila terjadi perubahan kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Mereka tahu bahwa presiden Gus Dur dan para menterinya memiliki komitmen kuat untuk menjalankan suatu kebijakan yang akan menarik investasi asing dan berupaya keras mengeluarkan perekonomian Indonesia dari jeratan krisis. Mereka benar-benar memanfaatkan taktik tersebut untuk mempertahankan segala hak istimewa yang mereka dapatkan dibawah rejim Suharto. Sampai titik tersebut, strategi ini berjalan dengan baik sejauh kita perhatikan kinerja presiden dan mayoritas anggota kabinet. Kebijakan resmi pemerintah adalah menghormati kontrak-kontrak yang telah dibuat dengan tujuan menjaga kepastian hukum serta untuk menarik modal asing lainnya. Tetapi pihak perusahaan diharapkan dapat memberikan suatu konsesi suka rela untuk memperkecil dampak sosial dan lingkungan serta meningkatkan pembagian keuntungan bagi pemerintah Indonesia.

Menuju Kondisi Yang Lebih Baik

Donna Woodward, mantan diplomat kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, telah meluncurkan suatu serangan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang menuntut agar kontrak mereka dihargai. "Keadilan adalah salah satu landasan teoritis dari setiap kontrak," ungkapnya dalam satu artikel di Jakarta Post. Tetapi banyak sekali kontrak-kontrak di Indonesia yang tidak adil—mereka "menjual hak kelahiran negeri ini kepada pemberi hadiah internasional terbesar"— dan dibenarkan dapat diubah. Ia menunjukkan bahwa pengubahan kontrak merupakan suatu peristiwa normal dan hak unuk melakukan hal itu biasanya terdapat dalam setiap pembuatan kontrak.

"Para pejabat di Indonesia hendaknya tidak terintimidasi atau "tertantang" oleh provokator internasional Henry Kissinger serta menjadi percaya terhadap kata-katanya bahwa menantang isi kesepakatan suatu kontrak yang patut dicurigai dan keinginan melakukan negosiasi ulang hanya akan merugikan kedudukan kompetitif Indonesia sebagai tempat investasi".

Woodward menunjukkan bahwa perubahan kontrak mungkin hanya akan memberikan sedikit pengaruh terhadap proses penanaman modal asing dibandingkan kerusuhan yang mungkin timbul dalam masyarakat yang terkena dampak kontrak yang bersifat eksploitatif. "Indonesia seharusnya tidak hanya mengajukan tinjauan ulang terhadap kesalahan yang dibuat oleh negeri-negeri asing. Indonesia memiliki pembenaraan atas tindakannya untuk menegaskan hak mereka dalam melakukan perjanjian yang adil dengan para investor, Mr. Kissinger dan rekan-rekannya
(Jakarta Post, 21/Mar/00)

Beberapa minggu belakangan ini, kontrak-kontrak PT Newmont Minahasa Raya dan PT Inco Indonesia di Sulawesi juga mengalami serangan kuat (lihat dibawah). Tetapi nampaknya perhatian lebih besar tercurah pada PT Freeport Indonesia sebagai pelaksana penambangan tembaga dan emas di Papua Barat. Perusahaan ini, dimana sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan Inggris Rio Tinto, memasukan konglomerat kayu Indonesia Bob Hasan dan Sigit di antara daftar investor Indonesia di perusahaan tersebut.

Terdapat sekitar 2,3 juta ons emas yang digali tahun lalu dari pertambangan Grassberg. Tambang itu juga menghasilkan 220.000 ton limbah setiap harinya. Limbah-limbah ini kemudian dialirkan ke sistem sungai Ajikwa dan bergerak menuju lautan Arafuru. Aktivitas pertambangan itu di sini telah membasmi hutan hujan, menghambat arus air dan menghancurkan kehidupan masyarakat-masyrakat adat.

Bagi kebanyakan orang Indonesia dan Papua, kegiatan Freeport/Rio Tinto –yang merupakan perusahaan asing pertama yang disetujui kegiatannya oleh mantan presiden Suharto—telah menjadi simbol tentang segala keburukan yang melekat pada pertambangan skala besar milik asing dan pengabaian hak-hak masyarakat dan lingkungan. Bagi rakyat Papua Barat, pertambangan tersebut telah menjadi tanda pendudukan dan eksploitasi brutal pemerintah Indonesia di wilayah mereka.

Kontrak Freeport

Argumen-argumen utama yang ada sekitar masalah kontrak Freeport adalah:

Berbagai alasan yang digunakan untuk membatalkan atau merubah kontrak yang telah ditandatangani pada tahun 1991 merentang mulai dari pengaruhnya yang merusak terhadap lingkungan sosial, praktek korupsi dan tidak adanya keuntungan finansial yang diperoleh orang-orang Indonesia dan Papua Barat. Pengangkatan kembali masalah legalitas kontrak yang ditandatangani pada tahun 1967 didasarkan pula pada kenyataan bahwa pada saat itu Papua Barat secara internasional belum diakui sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Orang-orang dalam pemerintahan yang menginginkan perubahan terhadap isi perjanjian kontrak tahun 1991 adalah menteri lingkungan Sony Keraf yang giat menyerang catatan tentang perusakan lingkungan oleh perusahaan tersebut. Selain itu, mantan Gubernur Papua (yang sekarang menjabat sebagai menteri pendayagunaan aparatur negara) Freddy Numberi menyerukan agar Freeport menyumbangkan 20% dari sahamnya kepada pemerintahan daerah setempat. (Wakil Gubernur J.R.G Djopari kemudian mengatakan bahwa ia akan meminta pemerintah pusat untuk membagi 8% sahamnya ketika pelaksanaan otonomi daerah diterapkan).

Sedangkan orang-orang yang menentang adanya perubahan terhadap perjanjian kontrak tersebut adalah Alwi Shihab serta Menteri Pertambangan dan Energi Bambang Yudhoyono yang menggunakan argumen yang sama seperti yang dilontarkan oleh PT Freeport dengan argumentasi bahwa perubahan terhadap kontrak yang telah ditandatangani akan menghancurkan kepastian hukum dan merusak kepercayaan para investor di Indonesia.

Tingginya tingkat perlawanan masyarakat menyebabkan beberapa departemen di pemerintah mengumumkan akan melakukan langkah penyelidikan terhadap status kontrak PT Freeport serta pengaruh kegiatan pertambangan perusahaan tersebut. Termasuk dalam kegiatan ini adalah misi pencarian fakta antar departemen selama tiga bulan yang diorganisir oleh kementrian pertambangan dan energi. Kegiatan ini ditujukan untuk mengungkap tuduhan-tuduhan korupsi sekitar proses pembaharuan kontrak tahun 1991 selain juga tentang pengaruh sosial dan lingkungan kegiatan pertambangan. Badan Perlindungan Dampak Lingkungan (Bapedal) juga sedang melakukan kegiatan penyelidikan sendiri disamping juga suatu tim dari DPR sedang merencanakan suatu misi lain untuk menilai pengaruh pertambangan terhadap masryakat setempat. Misi DPR sebelumnya yang dilakukan pada bulan Desember tahun lalu telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk meninjau kembali kontrak PT Freeport dikarenakan perusahaan tersebut telah menciptakan suatu ketidak adilan sosial dan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia dan ketegangan politik dalam masyarakat.

PT Freeport sendiri sekarang ini telah menghentikan daya upayanya agar pemerintah tidak lagi mempersoalkan kontrak mereka. Sebagai gantinya, Henry Kssinger, mantan pejabat Sekretaris Negara Amerika Serikat yang juga Dewan Direktur Freeport, dikirim ke Jakarta bulan Februari lalu untuk membuat pemerintah Indonesia patuh terhadap keputusan yang telah dibuat. Dr. Kisssinger mendesak pemerintah untuk menghormati kontrak yang sudah dibuat dan mengatakan bahwa hal itu adalah "demi kepentingan pemerintah Indonesia sendiri" untuk melakukannya. Presiden Wahid dan menteri ekonominya, Kwik Kian Gie, menyatakan komitmen mereka untuk tetap menjunjung kontrak tersebut. Kemudian, melalui langkah yan sangat mengejutkan para kritisi dan juga pihak Freeport, presiden mengundang Kissinger menjadi penasehat khusus bidang politik. Hal ini seperti melanjutkan tradisi lama yang dilakukan Suharto dengan hubungan hangat antara presiden Indonesia dan pihak perusahaan. Kunjungan Kissinger semakin menegaskan suatu peringatan-peringatan yang telah dilontarkan tentang kepercayaan pemodal seperti yang dicetuskan duta besar AS Robert Gelbard dan pejabat senior pemerintahan Amerika Serikat Thomas R. Pickering yang mengunjungi wilayah pertambangan tersebut pada bulan Maret.

Walhi, suatu organisasi lingkungan di Indonesia, bereaksi dengan penuh amarah terhadap kunjungan Kissinger dan menuduhnya telah melakukan intimidasi. "Kami berpendapat bahwa pernyataannya tidak etis, menantang dan mengabaikan proses demokratisasi yang sedang berjalan di negeri ini," ujar Walhi yang telah berkampanye dengan giat untuk mengungkap pengaruh lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan perusahaan tersebut.

Sebagai konsekuensi, sekarang ini WALHI sedang mengalami serangan balik dari duta besar Gelbard yang menyerukan lembaga dana Amerika Serikat, USAID untuk memotong dana bantuannya bagi organisasi tersebut.

Intervensi duta besar merupakan indikasi lain tentang kebijakan AS yang lebih agresif terhadap Indoensia. Menurut Far Eastern Economic Review,"Gelbard sedikit sekali memiliki keraguan untuk mengecewakan sensitivitas orang Jawa atau menggunakan bantuan pembangunan untuk tujuan politik." Lebih serius lagi, FEER juga mencatat bahwa USAID sekarang ini memberikan respon secara pribadi kepadanya dalam pengaliran bantuan dana program-program pengembangan masyarakat sipil di Indonesia. (FEER 04/05/00)

Tom Beanal: Komisaris Freeport Yang Baru

Masalahnya kemudian, kapankah rakyat Papua Barat memiliki kesempatan untuk menyelesaikan semua persoalan ini sendiri? Pada bulan Januari, wakil dari suku Amungme yang dipimpin veteran kampanye hak-hak suku tersebut sekaligus pemenang penghargaan hak asasi manusia, Mama Yosepha, telah melakukan loby terhadap para wakil rakyat untuk menutup tambang tersebut. Di masa lalu, Mama Yosepha dan pemimpin Dewan Amungme, Tom Beanal, telah mengajukan gugatan hukum terhadap Freeport, dan secara rutin mengungkapkan pengaruh negatif aktivitas pertambangan perusahaan itu terhadap kondisi sosial dan lingkungan.

Oleh karena itu, banyak orang menjadi terkejut setelah belum lama ini mereka mendengar berita bahwa Tom Beanal telah diangkat menjadi Komisaris Freeport. Seperti yang diberitakan oleh media massa, alasan Beanal untuk melakukan hal itu sama sekali tidak memperjelas persoalan yang ada. Ia hanya mengatakan bahwa sudah menjadi "tugas" dan "hak" dirinya sebagai pemimpin suku Amungme dan pemilik tanah untuk menerima jabatan tersebut dan menyatakan bahwa masyarakat berada dibelakangnya.

Ia menyatakan bahwa Freeport pertama kali menawarkan kedudukan tersebut pada tahun 1997 tetapi pemerintah telah menghalangi rencana tersebut. "Seharusnya saya menduduki jabatan ini sejak tahun 1967. Dengan demikian, sebenarnya sekarang ini sudah terlambat". Ketika ditanya apakah ia akan melakukan peninjauan kembali kontrak perusahaan, Beanal menjawab bahwa, jika dilakukan suatu peninjauan ulang pemerintah dan pemilik tanah seharusnya mendapatkan pembagian keuntungan yang sama dari keuntungan pertambangan. "Tetapi saya tidak dalam posisi untuk mengatakan kepada Freeoport untuk pergi dari Timika," ujarnya. Menurutnya, apa yang lebih penting adalah, "Kita sekarang ini berdiri sejajar dibanding sebelumnya". Meskipun demikian, masih belum jelas apa makna menjadi seorang komisaris perusahaan bagi Tom Beanal.

Sulit sekali untuk melihat bagaimana Tom Beanal mampu untuk menggabungkan perannya sebagai komisaris Freeport dengan kedudukannya sebagai pemimpin bersama dalam gerakan kemerdekaan mengingat sejak lama Freeport telah menjadi simbol kolonialisme Indonesia. Salah satu interpretasi mengatakan bahwa ia telah menyerah terhadap harapannya untuk menutup tambang tersebut dan sekarang ini ia mengingingkan suatu kompensasi bagi masyarakat di sekitarnya.

Tetapi patut juga dipertanyakan apakah Freeport akan benar-benar memperlakukan Beanal sejajar seperti yang diucapkannya mengingat perusahaan tersebut telah sejak lama mengabaikan masyarakat yang dipimpin oleh Beanal. Sedangkan bagi pihak perusahaan, kebijakan tersebut nampaknya ditujukan untuk meredam perlawanan lokal terhadap kegiatan pertambangan dengan mengkooptasi salah satu pengkritik terbaiknya. Motivasi Gus Dur untuk menghapuskan larangan pengangkatan Beanal nampaknya lebih ditujukan kepada gerakan kemerdekaan tentang kemungkinan melakukan kerjasama antara Indonesia, Papua Barat dan Freeport sesuai dengan upayanya untuk mempertahankan wilayah tersebut sebagai bagian dari Indonesia
(Sumber: Terjemahan Gamma, No. 5, Th. II, 22-28 Maret 2000)

Audit Lingkungan

Pengungkapan laporan kegiatan Freeport yang oleh auditor asal Amerika Serikat, Montogomery Watson, pada tahun lalu ditanggapi dengan penuh keterkejutan di antara aktivis lingkungan dan para menteri dalam pemerintahan. Kepala Bapedal di Papua Barat, Ali Kastella mengatakan bahwa laporan tersebut gagal menunjukkan sejauh mana tingkat kerusakan ekologis dan tidak memberikan penjelasan yang layak apa yang telah dilakukan Freeport untuk mengatasi masalah tersebut. Pihak perusahaan itu telah mempublikasikan laporan mereka dalam satu halaman penuh ringkasan audit di empat harian nasional –suatu langkah yang mengecewakan menteri lingkungan Sony Keraf. Persoalannya adalah hasil audit itu belum dikaji ulang dan departemennya belum memberikan persetujuan terhadap hasil audit yang dilakukan. Keraf juga mengatakan bahwa terdapat ketidakmenentuan dalam analisa dampak lingkungan PT Freeport yang harus dikaji dengan teliti.

Kantor Kastella belum lama ini menerbitkan hasil temuan investigasi tentang pengaruh tambang di wilayah hulu sungai yang menemukan bahwa 133.000 hektar tanah di wilayah konsesi perusahaan mengalami kerusakan serius dan sungai-sungai disekitarnya terkena polusi. Hanya 124 hektar lahan telah diperbaiki dan itu pun hanya ditanami dengan tumbuh-tumbuhan yang berjangka hidup pendek dan tidak memberikan keuntungan banyak pada penduduk lokal. Freeport menolak hasil temuan tersebut dan mengatakan bahwa "pembuangan limbah tambang sekarang ini hanya mempengaruhi sekitar 13.300 hektar."

Salah satu kekhawatiran terhadap pelaku audit, Montogomery Watson, dibayar oleh Freeport dan oleh karena itu, tidak dapat dianggap bersikap netral. Pemerintah sedang mempertimbangkan suatu pajak baru untuk mengatasi kesulitan tersebut. Gagasannya adalah melakukan pemungutan pajak terhadap perusahaan-perusahaan tambang antara 10-15% dari investasi, atau menerapkan suatu pajak terhadap keuntungan bersih perusahaan dan menyalurkan uang tersebut untuk membayar audit yang netral. Tidak diragukan lagi bahwa perusahaan-perusahaan pertambangan akan melakukan loby mati-matian untuk menghentikan langkah tersebut
(Sumber: Indonesian Observer, 02/03/00)

Sikap Diam Rio Tinto

Cukup menarik untuk mengamati sikap diam salah satu pemegang saham lainnya di perusahaan tersebut, Rio Tinto, terhadap seluruh isu-isu yang kini melanda Freeport. Mereka lebih memilih untuk mempublikasikan program-program pengembangan masyarakat di dua wilayah pertambangan Kalimantan Timur tempat perusahaan itu beroperasi. Keduanya adalah wilayah pertambangan batubara Kaltim Prima dan pertambangan emas Kelian (yang baru-baru ini dikunjungi oleh duta besar Inggris untuk Indonesia) di mana dalam fakta sebenarnya mereka masih memiliki persoalan dengan masyarakat setempat.

Sampai sekarang ini, sengketa panjang antara masyarakat Kelian dan perusahaan tersebut tentang masalah pelanggaran hak asasi manusia dan pengaruh lingkungan belum terselesaikan. Juga terdapat suatu kekhawatiran terhadap rencana perusahaan itu menutup kegiatan penambangan –pada tahun 2003 nanti—meskipun pihak perusahaan telah menjamin bahwa mereka akan "menutup kegiatan pertambangan secara bertanggungjawab"
(Asia Pulse, 22/Mar/00; Siaran Pers Rio Tinto, 22/Feb/00)

Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh di Australia, Eropa dan Amerika Serikat telah mendukung suatu kampanye para pemegang saham baru yang menuntut agar perusahaan menerapkan kode etis tentang praktek perburuhan di tempat kerja di seluruh dunia serta menuntut agar dewan perusahaan lebih bertanggugnjawab kepada para pemegang saham. Untuk informasi lebih lanjut lihat http://www.rio-tinto-shareholders.com


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link