Semua berjalan seperti biasa di Mentawai

Down to Earth Nr 50  Agustus 2001

Wilayah yang dilindungi seperti Siberut semakin mudah di-eksploitasi - secara sah maupun tidak - karena krisis ekonomi Indonesia yang berkepanjangan, ditambah dengan dampak UU otonomi daerah dan pengalihan hak perolehan pendapatan.

Kepulauan Siberut merupakan salah satu daerah biosfir yang dilindungi UNESCO sejak 1981 karena kekayaan hutan, keunikan margasatwanya, dan tradisi serta kepercayaan masyarakat adatnya. Namun demikian, pemerintah daerah dan Departemen Kehutanan selama tiga tahun terakhir ini mengeluarkan sejumlah ijin penebangan kayu. Hampir dalam setiap kasus, perusahaan kayu di Sumatra Barat atau Jakarta mendirikan perusahaan yang seolah-oleh dimiliki oleh masyarakat adat Mentawai atau koperasi setempat. Mereka mendapatkan ijin yang dinamakan konsesi penebangan kayu skala kecil. Hal ini malah membuka jalan bagi perusahaan dagang besar seperti misalnya penanaman kelapa sawit. Penebangan ini juga menyebabkan kerusakan batu karang. Sebagian besar Siberut adalah dataran rendah berpaya-paya tanpa batu keras, sehingga kekayaan batu karang disepanjang pantai timur 'ditambangi' untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan untuk keperluan jalan, perumahan dan pangkalan kerja.

Semakin banyak masyarakat di Siberut yang terpecah-pecah; beberapa tertarik dengan keuntungan cepat yang diperoleh dari penebangan pohon sejalan dengan masyarakat Mentawai yang kini masuk ke dalam ekonomi uang tunai; yang lainnya yakin kalau masa depan mereka terletak pada pengolahan hutan yang berdasarkan pada pengetahuan dan praktek adat. Secara tradisional, orang Mentawai menanam sagu, memelihara babi dan mengumpulkan rotan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika hutan mereka hilang, begitu jugalah kebudayaan unik dan sistem keyakinan para penduduk pulau. Sementara itu, pemerintah daerah yang berada di Sumatera Barat akan meraih keuntungan dari pajak dan iuran. Para kontraktor yang bermarkas di Padang dan pengusaha lainnya juga mengharapkan keuntungan, sementara penduduk setempat hanya bisa menyaksikan mata pencaharian mereka menghilang di depan mata mereka. Penebangan hutan besar-besaran dan perusahaan minyak kelapa sawit lebih suka membawa masuk pekerja dari wilayah Indonesia lainnya daripada mempekerjakan orang Mentawai yang mereka anggap tidak punya ketrampilan. Kelompok-kelompok Mentawai dan LSM setempat berkampanye untuk membatalkan semua konsesi penebangan hutan Mentawai dan mereka menyusun rencana pengelolaan Siberut yang berdasarkan alternatif berkesinambungan.

Ketika Taman Nasional Siberut didirikan tahun 1993, semua ijin penebangan hutan yang ada di pulau itu dicabut. Namun semua perencanaan dalam peta resmi tetap memetakan sebelah Timur Siberut sebagai Hutan Produksi (142.074 hektar dan Hutan Konversi (35.074 hektar). Kini PT Salaki Summa Sejahtera berencana untuk menebang hutan seluas 49.440 hektar di Siberut Utara yang merupakan tanah adat Sigapokna, Malancan, Mongan Paula, Sotboyak, Sikabaluan, dan kampung-kampung lain di Siberut Utara. Kawasan ini (sebagian ditebang oleh PT Cirebon Agung sebelum tahun 1993) merupakan daerah penangkapan air untuk sungai-sungai di sebelah timur pulau dan membatasi kawasan utama Taman Nasional. Para pegiat setempat menunjukkan adanya ancaman atas satwa liar Siberut, termasuk spesies endemik, potensi erosi tanah (karena curah hujan yang tinggi) dan kemungkinan konflik dengan dan antar masyarakat setempat. Pihak yang berwenang mengesahkan analisa dampak lingkungan pada akhir Juni --walau ada penentangan keras dari penduduk setempat-- dan memerintahkan PT SSS untuk lebih melakukan kegiatan 'penyadaran masyarakat' untuk meraih hati masyarakat.

Perusahaan kayu juga sangat ingin menebang kayu di dalam Taman Nasional Siberut karena banyak kayu yang secara komersial tinggi nilainya. Peningkatan pendapatan setempat dari sumber-sumber daya alam merupakan prioritas yang lebih tinggi pemerintah setempat dibanding konservasi. Pihak kehutanan yang berwenang di Jakarta menyatakan mereka tidak memiliki dana cukup untuk melindungi Taman Nasional, khususnya sejak Departemen Kehutanan tidak lagi mengendalikan Dana Reboisasi yang berlimpah yang kini dikendalikan Departemen Keuangan sebagai bagian dari reformasi yang disyaratkan IMF. Lebih dari itu - Indonesia yang terhuyung-huyung dengan beban hutang - tidak punya dukungan yang cukup untuk meminta pinjaman baru dari Bank Dunia atau ADB guna mendanai program pengelolaan kawasan lindung. Ketua Taman Nasional Sugeng Hariady mengeluh, "Siberut kini seperti mesin pencetak uang karena hutan aslinya mengandung kayu yang amat berharga Taman ini menghadapi nasib yang sama dengan Tanjung Puting dan Gunung Leuser."

PT Maharani Puri Citra Mandiri sudah menggunduli hutan di sebelah Selatan Siberut. Perusahaan ini, baru saja mendapat ijin hanya untuk penebangan kayu lewat hubungannya dengan koperasi setempat Kostam, namun rencana mereka untuk menanam 17.500 hektar perkebunan kelapa sawit jelas terbukti (lihat DTE 33:11). Mereka dilaporkan sudah membawa 20 traktor penebangan kayu ke pulau tersebut. Sebagian besar penduduk setempat menolak rencana ini (lihat box) karena mereka masih tergantung pada penggunaan hutan yang didasarkan pada kesinambungan masyarakat. Sebuah kebun pembibitan kelapa sawit dirusak begitu didirikan oleh PT Maharani sehingga perusahaan berusaha membujuk penduduk kampung dengan janji pembuatan jalan raya dari Taileleu ke Katurei dan Maura Siberut. Hutan mencapai luas 200 meter sudah disapubersihkan namun jelas dengan cara yang salah. Penebangan kayu berlanjut di kawasan ini dan sedikitnya 3000 meter kubik kayu sudah dijual pada tahun 2000, namun belum ada jalan yang dibangun juga pihak yan berwenang di sana belum memberikan ijin untuk jalan raya.

Pemerintah setempat tidak melakukan apa-apa untuk mencegah ancaman atas hutan Siberut dan masyarakat adat -sejauh ini usaha penebangan hutan berjalan seperti biasa. Masyarakat adat gembira ketika Pulau Mentawai mendapatkan status kabupaten pada tahun 1999, yang mengakhiri dekade secara administrasi merupakan bagian dari Padang Pariaman. Mereka sudah lama tersinggung dengan 'kolonialisasi' orang Minang dari Sumatera Barat yang amat berbeda budaya dan kepentingan ekonominya. Pemilihan anggota DPRD yang baru, yang diselenggarakan tahun 2000, dinyatakan tidak sah oleh Jakarta. Anggota DPRD Mentawai secara resmi ditunjuk pada tanggal 7 April setelah pemilihan umum yang baru. Tugas pertama DPRD adalah menyusun anggaran tahunan untuk Kepulauan Mentawai yang sampai sekarang dikendalikan dari Padang. DPRD dan Bupati masih tetap bekerja dari Padang, kantor pemerintah daerah di Kepulauan Mentawai (di Tuapejat, Sipora) tidak punya telepon atau sambungan radio gelombang pendek ke tanah daratan.

Gubernur Sumatera Barat menunjuk seorang penduduk asli Mentawai sebagai Bupati baru sementara. Bupati yang menjabat, Badril Bakar, ditarik ke tanah daratan pada bulan April tahun ini karena memberlakukan pungutan pajak wisata atas para pesilancar yang menggunakan kawasan wisata di Pulau Karamajat (lihat DTE34:5). Orang-orang Mentawai yang berharap perwakilan yang baru akan menentang perusahaan penebangan kayu dan kepentingan Padang lainnya serta berjuang untuk hak-hak masyarakat adat, amat kecewa. Antonius Samangilailai SH hanya menangani urusan harian; Gubernur yang memegang hak untuk mengendalikan lembaga eksekutif Mentawai dengan ditundanya pemilihan umum beberapa bulan mendatang. Sebagaimana pemilihan daerah lainnya di Indonesia, pejabat partai daerah dan kepentingan ekonomi yang tampaknya akan menentukan siapa yang akan menjadi Bupati baru.

Walaupun Antonius berasal dari pulau tetangga Sipora, ia sudah lama menjadi bagian dari pemerintahan tanah daratan dan secara meluas diyakini sebagai orang tangan kanan perusahaan kayu. Sebagai Camat dari Siberut Selatan, Antonius memberikan rekomendasi untuk PT Citra Mentawai Membangun dan KOSUM untuk pindah ke wilayah Katurei dan hak operasi untuk PT Sindo Sakdi Jaya, KOSTAM dan PT Maharani Puri Citra Lestari di Taileleu dan Tiop pada tahun 2000. Dia juga mengesahkan rencana jalan raya Taileleu dan Katurei yang sebagai dampaknya memungkinkan adanya penebangan kayu gelap. Para penentangnya mengatakan ia berpihak pada perusahaan dalam persengketaan dengan masyarakat setempat dan mendesak agar semua perundingan dilangsungkan di pangkalan kerja dan bukan di kantor camat. Pertemuan pertama dengan Antonius sebagai Bupati dengan LSM-LSM dan pemimpin masyarakat di Padang April lalu merupakan kesempatan bagi perusahaan penebangan kayu Mentawai untuk berkumpul bersama. Organisasi-organisasi Mentawai yang mendukung hak-hak masyarakat adat tidak diundang, tapi dilaporkan bahwa perwakilan dari empat perusahaan penebangan kayu (termasuk PT Minas Pagai Lumber, lihat DTE 44) dan sebuah pejabat hutan setempat hadir. Yang menarik Antonius kini mempunyai mobil baru walaupun tidak banyak jalan raya di Kepulauan Mentawai.

Masalah penebangan kayu adat di Siberut muncul ke permukaan bersamaan dengan kebangkitan proyek kontroversial Hibah Tanah untuk Universitas (LGC). Sebuah konsesi LGC diberikan kepada universitas utama di Padang, Andalas, dua tahun lalu oleh Menteri Kehutanan saat itu, Muslimin Nasution (Lihat DTE 44). Perencanaan ini memberikan hak penebangan kayu kepada lembaga-lembaga pendidikan sebagai cara untuk mendukung pendanaan mereka. Universitas Andalas menolak penebangan kayu yang melebihi konsesi yang dialokasikan dan melakukan pendekatan ke Jakarta untuk perolehan wilayah hutan utama di Siberut. Perlawanan keras atas penebangan kayu universitas ini dipimpin oleh para mahasiswa Mentawai di Padang. Menteri Kehutanan berikutnya, Nurmahmudi Ismail, akhirnya membatalkan perencanaan LGC.

Universitas Andalas kemudian menggunakan jalur lain untuk memasukkan tangannya ke sumber daya hutan Siberut yang sangat menguntungkan. Mereka mendirikan koperasi perkayuan sendiri dan membuat perjanjian dengan perusahaan penebangan kayu di Jakarta. Mereka juga secara diam-diam menghidupkan kembali Analisa Dampak Lingkungan (yang ditolak Bulan Juni 2000 oleh Bapedal daerah) dan mendapatkan pengesahan dari Bapedal Jakarta. Hak Pengelolaan Hutan Alam (HPHA) untuk konsesi atas 49.650 hektar di Siberut Tengah dikeluarkan dari Jakarta oleh Nurmahmudi sehari sebelum ia dicopot dari jabatan Menteri. Sahamnya dibagi antara Universitas Andalas (20%), koperasinya, Koperasi Andalam Madani (26%) dan PT Sinar Minang Sejahera (54%). Universitas akan menghasilkan Rp. 100 juta per bulan dari perjanjian itu. Seperti konsesi PT SSS di bagian lebih ke utara, wilayah Andalas diperluas sampai ke perbatasan Taman Nasional, yang mengancam batas air dan meningkatkan penebangan kayu gelap di dalam dan di luar Taman.

Universitas dan pihak Kehutanan tetap saja mengabaikan surat yang menuntut penghentian usaha penebangan kayu ini dari masyarakat Siberut, LSM-LSM dan DPRD Mentawai. Sebuah pangkalan kerja dibangun dengan menggunakan batu dari batu karang setempat sebagai inti pokok dan untuk membuat kolam kayu. Pada tanggal 21 Mei, peralatan berat pertama tiba di pantai Timur pulau di Subeleng, Siberut Utara, dengan penjagaan polisi dari Padang. Tambahan peralatan akan dikapalkan dari Jakarta. Berita ini menyebar dengan cepat dan dalam beberapa jam sekitar 100 orang berkumpul, termasuk penduduk dari bagian Selatan Pulau yang melakukan perjalanan lima jam dengan menggunakan perahu motor untuk berunjuk-rasa. Beberapa diantara mereka mempunyai hak adat atas hutan dan tanah di Subeleng; yang lainnya sekedar merasa bahwa hutan Siberut harus dilindungi dari eksplorasi, khususnya dari tanah daratan. Pengunjuk rasa menuntut agar lima dari 27 traktor penebang kayu yang sudah dikeluarkan harus segera dipindahkan. Ketika Manajer Lapangan Koperasi Andalas menolak, mereka membakar pangkalan kerja yang ada. Kapal dengan cepat balik ke laut, dan kembali pada malam hari untuk menyelamatkan peralatan setelah para penduduk pulang ke rumah. Kapal melempar jangkar keeseokan harinya di Pokai dekat kantor pemerintahan Siberut Utara, Muara Sikabaluan, dimana perwakilan Koperasi Andalas bertemu dengan pihak berwenang. Namun penduduk setempat menghentikan pertemuan, dan setelah unjuk rasa selama sehari penuh, kapal beserta traktor penebang kayu dibawa kembali ke tanah daratan.

Satu peleton tentara tiba di pelabuhan kecil terdekat dan dengan cepat diarahkan ke pangkalan kerja yang terbakar untuk mencegah unjuk rasa lebih lanjut para penduduk yang marah. (Pihak berwenang di Sumatera Barat mengirimkan pasukan ini ke pulau itu setelah seorang pria dituduh melakukan ilmu sihir yang mematikan dan enam rumah di Sirilogui dibakar pada bulan Mei). Pihak berwenang Mentawai juga mengirimkan sebuah tim yang terdiri dari polisi dan tentara untuk menyelidiki kedua peristiwa itu. Sekitar enam puluh orang ditanyai sehubungan dengan pembakaran pangkalan kerja, namun tak satupun yang ditahan atau didakwa. Universitas menuduh LSM setempat merekayasa unjuk rasa, namun mengatakan mereka siap untuk membahas semua masalah dengan masyarakat adat dan LSM-LSM. Pihak berwenang di Sumatera Barat dan Mentawai bertemu di Padang untuk membahas penentangan atas konsesi Andalas. Gubernur Zainal Bakar mengatakan kasus itu akan diselesaikan di pengadilan karena universitas secara resmi mendapat lahan itu dari Jakarta. Terungkap bahwa konsesi itu termasuk tanah adat, yang mestinya tidak dimasukkan. Pernyataan itu membuat marah masyarakat Siberut yang menganggap bahwa setiap inci dari tanah merupakan hak adat yang kompleks, dan tidak bisa diberikan oleh pejabat di Padang atau Jakarta. Salah seorang pria Mentawai di Padang mengatakan kepada wartawan setempat bahwa "pembakaran pangkalan kerja universitas merupakan peringatan kepada investor yang datang ke Mentawai bahwa mereka harus memperhatikan keinginan penduduk setempat."

Beberapa ratus orang, termasuk KELUARGA BESAR Mentawai di Padang, LSM-LSM dan para mahasiswa dari tiga universitas di kota itu menggelar aksi sehari di Universitas Andalas pada tanggal 28 Mei. Akhirnya mereka diperbolehkan untuk menyampaikan pandangan mereka kepada Wakil Rektor Dr. Musliar Kasim, yang juga merupakan pimpinan koperasi penebangan kayu universitas, KAM. Para pengunjuk rasa terdiri dari perwakilan-perwakilan masyarakat adat dari Siberut yang membawa pernyataan protes dari masyarakat mereka. Kasim berjanji bahwa pertemuan antara universitas, perusahaan, dan penduduk setempat akan diselenggarakan, namun hal ini belum terlaksana sampai saat penulisan ini. Orang Siberut jelas tidak puas dengan hal itu. Tanggal 2 Juni unjuk rasa lainnya digelar di Padang, di perkantoran Gubernur, Kantor Wilayah Kehutanan, dan Bupati, ketika perwakilan masyarakat adat menyampaikan pernyataan yang ditanda-tangani yang menolak semua bentuk konsesi penebangan kayu di pulau itu. Menurut laporan sebuah majalah Indonesia Tempo menulis bahwa masyarakat adat siap untuk bertarung sampai mati untuk melawan perusahan pengrusak mungkin agak berlebihan, namun beberapa ratus orang dari 12 suku setempat didukung oleh masyarakat dari seluruh kawasan Timur pulau itu jelas siap untuk mencegah masuknya peralatan berat untuk penebangan kayu. Empat suku lainnya dibujuk untuk menyerahkan tanah mereka dengan mendapat bayaran dari koperasi penebangan kayu senilai Rp. 25.000 per meter persegi (sekitar US$2,5). Berita terakhir mengatakan bahwa mereka membantu perusahaan membangun kembali pangkalan kerja.

(Sumber-sumber : Kompas 27/April/2001; Pernyataan LSM-LSM dan mahasiswa Mentawai, tidak bertanggal, diterima 5/May/2001); Mimbar Minang 23/May/2001, 26/May/2000, 20/May/2001; Tempo 26/June/200; pernyataan WALHI Sumbar 4/July/2001.)

 

Kasus Tiop

Para penduduk di kampung kecil Tiop di Siberut Tenggara sudah bosan mengirimkan pernyataan ke pemerintah daerah Sumatera Barat untuk mengungkapkan penentangan mereka terhadap perusahaan penebangan kayu. PT Sindo dan koperasinya KOSTAM dan PT Maharani Puri Citra Lestari melakukan operasi penebangan kayu di tanah mereka. Salah satu suku dalam masyarakat tersebut awalnya dibujuk untuk mengijinkan penebangan kayu di areal 600 ha, namun kini para penebang kayu sudah menebang 2500 ha. Para penduduk prihatin bahwa air bersih sekarang sulit ditemukan dan hanya ada sebidang kecil tanah yang dekat dengan kampung mereka yang bisa mereka gunakan. Mereka kuatir akan masa depan anak-anak mereka.

Tanggal 7 Maret, perwakilan dari Tiop pergi ke tanah daratan untuk menarik semua ijin penebangan kayu di sekitar kampung mereka. Penduduk berkeliling ke kantor DPRD, kantor gubernur, dan kantor kehutanan dimana mereka disambut dengan baik, namun hasilnya, mendapatkan penolakan. Semua kantor mengatakan kepada penduduk bahwa mereka bertindak demi kepentingan penduduk setempat, bahwa mereka menghindari konflik antara perusahaan dengan penduduk setempat, bahwa mereka tidak bertanggung-jawab atas pengeluaran ijin penebangan kayu, dan bahwa sebaiknya 'lebih banyak lagi dialog.'

Sayangnya bagi masyarakat Tiop, DPRD Mentawai belum dilantik dan juga belum ada Bupati yang ditunjuk waktu mereka berkunjung ke Padang. Bupati kini bertanggung-jawab dalam mengeluarkan ijin penebangan kayu berdasarkan peraturan otonomi wilayah. Ini merupakan pertanda dari ketidak-efektifan birokrasi dimana tidak ada satupun yang bisa atau mau memberikan jawaban jelas tentang siapa yang bertanggung-jawab dalam memonitor kegiatan perusahaan penebang kayu, penarikan ijin mereka atau prosedur yang benar. Atau persisnya kenapa ijin penebangan kayu dikeluarkan di sebuah pulau yang merupakan cadangan biosfir. Dalam situasi seperti ini, tidaklah mengejutkan jika masyarakat setempat memutuskan untuk mengambil tindakan langsung, seperti di Subeleng (lihat berita utama).