Switch to English
Down to Earth Nr. 44, Februari 2000

Perusahaan Pertambangan : Tunggu dan Lihat

Perusahaan-perusahaan memberikan signal bahwa mereka akan menunda pengembangan investasi bila kondisi tidak membaik.

Perusahaan-perusahaan pertambangan dengan kegiatan pertambangan dan eksplorasi di Indonesia menyatakan bahwa penambangan gelap dan ambruknya hukum dan ketertiban mengancam industri pertambangan di negara ini. Beberapa juga khawatir kalau desentralisasi --yang ditetapkan oleh Undang-undang yang disahkan tahun lalu-- akan mengakibatkan adanya tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal dari pihak pemerintah daerah, dan kontrak-kontrak mereka yang sedang berjalan sekarang, yang kurang lebih bersifat sakral dibawah pemerintah Soeharto, akan mengalami perubahan yang tidak diinginkan.

‘’Jika pemerintah tidak bisa menjamin keamanan, maka seluruh sistim kontrak akan terpengaruh,’’ kata John Vernon, Presiden Direktur Aurora Gold. Sebagian dari usaha pertambangan emas Aurora Indo Muro Kencana di Kalimantan Tengah sudah diambil alih oleh pemilik tanah adat yang asli (lihat DTE 43:9) dan, menurut Far Eastern Economic Review, Aurora mungkin akan dipaksa untuk menarik diri sepenuhnya dari usaha pertambangan tersebut. (16/Des/99)

Menteri Yudhoyono mengatakan akan membentuk satuan tugas untuk menghadapi penambang gelap dan menindak keras militer, polisi maupun petugas pemerintah yang terlibat. Dia juga sedang mempertimbangkan cara untuk mengatur pertambangan tradisional yang dilaksanakan masyarakat setempat.

Usaha penambangan ‘Gelap’ berkembang pesat karena tekanan ekonomi dan kurangnya penegakan hukum sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998. Masyarakat adat juga meningkatkan aksi melawan perusahaan pertambangan dan industri-industri pengolah sumber alam lainnya yang melanggar hak tradisional mereka. Khususnya di sektor batu bara, penambangan dalam jumlah besar yang tidak terkendali bermunculan. Di Kalimantan Selatan tahun lalu diperkirakan tiga juta ton batu-bara ditambang lewat operasi seperti ini. Pengerukan tanpa ijin yang didanai pengusaha setempat menggali palung-palung sungai di Kalimantan Selatan dan Tengah untuk pencarian emas. Para LSM setempat menghimbau penghentian semua penambangan batubara di seluruh propinsi karena mengakibatkan dampak sosial dan lingkungan yang serius (lihat juga DTE 43;11).

Perusahaan-perusahaan juga menunggu perkembangan proses desentralisasi sebelum memberi dana tambahan bagi proyek-proyek di Indonesia. Tuntutan hukum atas PT Newmont Minahasa Raya oleh pemerintah daerah Sulawesi Utara dalam kasus penggelapan pajak terus menerus dipantau oleh pengusaha pertambangan lainnya. Di Kalimantan Timur para penambang batubara Kaltim Prima sedang menunggu apakah pihak pemerintah pusat akan mengijinkan pemerintah setempat mendapatkan saham kepemilikan mayoritas dalam perusahaan - aksi yang menurut perusahaan pertambangan Rio Tinto melanggar Kontrak Kerja. Perusahaan tersebut memperingatkan bahwa, bila hal tersebut disetujui, maka pembagian saham itu akan memberikan pengaruh negatif terhadap iklim investasi pertambangan di Indonesia. Hal lain yang dikuatirkan adalah peraturan yang dikeluarkan oleh DPRD Kalimantan Selatan yang menetapkan biaya sewa Rp. 55 000,- per tahun untuk tiap satu hektar penambangan. (Sewa tanah yang berlaku sekarang berdasarkan Kontrak Kerja jauh lebih rendah).

Sejak pertengahan 1998 sampai sekarang, iklim ketidakpastian menggantung di atas perindustrian secara umum dan industri pertambangan pada khususnya,’’demikian pernyataan direktur eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Paul Louis Courtier. ‘’Hampir semua pertambangan yang berproduksi dikritik karena ketidakpuasan terhadap tanggung jawab lingkungan dan sosial. Dalam banyak kasus, adalah ketidakpuasan terhadap rejim lama dan yang disalahkan para perusahaan.’’

Namun sepatutnya merekalah yang dipersalahkan. Masyarakat sertempat dan LSM yang mendukung sudah melakukan advokasi untuk menghentikan usaha perusahaan yang berlindung dibalik penyalahgunaan hukum rejim otoriter masa Soeharto, dimana sebagian besar industri tidak mengakuinya. Tidak dapat dihindarkan bahwa perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari penyalahgunaan wewenang atas hak sumber daya penduduk setempat kini menjadi target kemarahan mereka.

Bahaya yang ada sekarang adalah bahwa perusahaan akan menggunakan ancaman menunda investasi lebih lanjut untuk mempertahankan akses yang baik terhadap tanah yang kaya mineral dan mempengaruhi penentuan kebijakan pemerintah dalam pertambangan. Hal ini merupakan berita buruk bagi rakyat setempat dan lingkungan. Perusahaan-perusahaan sudah mengeluhkan peraturan baru yang berlaku di bidang pembangunan masyarakat, seperti kata salah seorang ekeskutif senior yang dikutip Far Eastern Economic Review bahwa bahwa jika ia mengikuti peraturan ‘’kami akan bangkrut.’’

Pada waktu yang bersamaan, Pemerintah Indonesia yang dipilih secara demokratis kini berusaha mempertanggung-jawabkan keinginan rakyat yang memilihnya --rakyat yang kini semakin sadar atas perlunya jaminan terhadap hak-hak asasi dan perlindungan lingkungan.

(Sumber : Jakarta Post 29/Nov/99,13/Des/99 & 3/Jan/00, 24/Jan/00, FEER 16/Des/99)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link