Switch to English
Down to Earth Nr. 44 Februari 2000

Transmigrasi dan Pengungsi

Transmigrasi, program pemerintah untuk pemukiman kembali keluarga dari Jawa dan Bali ke pulau-pulau yang berpenduduk kurang padat, berperan dalam meningkatkan ketegangan antar kelompok masyarakat di Maluku, tempat konflik berdarah antara Islam dan Kristen. Kini pemerintah sedang mempersiapkan pengiriman kembali pengungsi dari daerah ini dan daerah konflik lainnya melalui program transmigrasi --sebuah kebijaksanaan yang mungkin mengarah pada lebih banyak konflik di masa depan.

Pada Bulan Desember, Menteri Transmigrasi Indonesia, Al Hilal Hamdi, mengumumkan bahwa pemerintah akan memulai relokasi para pengungsi dari wilayah konflik ke lokasi transmigrasi baru. Ia mengatakan akan ada tempat bagi sekitar 33.000 keluarga di lokasi baru, yang akan siap akhir bulan Maret tahun ini.

Pengumuman ini muncul saat bentrokan terus berlangsung di Maluku dan diprovokasi di pulau-pulau lain --termasuk pulau pariwisata Lombok pada Bulan Januari. Diperkirakan seribu lima ratus orang meninggal dunia akibat kekerasan di Maluku yang marak di ibukota Ambon, di Pulau Halmahera dan di tempat-tempat lainnya. Banyak diantaranya mengungsi ke Sulawesi Selatan, dimana kondisi dari para pengungsi yang berlimpahan tidak bisa dibiarkan. Di Aceh, dimana gerakan kemerdekaan mendapat dukungan RAKYAT, pasukan Indonesia menteror penduduk setempat dan membakar rumah mereka. akibatnya, puluhan ribu orang terdampar di kem pengungsi yang padat dan tidak sehat.

Pemerintah mengatakan ada 88.000 KK yang terlantar (sekitar 422.000 orang) yang tercatat pada akhir bulan November tahun lalu, namun jumlah ini merupakan angka yang konservatif. Di Aceh saja, lebih dari 300.000 orang mengungsi dari tempat tinggal mereka sejak Februari 1999, menurut angka bulan Desember yang dikeluarkan oleh Koalisi LSM Aceh. Sekitar 200.000 orang lainnya dari Maluku mengungsi atau terlantar, berdasarkan laporan-laporan media pada Bulan Januari. Jumlah ini sudah melebihi angka yang dikeluarkan pemerintah, padahal belum termasuk puluhan ribu keluarga pengungsi dari Timor Timur yang masih di Indonesia.

Transmigrasi bukanlah api yang menyalakan pergolakan di daerah ‘konflik horizontal’ seperti Maluku, dimana sebuah komunitas menyerang komunitas lainnya. Hal ini lebih disebabkan oleh penciptaan kerusuhan yang dilakukan dengan sengaja dan perebutan kekuasaan politik di Jakarta, serta pengaruh dari krisis ekonomi. Namun transmigrasi memang menyebabkan tekanan jangka panjang antar masyarakat dan menjadi lahan subur bagi provokasi dalam konflik antar masyarakat. Di Aceh dan Papua Barat, dan di Timor Timur, dimana terjadi konflik vertikal, transmigrasi dianggap sebagai alat militer untuk menguasai wilayah.

Penyelesaian Konflik

Bapak Raja Rahail, seorang kepala masyarakat adat dari kepulaian Kei di Maluku mengunjungi Inggris pada bulan Januari sebagai tamu Oxfam. Dia sangat yakin bahwa masyarakatnya mampu bertahan untuk tidak terjerumus dalam kekerasan antar masyarakat, karena penyelesaian konflik secara tradisional masih diterapkan.

Pada Kongres Masyarakat Adat di Jakarta tahun lalu, Undang-undang yang disahkan tahun 1970 yang menentukan kendali pemerintah pada tingkat kampung dan menghapuskan hukum adat, diidentifikasikan sebagai sasaran utama untuk diubah (Lihat Suplemen DTE 41 dan Nomor Khusus tentang AMAN, Oktober 1999)

Di Maluku, sebagian dari masyarakat Muslim pendatang telah hidup berdampingan dengan komunitas Kristen selama beberapa generasi.- malah beberapa abad - dan hampir setiap saat berhasil hidup berdampingan dengan tenang sampai sekarang. Namun, kemudian banyak pendatang baru yang datang melalui program transmigrasi yang disponsori pemerintah dan kemudian, para transmigran tidak resmi menyusul untuk bergabung dengan keluarganya di tanah transmigrasi. Transmigrasi massa ini berlangsung selama tiga dekade terakhir. Dari tahun 1969 sampai 1997 sekitar 122.000 KK (611.000 orang) dibawa ke Maluku dan Papua Barat di bawah program resmi. Angka untuk Kalimantan Barat - tempat terjadinya kekerasan antara suku Madura, Dayak dan Melayu pada tahun 1997 dan 1999 juga sama tingginya ; 118.500 KK (sekitar setengah juta orang) dimukimkan kembali.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, terdapat juga pergeseran jumlah penduduk migran di Indonesia Timur dari daerah pedesaan ke perkotaan, yang antara lain mungkin bisa dijelaskan dengan turunnya skala transmigrasi pada dekade terakhir dan kegagalan tanah transmigrasi dalam memberikan kehidupan yang berkesinambungan bagi keluarga pendatang yang terus bertambah.

Kementerian Transmigrasi ditiadakan

Program pemukiman kembali para pengungsi akan dilaksanakan oleh sebuah badan yang diciptakan oleh pemerintah baru; Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk. Badan ini bertugas untuk mengambil alih tugas operasional dari Kementerian Transmigrasi, yang kini diperkecil menjadi kantor menteri negara. Badan ini akan memperkerjakan 17.000 orang mantan pegawai kementerian transmigrasi, sehingga hanya tersisa 500 orang di kementerian ini. Apakah badan baru ini akan melaksanakan tugasnya berbeda dengan pendahulunya masih harus dilihat, tampaknya tidak akan ada perubahan yang berarti kecuali pertanyaan mendasar tentang tujuan, kegunaan dan dampak dari program ini dipertanyakan.

(Sumber : Jakarta Post 17/des/99)

Lingkaran setan

Yang dikhawatirkan adalah pelaksanaan kembali sistim transmigrasi bagi para pengungsi hanya akan menyalakan api perselisihan di masa mendatang dan mendaur ulang permasalahan yang kini dihadapi. Khususnya bila tempat pemukiman baru berada di daerah konflik lama. Menurut menteri transmigrasi Al Hilal, lahan transmigrasi yang baru sedang disiapkan di Maluku, Kalimantan Barat dan Aceh - daerah-daerah dari mana para pengungsi melarikan diri. Tempat lainnya yang sedang dalam proses adalah di Sulawesi Tenggara (tempat terdamparnya sebagian besar pengungsi dari Maluku) Nusa Tenggara Timur (daerah administrasi yang mencakup Timor Barat dan pulau-pulau lainnya ke arah Barat), dan Madura (pulau asal dari salah satu kelompok di Kalimantan Barat yang terlibat perselisihan etnis)

Menjadikan mereka sebagai calon transmigran bukanlah sebuah solusi bagi para pengungsi ini karena hal itu akan mengarah ke konflik suku dan agama yang semakin besar - permasalahan paling utama yang menyebabkan mereka harus melarikan diri. Sebaliknya, dalam jangka pendek, usaha-usaha (termasuk bantuan internasional) harus diarahkan ke kem-kem pengungsi, dimana kondisi yang buruk menjadi lahan berkembangnya penyakit TBC, disentri dan penyakit lainnya. Lebih dari itu, penyelesaian konflik secara tuntas haruslah menjadi prioritas utama agar para pengungsi bisa kembali pulang ke rumahnya.

Pengungsi Timor Timur

Al Hilal mengatakan bahwa hampir setengah dari keluarga-keluarga pengungsi berasal dari Timor Timur dan “tidak semua” dari mereka “mau ikut dalam program pemukiman kembali”. Dengan kata lain sebagian besar pengungsi adalah orang Timor Timur yang ingin pulang kembali namun belum bisa pulang.

Arus pengungsi dari Timor Timur bermula sebelum referendum tentang kemerdekaan, dimana keluarga-keluarga non Timor Timur mulai meninggalkan negara itu akhir tahun 1998 sebagai antisipasi dari kekerasan yang terjadi. Pada saat itu juga, program transmigrasi resmi ke Timor Timur dihentikan. Setelah referendum Agustus, arus yang stabil menjadi meluap ketika puluhan ribu orang Timor Timur dan bukan Timor Timur melarikan diri dari kekerasan atau dengan paksa dikumpulkan dan dibawa dengan truk oleh militer Indonesia dan para milisi yang didukung oleh militer.

Menurut angka PBB pada bulan Desember, hanya 117.000 dari 260.000 pengungsi dari Timor Timur telah kembali. Laporan bulan Januari Oxfam mengatakan bahwa 129.959 kini sudah kembali ke Timor Timur, namun 100.000 lainnya masih di kem-kem Timor Barat. Dari angka ini diperkirakan hanya setengah yang akan kembali ke Timor Timur. Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mereka yang berada di kem-kem Timor Barat adalah prioritas utama, selanjutnya mereka yang berada di Sulawesi Selatan, Surabaya (Jawa Timur), Denpasar (Bali) dan Jakarta. Pemerintah membantah ada pengungsi yang dipaksa keluar dari Timor Timur atau dipaksa untuk dimukimkan kembali di propinsi Indonesia.

(Sumber : Jakarta Post 17/Dec/99; Surat dari Kedutaan Indonesia kepada T Maguire dan D Thorpe , 15/Nov/99; Guardian 11/Jan/99; Laporan Akhir Tahunan, Koalisi NGO HAM Aceh, 30/Des/99. Oxfam Internasional, East TImor Emergency Pogram Sitrep 16, 15/Jan/00. Angka Transmigrasi dari Transmigrasi Indonesia, Kementerian Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, 1998)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link