Switch to English
Down to Earth No. 42, August 1999

Perlawanan Terhadap UU Kehutanan yang baru

Sebelum DTE menerbitkan artikel ini, DPR telah mengesahkan UU kehutanan yang baru. Meskipun disertai dengan janji-janji reformasi, UU kehutanan ini ternyata masih bertumpu pada pengawasan bersifat top-down dan eksploitasi komersial. Oleh karena itu, kalangan LSM, akademisi kehutanan dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menuntut agar UU tersebut dicabut kembali karena mengingkari hak-hak adat dan dirancang tanpa proses konsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, anggota DPR yang sekarang ini duduk di lembaga tersebut memang tidak memiliki keabsahan politik sampai wakil-wakil rakyat yang baru menggantikan mereka.

Sebenarnya upaya merubah UU Pokok kehutanan 1967 yang menjadi acuan seluruh undang-undang dan peraturan tentang kehutanan di Indonesia telah lama dicanangkan. Meskipun demikian, di Indonesia atau juga di negara-negara lainnya, masalah kehutanan bukan hanya persoalan teknis atau ekonomis belaka, tetapi juga menjadi persoalan politik yang peka. Upaya menyusun UU kehutanan boleh dikatakan telah memakan waktu lebih dari satu dekade. Hal ini dikarenaka para menteri kehutanan yang terdahulu harus bisa menyeimbangkan kepentingan keluarga Soeharto, militer dan konglomerat dengan komitmen internasional melindungi sumber daya alam. Berbagai konflik antara masyarakat kehutanan, pengusaha kayu dan pemerintahan daerah terus berlanjut karena bisnis perkayuan terang-terangan melanggar hak-hak tanah masyarakat adat.

Meskipun pada akhirnya tidak berhasil, pemerintah Habibie sebelumnya telah berusaha keras agar DPR menyetujui Undang-undang Kehutanan yang baru ini sebelum pemilu berlangsung. Desakan untuk melakukan hal ini bukan berasal dari tekanan yang muncul dalam masyarakat sipil, melainkan berasal dari tekanan IMF dan Bank Dunia Reformasi sektor kehutanan memang merupakan salah satu prasyarat yang diajukan IMF untuk mencairkan "paket bantuan ekonomi" senilai 43 milyar dollar pada bulan November 1997 yang lalu. Perhatian IMF terhadap persoalan kehutanan semata-mata ditujukan pada upaya meningkatkan sumbangan sektor kehutanan terhadap perekonomian melalui berbagai kebijakan seperti penghapusan monopoli perdagangan kayu; pengalihan kontrol dana reboisasi dan perusahaan perhutanan milik negara kepada menteri keuangan; sistem lelang konsesi pengolahan kayu; pengenalan surat obligasi; dan penaikkan biaya dan pajak terhadap perusahaan kayu (lihat buletin DTE NO.40).

Sementara itu, Bank Dunia menggarisbawahi reformasi kebijakan manajemen kehutanan berdasarkan Dukungan Pinjaman Untuk Kebijakan Reformasi (PRSL-1). Paket ini termasuk penghapusan kewajiban bagi pemegang konsesi untuk memiliki pabrik pengolahan kayu sendiri; membuat ijin konsesi yang dapat diperdagangkan melalui penjualan dan perpanjangan masa konsesi. Penghentian pencairan dana pinjaman Bank Dunia sebesar 400 juta dolar Amerika pada akhir tahun 1998 dikarenakan seretnya proses reformasi kehutanan. Tetapi dalam korespondensi dengan DTE, mereka mengingkari bahwa mereka menginginkan agar UU Kehutanan yang baru tersebut segera disahkan.

"Mengundang, Menginformasikan dan Mengabaikan"

Dalam dokumen peminjaman dana yang diberikannya, Bank Dunia mensyaratkan bahwa harus ada konsultasi secara formal yang dilakukan dengan efektif terhadap semua pihak yang terlibat dalam reformasi kebijakan hutan. Sebenarnya pemerintah juga telah melakukan serangkaian konsultasi dengan LSM, akademisi dan pihak pemberi dana tentang isu hutan ini di penghujung tahun 1998, walaupun apa yang dilakukan tersebut hanya sandiwara belaka. Dua panitia perancang yang bertugas merancang Undang-Undang Kehutanan pun terbentuk. Atas persetujuan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Muslimin Nasution, masing-masing adalah Komite Internal Departemen Kehutanan dan Komite Reformasi Perkebunan dan Kehutanan (KRPKP) yang terdiri dari kalangan akademisi, LSM dan perwakilan pemerintah serta wakil industri kehutanan.

Namun sayangnya, panitia tersebut sama sekali tidak mengikutsertakan perwakilan masyarakat adat. Kemudian, saat rancangan akhir perundang-undangan itu dipublikasikan pada bulan Maret sebelum pada akhirnya diserahkan ke DPR, naskah undang-undang tersebut ternyata sedikit sekali merujuk pada versi-versi yang disepakati dalam proses konsultasi atau pada janji Mentri Kehutanan dengan slogannya "hutan untuk rakyat". Ternyata tugas pejabat-pejabat Departemen Kehutanan hanyalah menjamin agar status-quo tidak terganggu. Namun sayangnya, Bank Dunia menutup mata dari masalah ini dan terus melanjutkan rencana mereka dengan dana pinjaman reformasi kebijakan kehutanan yang kedua (PSRL-II) dan dana pinjaman penyesuaian sektoral (For SAL).

Para akademisi masalah kehutanan Indonesia, aktivis yang melakukan kampanye dan peneliti international merasa kecewa setelah menyadari bahwa seluruh pembicaraan tentang reformasi hutan yang mereka sepakati ternyata hanya sandiwara belaka. Beberapa kelompok seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), konsorsium 14 LSM di Kalimantan Timur dan 28 kepala kelompok masyarakat yang berasal dari Kalimantan Selatan menyerukan agar UU yang diusulkan tersebut ditarik. Bahkan mantan Menteri KLH Emil Salim dan mantan Menteri Kehutanan Djamaluddin menyatakan secara terbuka bahwa UU yang diusulkan itu "jauh dari sempurna" dan tidak menyentuh persoalan nyata seperti eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya hutan dan penebangan liar.

Meskipun DPR tidak berfungsi selama beberapa minggu menjelang pemilu, namun lobi yang cukup gencar dari beberapa fraksi guna menghentikan laju UU yang baru tersebut terus berjalan. Forum Komunikasi dan Manajemen Kehutanan (FKKM) suatu kelompok "think-tank" yang berbasis di Jogja dan terdiri dari kalangan akademisi kehutanan terkemuka, LSM, pejabat pemerintah dan pengusaha hutan- mengajukan rancangan UU kehutanan alternatif yang kemudian mendapat dukungan dari sejumlah anggota DPR. Sementara itu WALHI mengusulkan bahwa sudah saatnya dibuat suatu Undang-Undang Sumber Daya Alam yang terpadu daripada undang-undang yang terpisah seperti UU Kehutanan, UU pertambangan dan Perencanaan.

Para pelobi juga telah meminta Kepala Sekretariat Negara, Muladi, untuk mencabut UU tersebut sampai anggota DPR dan MPR baru terpilih. Selain itu mereka juga melakukan lobi terhadap Departemen Kehutanan. Hasilnya adalah pertemuan yang diselenggarakan di Departemen Kehutanan guna mendiskusikan alternatif undang-undang versi FKKM. Selain itu, Menteri Kehutanan tampil sebagai pembicara utama pada debat publik besar yang dihadiri oleh pejabat departemen, komite reformasi, FKKM dan LSM yang diselenggarakan di salah satu Hotel di Jakarta. Nampaknya, jika kelompok masyarakat sipil dan negara donor tidak berupaya menghentikan proses tersebut, UU Kehutanan yang baru tersebut mungkin akan disahkan pada bulan Agustus ini.

Program Perencanaan Hutan Nasional

Walaupun perlawanan terhadap rancangan UU Pokok Kehutanan dan ketidakpastian tentang pemilihan presiden yang akan datang, Departemen Kehutanan mengumumkan dimulainya siklus lima tahunan program kehutanan pada bulan Juli ini. Agar terlihat lebih demokratis dan transparan sebagai prasyarat yang ditetapkan lembaga-lembaga donor internasional, pemerintah telah membentuk dua kelompok kerja yang memainkan peran konsultatif dan akan memberikan laporannya pada bulan Oktober ini. Yang pertama adalah "Kelompok Skenario" yang terdiri dari para ahli yang akan memberikan data tentang situasi hutan Indonesia serta merumuskan pilihan terhadap langkah yang harus diambil. Kelompok kedua adalah "Kelompok Pelaksana" yang terdiri dari wakil pihak-pihak yang berkepentingan untuk merencanakan mekanisme konsultatif yang dapat diterima. Sementara itu, dibalik layar, negara-negara pemberi dana seperti Masyarakat Eropa, Inggris dan Jerman akan membuat berbagai prioritas untuk mendanai program-program kehutanan di masa depan.

Tinjauan ulang terhadap kebijakan kehutanan ini dilakukan karena ketidakpuasan terhadap minimnya informasi tentang pengaruh krisis ekonomi dan politik terhadap hutan dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Salah satu studi yang telah dilakukan adalah studi tentang pengaruh krisis ekonomi terhadap kehidupan petani dan pengelolaan hutan oleh lembaga penelitian kehutanan internasional, CIFOR. Laporan pendahuluan dari hasil penelitian lapangan di Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur serta Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa situasinya sangat berbeda menurut situasi tempat dan waktu. Peneliti Angelsen dan Resosudarmo menyimpulkan bahwa krisis memberikan dampak negatif terhadap para petani secara mendalam dan melebihi dugaan semula. Tidaklah terlalu mengejutkan kiranya bila petani miskin adalah pihak yang terkena dampak paling buruk. Namun dampak negatif jangka pendek terhadap hutan tidak seperti yang dikhawatirkan semula.

Ancaman utama kerusakan hutan diciptakan oleh para petani kaya, imigran dan pengusaha dari kota yang mengubah hutan menjadi lahan penanaman tanaman keras yang menguntungkan. Kedua peneliti itu juga menunjukkan bahwa banyak pengamat mengabaikan pengaruh vakum politik terhadap kondisi hutan. Kondisi ini telah menyebabkan lemahnya proses penegakan hukum yang menyebabkan penebangan kayu liar dan pelanggaran wilayah hutan lindung semakin meningkat. Selama beberapa bulan terakhir, cukup banyak laporan yang memperingatkan tentang pelanggaran terhadap batas wilayah hutan lindung di berbagai tempat di Indonesia. Sejak jatuhnya Soeharto, penebangan kayu di wilayah perkebunan dan wilayah penebangan hutan juga meningkat cepat (lihat DTE No.39).

Sejumlah artikel di koran-koran membuat laporan tentang kerusakan-kerusakan hutan yang terjadi di Gunung Salak serta Taman Nasional Meru Betiri di pulau Jawa; Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan tengah; Bukit Tiga Puluh di Jambi dan Gunung Leuser di Sumatra Utara dan Aceh. Berbagai laporan yang ditulis para peneliti dan pengamat, membahas masalah perlindungan terhadap spesies yang terancam punah seperti orang utan, badak dan kehidupan burung. Contohnya, di Belimbing Suaq tepat di tengah-tengah wilayah ekosistem Taman Nasional Leuser, para ahli Indonesia dan Internasional melihat bahwa dalam penelitian mereka yang dilakukan selama beberapa tahun, spesies-spesies itu telah menghilang seiring dengan mengganasnya penebangan-penebangan liar. Meskipun penebangan liar skala besar telah dilarang selama bertahun-tahun oleh pemerintah setempat maupun pihak militer, namun sekarang ini terdapat bahaya besar yang mengancam dengan merajalelanya pandangan "bebas bagi siapa saja" - termasuk penduduk setempat-- untuk menebang kayu sebanyak-banyaknya.

Laju Perusakan hutan

Data-data resmi yang diterbitkan pemerintah Indonesia mengabaikan seberapa besar tingkat penebangan kayu liar yang terjadi. Perkiraan tidak resmi Bank Dunia menyatakan bahwa setiap tahunnya, Indonesia kehilangan 1,5 juta ha hutan setiap tahunnya selama 12 tahun terakhir. Secara pribadi, para ahli tersebut menjelaskan bagaimana Sumatra telah digunduli secara komersial hanya dalam waktu satu dekade. Suatu studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Program Manajemen Hutan Tropis Indonesia-Inggris (ITFMP) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan sekitar 32,6 juta kubik antara total produksi kayu legal dengan kebutuhan industri pemrosesan kayu (lihat tabel dibawah). Kekurangan ini hanya bisa dipenuhi oleh produksi penebangan kayu liar. INI berarti pelenyapan sekitar 640.000 ha hutan alam setiap tahunnya (dengan perkiraan jumlah kayu tanam/pohon adalah 50m kubik per ha nya).

Laporan ini merupakan dokumen yang paling terang-terangan dari suatu program yang didanai pemerintah Inggris sampai saat ini. Dokumen itu menyatakan bahwa: "....resiko yang paling buruk adalah hutan-hutan tersebut akan segera musnah dalam waktu dekat apabila tidak diambil tindakan yang nyata dalam waktu dekat". Laporan itu juga menyalahkan kebijakan hutan Indonesia saat ini yang mengijinkan industri pemrosesan untuk melampaui kapasitas hutan yang ada guna memenuhi kebutuhan produksi. Apalagi dengan adanya strategi ekspor yang mengorbankan kebutuhan dalam negeri. Secara khusus, laporan tersebut menunjukkan bahwa eskpor pulp dari Indonesia menjadi pemacu penebangan liar besar-besaran. Dengan memperhatikan bagaimana tekanan IMF terhadap ekspor guna perbaikan ekonomi Indonesia, situasi yang terjadi sekarang ini nampaknya tidak akan berubah.

Penawaran/Permintaan Jumlah (juta m3) 1997/8
Produksi kayu secara legal di Indonesia
Impor
Sumber lain
Jumlah penawaran
29,5
20,4
1,6
51,5
Permintaan dalam negeri
Jumlah kayu setara ekspor
Jumlah permintaan
35,3
48,8
84,1
Neraca keseimbangan kayu -32,6



Jumlah sumber kayu Indonesia (prakiraan) Jumlah (juta m3) 1997/8
Kayu hutan alam jenis tertentu 16 (20%)
Penebangan untuk penanaman kembali/pertanian 10 (13%)
Penanaman 2 (3%)
Hutan milik rakyat/perseorangan 1 (1%)
Penebangan hutan alam secara liar 32 (63%)
Jumlah (tidak termasuk impor) 61




Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link