Solidaritas Perempuan: Gender dan Sumber Daya Alam

Perempuan memprotes privatisasi air, Juni 2011 (Solidaritas Perempuan)

DTE 99-100, Oktober 2014

Artikel berikut disusun berdasarkan diskusi dengan Solidaritas Perempuan (SP) pada bulan Juli 2014 dengan beberapa informasi tambahan oleh DTE.

Solidaritas Perempuan merupakan organisasi feminis yang berdiri sejak tahun 1990 dan berbentuk perserikatan yang berbasis keanggotaan individu. Hingga Juni 2014, SP memiliki 686 anggota (laki-laki dan perempuan) di seluruh Indonesia.

Pada Kongres SP ke VI di Palu 2012, SP mendapat mandat untuk memperkuat dan membangun gerakan politik perempuan akar rumput dalam melawan pemiskinan. Mandat ini diterjemahkan ke dalam empat pokok persoalan yang saling terkait yang menjadi pusat kerja Solidaritas Perempuan, yaitu: perempuan dan konflik sumber daya alam (termasuk perubahan iklim); perempuan dan kedaulatan pangan; perempuan, migrasi dan trafficking (perdagangan manusia); serta perempuan dan politisasi agama.

Dalam pencapaian mandat SP melakukan berbagai strategi, mulai dari penguatan anggota SP dan pengorganisasian perempuan di akar rumput, strategi advokasi kasus dan kebijakan, serta strategi kampanye untuk menggalang dukungan publik luas.[1]

Pokok-pokok masalah yang saling terkait didasarkan pada analisis SP bahwa ketika perempuan kehilangan akses dan kontrol atas sumber daya alam, terutama dalam proses pengambilan keputusan, salah satu dampaknya adalah mereka kehilangan kontrol atas sumber-sumber pangan. Artinya, mereka kehilangan kedaulatan atas pangan, termasuk pengelolaan mata rantai pangan. Kondisi ini akan memicu kebutuhan akan uang tunai supaya mereka dapat membeli barang yang tidak lagi dapat dihasilkan atau diakses. Eksploitasi dan industrialisasi sumber daya alam komersial skala besar berarti pemiskinan yang berkepanjangan bagi komunitas akar rumput, terutama perempuan. Pengaruh-pengaruh tersebut juga menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk mencari jalan lain dalam mendapatkan penghasilan serta memutuskan untuk migrasi dan bekerja di luar negeri, ketika tidak ada lagi pekerjaan tersedia di dalam negeri. Ada permintaan yang tinggi akan pekerja rumah tangga Indonesia. Pekerjaan seperti ini melekat dalam norma-norma gender sebagai ‘pekerjaan perempuan’ atau melekat dalam peran gender perempuan: Sembilan puluh pekerja migran adalah perempuan (lihat kotak). Hal ini menimbulkan feminisasi migrasi.

Politisasi agama ada hubungannya dengan permasalahan yang saling terkait karena berurusan dengan hak perempuan untuk memiliki kontrol atas tubuh dan pikiran mereka. Sistem (sosial) patriarkat lalu menggunakan agama untuk membatasi hak-hak tersebut, dan untuk melakukan diskriminasi dan intimidasi terhadap perempuan. Kesemuanya berperan dalam membuat perempuan terus terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan – termasuk pengambilan keputusan mengenai pengelolaan sumber daya alam dan pangan – yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Jerat pekerja perempuan

Sementara beberapa pekerja migran perempuan mampu membangun jaminan masa depan dengan bekerja jauh dari rumah,[2] dalam banyak kasus mereka dirugikan dengan memasuki pasar pekerja migran. Kadang-kadang keluarga (baik sengaja maupun tidak) terlibat dalam kontrak yang bersifat eksploitasi dengan agen atau pihak perantara. Ini adalah bagian dari komodifikasi pekerja domestik migran perempuan. Perempuan, kadang-kadang dalam usia sangat muda, kemungkinan terpuruk menjadi properti yang ‘dibeli’ sebagai bahan mentah, diproses dalam pusat pelatihan, dan lalu dipasarkan dan dijual kepada konsumen.

Banyak terdokumentasi kasus mengenai pekerja domestik migran perempuan yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan mereka, atau hak-hak mereka dilanggar, tanpa mekanisme perlindungan dan tidak ada yang membantu. SP telah bekerja untuk memperkuat dan mengorganisasikan pekerja migran perempuan dan keluarga mereka di tujuh wilayah Indonesia, serta telah menangani dan mendokumentasikan banyak kasus yang melibatkan pekerja domestik migran perempuan. (Lihat http://www.solidaritasperempuan.org/publikasi/koleksi-buku/.[3]) Kebanyakan dari kasus ini melibatkan kekerasan fisik, pelecehan seksual, upah tidak dibayarkan, dipaksa bekerja jauh lebih lama daripada yang dinyatakan dalam kontrak atau perdagangan.

Dreamseekers, sebuah film baru mengenai pekerja migran Indonesia di Hong Kong menggambarkan dengan sangat baik akibat yang traumatik dari pelecehan yang dialami perempuan-perempuan muda,  juga menjelaskan sistem perangkap hutang yang didukung oleh perdagangan ini.[4]

Situasi ini dapat meradikalisasi perempuan begitu mereka sadar akan ketidakadilan gender yang membawa mereka ke posisi yang rentan terhadap eksploitasi. Namun demikian, migrasi – terutama untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri dengan adanya bahasa lain dan budaya berbeda yang bisa menjadi hambatan tambahan - , berarti perempuan juga menjadi terisolasi, rentan terhadap pelecehan dan pelanggaran hak-hak, dan dalam banyak kasus mereka berhutang kepada agen-agen yang menomboki biaya pelatihan dan perjalanan – yang untuk melunasinya bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan.

Kerja SP berangkat dari pemahaman bahwa ada relasi kekuasaan yang tidak setara di antara laki-laki dan perempuan akibat konstruksi sosial yang dibangun oleh komunitas dan masyarakat sendiri sebagai hasil dari budaya patriarkat dan feodalisme. “Kami ingin perempuan membangun dan menguatkan kesadaran kritis bahwa mereka perlu melawan penjajahan dan ketidakadilan yang mereka alami,” kata Aliza dari SP. Perempuan membutuhkan ruang sendiri untuk menantang status quo: “Perempuan membutuhkan ruang yang aman untuk berdiskusi di antara mereka sendiri sebelum masuk ke ruang campuran.”

Dalam hal perempuan dan sumber daya alam, SP mengerjakan isu akses perempuan dan kontrol terhadap sumber daya alam, terutama dalam wilayah hutan, perkebunan skala besar, tambang, privatisasi air dan proyek iklim dalam tiga tahun terakhir. Pekerjaan tersebut muncul dari prioritas masing-masing komunitas.

SP terdiri dari 10 komunitas: SP Bungoeng Jeumpa Aceh, SP Palembang (Sumatra Selatan), SP Jabotabek (Jakarta dan sekitarnya), SP Kinasih (Yogyakarta), SP Mataram (Nusa Tenggara Barat), SP Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), SP Anging Mammiri (Sulawesi Selatan), SP Kendari (Sulawesi Tenggara), SP Palu dan SP Poso (Sulawesi Tengah). Sebagian besar mengambil isu kerja sumber daya alam kecuali Mataram dan Yogyakarta yang berfokus pada pangan dan politisasi agama. SP juga bekerja di 4 wilayah: Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Jawa Barat.

Di Kalimantan Tengah, SP memantau proyek percontohan REDD yang dibiayai Australia, Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) yang saat ini dihentikan.[5] Terkait dengan itu, SP juga memusatkan diri pada kerja pemberdayaan perempuan yang tinggal di dalam wilayah proyek.

Selain KFCP, terutama untuk isu sumber daya alam SP bekerja tentang:

  • Proyek percontohan REDD+ di Ulu Masen, Aceh, yang juga tidak jelas statusnya.[6]
  • Persiapan proyek percontohan UNREDD di Sulawesi Tengah
  • Perkebunan kelapa sawit di Poso dan Kendari
  • Perkebunan tebu milik negara di Sumatra Selatan dan Sulawesi Selatan
  • Tambang di Nusa Tenggara Barat
  • Privatisasi air di Jakarta

Mengenai perubahan iklin, selain advokasi tentang REDD+, SP juga memantau pendanaan proyek iklim dan lembaga keuangan internasional yang terlibat seperti Program Investasi Hutan (FIP) yang didanai oleh Bank Dunia, IFC dan ADB[7]dan yang baru dibentuk Dana Iklim Hijau (dana global UNFCCC untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim) yang sedang menyusun kebijakan dan mekanisme-mekanismenya.[8]

Keadilan gender dan hal yang lebih luas

Strategi utama SP yang lain adalah advokasi kebiijakan: SP saat ini sedang mendorong pengadopsian draft yang disusun SP mengenai Standar Aturan Perlindungan Perempuan [9] ke dalam kebijakan perubahan iklim nasional Indonesia. Prinsip utama dari Standar Perlindungan tersebut telah diadopsi ke dalam Prinsip, Kriteria dan Indikator (PRISAI) dari Strategi Nasional REDD+, yaitu prinsip inklusif, peka dan tanggap gender.[10]

Selain kerja tentang Standar Perlindungan Gender, SP bekerja sama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk mendorong keterlibatan kementrian dalam isu sumber daya alam. Misalnya, SP telah mendorong KPPPA untuk bergabung dalam Dewan Nasional Perubahan Iklim. SP bersama dengan KPPPA dan beberapa lembaga dan organisasi juga bekerja mendorong pengarusutamaan gender melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, mencakup penyusunan anggaran tanggap gender. “Jika isu gender tidak dimasukkan dalam penyusunan anggaran maka akan sulit untuk mengarusutamakan gender di dalam pemerintahan,” kata Aliza.

Bersama kelompok-kelompok lain, SP mendorongkan pemerintahan yang lebih adil, yang menempatkan pemberdayaan dan perlindungan perempuan sebagai prioritas. SP melakukannya melalui beberapa gerakan organisasi masyarakat sipil, seperti Indonesia Beragam, sebuah koalisi organisasi perempuan dan beberapa jaringan lain, yang terdiri dari banyak organisasi yang bekerja dalam isu perempuan dan gender.[11] Sebelum pemilihan presiden, SP mengeluarkan pernyataan agar presiden terpilih berhenti mengkomodifikasikan alam Indonesia. Setelah pemilihan berlalu, apa yang dipikirkan SP mengenai masa depan perempuan Indonesia? “Perempuan harus berpartisipasi dan terlibat dalam semua proses pengambilan keputusan dan dalam semua aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya – dan maka dari itu mereka harus memiliki akses atas informasi dan kontrol terhadap keputusan, untuk pemberdayaan, dan untuk perlindungan berbasis prinsip-prinsip gender yang inklusif, peka dan tanggap”.

“Pemerintah kedepan diharapkan dapat membangun sebuah kebijakan, program serta mekanisme yang dapat memastikan pemberdayaan dan perlindungan hak perempuan, tidak terjadi kembali kriminalisasi bagi perempuan yang memperjuangkan dan mempertahankan haknya atas sumber kehidupannya, dan tidak ada lagi kebijakan diskriminatif yang menghambat dan mengontrol otonomi tubuh, pikiran dan ruang gerak perempuan.”

Tantangan

Banyak tantangan yang dihadapi SP seputar sulitnya mendapat pengakuan yang layak untuk keadilan gender sebagai bagian integral dari perjuangan untuk keadilan sosial dan lingkungan. SP mengalami secara terus menerus harus menunjukkan kepada rekan-rekan di organisasi masyarakat sipil lainnya akan perlunya membedakan antara laki-laki dan perempuan ketika mengorganisasikan komunitas dan/atau ketika melakukan analisis dampak terhadap komunitas. “Jika kita hanya bicara tentang “komunitas” berarti kita hanya bicara tentang kepentingan komunitas dari sudut pandang laki-laki,karena realitas di lapangan adalah ketika ada pertemuan dengan komunitas biasanya hanya laki-laki yang hadir.”

Banyak perempuan sekarang terlibat dalam aksi atau demonstrasi, jelas SP, tetapi bagaimana tepatnya mereka terlibat? Seringkali perempuan ditempatkan di baris depan, tetapi biasanya laki-laki yang menyusun strategi, mengarahkan atau mengorganisasikan aksi protes; mereka juga memasak, membuat kopi dan menyediakan makan selama diskusi. Sebetulnya baik saja ada pembagian peran, tetapi apakah perempuan sepakat dengan pembagian peran tersebut? Apakah mereka kemudian terlibat dalam diskusi? Apakah perempuan percaya bahwa mereka terlibat?

“Dalam beberapa hal, perempuan merasa kepentingan mereka sudah dibawakan oleh suara suami. Maka, jika kita ingin melibatkan perempuan kita perlu tidak hanya memberikan mereka informasi, tetapi kita juga perlu membagikan pemahaman mengenai ketidakadilan gender dan bahwa mereka memiliki hak yang setara,”

tandas Aliza.

 



[2] Elmhirst, R. (2007) Tigers and gangsters: masculinities and feminized migration in Indonesia Population, Space and Place, 13 (3). pp. 225-238. ISSN 1544-8452

 

[4] Lihat Dreamseekers oleh Gratiane de Moustier di http://vimeo.com/64791643

[5] Lihat REDD Monitor, ‘The demise of the Kalimantan Forest and Climate Partnership and the importance of free, prior and informed consent’ 5 September 2013 at http://www.redd-monitor.org/2013/09/05/the-demise-of-the-kalimantan-forest-and-climate-partnership-and-the-importance-of-free-prior-and-informed-consent/