Tekanan atas REDD

Down to Earth No 79  November 2008

Tekanan internasional untuk mengedepankan skema rintisan bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara- negara berkembang (REDD) dan membuatnya terus bergulir sekarang ini hingga pertemuan puncak iklim Kopenhagen tahun 2009 bisa jadi berarti bahwa berbagai isu penting-termasuk hak atas tanah dan sumber daya di hutan- terkesampingkan.

Mengapa perlu ada tekanan atas REDD? Perubahan penggunaan tanah dan hutan diperkirakan menimbulkan sekitar 20% dari total emisi karbon setiap tahunnya, yang merupakan nomor dua terbesar setelah sektor energi. Banyak pemerintah yang melakukan negosiasi akan perubahan iklim memandang REDD sebagai jalan yang relatif murah untuk mengurangi emisi global dan menghendaki agar ini dimasukkan dalam kesepakatan baru yang akan disetujui dalam pertemuan puncak iklim di Kopenhagen bulan Desember 2009. Pertemuan puncak iklim yang terakhir (UNFCCC COP 13) di Bali, Desember 2007, memberi lampu hijau bagi dimasukkannya REDD dalam kesepakatan Kopenhagen yang akan mulai berlaku 2012 setelah berakhirnya kesepakatan Kyoto yang saat ini berlaku.

Sejak konferensi Bali, perdebatan mengenai deforestasi, pasar karbon, pembiayaan, pengendalian, hak dan sumber daya, kian meningkat terkait dengan keprihatinan utama yang mencakup:

  • Apakah REDD dapat adil secara sosial, tepat secara lingkungan, dapat dicapai dan merupakan alat yang efektif dari sisi biaya untuk mengurangi perubahan iklim dan apakah ini harus dimasukkan dalam suatu kesepakatan global yang baru agar dapat betul-betul mengurangi emisi;
  • Apakah komitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di negara-negara Utara dapat dipenuhi atau diimbangi atau tidak melalui pengurangan emisi dari deforestasi di negara-negara Selatan;
  • Bagaimana membiayai usaha-usaha REDD: melalui pajak karbon, pembiayaan internasional dan/atau pasar karbon? dan lembaga mana yang harus mengendalikan aliran dana;
  • Siapa yang harus dilibatkan dalam pembuatan keputusan tentang REDD di tingkat lokal, nasional dan internasional;
  • Bagaimana memastikan bahwa pengurangan kemiskinan, perlindungan HAM, hak-hak masyarakat adat, termasuk persetujuan atas informasi awal tanpa paksaan (FPIC), dan tujuan perlindungan keanekaragaman hayati tak terpinggirkan di tengah demam pengurangan emisi karbon;
  • Bagaimana memastikan pembagian insentif yang seharusnya antara masyarakat adat dan komunitas setempat;
  • Bagaimana mengamankan warga miskin dari risiko terlibat dalam transfer keuangan berbasis pasar atau berbasis bantuan yang baru dan tak pasti ini;
  • Bagaimana memastikan tata kelola pemerintahan yang baik dan transparansi dan bagaimana berjaga-jaga terhadap korupsi dalam skema REDD;
  • Bagaimana persiapan untuk REDD, termasuk:
    • menentukan istilah-istilah penting: apa yang dimaksud dengan 'deforestasi' and 'degradasi hutan'?
    • mengidentifikasi kepemilikan hutan dan hak para pengguna, termasuk masyarakat adat;
    • memetakan hutan dan sumber daya hutan, termasuk stok karbon, dan data dasar rujukan emisi karbon sebelumnya akibat deforestasi and degradasi;
    • memutuskan siapa yang perlu mendapat kompensasi karena tidak melakukan deforestasi;
    • menyetujui perundang-undangan dan lembaga apa yang diperlukan untuk mengatur REDD di tingkat nasional and lokal, termasuk menentukan siapa yang mempunyai hak atas karbon;
    • menentukan aspek-aspek teknis seperti bagaimana mempersiapkan skenario data dasar rujukan di masa mendatang yang dapat dipakai untuk mengukur pengurangan emisi;
    • menyetujui bagaimana mengukur dan melakukan verifikasi atas pengurangan dan sistem bagi pendistribusian manfaat;
    • menyetujui pembuatan keputusan partisipatif dan sistem pembagian manfaat.
       

Menentukan REDD

Semua orang yang terlibat dalam negosiasi, strategi dan proyek REDD perlu menyepakati dan memiliki pemahaman yang jelas mengenai arti istilah-istilah yang digunakan dalam perdebatan tentang REDD dan perencanaannya.

Salah satu perbedaan utama, misalnya, antara definisi Indonesia tentang "hutan" (seperti yang digunakan Departemen Kehutanan tahun 1999) dan definisi yang digunakan oleh UNFCCC, adalah bahwa definisi Indonesia tidak memasukkan perkebunan tanaman sedangkan UNFCCC memasukkannya. Dimasukkannya perkebunan dalam areal yang berhak mendapatkan REDD dapat membuat perusahaan besar memperoleh insentif atas upaya mereka melindungi stok karbon di perkebunan pada lahan bekas hutan tanpa persetujuan dari masyarakat pemegang hak ulayat.

Definisi legal Indonesia mengenai hutan:
"Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan." Lihat, misalnya, draft peraturan REDD dalam www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Draft_Permenhut_REDD.pdf

Definisi hutan, seperti yang digunakan dalam Mekanisme Pembangunan Bersih UNFCCC:
"Hutan" adalah areal lahan berukuran sedikitnya 0,05-1,0 hektare dengan penutupan tajuk pepohonan (atau tingkatan stok yang setara) antara 10-30 persen dan pepohonan pada lahan itu berpotensi untuk tumbuh mencapai ketinggian antara 2 - 5 meter. Hutan dapat terdiri dari formasi hutan tertutup yang ditumbuhi pepohonan dengan berbagai cabang dan semak-semak menutupi sebagian besar tanah atau hutan terbuka. Tanaman tegakan alam muda dan semua perkebunan yang belum mencapai kepadatan tajuk 10-30 persen atau tinggi pohon 2-5 meter termasuk dalam hutan, begitu juga dengan areal yang biasanya membentuk bagian dari areal hutan yang secara temporer berkurang stoknya karena intervensi manusia seperti pemanenan atau karena alam yang diperkirakan dapat dipulihkan. (lihat cdm.unfccc.int/Reference/Guidclarif/glos_CDM_v04.pdf Forest (A/R - SSC A/R)

Definisi UNFCCC mengenai deforestasi:
Perubahan areal berhutan menjadi areal tak berhutan sebagai akibat langsung kegiatan manusia. (Lihat www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/2006gl/pdf/4_Volume4/V4_04_Ch4_Forest_Land.pdf)

Definisi Organisasi Makanan dan Pertanian (FAO) mengenai deforestasi:
FAO mengatakan bahwa deforestasi berarti perubahan hutan menjadi peruntukan lahan lainnya atau reduksi jangka panjang dari tutupan kanopi pepohonan di bawah minimal ambang batas 10 persen. Ini dapat terjadi karena manusia atau alam. FAO menambahkan bahwa penghilangan sementara tutupan hutan, untuk pemanenan kayu, misalnya, tidak termasuk deforestasi. www.fao.org/docrep/007/ae156e/AE156E04.htm#P833_38951

Definisi degradasi hutan:
FAO mendefinisikannya sebagai "Perubahan dalam hutan yang secara negatif mempengaruhi struktur atau fungsi tegakan atau situs, sehingga menurunkan kapasitas untuk memasok produksi dan/atau jasa."

Laporan rangkuman REED-I Indonesia mencatat bahwa "telah diajukan banyak definisi mengenai degradasi dan perlu dibuat standar." (Lihat : REDDI Strategy and Methodologies Process: Summary for Policy Makers, dari redd.pbwiki.com/)

Lihat juga www.redd-monitor.org/2008/11/03/what-is-a-forest/ untuk pembahasan lebih lanjut tentang 'Apakah hutan itu?'

 

Perkembangan dan perdebatan mengenai REDD di Indonesia

Isu-isu ini muncul di tengah berlangsungnya debat mengenai REDD di Indonesia, dengan banyak organisasi masyarakat sipil (CSO) yang tetap skeptis mengenai apakah REDD dapat diterapkan secara adil dan merata. Terdapat kecurigaan di mana-mana bahwa negara industri ingin menggunakan REDD agar industri mereka yang berpolusi dapat membeli jalan keluar untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap perubahan iklim. Organisasi-organisasi itu juga merasa prihatin bahwa motif mencari untung ini akan mendominasi perdagangan karbon dan bahwa fokus pada nilai karbon hutan akan mengabaikan banyak fungsi lain dari hutan-seperti memberikan penghidupan bagi penghuni hutan, pencegahan banjir dan tanah longsor serta perlindungan keanekaragaman hayati-yang juga harus dihargai.

Sebagai negara penghasil gas rumah kaca yang tertinggi di dunia dari hutan dan lahan gambut, Indonesia menghadapi banyak tekanan untuk bertindak dan telah meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia siap dan bersedia. Pernyataan pemerintah baru-baru ini menunjukkan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon terkait dengan hutan, termasuk:

  • janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pertemuan Puncak G8 di Tokyo untuk mengurangi secara besar-besaran emisi karbon Indonesia dari deforestasi;
  • pengumuman Gubernur Riau mengenai larangan sementara deforestasi (melengkapi moratorium logging hutan Aceh dan janji untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi seperti yang ditetapkan Gubernur Aceh dan Papua tahun 2007);
  • pengumuman oleh Deputi Menteri Lingkungan Hidup Hermin Roosita bahwa Indonesia tak akan lagi mentolerir konversi hutan bagi perkebunan seperti kelapa sawit dan bahwa sebagai gantinya akan digunakan "lahan tidur";1


Persiapan untuk REDD pada tingkat national mencakup:

  • Proyek REDD-I (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia) melibatkan Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) atau Aliansi Iklim Hutan Indonesia. IFCA adalah kelompok studi yang dipimpin oleh Departemen Kehutanan Indonesia, juga termasuk di dalamnya peneliti dari lembaga nasional dan internasional, dan didanai oleh World Bank, DFID, Pemerintah Australia dan badan kerja sama teknis Jerman, GTZ. Serangkaian kajian telah dilakukan oleh IFCA sejak bulan Juli 2007 dibarengi dengan konsultasi nasional pada bulan Agustus dan Oktober 2007 serta konsultasi regional di Papua and Aceh.2 Dari rangkuman kajian ini dapat dilihat temuan mengenai bagaimana proyek REDD bisa dipersiapkan dalam 5 sektor utama: hutan yang diperuntukkan bagi kelapa sawit, bagi tanaman untuk bubur kayu, bagi penebangan, hutan lindung dan lahan gambut.
  • membentuk Dewan Perubahan Iklim Nasional, yang terdiri dari 6 kelompok kerja, salah satunya mengenai kehutanan dan sasaran-sasaran pasca Kyoto.3
  • merancang perundang-undangan, termasuk:
    • Peraturan Pemerintah No. 6/2007, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengeluarkan Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL), yang dapat mencakup ijin bagi penyimpanan dan penyerapan karbon baik dalam produksi maupun perlindungan hutan. Peraturan ini mengasumsikan bahwa negara memiliki hak untuk menerbitkan ijin semacam itu dan memperbolehkan pemegang ijin untuk menjual karbon - hal yang ditentang oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat.4
    • draft Peraturan Menteri Kehutanan untuk melaksanakan REDD dan draft Surat Keputusan Menteri Kehutanan bagi pembentukan komisi REDD nasional. Draft-draft ini, yang terbuka untuk konsultasi publik secara terbatas, meletakkan kendali atas REDD dengan kuat di tangan Menteri Kehutanan, mensyaratkan agar proyek-proyek REDD ditandatangani oleh Menteri Kehutanan — lagi-lagi merupakan hal yang memprihatinkan karena Departemen Kehutanan diketahui lebih berminat memromosikan kepentingan kalangan pengusaha daripada kepentingan masyarakat yang tergantung pada hutan atau hak masyarakat adat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil telah menunjukkan keprihatinan mereka atas jangkauan sempit draft peraturan itu, fakta bahwa ini tidak berlaku bagi hutan-hutan yang telah dialokasikan untuk konversi bagi penggunaan lain, kurangnya ketentuan mengenai resolusi konflik, dan kurangnya perlindungan bagi pemegang hak ulayat (lihat juga bagian 'hak adat' di bawah). - draft Peraturan Presiden untuk membatasi penggunaan lahan gambut, yang diharapkan akan dikeluarkan akhir tahun ini.5
  • mengadakan kesepakatan dengan donor untuk membuat persiapan REDD dan/atau proyek rintisan, termasuk rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah (lihat boks mengenai daftar proyek ini).
  • menunjukkan minat resmi terhadap program UN-REDD, yang diluncurkan oleh Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon dan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg pada bulan September. Bersama-sama dengan delapan negara lain, Indonesia akan berpartisipasi dalam aksi UN-REDD yang "dimulai dengan cepat" dari sekarang hingga COP15 di Kopenhagen, Desember 2009. UN-REDD melibatkan tiga badan PBB, UNDP, UNEP dan FAO.

 

Prakarsa di Indonesia

Informasi ini sebagian besar diperoleh dari laporan yang dibuat untuk Rainforest Foundation Norway, oleh Patrick Anderson dan Torry Kuswardono, September 2008.

Kalimantan Tengah: Proyek rintisan REDD ini bertujuan untuk rehabilitasi hutan gambut yang rusak di lokasi proyek raksasa sejuta hektare sawah yang diluncurkan pada masa Suharto. Persetujuan rencana induk bagi lahan gambut Kalimantan Tengah diharapkan akan diperoleh akhir tahun 2008. JP Morgan Stanley dikabarkan berminat untuk melakukan investasi dalam skema ini.

Kalimantan Barat: Fauna dan Flora International tengah mengembangkan proposal bagi proyek rintisan REDD di kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang, bersama dengan Macquarie Bank, Australia, yang bertujuan untuk menghentikan konversi hutan gambut yang saat ini dikategorikan sebagai lahan tak berhutan atau hutan konversi. FFI juga bermaksud untuk mengembangkan suatu 'pangkalan karbon komunitas' bersama-sama dengan kelompok masyarakat sipil setempat, berdasarkan pada hutan yang dimiliki secara adat di Kalimantan Barat. Idenya adalah bahwa pengelolaan bersama atas sejumlah besar bagian hutan, yang akan menelan banyak biaya kalau dilakukan oleh masyarakat secara perorangan, dapat membawa manfaat REDD bagi masyarakat.

Aceh: Ulu Masen (lihat juga DTE 76-77:10). Proyek REDD ini melibatkan FFI, pemerintah Aceh, perusahaan Australia Carbon Conservation dan Bank AS, Merrill Lynch. Proyek ini bermaksud untuk mengurangi tingkat deforestasi dasar sejumlah 9.500 hektare setiap tahunnya sebesar 85%, mencapai pengurangan emisi hingga 1 juta ton CO2 per tahun. Pada bulan Juli, nota kesepahaman mengenai penjualan dan pemasaran karbon telah ditandatangani oleh pemerintah Aceh dan Carbon Conservation. Proyek berusaha keras untuk mengurangi konflik dengan melibatkan tokoh adat dalam perencanaan penggunaan tanah dan pengembangan struktur manajemen yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Areal yang kini diperuntukkan bagi penebangan akan diklasifikasikan ulang sebagai hutan lindung permanen dan areal hutan produksi terbatas dengan dampak rendah dan dikelola oleh masyarakat. Tetapi, tak ada kejelasan mengenai siapa yang akan mendanai seluruh proyek itu dan sistem tata kelola bagi proyek itu tetap berada pada tahap awal. Proyek itu telah dikritik karena kurangnya tranparansi dan proses yang tergesa-gesa menuju penandatanganan nota kesepahaman itu.

Suatu proyek REDD tengah dikembangkan di Ekosistem Leuser di selatan Aceh, yang rancangan kesepakatannya telah ditandatangani oleh pemerintah Aceh dan Sustainable Forest Management South East Asia Ltd, bagi pendirian perusahaan untuk menjalankan usaha lingkungan di Leuser, termasuk perdagangan karbon.

Riau: Konglomerat bubur kayu raksasa Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) telah mempersiapkan rencana untuk mengelola Semenanjung Kampar dengan mendirikan hutan lindung inti yang dikelilingi oleh perkebunan tanaman untuk bubur kayu seluas 200.000 hektare. Ada rasa skeptis mengenai apakah proyek yang masih dalam rencana itu akan mengurangi emisi gas rumah kaca dan RAPP mempunyai reputasi buruk terkait dengan isu-isu sosial dan lingkungan. Ornop-ornop yang kritis berharap bahwa Gubernur Riau yang baru yang dilantik bulan November, akan terus mendukung moratorium penebangan kayu dan konversi hutan.

Papua: Papua mempunyai rencana untuk melakukan restrukturisasi sektor kehutanan, dengan mengurangi jumlah ijin industri penebangan kayu, menghitung kembali sumber daya hutan, menyesuaikan kapasitas industri kayu dengan sumber daya hutan yang ada dan melarang ekspor kayu gelondongan. Papua juga merencanakan untuk membantu masyarakat agar terlibat dalam pengelolaan hutan dan industri pengolahan kayu yang berkelanjutan, untuk mengurangi areal hutan yang diperuntukkan bagi perkebunan dari 5 juta hektare menjadi 2 juta hektare, mempekerjakan penjaga hutan yang terlatih, dan mengembangkan sistem pembayaran bagi jasa lingkungan, termasuk memelihara karbon hutan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Suatu rintisan proyek REDD telah dikembangkan di Pegunungan Cyclops dekat Jayapura, - proyek yang dikerjakan besama dengan FFI ini sudah setahun menantikan persetujuan dari Departemen Kehutanan.

Suatu rintisan proyek REDD telah dikembangkan di Pegunungan Cyclops dekat Jayapura, - proyek yang dikerjakan besama dengan FFI ini sudah setahun menantikan persetujuan dari departemen kehutanan.

Dua perusahaan, Emerald Planet dan New Forest, telah dikontrak untuk mengembangkan proyek REDD bagi Timika dan Mamberamo.

Pada tingkat provinsi di Papua, kelompok kerja yang terdiri dari Ornop, wakil masyarakat dan pemerintah— yaitu Pokja Sembilan – telah dibentuk untuk membahas, mengembangkan dan melakukan sosialisasi program REDD serta rintisannya. Isu-isu utama yang diidentifikasi oleh kelompok itu mencakup pembuatan dasar hukum bagi REDD, memperjelas isu kepemilikan tanah dan kepemilikan karbon dan melakukan analisis risiko terhadap pilihan REDD dari sudut pandang masyarakat dan pemerintah.

 

Hambatan besar

Ada hambatan besar untuk dapat mengatasi deforestasi di Indonesia dengan cepat. Meskipun belum lama ini ada pengumuman tentang pengurangan emisi, pemerintah sendiri tengah mendesak maju dengan kebijakan-kebijakan yang merongrong perlindungan hutan dalam skala besar.

Ini mencakup target ambisius yang memuluskan jalan bagi perusahaan untuk mengubah berjuta-juta hektare hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pohon untuk bubur kayu dan lainnya, yang akan mengakibatkan lepasnya jutaan ton gas rumah kaca tambahan. Mereka juga mengijinkan pertambangan di hutan-hutan lindung-lihat artikel terpisah mengenai BHP-Billiton di Pulau Gag, Papua Barat.

Organisasi masyarakat sipil di Indonesia sudah lama menghimbau agar pengaruh perusahaan besar atas sumber daya di Indonesia dikurangi sehingga dapat dikembangkan suatu jalan yang lebih adil untuk mengelola sumber daya. WALHI telah berulang kali menghimbau adanya moratorium penebangan hutan secara nasional, sementara Sawit Watch telah menuntut dihentikannya rencana ekspansi kelapa sawit besar-besaran di Sumatra, Kalimantan, dan yang paling belakangan, di Papua (lihat juga DTE 75).

Kampanye internasional dari Greenpeace yang menyerukan dihentikannya konversi hutan untuk kelapa sawit menekankan dampak iklim atas konversi lahan gambut di Riau. Kampanye itu membuahkan hasil pada bulan Mei ketika perusahaan makanan global raksasa Unilever mendukung seruan bagi moratorium pengrusakan hutan hujan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Unilever secara terbuka telah menyatakan komitmennya untuk membeli semua minyak kelapa sawit dari sumber yang mendapatkan sertifikat berkelanjutan per 2015.6

Reaksi keras segera datang dari kalangan pengusaha Indonesia. Pada bulan Agustus, Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia' (GAPKI) yang memiliki 250 anggota, mengatakan bahwa mereka menentang moratorium semacam itu karena hal ini akan memperlambat ekonomi, mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan menyebabkan kemiskinan. "Kalau kami berhenti memperluas usaha, banyak negara kaya yang akan gembira kerena mereka tak perlu mengambil tindakan untuk mengatasi pemanasan global...." kata pengurus GAPKI Derom Bangun. Ia juga mengaku bahwa anggota GAPKI telah berhenti mengubah hutan "perawan" dan hutan dengan nilai konservasi tinggi sejak 2005 - suatu klaim yang diragukan oleh banyak organisasi masyarakat sipil.

 

Meluasnya Emisi - kompilasi

Tahun 2006, emisi CO2 dari Asia Tenggara yang berasal dari kerusakan hutan dan oksidasi tanah gambut mencapai 2 milyar ton per tahun, demikian perkiraan Wetlands International, dan 90% dari jumlah itu berasal dari Indonesia.7

ICFA meramalkan bahwa dengan skenario “bisnis seperti biasa”, di masa mendatang emisi CO2 dari lahan gambut di Indonesia dapat mencapai sekitar 2.000 juta tont/tahun (yaitu lebih dari sepertiga emisi tahunan global dari sektor kehutanan).8

Emisi global dari deforestasi selama 1990-an diperkirakan berjumlah 5,8 Gigaton per tahun.9

Ramalan dengan skenario 'bisnis seperti biasa' mengindikasikan hilangnya semua hutan bukan rawa di Sumatra dan Kalimatan menjelang 2010.10

Kajian ICFA menemukan bahwa sekitar 70% perkebunan kelapa sawit (berdasarkan perkiraan total 6 juta hektare tahun 2006) telah dikembangkan menjadi hutan yang dapat diubah, yang menghasilkan emisi di atas tanah saja sejumlah sekitar 2,1 milyar ton CO2 antara 1982-2005. Juga ditemukan bahwa kelapa sawit semakin banyak ditanam di tanah gambut yang menyimpan sekitar 60kg karbon per meter persegi.

ICFA memperkirakan perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai 5-6 juta hektare menjelang 2020 dengan 5,5 juta hektare yang dialokasikan di Kalimantan saja dan dari jumlah itu 1,7 juta hektare adalah lahan berhutan dan hampir 1 juta hektare adalah lahan gambut. Jika semua lahan ini dibuka untuk ditanami kelapa sawit, sebanyak hingga 918 juta ton CO2 dapat dilepaskan hanya dari hilangnya biomasa di atas tanah.11

Laporan yang dibuat untuk Rainforest Foundation Norway memperkirakan bahwa ada lagi 20 juta hektare perkebunan kelapa sawit dan 10 juta hektare perkebunan pohon untuk bubur kayu yang tengah direncanakan, dan sebagian direncanakan dibuka di areal hutan.12

Laporan itu menyatakan bahwa sekitar setengah dari 22 juta hektare hutan gambut telah dikeringkan untuk penebangan, sepertiganya dibuka untuk pertanian, dan, hampir setengah dari hutan gambut yang masih tersisa digolongkan sebagai hutan konversi. Telah dikeluarkan ijin untuk mengubah sekitar 4 juta hektare hutan gambut untuk perkebunan bubur kayu dan kelapa sawit di Riau, Kalimantan Tengah, Jambi, Papua and Papua Barat. "Jika hutan-hutan ini dibuka dan dikeringkan, emisi tahunan CO2 akan meningkat sebanyak satu milyar ton lagi dan terus berada pada tingkatan itu selama berpuluh-puluh tahun."13

Membuka hutan alam untuk perkebunan tanaman untuk bubur kayu telah mengakibatkan hilangnya sejumlah besar karbon. Perkebunan tanaman memang menyimpan CO2, tapi tak sebanyak hutan alam. Pemerintah telah mengijinkan perusahaan kertas dan bubur kayu untuk membuka hutan alam dan menggunakan kayu (kayu keras tropis campuran, MTH) dengan biaya rendah, tetapi gagal memastikan bahwa pengganti perkebunan tanaman untuk bubur kayu dikembangkan dengan baik.14

Hilangnya tutupan hutan dalam areal lindung antara tahun 2000 hingga 2005 berjumlah 127.481 hektare, dan mengakibatkan emisi sekitar 93 juta ton CO2.15

 

Hak dan Sumber Daya - kebutuhan mendasar bagi reformasi tetaplah sama

Bagaimana masyarakat yang bergantung pada hutan dan organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap pengurangan kemiskinan dan HAM, akan memandang REDD di Indonesia, katakanlah, dalam kurun waktu 10 tahun? Hal ini akan tergantung pada apakah skema ini telah dapat bertindak sebagai katalis bagi reformasi positif, atau apakah ini hanya memperkuat pendekatan pemerintah nasional yang berlaku sekarang ini atas pengelolaan hutan, bahkan jika sedikit banyak telah berhasil menekan laju tingkat emisi karbon.

Forum internasional Global Forest Leaders di World Bank di Washington, menjabarkan seperti apakah masalah yang perlu ditangani untuk mereformasi cara pengelolaan hutan di Indonesia. Pernyataan, 'Beyond REDD' (Melampaui REDD'), mendesak adanya pendekatan lintas-sektoral untuk hutan, pengakuan atas hak masyarakat hutan, penghargaan akan berbagai nilai hutan, tata kelola pemerintahan yang telah direformasi atas hutan, dan pemberian insentif untuk menghindari deforestasi, tak hanya mengurangi emisi dengan memperlambat deforestasi.16 Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berkata bahwa membangun hutan karbon, seperti membuat taman nasional, daerah lindung dan mengembangkan standar legalitas bagi perdagangan kayu, hanya akan mengatasi gejala deforestasi, bukan penyebabnya.

"Sebaliknya, membenahi ketimpangan dalam kepemilikan tanah, diskriminasi terhadap Masyarakat Adat, korupsi, konsumsi yang berlebihan dan industrialisasi yang tak terkendali akan menanggulangi penyebab utama deforestasi."17

Nababan mengatakan bahwa ada contoh dari seluruh dunia yang menunjukkan bahwa pengelolaan hutan adat adalah cara jangka panjang untuk mengamankan dan memastikan keberlanjutan.

Pesan ini diperkuat kembali dengan riset baru, yang disampaikan dalam konferensi international mengenai hak, hutan dan perubahan iklim di Oslo bulan Oktober ini. Kajian yang dilakukan oleh Jeffrey Hatcher, analis dari pusat pemikir Rights and Resources di Washington menemukan bahwa diperlukan sekitar $3,50 per hektare untuk mengakui tanah masyarakat hutan, termasuk biaya langsung pembatasan wilayah, pendaftaran lahan, meningkatan kesadaran dan menyelesaian perselisihan setempat.18 Bandingkan ini dengan biaya perlindungan hutan sesuai dengan REDD, yang diperkirakan sebesar $3.500 per hektare. Hatcher berkata "Ada banyak bukti dari seluruh dunia bahwa masyarakat melestarikan hutan mereka kalau hak mereka (atas tanah) diakui.” Ia mengatakan bahwa sekitar 20-40 Gigaton (milyar ton) CO2 dihemat dalam sekitar 400 juta hektare hutan yang secara formal dimiliki oleh masyarakat. "Ini berarti bahwa biaya untuk mencapai pelestarian ini adalah sebesar $1,6 milyar. Eliasch Review mengatakan bahwa diperlukan kira-kira hampir $17 milyar [satu] tahun untuk menghentikan deforestasi, yang jatuhnya jauh lebih mahal."19

 

REDD and hak adat

Seperti yang ditekankan oleh AMAN, ada kebutuhan mendesak untuk menangani hal kepemilikan hutan di Indonesia. Kurangnya kejelasan yang terjadi saat ini menjadi hambatan bagi setiap bakal pemangku kepentingan REDD yang tak ingin melanggar hak-hak masyarakat adat yang diakui secara internasional.

Salah satu hambatan utama adalah kurangnya kejelasan atas kepemilikan hutan. Banyak kajian yang menunjukkan bahwa Departemen Kehutanan yang memegang kendali atas banyak wilayah hutan negara sering kali dipertanyakan karena persyaratan hukum yang menyepakati perbatasan hutan belum juga terpenuhi. 20 Tetapi Departemen Kehutanan terus mengabaikannya dan mendorong perencanaan REDD seolah-olah sistem tata kelola pemerintahan atas hutan sudah memadai.

Pendekatan Departemen Kehutanan tercermin dalam draft aturan REDD21, yang mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara yang merupakan bagian dari 'daerah masyarakat yang diatur oleh hukum adat'. Selanjutnya dibuatlah daftar hutan adat yang berhak untuk menjalankan REDD, tetapi kondisi yang ada membuatnya sulit sekali untuk menerapkannya secara hukum dan dalam praktek. Hambatannya termasuk persyaratan bagi masyarakat untuk menjadi pemegang ijin pengeloaan hutan adat. Untuk mendapatkannya, mereka harus memiliki dokumen yang menyatakan bahwa mereka mempunyai hak pengelolaan hutan adat, ditambah dengan rekomendasi dari pemerintah pemerintah daerah; lokasi mereka harus memenuhi kriteria yang tepat untuk REDD dan mereka harus membuat rencana implementasi REDD (dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia). Setelah itu barulah mereka dapat menyerahkan permohonan untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Kehutanan.

Tetapi, semua keadaan di atas bertumpu pada suatu persyaratan yang lebih penting. Sebelum masyarakat dapat memperoleh pengakuan yang sah akan hak mereka atas hutan adat, perlu dikeluarkan peraturan menteri yang sama sekali baru mengenai bagaimana melaksanakan ini. Peraturan tentang hutan adat telah tertunda-tunda sejak 1999, ketika undang-undang kehutanan yang sekarang ini disahkan. Peraturan ini macet, antara lain karena kurangnya kemauan politik dari Departemen Kehutanan untuk menyelesaikannya, dan juga karena adanya perlawanan masyarakat adat, yang tak ingin hutan adat berada dalam sub kategori hutan negara, dan ingin agar undang-undang kehutanan itu sendiri diubah.

Jadi ini berarti masyarakat adat yang ingin berpartisipasi dalam proyek REDD berdasarkan hak adat mereka tak dapat turut serta dalam REDD sebelum adanya peraturan yang baru.

Jalan alternatif yang ditawarkan kepada masyarakat adat adalah melalui peraturan daerah yang dikeluarkan sesuai dengan undang-undang otonomi daerah. Di beberapa daerah, peraturan ini telah berhasil menghindarkan sistem nasional yang kaku. Di Aceh dan Papua, peraturan di tingkat provinsi mengenai hak ulayat yang dapat dikeluarkan berdasarkan undang-undang otonomi khusus juga menjangkau pengakuan terhadap hak masyarakat adat, tetapi saat ini sebagian besar masih berupa draft.

Rangkuman REDDI ICFA sangatlah lemah dalam hal pengakuan terhadap hak, dan mengisyaratkan perlunya ada penjelasan. Melalui kajian itu diketahui adanya kebutuhan Menteri Kehutanan untuk "menyelesaikan klaim masyarakat yang tertunda atas tanah dan sumber daya hutan." Juga disebutkan bahwa kegiatan rintisan perlu menjelaskan peran dan tanggung jawab bagi pelaksanaan REDD, termasuk isu-isu utama tentang siapa yang mempunyai hak untuk menjual karbon (masyarakat lokal, pemegang lisensi, unit-unit pengelolaan hutan, pemerintah daerah, pemerintah pusat). "Di antaranya, ini menuntut tindakan untuk menjelaskan kepemilikan lahan dan hak pengelolaan hutan." Dan siapa yang mempunyai hak untuk menerima pembayaran? "Ini akan tergantung pada hak pemangku kepentingan atas lahan dan sumber daya hutan."

Satu-satunya penyebutan hak ulayat (dan sebagi implikasinya, masyarakat adat) terdapat dalam bagian yang mempertimbangkan kemungkinan kriteria Satu-satunya penyebutan hak ulayat (dan sebagai implikasinya, masyarakat adat) terdapat dalam bagian yang mempertimbangkan kemungkinan kriteria penentuan siapa yang berhak menerima pemasukan. Ini dapat mencakup masyarakat yang “bertindak secara sah dan memiliki hak untuk menjual karbon (asalkan ini tidak merugikan orang miskin dan mereka yang hak ulayatnya tak diakui oleh pemerintah)”. 22

Bagaimana pendekatan Departemen Kehutanan ini berkesesuaian dengan pendekatan UN-REDD yang pro-hak? Menurut dokumen kerangka kerja UN-REDD23, program ini akan dipandu oleh 5 prinsip yang saling terkait, termasuk kesetaraan gender dan pendekatan berbasis HAM dalam pembuatan program, dengan referensi khusus pedoman Kelompok Pembangunan PBB mengenai Isu-Isu Masyarakat Adat. 24 Apakah ini akan secara eksplisit tercakup dalam pekerjaan "awal yang cepat" yang dijalankan bersama dengan Indonesia dan negara rintisan lainnya, masih harus dilihat nanti.

Dalam dokumen kerangka kerja UN-REDD terdapat peringatan berikut: "Apabila program-program REDD tidak dirancang dengan hati-hati, program itu dapat meminggirkan mereka yang tak memiliki tanah, yang mempunyai hak penggunaan tanah secara non-formal dan hak ulayat."25

Peringatan yang bisa saja memang dibuat untuk Indonesia

 

Perkembangan REDD di dunia dan di Indonesia - cuplikan
BulanDuniaIndonesia
Desember 07Rencana Aksi Bali memberi lampu hijau bagi dimasukkannya REDD ke dalam kesepakatan COP 15, yang dijadwalkan berlangsung bulan November 2009 di Kopenhagen

World Bank meluncurkan Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan yang kontroversial (FCPF - lihat DTE 76-77)

 
Feb 08 Skema Ulu Masen di Aceh diumumkan (Fauna and Flora International, pemerintah provinsi Aceh dan perusahaan Australia Carbon Conservation (lihat DTE 76-77).
April 08 Skema rintisan Kalimantan Tengah diumumkan, didanai oleh Australia (lihat DTE 76-77)
Mei 08Masyarakat Adat membahas REDD dalam Forum Permanen PBB Mengenai Isu-Isu Masyarakat Adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan makalah (lihat DTE 76-77

Di Bonn (CBD COP9) Indonesia mendukung seruan WWF bagi tiadanya lagi deforestasi menjelang 2020.26

Gubernur Papua mengumumkan skema bersama dengan PT Emerald Planet dan New Forests Asset Management untuk melakukan penilaian terhadap potensi perdagangan karbon hutan di kawasan ini (lihat DTE 76-77:11).

Unilever mendukung seruan bagi moratorium konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Juni 08Loka karya megnenai isu Metodologi terkait dengan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang 25 - 27 Juni 2008 di Tokyo, JepangIndonesia berperanserta dalam loka karya Tokyounfccc.int/files/methods_and_science/lulucf/application/pdf/080625_indonesia.pdf
Juli 08World Bank mengumumkan 14 negara yang akan mendapatkan dukungan hibah bagi membangun kapasitas untuk REDD - daftar ini tidak mencakup Indonesia.27Departemen Kehutanan Indonesia melakukan konsultasi publik mengenai draft peraturan bagi pelaksanaan REDD dan mengenai pembentukan Komisi Nasional REDD.

Laporan Bappenas 'Tanggapan Indonesia terhadap Perubahan Iklim' dikeluarkan.28

Proyek REDD di Ulu Masen, Aceh: Nota Kesepakatan mengenai penjualan dan pemasaran ditanda-tangani oleh Carbon Conservation dan pemerintah Aceh.

Agustus 08 Pemerintah Indonesian mengumumkan dewan perubahan iklim yang baru, melibatkan 16 anggota kabinet, dipimpin oleh Menteri Lingkungan Hidup, untuk mengkoordinasikan dan memonitor pelaksanaan rencana aksi untuk melawan perubahan iklim dan mengelola dana iklim.29

Gubernur Riau mengumumkan penghentian sementara deforestasi di provinsi itu.

GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) menolak seruan moratorium konversi hutan.

September 08Sekretaris Jenderal AMAN memberikan sambutan utama dalam forum Global Forest Leaders, World Bank, Washington, USA, yang menunjukkan hubungan antara tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat dengan krisis deforestasi, dan menyerukan pengakuan atas hak, FPIC, ruang bagi prakarsa lokal, dan dilibatkannya masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.

PBB meluncurkan skema REDDnya sendiri - UN REDD, sebagian kelompok masyarakat adat menunjukkan kekhawatiran akan kurangnya perlindungan.30

Indonesia terpilih di antara negara-negara yang akan memulai usahanya "dengan cepat" dengan dukungan REDD PBB.
Oktober 08Uni Eropa menunda memasukkan hutan-hutan dalam Skema Perdagangan Emisi (ETS) UE selama paling tidak 10 tahun – tindakan ini disambut baik oleh kelompok masyarakat adat dan Ornop.31

Eliasch Review dikeluarkan di Inggris.

Konferensi internasional mengenai hak, hutan dan perubahan iklim di Norwegia mempertimbangkan perkembangan REDD. Suatu kajian menunjukkan bagaimana biaya pengakuan hak masyarakat akan hutan sangat kecil dibandingkan dengan biaya melindungi hutan sesuai dengan skema REDD. AMAN membuat presentasi.32

Deputi Menteri Lingkungan Hidup mengumumkan bahwa Indonesia akan berhenti mengubah hutan menjadi perkebunan seperti kelapa sawit dan bahwa perkebunan itu hanya akan dikembangkan pada lahan “tidur” (meskipun organisasi masyarakat sipil mendebat mengenai apakah lahan tidur itu betul-betul ada).33

Greenpeace meluncurkan prakarsa Hutan Bagi Iklim (FFC) di Jakarta. Diusulkan adanya mekanisme internasional untuk mendanai pengurangan emisi dari deforestasi hutan tropis yang berkelanjutan dan tiada henti. Green Peace menginginkan moratorium deforestasi segera, diikuti dengan pendanaan internasional melalui PBB untuk melindungi hutan-hutan karena nilai karbonnya.34

November 08Konsultasi global akan dampak potensial dari REDD atas masyarakat adat dan lokal, Filipina.35 
Desember 08COP 14, Poznan, Polandia 

 

 

 

Pantauan REDD

Situs web www.redd-monitor.org muncul dari diskusi antara jaringan Ornop di Eropa dan negara-negara di Selatan, dan dari kebutuhan untuk berbagi informasi tentang cara REDD berkembang. Situs web ini berisi informasi tentang negara tertentu, dan juga isu-isu seperti kredit karbon, Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan World Bank, Masyarakat Adat dan pernyataan-pernyataan Ornop.

Terima kasih untuk Patrick Anderson atas bantuannya dalam laporan ini.


Catatan
1 Paraguay dan Indonesia mengumumkan tindakan terkait dengan hutan, Pusat berita WWF 8/Okt/08 di www.panda.org/news_facts/newsroom/index.cfm?uNewsID=147348. Untuk isu "lahan tidur" lihat Agrofuels and the Myth of Marginal Lands, oleh Gaia Foundation, Biofuelwatch, The African Biodiversity Network, Salva La Selva, Watch Indonesia dan EcoNexus, September 2008.
2 Situs web IFCA adalah redd.pbwiki.com/FrontPage
3 The Jakarta Post 1/Jul/08
4 Laporan untuk Rainforest Foundation Norway tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Indonesia, Patrick Anderson dan Torry Kuswardono, Jakarta, September 2008. Laporan ini dapat dilihat di situs web RFN' www.regnskog.no/html/180.htm, dan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
5 dishut.jabarprov.go.id/index.php?mod=detilBerita&idMenuKiri=334&idBerita=79
6 Ethical Corporation Newsletter 7/Jul/08
7 Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. dan Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Laporan Delft Hydraulics Q3943 www.wetlands.org/Portals/0/publications/General/Peat%20CO2%20report.pdf
8 REDD-I - Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia, REDD Methodology and Strategies Summary for Policy Makers, IFCA, MoF [tak ada tanggal] 
9 IPCC WG III, 2007 unfccc.int/methods_science/redd/items/4531.php
10 Making REDD work for the Poor, Leo Peskett, David Huberman, Evan Bowen-Jones, Guy Edwards dan Jessica Brown, September 2008, IUCN et al, dalam www.povertyenvironment.net/pep/?q=filestore2/download/1852/Making-REDD-work-for-the-poor-FULL-050608.pdf
11 Rangkuman ICFA, seperti dalam 8, di atas.
12 Laporan untuk Rainforest Foundation Norway, seperti dalam 4 di atas.
13 Laporan untuk Rainforest Foundation Norway.
14 Ringkasan IFCA 
15 Ringkasan IFCA 
16 research.yale.edu/gisf/tfd/pdf/fcc/TFD%20Statement%20on%20Forests%20and%20Climate%20Change.pdf
17 Sambutan utama Abdon Nababan, Inclusive Climate Change Solutions, Global Forest Leaders Forum, Washington CN 17/Sep/08
18 Reuters 18/Oct/08, via Biofuelwatch Digest No 800. Untuk kajian lebih lanjut lihat rightsandclimate.org/
19 The Guardian 17/Oct/08, Biofuelwatch Digest No 800
20 Sebagai contoh, lihat DTE 70, Agustus 2006, 
21 Peraturan Menteri Kehutanan, Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), draft 14 Juli,www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Draft_Permenhut_REDD.pdf
22 Rangkuman IFCA 
23 Program Kolaborasi PBB mengenai Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara Berkembang (UN-REDD), FAO, UNDP, UNEP, Dokumen Kerangka Kerja 20 Juni 2008.
24 Pedoman berikut disetujui bulan Februari 2008 dan dapat dilihat di: www2.ohchr.org/english/issues/indigenous/docs/guidelines.pdf
25 www.undp.org/mdtf/UN-REDD/docs/Annex-A-Framework-Document.pdfcontent.undp.org/go/newsroom/2008/september/la-onu-y-noruega-se-unen-para-luchar-contra-el-cambio-climtico-.enwww.undp.org/mdtf/UN-REDD/overview.shtml
26 www.panda.org/forests
27 14 negara memperoleh pendanaan REDD untuk melindungi hutan tropis, mongabay.com 24/Jul/08
28 Lihat referensi dalam situs web Bappenas www.bappenas.go.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=211 (meskipun dokumen ini tampaknya tak tersedia secara online.)
29 The Jakarta Post 18/Aug/08
30 Lihat catatan 23, dan 'UN Admits Its Climate Change Program Could Threaten Indigenous Peoples', Earth Peoples, Sept 27, 2008.
31 Komisi mendapatkan pujian karena tak memasukkan hutan dalam pasar karbon. Siaran Pers yang dikeluarkan oleh FERN dan Global Witness, 17/Okt/08
32 www.rightsandclimate.orgwww.guardian.co.uk/environment/2008/oct/17/forests-endangeredhabitats
33 Lihat catatan 1, di atas.
34 Greenpeace menunjukkan solusi atas perusakan hutan di Indonesia yang begitu cepat dan lajunya peningkatan emisi karbon 31/Okt/08,www.greenpeace.org/seasia/en/news/greenpeace-showcases-the-solut#
35 www.cbd.int/doc/?meeting=REDD-ILC-01