Tidak, belum cukup adil!

DTE 99-100, Oktober 2014

“…ketika perempuan diberikan ruang untuk berpartisipasi secara aktif, perempuan akar rumput menganalisis, mempertimbangkan dengan serius persoalan sosial ekonomi budaya dan politik yang mereka alami dan rasakan hingga akhirnya menghasilkan rekomendasi yang jelas dan kuat…”(Siaran Pers Kongres Perempuan Poso, Maret 2014)

Pernyataan dari Poso, Sulawesi, ini menangkap aspirasi perempuan di salah satu wilayah Indonesia untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan di komunitas mereka dan di dalam negara. Mereka, bersama dengan puluhan juta perempuan lainnya di penjuru nusantara, menghadapi hambatan ketidakadilan gender selain halangan-halangan sosial, ekonomi dan budaya yang dihadapi oleh komunitas mereka secara keseluruhan.

Melawan ketidakadilan gender tidak saja menyangkut soal penguatan perempuan, tetapi juga mengenai pengakuan akan adanya kesenjangan antara peran yang diberikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan yang menyebabkan adanya kepincangan dalam hal kekuatan, pengakuan akan hak, kemakmuran, kesehatan, pendidikan dan peluang.

Ketidakadilan gender bukan hanya mengenai Indonesia belaka, karena di dalam dunia yang mengalami globalisasi ketidakadilan gender pun ikut mengalami globalisasi. Misalnya, perusahaan tambang batu bara berkantor di Inggris (dewan direksinya sebagian besar laki-laki) berinvestasi di sebuah proyek tambang batu bara di Kalimantan. Perusahaan itu gagal mempertimbangkan dampak aktivitasnya terhadap perempuan di kawasan proyek; perihal perempuan atau gender tidak disebut dalam kebijakan relasi perusahaan dengan masyarakat; perusahaan menegosiasikan kontrak dengan pihak berwenang di Indonesia yang didominasi laki-laki, dan persyaratan-persyaratan amdal dipenuhi dengan mengadakan pertemuan kampung yang dihadiri hanya oleh laki-laki. Batu bara dikeruk oleh laki-laki (yang mendapat bayaran atas kerja mereka). Di mana perempuan dalam semua hal ini? Perempuan di negara-negara konsumen mendapat manfaat dari listrik yang dibangkitkan oleh batu bara, namun perempuan di lokasi penghasil kehilangan beberapa atau semua hal berikut ini: tanah dan mata pencarian mereka, rumah mereka, pasokan air bersih, kesehatan, dan keutuhan komunitas mereka. 

"…keadilan gender dapat didefinisikan sebagai akhir dari - dan bilamana perlu sebagai persyaratan untuk perbaikan - ketimpangan antara perempuan dan laki-laki yang berakhir pada subordinasi perempuan terhadap laki-laki…"

(Anne-Marie Goetz, dalam Gender Justice, Citizenship and Development, Maitrayee Mukhopadhyay dan Navsharan Singh Eds, Zubaan 2007)

Melalui newsletter ini, DTE berharap untuk menyumbang dalam momentum melawan ketidakadilan gender. Dengan fokus pada hak atas tanah dan sumber daya alam, kami mengumpulkan berbagai cerita tentang ketidakadilan mendalam yang dihadapi perempuan dalam peran-peran gender mereka, serta berita mengenai bagaimana ketidakadilan gender diatasi. Kami juga berharap bisa memuat cerita mengenai ketidakadilan gender yang menimpa laki-laki, namun kami hampir tidak menemukan kerja yang pernah dilakukan dalam hal ini. Tentunya ini adalah kesenjangan yang perlu disikapi.

Kami mulai dengan gambaran umum, lalu tinjauan mengenai konsep-konsep dasar, diikuti oleh beberapa dari banyak suara tentang ketidakadilan gender di Indonesia. Kami sangat berterima kasih kepada para kontributor yang telah membagikan cerita, waktu dan upaya. Kami berharap para pembaca edisi ke-100 ini merasa tergugah untuk mendukung kampanye untuk keadilan gender!