Tuntutan Perubahan Masyrakat Adat

Down to Earth No 43  November 1999

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, AMAN, dibentuk pada bulan Maret lalu di Jakarta sebagai hasil Kongres Masyarakat Adat. Sejak saat itu, organisasi masyarakat adat yang berskala bernasional untuk pertama kalinya itu terus membuat kehadirannya terasa dengan berbagai cara.

Antara bulan Juli sampai September, pertemuan-pertemuan wilayah dari AMAN dilangsungkan di berbagai tempat. Dari segi ukuran, tempat danjenis organisasi-organisasi yang hadir dalam setiap pertemuan itu senantiasa beragam. Beberapa pertemuan berlangsung di ibukota propinsi (sebagai contoh, pertemuan wilayah Sulawesi Tenggara dilangsungkan di Kendari); Sementara yang lainnya berlangsung di wilayah pedesaan seperti pertemuan untuk wilayah Sulawesi Tengah dilangsungkan di desa Toro, dekat Donggala. Di Jambi, pertemuan yang berlangsung selama dua hari dilaksanakan secara bersama-sama antara AMAN dan LSM setempat, Warsi. Sementara itu, untuk pertemuan empat hari di Sumatra Barat, diorganisir oleh LSM yang bertempat di Padang (Lembara Riset dan Advokasi, LRA).

DI propinsi lainnya, organisasi-organisasi masyarakat adat mengambil inisiatif dan kepemimpinan. Pertemuan wilayah Kalimantan Timur melibatkan 82 peserta masyarakat adat dari wilayah sungai utama di propinsi tersebut. Sedangkan, pertemuan di Sumatra Barat terbatas pda 30 orang perwakilan masyarakat Minangkabau dari wilayah pedalaman.

Semua pertemuan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama: melanjutkan pembahasan --dengan lebih mendalam dan mendasarkan pada konteks lokal-- tentang isu-isu yang diangkat dalam Kongres sebagaimana juga mengangkat dan mengambil keputusan-keputusan tentang isu-isu masyrakat adat yang bersifat lokal dan nasional dengan harapan dapat menjadi masukan dalam pertemuan Dewan Nasional AMAN pada bulan Agustus.

Meskipun pertemuan konsultasi regional AMAN dilangsungkan hanya dalam waktu beberapa bulan setelah Kongres, namun pelaksanaan kegiatan tersebut berlangsung dalam konteks politik yang sangat berbeda. Sekarang ini, semangat perubahan merebak di mana-mana.

Untuk pertama kalinya setelah tiga puluh tahun, pemilu yang lebih demokratis berlangsung di Indonesia. Partai Golkar milik pemerintah mengalami kekalahan telak dan kehilangan kekuasaannya; dan pemilihan presiden baru akan segera ditentukan. (Cat: artikel ini dibuat sebelum Abdurrahman Wahid dan Megawati terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden). Lima orang dari seluruh anggota DPR berasal dari Masyarakat Adat (meskipun mereka tidak dipilih oleh kelompok masyarakat adat atau komunitas masyrakat adat). AMAN berharap bahwa kenyataan ini akan membawa perubahan-perubahan yang lebih baik. Masyarakat adat di Indonesia sekarang ini berusaha untuk mempengaruhi agenda pemerintahan baru yang berbeda dengan rejim sebelumnya.

Sebagai contoh, di Sumatra Barat, tiga puluh orang tokoh masyarakat adat (nagari dalam bahasa setempat) telah mengidentifikasikan persoalan perampasan lahan dan hutan oleh perusahaan penebangan kayu dan perkebunan sebagai masalah utama yang mereka hadapi. Hal ini, selain penerapan paksa sistem pemerintahan desa yang seragam, menyebabkan hancurnya mekanisme tradisional dalam mengatur eksploitasi sumberd daya alam.

Masyarakat adat yang bangkit melawan kekuatan perusahaan, penanam modal dan para pejabat negara yang mengancam hak-hak ulayat mereka harus menghadapi intimidasi, penangkapan dan pemenjaraan oleh polisi dan aparat militer. Akibatnya adalah semakin meningkatnya tingkat kemiskinan.

Dalam pertemuan masyrakat adat di Sumatera Barat, para peserta menaruh perhatian pada rangkaian laporan beberapa tahun terakhir ini yang menggambarkan parahnya tingkat kekurangan pangan dan kekurangan gizi di Sumatera Barat. Padahal sebelumnya wilayah tersebut pernah menjadi salah satu wilayah penghasil beras utama di Indonesia.

Para perwakilan dari Minangkabau sama sekali tidak memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah terhadap program koperasi yang diharapkan dapat memperkuat ekonomi lokal. Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut telah digunakan oleh para elit politik berkuasa untuk mendapatkan kontrol terhadap sumberdaya yang sebelumnya berada dibawah kontrol masyrakat desa sendiri.

 

Kembalikan Tanah Kami

Berbagai tema yang sama muncul dalam sebagian besar pertemuan-pertemuan wilayah, baik dalam persoalan-persoalan yang dihadapi maupun tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Hal terpokok yang menjadi pembicaraan dan tujuan pada setiap pertemuan adalah memposisikan kembali kontrol terhadap tanah dan hutan ulayat; memperkuat hukum ulayat dan perannya dalam sistem pemerintahan desa; sertat memperkuat ekonomi ekonomi masyarakat adat. Berulangkali, masyarakat adat menyerukan kepada pemerintahan baru untuk membatalkan perundang-undangan seperti Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979; Keputusan Presiden (yaitu Keppres No. 55 tahun 19930 yang memberikan peluang bagi negara menyatakan kontrol terhadap tanah ulayat; dan penghentian penebangan serta operasi perkebunan skala besar, khususnya kelapa sawit.

Tuntutan-tuntutan yang dinyatakan oleh masyarakat adat sudah sangat jelas. Namun tidak demikian halnya dengan sarana mencapai tuntutan tersebut. Sebagai contoh, sedikit sekali kelompok masyarakat adat memahami implikasi perundang-undangan baru yang memberikan peluang lebih besar bagi pemerintahan lokal untuk mengkontrol persoalan administratif dan finansial mereka. (Lihat suplemen DTE nomor 41). Walaupun demikian, dalam beberapa pertemuan lokal ada pula pembahasan tentang langkah spesifik yang bisa dilakukan dalam merealisasikan perubahan yang diinginkan. Dalam pertemuan di Kalimantan Timur, diputuskan bahwa mereka akan melancarkan tekanan agar sedikitnya setengah dari jumlah kursi DPRD II dialokasikan untuk perwakilan masyarakat adat dan bupati yang berasal dari komunitas masyrakat adat.

Di Sumatera Barat diputuskan bahwa peta tanah-tanah ulayat harus disetujui terlebih dahulu oleh seluruh masyarakat adat. Hal ini dapat menjadi alat penting untuk menuntut pengakuan tanah-tanah adat oleh penguasa lokal dan prioritas harus diberikan pada proses pemetaan tanah secara partisipatoris oleh masyarakat adat.

WARSI, salah satu LSM di Jambi yang telah bekerja dengan Orang Rimba (biasa disebut sebagai suku Kubu atau Suku Anak Dalam) selama bertahun-tahun, menyatakan bahwa perwakilan-perwakilan suku marjinal ini seharusnya menjadi wakil anggota MPR utusan daerah yang akan menentukan pemilihan Presiden yang akan datang.

Perwakilan-perwakilan masyarakat adat di Sumatera Selatan berbaris menuju ibukota propinsi Palembang untuku menyatakan tuntutan mereka kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, meskipun ketua DPRD I menyatakan akan menanggapi tuntutan tersebut.

Sebagian besar hasil pertemuan wilayah memutuskan untuk membentuk cabang-cabang AMAN untuk memperluas organisasi-organisasi masyarakat adat sampai tingkat lokal. Organisasi-organisasi cabang seperti ini sampai sekarang telah terbentuk di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Pertemuan Dewan AMAN yang kedua dilaksanakan pada tanggal 26-30 Agustus yang lalu di Rante Pao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan (pertemuan pertama dilaksanakan segera setelah kongres bulan Maret di Jakarta). Beberapa petunjuk tentang pentingnya pertemuan tersebut adalah hadirnya wakil gubernur Sulawesi Selatan yang memberikan pidato pembukaan yang dihadiri sekitar 1000 orang, baik dari pejabat pemerintahan lokal dan anggota komunitas lokal. Pertemuan ini dihadiri pula oleh wakil-wakil dari 26 propinsi (Riau dan Maluku tidak hadir). Abdon Nababan, mantan direktur LSM yang bergerak di bidang lingkungan, TELAPAK, ditunjuk sebagai sekretaris eksekutif Dewan AMAN setelah mundurnya H. Arifin yang ditunjuk pada kongres bulan Maret.

Selama empat hari, Dewan menimbang berbagai masukan dari pertemuan-pertemuan regional dan memperjelas posisinya terhadap berbagai isu. Hasilnya adalah pernyataan tegas yang ditujukan kepada Presiden, pimpinan DPR dan MPR, Panglima Angkatan Bersenjata dan Polisi serta Mahkamah Agung. Beberapa tuntutan penting yang bersifat umum sebagai hasil-hasil pertemuan regional dan kongres menekankan pengakuan kedaulatan masyarakat adat terhadap tanah-tanah ulayat serta pencabutan semua undang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Yang lainnya lebih spesifik serta memasukan tuntutan untuk menghentikan penindasan militer di Aceh, Papua Barat, Maluku; pembatalan Rencana Pembangunan Lekonomi Terpadu di Biak dan Mamberamo; dan penindakan terhadap sejumlah kasus-kasus tanah serperti masalah penebangan hutan, perkebunan dan konsesi tambang di Sulawesi, Kalimantan dan NTT.

Pada tingkat nasional, AMAN termasuk salah satu organisasi yang menentang keras Undang-Undang Kehutanan yang baru. Ketika undang-undang tersebut mencapai tahap penyusunan akhir pada bulan Mei, AMAN menuntut bahwa undang-undang tersebut harus dibatalkan karena tidak mengakui atau melindungi hak-hak hutan masyarakat adat. Sehubungan dengan itu, AMAN memberikan dukungan terhadap undang-undang baru tentang manajemen sumber daya hutan yang diajukan oleh jaringan kerja komunitas hutan, FKKM. Mereka memberikan pengantar terhadap tuntutan yang mereka ajukan berkaitan dengan pandangan mereka terhadap hubungan antara masyrakat adat dan kontrol negara terhadap hutan sebagai:

“Sebagai masyarakat adat, kami mengalami penderitaan yang lebih mendalam dibandingkan kelompok lainnya di Indonesia selama 30 tahun pembangunan hutan oleh negara. Melalui Undang-Undang Pokok Kehutanan tahun 1967 dan peraturan-peraturan yang mengikat lainnya, pemerintah telah dengan paksa merampas puluhan ribu hektar hutan adat yang dari generasi ke generasi dikontrol, dimiliki dan diolah oleh warga negara Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat adat. Ia mengubah status hutan-hutan tradisional itu menjadi tanah negara tanpa sedikitpun berdiskusi dengan masyrakat adat atau meminta persetujuan mereka."

Tetapi permohonan mereka ini ditolak. Pada kesempatan akhir dimana upaya untuk menghentikan Undang-Undang Kehutanan tersebut sebelum disahkan DPR, AMAN mengeluarkan pernyataan yang lebih keras pada bulan September. Pernyataan itu menegaskan pandangan AMAN tentang Undang-Undang Kehutanan baru yang menurut mereka tidak banyak berbeda dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan tahun 1967 yang akan digantikan. Terlebih lagi, seluruh proses penyusunan dan perdebatan seputar Undang-Undang itu secara implisit melecehkan dan merendahkan masyarakat adat karena mereka sama sekali tidak diikutsertakan sejak awal. AMAN menegaskan bahwa, apabila tidak direvisi secara mendasar, undang-undang kehutanan yang baru ini akan meningkatkan konflik berkaitan dengan sumber daya hutan dan mengancam untuk menolak pengakuan terhadap undang-undang itu apabila disetujui.

“Mereka berpendapat bahwa kita telah menyerahkan tanah kita demi kepentingan nasional. Hanya setelah mereka merusak lingkungan sekitar kita, kita sebagai masyarakat adat hanya mendapatkan sisa-sisanya belaka.”
                                                                                         Laode Abubakar, Buton, Sulawesi Tenggara.


(Siaran Pers AMAN 26/5/99, 30/8/99, 10/9/99; AMANSB 20/7/99; IMASS press statement 30/7/99; siaran pers WARSI 13/8/99; AMUSUTA 20/9/99; Kendari Ekspres No 15, Oktober 1999)