Wawancara dengan Frances Seymour, CIFOR: “Surat Pernyataan Kehendak itu berdampak besar dalam dialog tentang hutan”

 
Bagian ketujuh dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 13 April 2012

Wawancara dengan Frances Seymour, CIFOR, di kantor CIFOR, Bogor, Maret 2012. (Tanggapan terhadap satu pertanyaan dari Lou Verchot disampaikan melalui surat elektronik.)

REDD-Monitor: Bisakah Anda berikan sedikit latar belakang tentang CIFOR dan peran yang dimainkannya dalam pembahasan mengenai REDD di Indonesia.

Frances Seymour: CIFOR adalah sebuah organisasi internasional dan kami memiliki markas besar internasional di sini di Indonesia. Kalau saya tidak salah kami adalah satu-satunya organisasi internasional berskala global dengan markas besar di Indonesia. Posisi ini unik. Dengan demikian, banyak hal yang kami lakukan secara global juga kami lakukan di sini di Indonesia, karena kami mempunyai hubungan khusus dengan negara tuan rumah kami. Dan karena REDD adalah satu dari agenda penelitian besar kami secara global, maka REDD juga menjadi agenda penelitian besar kami di sini di Indonesia.

Agenda CIFOR untuk penelitian, jangkauan dan keterlibatan REDD dimulai pada akhir 2006, ketika Tinjauan Stern dan laporan Ken Chomitz muncul. Ada sejumlah hal yang membangun momentum terhadap REDD dan kami mulai membuat agenda penelitian kami sendiri. Tahun 2007 adalah tahun persiapan untuk COP (Konferensi Para Pihak) UNFCCC di Bali di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Para ilmuwan CIFOR berpartisipasi dalam proses IFCA (Aliansi Iklim Hutan Indonesia) yang mengarah pada persiapan tersebut. Kami menjadi tuan rumah untuk Hari Hutan pertama di Bali. Jadi mulai dari awal, pembentukan agenda penelitian REDD di CIFOR telah berjalin erat dengan Indonesia.

Secara global maupun di Indonesia, CIFOR telah memiliki posisi yang baik untuk menyampaikan sesuatu tentang REDD karena kami telah melakukan proyek penelitian selama sepuluh tahun tentang penyebab mendasar dari deforestasi. Salah satu hal yang pertama kami lakukan adalah menyusun sebuah ringkasan dari penelitian itu dan apa yang kami pikir akan ditimbulkan oleh REDD. Dengan mempertimbangkan apa yang kami ketahui tentang penyebab-penyebab deforestasi, lalu apa yang akan Anda lakukan terhadapnya untuk mengurangi deforestasi? Kami membangun platform itu dari COP Bali untuk mengembangkan sebuah program penelitian di sini.

Sebagai bagian dari agenda penelitian, kami mengembangkan sebuah program penelitian komparatif global tentang generasi pertama dari inisiatif REDD. Program itu memiliki empat komponen. Komponen pertama memeriksa kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi REDD nasional. Hal itu lebih banyak merupakan analisis ekonomi politik. Untuk mencoba memahami siapa yang terlibat, bagaimana mereka terkait satu sama lain dan siapa yang mendapatkan suara. Sejauh mana kebijakan dan strategi tersebut sesuai dengan apa yang kita ketahui sebagai sebab-sebab mendasar dari deforestasi? Apa saja hambatannya? Adakah pola-pola di antara negara-negara yang dapat kita pelajari tentang apa yang berjalan dengan lebih baik atau lebih buruk?

Komponen kedua dari proyek itu memeriksa secara khusus inisiatif-inisiatif tingkat-proyek. Kami mengamati 22 buah proyek REDD di seluruh dunia, enam di antaranya ada di Indonesia. Proyek-proyek itu bukanlah proyek CIFOR. Kami sedang melakukan pengumpulan data yang membandingkan kondisi sebelum-sesudah dan variabel yang mendapat kontrol dibandingkan yang mendapat perlakuan yang cukup ketat, dengan fokus khusus tentang dampak-dampak terhadap mata pencaharian. Jadi kami akan dapat menyatakan apakah intervensi REDD ini memiliki dampak terhadap pendapatan rumah tangga. Tapi kami juga meneliti dampak terhadap deforestasi dan degradasi serta dampaknya terhadap tata kelola dan masalah-masalah lainnya.

Komponen penelitian ketiga adalah mengenai beberapa isu teknis dan biofisik, dengan meneliti secara khusus untuk mengisi beberapa kesenjangan data tentang emisi dari perubahan penggunaan lahan dan bagaimana mengukurnya. Jadi kami memiliki tim terdiri dari orang-orang yang meneliti di rawa gambut dengan mengumpulkan sampah daun dalam kantong-kantong dan mengerjakan sampel inti di dalam lapisan tanah untuk mengukur apa kandungan karbonnya sehingga kita mempunyai pembanding yang lebih baik untuk melakukan estimasi apa yang terjadi ketika kita mengonversikan suatu rawa gambut menjadi sesuatu yang lain. Kami juga melakukan beberapa penelitian mengenai bagaimana menetapkan suatu referensi tingkat emisi, beberapa skenario pemodelan dan apa saja implikasi yang berbeda serta berbagai cara untuk melakukannya.

Dan kemudian ada komponen keempat, yang didedikasikan secara khusus untuk berbagi pengetahuan. Kami sedang berupaya membangun suatu komunitas yang berpengetahuan dan menyampaikan ke publik tentang apa yang sedang terjadi.

Intinya kami berupaya memahami dalam inisiatif-inisiatif REDD tentang apa yang efektif, apa yang efisien dan apa yang adil (equitable). Tiga E (effective, efficient dan equitable). Kami sedang mencoba menilai generasi pertama dari aktivitas-aktivitas REDD dengan harapan untuk mempengaruhi generasi keduanya. Dan tentu saja sambil berjalan, kami tetap belajar dan menemukan apa yang kurang dalam desain penelitian pertama kami. Jadi, misalnya, kami baru saja memprakarsai satu pekerjaan baru mengenai pembagian keuntungan yang melengkapi apa yang kami telah mulai. Ini termasuk fokus penelitian tentang apa yang disebut tingkat yurisdiksi, skala sub-nasional di atas skala proyek tersebut, yang tidak kami masukkan dalam penelitian sebelumnya. Kami berupaya untuk terus-menerus belajar dan memutakhirkan pendekatan kami sendiri.

Setiap hal yang telah saya sebutkan dilakukan dalam satu dan lain cara di Indonesia. Kami sedang melakukan studi Komponen 1 mengenai ekonomi politik dari kebijakan dan strategi REDD nasional di Indonesia. Sebagaimana saya sebutkan, enam dari lokasi proyek Komponen 2 berada di Indonesia. Cukup banyak pekerjaan biofisik Komponen 3, khususnya mengenai perubahan penggunaan lahan hutan lahan basah, berada di Indonesia. Banyak dari pekerjaan jangkauan Komponen 4, bisa dikatakan kami memiliki konsentrasi tertentu di Indonesia, yang telah memungkinkan kami untuk melakukan lebih banyak lagi pendidikan populer di sini dibandingkan yang telah kami lakukan di tempat-tempat lain. Misalnya, kami mempunyai laman gabungan dengan Kementerian Kehutanan, laman REDD Indonesia, untuk menyampaikan seluruh informasi ini dalam Bahasa Indonesia.

REDD-Monitor: Kapan seluruh informasi dari program penelitian komparatif global itu akan dipublikasikan? Apakah akan ada serangkaian laporan yang terpisah, atau satu laporan besar?

Frances Seymour: Informasi itu dipublikasikan dengan berbagai cara. Beberapa bagian dari informasi itu telah muncul dalam jurnal yang ditelaah oleh sejawat. Bagian-bagian lainnya telah muncul sebagai kertas kerja CIFOR. Dan kami sedang dalam proses membuat volume berikutnya yang sudah diedit. Itu akan menjadi ringkasan temuan-temuan dari dua tahun pertama dari proyek tersebut dan dikompilasikan di antara dua edisi. Jadi informasi itu muncul dalam berbagai bentuk, secepat yang kami bisa. Sementara itu, staf kami menghadiri konferensi-konferensi, membuat presentasi powerpoint dengan temuan-temuan awal. Kami sedang mencoba untuk mengoptimalkan, menyesuaikan untuk memungkinkan perbandingan data, mempublikasikan sebanyak mungkin apa yang kami rasakan sudah layak dibaca, dengan mengingat tingkat analisis data tersebut.

REDD-Monitor: Berapa banyak orang di CIFOR yang secara khusus bekerja mengenai REDD di Indonesia?

Frances Seymour: Itu tergantung pada bagaimana menghitungnya, tapi jika dihitung menurut jumlah ilmuwan yang memimpin pekerjaan tersebut, ada sekitar 35 orang, termasuk mahasiswa PhD, yang saat ini bekerja secara langsung dengan CIFOR. Jika Anda menghitung seluruh mitra dan konsultan kami jumlahnya bisa lebih dari 100.

REDD-Monitor: Dan berapa banyak staf CIFOR secara keseluruhan?

Frances Seymour: Staf kami saat ini adalah 193 orang dan bertambah dengan cepat. Kami akan mencapai jumlah 200 orang tahun ini. Itu secara global, bukan hanya di sini di Indonesia.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi CIFOR terhadap REDD?

Frances Seymour: Itu mudah, karena CIFOR tidak punya posisi terhadap apapun. Salah satu alasan bahwa kami dapat memainkan peran yang kami lakukan adalah bahwa kami dapat menjadi sumber informasi dan analisis yang independen. Kami berupaya untuk bisa relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan “jika…, maka…” Jika Anda mencoba memaksimalkan tujuan ini, maka analisisnya menunjukkan bahwa Anda sebaiknya mendekatinya dengan cara ini. Tapi kami tidak akan mengambil langkah berikutnya dan menyatakan dan oleh karena itu hal itu harus dilakukan dengan cara ini. Kami betul-betul meletakkan opsi-opsi di atas meja. Itulah pendekatan kami. 

Namun demikian, ketika kami memikirkan tentang REDD, kami memikirkan tentang REDD sebagai sebuah tujuan yang telah disetujui oleh komunitas internasional. Tak seorangpun yang betul-betul tidak setuju dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Kami merasa bahwa begitu banyak hal yang CIFOR lakukan adalah menuju tujuan itu, karena kami bekerja untuk memperbaiki pengelolaan hutan dengan fokus khusus pada penghidupan dan proses yang baik.

Dari sudut pandang tujuannya, kami mendukungnya. Apakah kami mengambil posisi terhadap suatu program tertentu, atau penjelmaan REDD melalui berbagai pendukungnya secara global, nasional dan lokal? Tidak. Itulah yang sedang kami teliti. Pertanyaan kami adalah, yang manakah dari berbagai pendekatan yang berbeda ini yang memenuhi kriteria uji keefektifan, efisiensi, dan keadilan (equity)?

REDD-Monitor: Tahun lalu, CIFOR menyelenggarakan konferensi Hutan Indonesia dan CIFOR telah menyelenggarakan rangkaian Hari Hutan, sejauh ini sudah lima kali dan satu lagi pada tahun ini. Tidakkah ini hal yang tidak biasa dilakukan oleh suatu lembaga penelitian? Apa alasan pembenar atau penjelasan Anda tentang mengapa CIFOR mengerahkan begitu banyak energi dalam kegiatan-kegiatan ini? 

Frances Seymour: Ada jawaban dengan tiga bagian untuk pertanyaan ini. Yang pertama adalah bahwa kami ingin penelitian kami dibaca publik. Komponen untuk berbagi pengetahuan adalah upaya untuk membuat masyarakat sadar tentang apa yang telah kami lakukan. Menerbitkan dalam jurnal untuk sejawat hanya menjangkau segelintir bagian dari para pemangku kepentingan sehingga kami telah menginvestasikan cukup banyak dalam berbagai wahana komunikasi yang mencapai berbagai jenis kelompok publik dengan berbagai cara. Program komunikasi kami, menurut saya, ada di garda terdepan dari apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian. Kami menggunakan facebook, twitter, blog dan video.

Kami mempunyai sebuah model komunikasi yang cukup rinci. Kami memiliki strategi yang merupakan model berbasis internet yang mencoba menarik manfaat dari seluruh cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat tetapi tidak meninggalkan cara penjangkau tradisional seperti publikasi dan acara. Apa yang kami temukan adalah bahwa acara, yang merupakan pertanyaan spesifik Anda, dapat bersifat sinergi dengan cara-cara menyampaikan ke pihak luar sehingga ketika kita mempublikasikan acara-acara ini maka ia akan membawa masyarakat ke laman kami dan mereka mengklik untuk melihat pidato Presiden dan mereka tetap di situ untuk mengunggah beberapa publikasi, hal-hal semacam itu. Jadi itu adalah cara untuk menarik perhatian terhadap penelitian kami.

Sisi sebaliknya adalah bahwa itu juga cara kami untuk belajar, mengajak masyarakat bersama-sama untuk berdebat tentang isu tersebut dan mencari tahu tentang pertanyaan apa yang ditanyakan para pembuat kebijakan yang mungkin dapat dijawab oleh penelitian kami. Jadi itu cara bagi kami, misalnya dengan konferensi Hutan Indonesia, untuk mengumpulkan sejumlah pembicara dan pemangku kepentingan dan mendapatkan pengertian tentang di mana pengetahuan terdepan dan di mana penelitian independen mungkin dapat membuka jalan ke depan. Jadi kegiatan semacam itu memberikan masukan ke dalam agenda penelitian kami selain sebagai sekedar sebuah platform untuk menjangkau publik.

Bagian ketiga dari jawaban itu adalah justru karena kami tidak mengambil posisi terhadap suatu isu seperti REDD, kami bisa menjadi perantara yang jujur dan mengundang untuk pertemuan semacam itu, mengajak orang-orang dari organisasi internasional, pemerintah, LSM berorientasi advokasi dan komunitas bisnis. Semua pihak itu merasa cukup nyaman berada di atas panggung yang ada logo kami di atasnya karena mereka tidak merasa seperti akan diserang, atau hal-hal yang lain lagi. Jadi itu adalah sebuah peran, saya tidak akan bilang bahwa kami dapat berperan secara unik, tapi kami sudah membangun reputasi untuk dapat membuat jenis panggung itu dengan cara yang mungkin para pemain lainnya, khususnya dalam perdebatan REDD, akan mengalami kesulitan dalam melakukannya. 

REDD-Monitor: Pertanyaan tentang perdagangan karbon. Saya tahu bahwa CIFOR tidak mengambil posisi, tapi bagaimana posisi CIFOR terhadap perdagangan karbon?

Frances Seymour: Seperti saya katakan sebelumnya, kami tidak mengambil posisi, jadi kami tidak punya satu posisi seperti begini atau sebaliknya terhadap hal ini. Apa yang dapat saya katakan adalah bahwa kami telah mempublikasikan analisis termasuk dalam buku ini ["Moving Ahead with REDD" [“Melangkah Maju dengan REDD”]], yang diterbitkan beberapa tahun yang lalu, yang menyatakan, tergantung pada asumsi Anda tentang apa itu rezim global, Anda dapat memperoleh pengurangan emisi yang lebih besar dengan harga yang sama jika Anda memperbolehkan perdagangan karbon. Lagi, ini adalah salah satu dari jawaban “jika… maka…” tersebut. Tapi tentu saja masyarakat yang punya akal sehat bisa tidak sepakat tentang kemungkinan mendapatkan rezim politik yang memungkinkan instrumen ekonomi itu berfungsi seperti seharusnya. Tapi kami tidak punya keberpihakan terhadap itu.

REDD-Monitor: Saya akan coba mengungkapkan ini sebagai sebuah pertanyaan “jika… maka…”. Presiden Indonesia telah menyatakan bahwa beliau ingin mencapai pengurangan emisi sebesar 26% atau 41%, yang mayoritasnya akan berasal dari hutan dan pengalihan lahan. Jika Indonesia mengambil rute perdagangan karbon maka Indonesia tidak akan bisa menghitung itu terhadap pengurangan emisinya sendiri karena mereka akan menjual kredit karbon dan negara manapun yang membeli kredit itu akan menghitungnya sebagai pengurangan emisi mereka. Tampaknya bagi saya itu akan menempatkan Indonesia dalam situasi yang sangat sulit.

Frances Seymour: Saya tidak tahu bahwa pemerintah Indonesia telah membuat pembedaan itu dalam konteks komitmen Presiden. Mungkin saya kurang informasi.

REDD-Monitor: Bahayanya adalah bahwa sedang terjadi penghitungan ganda. Siapapun yang membeli kredit karbon akan bilang bahwa itu adalah pengurangan mereka dan Indonesia akan menyatakan hal yang sama.

Frances Seymour: Tentu saja, tapi itu hanya kasus tertentu dari masalah umum masyarakat dalam soal pengimbang (offset) bukan? Jadi itu kembali lagi ke jawaban pertama saya. Tergantung pada sifat dari rezim global tersebut dan batas atas yang tercakup di dalamnya, secara teori hal itu memungkinkan pemotongan keseluruhan yang lebih besar. Tapi saya tidak tahu bahwa SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) telah menentukan secara spesifik bahwa pemotongan itu sebesar 26% atau 41% di atas pengurangan emisi manapun yang dijual di pasar karbon. Tapi itu bukanlah pertanyaan untuk saat ini, karena kita tidak punya sebuah pasar offset REDD internasional.

Tapi saya belum mendengar ada orang yang memperdebatkannya sehingga saya tidak tahu bahwa pemerintah telah mengklarifikasi rincian komitmen tersebut.

REDD-Monitor: Menurut CIFOR bagaimana seharusnya REDD didanai?

Frances Seymour: Sekali lagi, kami tidak mengambil posisi tertentu. Tapi dalam riset kami dan hal-hal yang telah kami publikasikan, kami memahami bahwa kebutuhan negara-negara dan masyarakat-masyarakat untuk pembiayaan REDD akan bervariasi seiring waktu. Pendekatan tiga fase yang umum yakni kesiapan, kesiapan untuk kinerja, perubahan kebijakan dan kemudian pembayaran berbasis kinerja cukup masuk akal sebagai suatu tahapan. Begitu pula, kebutuhan-kebutuhan yang berbeda tersebut meski melalui kerangka waktu itu, sejumlah kebutuhan lebih cocok didanai oleh sektor swasta dan beberapa lainnya lebih cocok didanai oleh sektor publik. Sektor swasta tidak akan mendanai hal-hal seperti pembangunan kapasitas sehingga sektor publik harus melangkah masuk untuk melakukannya. Perlu ada perimbangan semacam itu. Dan juga kapasitas maupun profil risiko terkait geografis berbeda-beda, baik dalam hal proyek-proyek REDD di negara-negara dengan karbon yang lebih rendah dan kapasitas tata kelola yang lebih rendah di wilayah-wilayah tertentu, dibandingkan dengan wilayah-wilayah dengan karbon yang lebih tinggi dan kapasitas tata kelola yang lebih tinggi. Akan ada profil pendanaan yang berbeda untuk kedua situasi ekstrem tersebut. Dalam kasus manapun akan ada kombinasi sumber pendanaan yang spesifik terhadap tempat tertentu, tapi juga tergantung waktu dan tahapan melalui strategi tersebut. Jadi hal itu akan selalu berupa kombinasi, publik, swasta, domestik, internasional, yang sesuai dengan kebutuhan. 

REDD-Monitor: Bagaimana pandangan CIFOR terhadap kesepakatan 1 milyar USD antara Indonesia dan Norwegia?

Frances Seymour: Sekali lagi, CIFOR tidak mengambil posisi. Tapi saya rasa cukup adil untuk menyatakan bahwa kesepakatan itu telah menciptakan kesempatan bagi CIFOR dan setiap orang lainnya untuk memperoleh perhatian secara politik yang lebih besar terhadap pekerjaan yang kami lakukan dalam mendukung pengelolaan hutan yang lebih baik di Indonesia. Kedua pemerintah tersebut telah mendekati CIFOR untuk mendapatkan saran dan dukungan. Saya hanya bisa  menyambut baik inisiatif yang telah dipercepat oleh Surat Pernyataan Kehendak tersebut.

Jika boleh, saya akan memberikan jawaban secara pribadi terhadap pertanyaan itu. Saya mulai bekerja di Indonesia pada 1986-87, jadi kita berbicara tentang pengalaman selama 25 tahun. Saya ingin bilang bahwa Surat Pernyataan Kehendak itu adalah pengubah permainan satu-satunya yang paling signifikan dalam 25 tahun saya mengamati sektor kehutanan Indonesia. 

Perspektif pribadi saya sendiri, dengan mencermati masa 25 tahun itu, saya pikir Surat Pernyataan Kehendak itu berdampak besar dalam dialog tentang hutan, siapa yang berpartisipasi di dalamnya, penyesuaian kembali di antara sesama konstituensi dalam negeri dan dengan konstituensi internasional dalam suatu cara yang belum pernah saya lihat dalam 25 tahun. Surat itu menciptakan suatu kesempatan bagi beragam isu untuk berada di atas meja di tingkat tertinggi, maksud saya tingkat kepala negara, untuk berbicara tentang apa masa depan hutan Indonesia. Apa yang kami alami dalam konferensi Hutan Indonesia September lalu, yang merupakan diskusi terbuka di antara seluruh pemangku kepentingan yang berbeda mengenai pertanyaan mendasar tentang jalan mana ke depan, mungkin tidak akan terwujud jika tidak ada Surat Pernyataan Kehendak itu. Jadi munculnya Surat itu adalah hal yang sangat baik.

REDD-Monitor: Tahun lalu CIFOR mengeluarkan sebuah laporan yang cukup kritis terhadap moratorium tersebut. Laporan itu tidak hanya kritis, tapi juga mengedepankan serangkaian rekomendasi untuk memperbaiki situasi. Apakah menurut Anda rekomendasi-rekomendasi ini dapat diimplementasikan? Apakah menurut Anda banyak hal bergerak ke arah yang benar?

Frances Seymour: Saya rasa kami cukup jelas dalam kertas kerja tentang moratorium [kertas kerja Bahasa Indonesia] itu bahwa hal itu perlu dievaluasi bukan sebagai suatu instrumen untuk pengurangan karbon secara cepat tapi sebagai instrumen untuk beralih ke kerangka tata kelola yang lebih baik untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Kertas kerja tersebut berbicara tentang kesempatan yang hilang dalam hal ruang lingkup yang relatif sempit dari wilayah yang tercakup dalam moratorium itu – misalnya penghapusan hutan sekunder – dan banyaknya pengecualian yang, tergantung pada bagaimana mereka dioperasionalkan, dapat mengurangi lebih lanjut ruang lingkupnya. Sayangnya penghapusan hutan-hutan sekunder menjadikan lebih sulit untuk “menukar” konversi terencana antara lahan hutan dengan densitas karbon lebih rendah dengan yang lebih tinggi, khususnya demi kepentingan melestarikan hutan gambut.

Tapi pada saat bersamaan, kami menunjukkan bahwa hal itu memberikan beberapa daya tarik dalam hal keterbukaan, transparansi dan partisipasi publik, prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam hal mendapatkannya sebagai sebuah komitmen, menghasilkan peta moratorium yang terkonsolidasi dengan proses revisi setiap enam bulan. Sekali lagi, ini pertama kalinya dalam 25 tahun yang telah saya amati, setiap orang akan mendapat kesempatan untuk berkomentar dan mengaksesnya di internet adalah suatu hal yang revolusioner. Untuk mendapatkan akses ke data tersebut dan dapat duduk mengelilingi meja secara bersama-sama dan mendiskusikan apa yang sedang terjadi adalah hal yang baru. Itu kemudian memberikan sebuat platform untuk mulai memetik beberapa buah yang tergantung rendah dan buah yang tergantung lebih tinggi yang digambarkan dalam kartun di laporan tersebut.

Berita baiknya adalah bahwa proses membuka pengambilan keputusan itu sedang berlangsung. Itu adalah hal yang bagus. Kita semua perlu bersikap realistis tentang seberapa cepat bagian-bagian yang lebih sulit dari hal tersebut dapat bergerak maju, karena adanya hambatan-hambatan yang secara alamiah bersifat politis. Beberapa hal benar-benar sulit karena ada kepentingan terselubung yang berurat berakar yang akan membutuhkan kemauan politik yang serius untuk menanganinya. Sebagaimana kita ketahui, ada banyak hal lainnya yang sedang berlangsung saat ini, subsidi harga bahan bakar dan beberapa hal lainnya dalam konteks politis yang lebih luas. Ada juga hambatan data dan hambatan kapasitas dan hal-hal yang harus harus kita sikapi secara realistis tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Saya rasa ada kemauan baik di posisi-posisi yang penting, Presiden bersikap serius terhadap komitmennya. Kita perlu realistis tentang seberapa lama hal-hal ini memakan waktu, tapi setidaknya itu sebuah langkah maju dalam memperoleh platform tentang data bersama untuk bekerja bersama-sama untuk mencapai perubahan.

REDD-Monitor: Ada laporan Reuters tahun lalu tentang proyek Rimba Raya di Kalimantan yang menggambarkan proyek itu sebagai korban dari birokrasi Indonesia yang rumit seperti labirin”. Pada akhirnya Kementerian Kehutanan memotong proyek itu setengah dan memberikan setengah darinya kepada konsesi kelapa sawit. Apakah menurut Anda itu adalah khas dari masalah-masalah yang dihadapi para pengembang REDD di Indonesia, atau apakah menurut Anda itu adalah kasus saja?

Frances Seymour: Saya tidak bisa berkomentar tentang kasus itu karena CIFOR belum melakukan penelitian tentang aspek tertentu dari proyek tersebut – yakni kontroversi seputar proses pemberian izin dan status hukum dari lahan tersebut – jadi itu hanyalah apa yang saya baca di koran. Sebelum saya dapat memberikan penilaian tentang apa yang khas, kami ingin melihat keseluruhan populasi dari proyek-proyek REDD dan saat ini kami sedang mencermati enam yang menghadapi berbagai jenis tantangan dan hasil dari penelitian itu belum ada.

Satu-satunya komentar yang bisa saya sampaikan adalah bahwa status lahan Indonesia, alokasi untuk penggunaan yang berbeda dan proses untuk mengubah status itu tidak jelas dan ditentang. Sebagian darinya adalah warisan dari penerapan TGHK (Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan) hampir 30 tahun yang lalu, yang dilakukan pada skala yang sangat luas dengan skala peta indikatif 1:500.000. Sementara itu terjadi desentralisasi yang cukup radikal ke tingkat kabupaten dan kemudian sentralisasi-kembali secara parsial. Ada izin-izin yang dikeluarkan oleh instansi-instansi  yang berbeda-beda di tingkatan yang berbeda. Jadi bingung, membingungkan. Orang seharusnya tak perlu terkejut bahwa ketika suatu instrumen yang sepenuhnya baru seperti REDD masuk ke dalam konteks itu, dan di mana kerangka pengaturan REDD masih dikembangkan, maka akan muncul masalah.

REDD-Monitor: Indonesia baru-baru ini menandatangani sebuah perjanjian ‘illegal logging’ dengan Uni Eropa. Menurut Anda apa pelajaran yang dipetik dari debat ‘illegal logging’ di Indonesia untuk debat tentang REDD yang saat ini sedang berlangsung?

Frances Seymour: Wah, kebetulan sekali bahwa kami memiliki seluruh kertas kerja yang dibuat untuk UNODC (Kantor PBB tentang Narkoba dan Kejahatan) tepat tentang pertanyaan itu, khususnya untuk Indonesia. Kertas kerja itu keluar akhir tahun lalu.

Pada bagian akhir dari laporan itu, ada pemaparan tentang pelajaran yang dipetik dari proses FLEGT (Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan) di Indonesia. Pada dasarnya prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang diperlukan untuk suatu proses SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang berhasil adalah juga diperlukan untuk REDD. Hal-hal seperti, kekuatan dari kesepakatan bergantung pada kekuatan dari proses multi-pemangku kepentingan yang menghasilkannya. Hal-hal ini butuh waktu, jadi kita harus berinvestasi dalam sebuah proses yang inklusif agar menghasilkan aturan permainan. Pelajaran lainnya adalah bahwa kredibilitas dari seluruh perusahaan akan bergantung pada transparansi data sehingga kita semua tahu apa yang kita bicarakan tentang tujuan diskusi moratorium yang baru saja kita bicarakan. Begitu pula independensi dari mereka yang melakukan validasi data dan kinerja, hubungan internasional dari siapa yang melakukan jenis peran MRV (measuring, reporting and verification – pengukuran, pelaporan dan verifikasi) dalam REDD. Ada tantangan kunci akan kapasitas. Jika Anda tidak punya kapasitas untuk melakukannya, tidak ada gunanya seberapa bagus kerangka kebijakan Anda, dan memastikan bahwa kesenjangan antara kedua hal itu tidak menyebabkan kerusakan yang terlalu jauh.

Itu adalah proses mendasar dari tata kelola lingkungan hidup yang baik yang merupakan Prinsip 10 dari Deklarasi Rio. Ini bukan hal baru: akses publik terhadap informasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, masalah akuntabilitas, pembangunan kapasitas, itu pelajaran-pelajarannya.

REDD-Monitor: Ketika gagasan tentang REDD muncul lima atau enam tahun lalu, REDD seringkali digambarkan sebagai hal sederhana yang menetapkan suatu harga pada karbon yang tersimpan di hutan dan akan ada perubahan menyeluruh dan deforestasi akan berhenti. Jelas, sebelum masa lima tahun berakhir hal itu tidak terjadi dan saya tidak yakin ada orang yang berpikir hal itu akan terjadi seperti itu. Tentang illegal logging perjanjian ini adalah hasil dari  proses minimal selama sepuluh tahun. Dan itu hanyalah, pada tahap ini, sebuah perjanjian. 

Frances Seymour: Izinkan saya menyampaikan beberapa komentar. Pertama-tama, hanya orang-orang yang tidak punya pengalaman sebelumnya di sektor kehutanan yang percaya bahwa REDD akan berlangsung dengan cepat dan mudah dan merupakan solusi gampang yang terjamin. Fakta bahwa diskusi-diskusi dimulai di arena kebijakan iklim di mana kemungkinan ada orang-orang dengan latar belakang di bidang energi, yang berpikir bahwa mungkin ini akan menjadi seperti pendanaan CDM untuk proyek-proyek energi pedesaan, mungkin telah mengarahkan sebagian orang untuk meyakini bahwa kita hanya perlu menciptakan mekanisme pasar dan selesai. Saya tidak yakin seseorang yang bekerja di kehutanan berpikir itu akan berjalan mudah. Jadi ini tidak mengagetkan bagi mereka yang telah bekerja pada agenda ini dalam jangka waktu yang lama.

Tapi fakta bahwa pendanaan untuk REDD datang dengan kemauan politik untuk perubahan iklim dan berdasarkan pembayaran-untuk-kinerja membuat orang meyakini bahwa sebenarnya hal itu bisa berbeda kali ini. Pendanaan REDD untuk perubahan dalam sektor kehutanan mungkin sebenarnya bisa bersifat transformasional dengan cara yang mungkin berbeda dari generasi-generasi lain seperti TFAP (Tropical Forestry Action Plan – Rencana Aksi Kehutanan Tropis) atau ICDPs (Integrated Conservation and Development Projects – Proyek Konservasi dan Pembangunan Terpadu) atau inisiatif-inisiatif lain yang muncul.

Saya tidak akan pernah bilang bahwa REDD itu mudah. Dibandingkan dengan agenda illegal logging, Anda benar bahwa sepuluh tahun adalah kerangka waktu yang tepat, karena saat itu 11 September 2001, ketika terjadi peristiwa bersejarah lainnya, yaitu pertemuan tingkat menteri pertama FLEG (Forest Law Enforcement and Governance – Penegakan Hukum dan Tata Kelola Hutan), juga diadakan di Bali. Jadi semua hal ini lahir di Bali. Pada saat pertemuan itulah, untuk pertama kalinya, menteri yang terkait dengan kehutanan, tidak hanya dari Indonesia tapi juga dari seluruh dunia, menyampaikan pidato publik mengenai illegal logging. Sulit sekali bagi orang-orang yang belum ada saat itu untuk menyadari  bahwa saat itu sulit untuk bisa berbicara mengenai illegal logging. Itu adalah hal yang tabu.  Bahkan ada pejabat senior pemerintah yang mengakui bahwa ada korupsi atau bahwa fenomena ini sedang terjadi adalah hal yang benar-benar baru.

Untuk mengatasi tabu itu dan kenyataan bahwa diskusi mengenai illegal logging dimulai nyaris dari nol sehingga diskusi dan analisis terbuka membuatnya lebih sulit dibandingkan REDD. Sedangkan REDD dimulai dengan konsensus bahwa tujuannya adalah hal yang baik dan itu adalah langkah ke depan yang positif. Kita mungkin bisa bergerak sedikit lebih cepat dengan REDD ketimbang agenda illegal logging.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi CIFOR terhadap sistem pengaman (safeguards) dan REDD? Indonesia telah menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan pada saat yang sama UU Kehutanan menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara”. Apakah CIFOR meyakini bahwa prinsip-prinsip seperti persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa) dapat diterapkan dengan mengingat konteks ini?

Frances Seymour: CIFOR tidak akan mengambil posisi terhadap bagaimana tepatnya sistem pengaman seharusnya berwujud dalam perjanjian UNFCCC. Tapi penelitian kami sangat berlandaskan pada hipotesis tentang pentingnya melindungi mata pencaharian, hak-hak dan agar REDD memenuhi uji keefektifan, efisiensi dan keadilan. Jadi hal itu melekat dalam agenda penelitian kami. 

Temuan-temuan awal kami dari pelaksanaan pengumpulan data proyek uji coba ini di Indonesia dan tempat-tempat lainnya mengindikasikan bahwa ada alasan untuk khawatir. Misalnya, data yang dikumpulkan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa di beberapa lokasi proyek, para penduduk desa yang diwawancarai belum mendengar tentang REDD atau belum dimintakan konsultasi tentang intervensi REDD dalam komunitas mereka.

Yang sangat menarik, terkadang keputusan itu disengaja oleh pendukung REDD karena keseluruhan REDD ini sangat tidak pasti dalam pengertian apakah akan ada suatu kesepakatan atau apakah akan didanai. Mereka tidak ingin menumbuhkan harapan pada para pengambil kesempatan. Ada dilema etis yang dihadapi para pendukung proyek antara padiatapa dan menumbuhkan harapan yang tidak realistis.

Ada pula kekhawatiran tertentu mengenai ketidakpastian penguasaan lahan dari komunitas-komunitas ini. Wawancara-wawancara dengan para penduduk desa tentang persepsi mereka dan peninjauan kembali terhadap status lahan yang dicakup oleh proyek tersebut mengungkapkan satu taraf ketidakpastian. Kekhawatirannya adalah bahwa jika ada aliran pendapatan yang baru maka orang yang lain lagi akan datang untuk mengklaimnya. Jelas sekali ada kebutuhan atas sistem pengaman untuk melindungi dari akibat-akibat itu.

Penelitian kami juga betul-betul relevan dengan agenda sistem pengaman. Ada pemahaman bahwa di Indonesia dan tempat-tempat lainnya ada kebutuhan bagi perhatian yang lebih proaktif untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat yang rentan tidak dilanggar atau penghidupan mereka menjadi lebih buruk.

REDD-Monitor: Lou Verchot bersikap kritis tentang hasil dari sistem pengaman di Durban dan tidak senang dengan apa yang dihasilkan mengenai pendanaan REDD. Bisakah Anda memberi komentar tentang hasil dari negosiasi UNFCCC di Cancun dan Durban?

Lou Verchot: Keputusan-keputusan terakhir dalam UNFCCC menjadi agak lemah tentang bagaimana sistem pengaman akan diterapkan. Dalam beberapa hal bisa dimengerti. Pemerintah sedang mengambil keputusan tentang standar-standar yang akan mereka pegang untuk dipertanggungjawabkan.

Keputusan-keputusan di Cancun dan Durban hanya mengharuskan negara-negara untuk memberikan informasi tentang bagaimana sistem pengaman ditangani dan dihormati. Negara-negara tidak perlu mengumpulkan dan melaporkan informasi tentang kinerja atau hasil dan mereka tidak harus melaporkan tentang kecenderungan selama beberapa waktu.

Ini sebabnya saya berkomentar bahwa keputusan tersebut lemah. Tidak ada sasaran atau tujuan kinerja, tidak ada standar kinerja dan tidak ada pelaporan tentang arah kinerja selama beberapa waktu. Jika kita serius tentang sistem pengaman, yang penting adalah hasil, bukan upaya. Dalam perumusan kebijakan saat ini, upaya-upaya yang gagal akan dihitung beserta upaya yang berhasil.

Sebagaimana digarisbawahi oleh Frances di atas, sistem pengaman perlu untuk melindungi komunitas miskin dan rentan dari kehilangan terhadap akses sumber daya. Lemahnya keputusan tersebut berarti bahwa mekanisme-mekanisme yang lain harus diletakkan pada tempatnya untuk memastikan adanya perlindungan ini.

Ini berarti peran yang lebih besar dari organisasi masyarakat sipil dalam beberapa hal. Namun, di banyak negara berkembang, organisasi masyarakat sipil terutama lemah dan tidak akan dapat memainkan peran ini dengan layak. Jadi terasa mengecewakan ketika banyak pihak mengakui sifat alamiah dari masalah tersebut, kita cuma melakukan sedikit hal melalui keputusan-keputusan ini untuk benar-benar menyelesaikannya.

REDD-Monitor: Ada banyak diskusi tentang REDD di Indonesia, dan ada sekitar 40 proyek REDD di negara ini. Pada saat yang sama, masih berlangsung tingkat deforestasi yang sangat tinggi, masih ada ekspansi konsesi kelapa sawit, konsesi kayu pulp, konsesi pertambangan, konsesi eksplorasi minyak bumi. Apakah Anda optimis atau pesimis tentang REDD di Indonesia?

Frances Seymour: Ada dua kelompok kekuatan yang bertentangan. Kelompok yang satu adalah apa yang baru Anda gambarkan, di mana kita memiliki banyak kepentingan dalam memperluas wilayah yang ditanami untuk kelapa sawit, spesies kayu yang tumbuh cepat, tanaman pertanian lainnya, membangun koridor infrastruktur, mengeksploitasi sumber daya mineral dan semua itu mengarah pada deforestasi yang berlangsung terus-menerus, yang kemungkinan bertambah cepat di beberapa tempat, tapi setidaknya tekanan yang terus berlanjut. Kita dapat mencirikan itu sebagai bisnis seperti biasa dengan pengertian bahwa, tergantung pada harga komoditas, bisnis seperti biasa dapat menjadikannya lebih buruk bagi hutan atau lebih baik bagi hutan.

Anda juga mempunyai kelompok konstituensi yang mengarahkan hal-hal ke arah yang berlainan. Mereka termasuk pihak-pihak yang diasosiasikan secara sempit dengan REDD yang mempromosikan skema REDD ini dengan definisi yang sempit dan pembayaran atas kinerja dalam menghindari deforestasi dan degradasi hutan. Tapi ada juga debat perubahan iklim yang lebih luas yang mencakup strategi pembangunan dengan emisi lebih rendah yang mulai dibicarakan orang. Dan ada isu yang secara kasar kurang dihargai – tapi kami berharap melakukan bagian kami untuk meningkatkan penghargaan itu -  tentang pentingnya hutan dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. Saya pikir jika orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia memahami bahwa kemampuan hidup produksi pertanian berkelanjutan dan keamanan pangan, keamanan air, kebutuhan untuk berinvestasi dalam infrastruktur, bahwa hutan adalah bagian dari suatu solusi terhadap seluruh masalah itu, maka insentif-insentif tersebut akan mulai berubah.

Juga seluruh konstituensi memiliki kepentingan berbeda-beda, misalnya mereka yang mendukung reformasi penguasaan lahan, yang memiliki momentumnya sendiri. Masyarakat telah berbicara tentang ini selama sekitar 20 tahun, tapi ada pengelompokan kepentingan yang mencakup mereka yang khawatir tentang REDD sebagai sebuah ancaman terhadap keamanan penguasaan lahan, dan mereka yang memahami bahwa secara instrumental kita harus mengklarifikasi pertanyaan-pertanyaan penguasaan lahan ini agar REDD bisa berfungsi. Dalam sebuah sistem pembayaran atas kinerja Anda harus tahu siapa yang membayar dan bagaimana memastikan bahwa keuntungan-keuntungannya masuk ke orang-orang yang tepat. Kelompok masyarakat sipil sudah bekerja selama bertahun-tahun untuk menyelesaikan masalah ini, sekarang tampaknya ada diskusi tingkat-tinggi yang serius tentang bagaimana mereformasi penguasaan lahan hutan di Indonesia.

Untuk semua alasan itu ada kemajuan dalam agenda penyeimbangan ini yang akan berfungsi untuk membalikkan beberapa kecenderungan yang Anda sebutkan dalam mengawali pertanyaan tadi. Saya rasa pertanyaan apakah Anda optimis atau pesimis bergantung pada pemahaman terhadap skala waktu. Pada titik apakah kekuatan-kekuatan yang mungkin mendorong perubahan menuju model pembangunan berkelanjutan yang lebih ramah iklim dan lebih lama jangka waktunya dibandingkan dengan bisnis seperti biasa? Ada begitu banyak variabel yang harus bekerja dengan eksternalitas seperti harga-harga komoditas, tapi juga variabel internal seperti seorang Presiden yang telah berbicara secara terbuka bahwa beliau berkomitmen terhadap target pengurangan emisi ini, dan bahwa beliau mendedikasikan tiga tahun berikutnya dari masa jabatan kepresidenannya terhadap agenda ini. Kita lihat nanti apa yang terjadi.

Tapi saya pikir ada alasan-alasan yang mendukung seluruh proses ini dengan informasi dan analisis terbaik, yang merupakan pekerjaan kami dan selain beberapa prakarsa rapat dan pembangunan kapasitas, adalah suatu pendekatan “jangan menyesal”. Kami bisa optimis bahwa masukan-masukan kami mengarah pada kemajuan dan kita lihat nanti apa yang terjadi.

Banyak dari pertanyaan Anda yang berkaitan dengan kecepatan perubahan yang masuk akal untuk diharapkan. Lima tahun pertama saya di Indonesia bahkan sebelum CIFOR ada. Saat kita memanjat sebuah gunung, kita tidak tahu seberapa jauh kita telah memanjat sampai kita melihat kembali ke bawah. Saat saya bertemu kembali dengan kolega-kolega yang bekerja dengan saya pada 20-25 tahun yang lalu di generasi pertama proyek sosial kehutanan, kami kagum dengan  kemajuan yang terjadi. Duapuluh lima tahun yang lalu Perum Perhutani tidak terpikir untuk berbagi pendapatan kayu dengan masyarakat lokal di Jawa. Sekarang mereka melakukannya. Duapuluh lima tahun yang lalu tidak akan ada diskusi terbuka mengenai pengakuan klaim-klaim masyarakat adat terhadap lahan hutan. Sekarang diskusi itu terbuka lebar. Duapuluh lima tahun yang lalu tidak akan pernah terjadi diskusi publik tentang bagaimana menangani illegal logging dan korupsi dalam sektor kehutanan. Sekarang itu hal biasa. Jadi dari perspektif 25 tahun, lihatlah semua kemajuannya. Lihatlah apa yang telah terjadi.

Saya rasa penting untuk mengingat skala waktu itu dan berpegang padanya sebagai sumber optimisme bahwa perubahan dapat terjadi dan untuk mengekang harapan-harapan tidak realistis bahwa karena sekarang kita memiliki Surat Pernyataan Kehendak, dalam enam bulan semua masalah ini akan terselesaikan.

Wawancara ini adalah yang ketujuh dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.

Foto: Foto Frances Seymour oleh Dita Alangkara untuk CIFOR.