RSPO[1] menuju minyak sawit lestari?

Down to Earth No 66  Agustus 2005

Wawancara dengan Marcus Colchester

Marcus Colchester adalah direktur ornop internasional Forest Peoples Programme, dan anggota komite manajemen DTE. Bersama ornop Indonesia Sawit Watch, ia telah berpartisipasi dalam RSPO sebagai anggota dari Criteria Working Group nya. kelompok kerja ini merupakan komite formal dari RSPO dengan tugas mengembangkan kriteria dan pedoman standar untuk minyak sawit lestari dan memberikan masukan sehingga klaim akan minyak sawit lestari dapat dibuktikan.

 

Bagaimana anda bisa terlibat dalam Criteria Working Group (CWG) dan apa peran anda?

Sekelompok ornop Belanda meminta saya menjadi relawan untuk membantu memberi masukan kepada Sawit Watch pada aspek sosial dari penyusunan standar RSPO. Saya merasa tersanjung tapi juga agak ragu, sebab RSPO didominasi kepentingan industri dan, saya khawatir, mungkin bisa dipakai sebagai legitimasi perluasan minyak sawit lebih lanjut. Sejujurnya, bagi saya, pemikiran bahwa perkebunan kelapa sawit bisa disebut lestari agak sedikit jauh dari kenyataan. Begitu pula sinyalemen dari FSC (Forest Stewardship Council) bahwa logging yang bersertifikat adalah lestari. Tetapi, saya selalu punya harapan yang sangat tinggi untuk Sawit Watch, yang juga mempunyai hubungan dekat dengan World Rainforest Movement, dan saya pernah bertemu dengan Rudy dan Norman dari Sawit Watch di Bogor dan mendiskusikan strategi mereka. Mereka meyakinkan saya bahwa RSPO adalah cara yang berharga demi terbukanya ruang politik untuk kelompok masyarakat sipil Indonesia yang punya kepedulian terhadap dampak dari minyak sawit. Lalu saya memilih bergabung bersama CWG sebagai pendukung dari Sawit Watch dan telah berhasil memberi masukan teknis kepada komite.


Sebagai peserta dari ornop, apa yang anda harapkan dari pencapaian proses tersebut?

Saya kira kita bisa berharap untuk: transparansi yang lebih baik untuk sektor minyak sawit secara keseluruhan dan standar praktik terbaikyang lumayan bagus yang tidak hanya bisa digunakan oleh RSPO pada sertifikasi formal namun secara umum juga dapat dipakai untuk menuntut praktik yang layak dari perusahaan minyak sawit. Beberapa dari standar yang kami perjuangkan bisa dan seharusnya mengikat skema tanaman pangan dan perkebunan yang lain juga. Akan lebih baik apabila proses tersebut mampu menghentikan perusahaan merusak hutan dan ekosistem yang berharga serta menyengsarakan rakyat. Akan menjadi pengharapan yang berlebihan pada RSPO sendiri namun, mudah-mudahan, paling tidak bisa memberi sumbangan untuk kampanye yang lebih luas dengan tujuan-tujuan tersebut.


Capaian penting apa yang sejauh ini apa yang telah diperoleh?

Kalau boleh sedikit membanggakan diri, saya kira perlindungan sosial utama dalam rancangan standar sudah cukup baik. Singkatnya, rancangan standar memerlukan legalitas; proses pengadaan tanah yang adil dan transparan; pengakuan terhadap hak-hak adat; persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC); pengakuan terhadap hak-hak pekerja; non diskriminasi; harga yang wajar untuk petani penggarap; kesehatan dan keamanan yang memadai dan sebagainya. Tetapi kerangka pengaman lingkungan hidup (environmental safeguards) perlu sangat diperkuat. Disamping penyusunan standar, secara umum RSPO telah membantu memfokuskan perhatian pada permasalahan yang disebabkan oleh perkebunan sawit. RSPO juga membantu industri dan ornop lebih tajam dalam melihat seluruh permasalahan.


Apa yang menjadi hambatan utama, apa kemajuan paling kurang dirasakan?

Saya ingin menegaskan bahwa, secara umum, dewan pengurus, anggota komite dan sekretariat telah begitu terbuka dan mengakomodasikan sebagian besar masukan dari kami. Tapi memang, ada beberapa kendala berarti. Pada awalnya, standar tersebut belum sesuai dengan petani penggarap; mereka belum sepenuhnya terlibat secara langsung, meskipun kami sudah mendorongnya. Terjemahan standar rancangan ke dalam Bahasa Indonesia, Perancis dan Spanyol masih belum tersedia, walaupun sudah hampir setahun ini kami memintanya. Ini berarti bahwa negara-negara di Afrika yang berbahasa Perancis dan di Amerika Latin yang berbahasa Spanyol masih tertinggal, begitu pula organisasi masyarakat sipil Indonesia dan Malaysia yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari mereka. Sehubungan dengan hal ini dan untuk meningkatkan komunikasi kami dengan konstituen kami, sebagai ornop kami telah menyusun situs dua bahasa, Inggris dan Indonesia, sebagai diskusi berbasis web, tetapi ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan terjemahan resmi. (www.ngorelay.org).

Hambatan lainnya adalah, kami tidak mendapat dukungan pada CWG atas tuntutan kami untuk standar pelarangan organisme hasil rekayasa genetik atau GMO. Saya merasa terkejut dengan keadaan tersebut sebab, bila RSPO bisa mengatakan bahwa produk mereka bebas GMO, mereka akan memperoleh keuntungan pasar yang besar dibandingkan minyak yang lain seperti yang terbuat dari kedelai, paling tidak di Eropa, dimana konsumen tidak lagi mempercayai GMO. Terdapat pula sejumlah isu yang belum mendapat perhatian semestinya, walaupun paling tidak hal tersebut sudah diketahui, termasuk: bagaimana mengembangkan interpretasi nasional sehingga standar tadi bisa sesuai dengan realitas setempat dan peraturan yang ada; bagaimana menjamin audit yang kredibel dan independen verifikasi atau sertifikasi - atas apa yang dianggap sebagai manfaat RSPO, bagaimana menjamin rantai pengawasan (chain of custody) yang kuat. Maksud saya bagaimana kita bisa membangun sistem yang kredibel untuk menghentikan kecurangan perusahaan yang mencampur minyak dari petani RSPO dengan minyak yang berasal dari sumber yang kurang bisa dipertanggungjawabkan?

Dilema lain yang penting adalah, ketika kami merasa suara kami tentang peran pemerintah belum cukup diperhatikan. RSPO mempresentasikan diri sebagai B2B- kerjasama business-to-business menghubungkan para petani dengan pasar yang persaingannya tajam. Dengan kata lain, standar yang ada bersifat sukarela dan tidak mengikat. Masalahnya adalah bahwa banyak dari standar tersebut berhubungan dengan isu-isu yang memang menjadi tanggung jawab pemerintah seperti: standar perburuhan, pencatatan pertanahan, hukum yang menghargai hak-hak masyarakat adat atas tanah, proses perencanaan pemanfaatan tanah, serta sederet tanggung jawab lainnya. Saya menduga RSPO akan mengabaikan peringatan yang kami kemukakan dan terus maju dengan pendekatan sukarelanya. Namun saya memperkirakan ini tak akan berlangsung lama, sampai kemudian pabrik dan petani mengeluh kepada RSPO bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar karena banyak dari persyaratan menuntut pemerintah untuk mengubah cara mereka menangani masalah. Mudah-mudahan, ini akan mendorong industri untuk melakukan tekanan pada pemerintah agar mereformasi peraturan, kebijakan dan prosedur yang tidak layak yang kini berlaku.


Anda telah terlibat dalam penyusunan rancangan dasar dan kriteria untuk minyak sawit lestari bagaimana perkembangannya sekarang? Apakah anda juga berharap itu akan diterima, seperti yang direncanakan oleh RSPO pada pertemuan mendatang?

Semua itu akan sangat tergantung pada masukan yang diterima pada rancangan kedua. Standar itu juga akan ditinjau kembali pada beberapa forum yang ditangani oleh sekretariat. Bila secara keseluruhan reaksinya bagus, maka CGW tidak akan kesulitan menyiapkan rancangan akhir untuk disetujui pada pertemuan ketiga yang akan dilakukan di Singapura bulan November. Dewan Pengurus tentu punya target untuk menyetujui standar pada pertemuan nanti. Pada hemat saya, pada pertemuan kedua kami sudah sampai pada taraf hampir disetujui.


Anda sebelumnya sudah menyinggung tentang fakta bahwa CWG didominasi oleh kepentingan industri dan mengesampingkan setiap presentasi yang dilakukan oleh masyarakat adat, petani kecil atau serikat pekerja. Apakah sudah ada kemajuan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Begini, agar lebih adil terhadap RSPO, sepengetahuan saya memang tidak ada masyarakat adat, petani kecil atau serikat pekerja yang mendesak untuk mendapat tempat di dewan pengurus atau Criteria Working Group. Kenyataannya, tempat untuk petani kecil di dewan pengurus masih tetap kosong. Tapi, sebagai hasil dari permintaan kami agar petani kecil bisa berpartisipasi dalam konsultasi dan pengembangan standar, tampaknya Dewan Pengurus setuju dengan pemikiran kami untuk membentuk Gugus Tugas untuk petani kecil yang akan mendapatkan pekerjaan untuk memastikan bahwa standar itu bisa diterapkan untuk disesuaikan dengan kondisi mereka yang sangat beragam. Saya sangsi apakah sejumlah kriteria yang kredibel yang sesuai dengan petani penggarap bisa selesai disusun pada bulan November, apalagi sekitar September saat pertemuan CWG berikutnya. Kami mungkin harus menerima kriteria yang disesuaikan dengan kondisi petani kecil yang akan membutuhkan sejumlah konsultasi dan perbaikan, mungkin akan dipakai tahun 2006. Permasalahan sesungguhnya adalah seberapa besar tanggung jawab pembeli dan pabrik untuk pengelolaan petani kecil. Ini rumit: di satu sisi, petani harus bebas untuk menjual kelapa sawit mereka kepada siapapun yang mereka inginkan (ini akan memberi posisi yang lebih baik untuk memperoleh harga yang adil), tapi, jika mereka dapatkan kebebasan itu, maka kita juga tidak bisa meminta pembeli atau pabrik bertanggung jawab atas bagaimana petani bekerja.


Seberapa besar kemungkinan standar dapat digunakan untuk melindungi hak atas tanah adat, karena pengakuan negara terhadap keberadaan adat sangat lemah? Rancangan kriteria sosial memuat ketentuan yang mensyaratkan produsen minyak sawit untuk mendapat hak atas tanah yang nyata dimana tanah tersebut tidak diperselisihkan secara sah. Seberapa jauh standar itu bisa menolong masyarakat adat yang tanahnya menjadi sasaran para pengembang perkebunan kelapa sawit?

Saat ini saya sedang melakukan kerjasama dengan ornop Indonesia dan ahli pemilikan dan penguasaan pertanah, menguji masalah tersebut untuk melihat bagaimana kesesuaian standar rancangan dengan realitas lokal di Indonesia. Pada tahap ini, kesan awal saya adalah tapi ini bukan kesimpulan akhir bahwa kebutuhan atas legalitas, dihargainya kebebasan dan hak-hak adat, Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) dan sebagainya - bila itu diterapkan dengan tepat, dapat menawarkan perlindungan yang signifikan kepada masyarakat atau menawarkan ruang yang lebih luas untuk negosiasi dengan perusahaan. Ini artinya, penting bahwa masyarakat harus diberi hak untuk berkata Tidak.

Apa yang kami dapati adalah bahwa petani dan masyarakat adat setuju untuk menjual tanah atau menjadi bagian dari skema out-grower2bahkan pada kawasan adat, namun sekarang perjanjian itu telah rusak dengan cara yang sangat mencurigakan atau cara yang tidak adil. Petani telah dicurangi supaya pergi dari tanah mereka dengan janji palsu, disertai intimidasi dan manipulasi, dan intinya, dari para petani yang kami wawancarai, meminta adanya keterbukaan dalam perjanjian tersebut. Teorinya, standar RSPO mensyaratkan hal ini. Soal seberapa jauh standar bisa diterapkan dalam praktik adalah persoalan yang lain. Itu tergantung pada seberapa besar upaya dilakukan agar standar tersebut menjadi mengikat, serta seberapa besar keberhasilan masyarakat atau petani dalam melakukan negosiasi.

Di sini terdapat ketegangan antara memastikan adanya perlindungan yang kuat dan memastikan bahwa masyarakat adat dan petani mendapat kebebasan untuk memutuskan apa yang akan terjadi atas tanah mereka. Apa yang kami coba lakukan adalah mengusahakan agar standar itu bisa menjamin bahwa mereka bisa memilih dengan bebas dan secara sadar. Hal tersebut berarti pula menerima bahwa masyarakat atau petani tersebut bisa membuat kekeliruan atau pilihan yang kita anggap tidak tepat. Kita juga mendapati bahwa pilihan masyarakat adat untuk tidak diwakili dalam institusi adat dalam melakukan perjanjian adalah kehendak mereka sendiri.

Sebagai ornop, anda bisa katakan bahwa slogan kita adalah: 'Paine not Plato'!3 maksud saya kita menegaskan pendekatan berbasis hak, sesuai dengan prinsip menentukan nasib sendiri, bukan menyorongkan hasil-hasil dari itikad baik yang telah direncanakan sebelumnya. Seperti anda ketahui, jalan ke neraka dipenuhi dengan itikad baik.


Melihat industri secara keseluruhan, dari produsen ke pemasok, pengecer dan sebagainya, seberapa besar pengaruh dari RSPO sekarang ini? Apakah itu sebagian besar bergantung pada kepekaan pasar di negara-negara pengimpor/pengguna?

Ya, mengingat bahwa RSPO tetap menggunakan pendekatan sukarela, pengaruh utama untuk perubahan akan berada di pasar di Eropa, yang sekarang ini menyerap 40% produksi Asia Tenggara. Inilah bagian utama dari pasar dan memiliki sejumlah pengaruh. Tapi ada kemungkinan ini akan berkurang.. Pasar di Eropa Barat kabarnya cukup stabil. Pertumbuhan permintaan baru untuk minyak goreng menurut mereka yang berkaitan dengan komoditas ini, akan menjadi dua kali lipat dalam 20 tahun kedepan. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari Cina, India dan Eropa Timur, dimana kesadaran konsumen belum terlalu tinggi. Ada resiko bahwa minyak sawit RSPO akan ke Eropa, sedangkan minyak sawit 'tak lestari' yang berasal dari perkebunan yang mencaplok lahan hutan atau tanah-tanah rampasan akan masuk ke pasar di kawasan-kawasan pertumbuhan baru tersebut.

Pada sisi lain, RSPO mencakup beberapa perusahaan utama yang juga merupakan pasar seluruh dunia, misalnya Unilever, begitu pula asosiasi produsen utama di Malaysia dan Indonesia. Mereka tidak ingin kalah bersaing dengan pelaku pembajakan yang menjual minyak sawit ilegal ke Asia dan seterusnya. Jadi RSPO bisa lebih kuat dari pada saat pertama kali kemunculannya.

Jawaban yang lebih singkat, dan mungkin lebih jujur: terus terang, saya tidak yakin.

Sawit Watch dan FPP telah mendesak diterapkannya standar internasional kepada produsen minyak sawit, melalui beberapa kriteria. Apa kunci standar internasional dan hukum yang relevan untuk industri ?

Kami telah mendaftar hukum hak asasi manusia, konvensi ILO, serta standar dan hukum internasional tentang penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia. Daftar lengkap dari peraturan tersebut kini menjadi bagian dari pedoman pada rancangan standar tetapi banyak poin kunci dalam hukum internasional juga digabungkan ke dalam kriteria itu sendiri. Atau paling tidak kami telah berusaha melakukan itu.


Apa yang ditawarkan RSPO kepada petani kecil, di Indonesia mereka terdiri atas petani kecil mandiri maupun petani yang tergabung dalam perusahaan (yang kadang bersifat eksploitatif) atau skema perkebunan pemerintah PIR (Perkebunan Inti Rakyat)?

Ya, seperti saya katakan tadi, rancangan standar yang ada kini hanya menginginkan harga yang adil, siapapun mereka, sementara pedoman yang terkait merujuk pada kebutuhan untuk menyesuaikan standar tersebut dengan realitas petani kecil- jadi ini masih dalam proses dan keberhasilannya memerlukan keterlibatan banyak orang. Masalahnya adalah tidak banyak asosiasi petani kecil di Indonesia dengan penampilan yang baik dan punya kemampuan untuk terlibat dalam forum Internasional seperti RSPO. Selain itu, kesan saya, banyak skema PIR sekarang ini telah diswastakan namun masih memiliki pola-pola eksploitasi.


Apakah menurut anda seluruh ornop perlu bergabung dengan RSPO ?

Sama sekali tidak, dan saya kira juga tidak perlu seluruh ornop memiliki pandangan yang sama mengenai RSPO. Agak menyedihkan bila itu terjadi. Terutama karena kondisi setempat sangat bervariasi. Di beberapa negara perkebunan kelapa sawit belum bisa masuk dan lebih taktis menolak minyak sawit daripada menerimanya dengan masuk dalam RSPO. Di sisi lain, di Indonesia, terdapat jutaan orang bergantung kepada minyak sawit atau bekerja di perkebunan kelapa sawit dan perusahaan minyak sawit dan jutaan orang Indonesia lainnya Saya tidak yakin jika ada yang punya data akurat bekerja di perkebunan di Malaysia. Dengan rencana perluasan sekitar 6 juta hektar lagi, dalam rencana penggunaan lahan regional di Indonesia, pilihan untuk menolak minyak sawit pada tingkat nasional akan terkesan tidak realistis. Apa yang cocok untuk satu ornop atau negara belum tentu cocok bagi yang lainnya.

Kenyataannya, jika semua ornop hanya mengambil satu macam pendekatan kita akan kehilangan pengaruh. Pendekatan hard cop, soft cop4 adalah strategi yang telah teruji dan walaupun sudah sangat dikenal keefektifannya tidak berkurang!

Terakhir, bagaimana masyarakat Indonesia atau masyarakat Internasional yang punya kepedulian menyampaikan pandangan mereka kepada RSPO?

Meskipun saat anda mempublikasikan tulisan ini, tahap penerimaan masukan resmi pada rancangan kedua dari standar tersebut akan ditutup (pada 25 Juli), saya kira pendapat yang dikirimkan kepada sekretariat tidak akan diabaikan khususnya bila disampaikan dengan segera. (Atau bisa juga orang meng-copy atau mengirimkan komentar kepada saya (marcus@forestpeoples.org) dan Sawit Watch dan kita bisa mencoba mengangkat isu ini pada pertemuan CWG berikutnya.)

Tapi saya kira yang juga sangat penting adalah kita, sebagai ornop, jangan memfokuskan seluruh upaya kita pada RSPO saja. Sektor ini luas dan berjuang melalui RSPO hanyalah salah satu cara yang kita pilih. Disamping itu, bekerja dengan penyusunan standar and monitoring semacam ini sangat menyita banyak waktu. Ornop perlu mempertimbangkan manfaat untuk masuk kedalam reformasi berbasis pasar mengingat terbatasnya waktu dan sumber daya mereka. Hasil terbaik tampaknya akan datang dari kita semua dalam mengadopsi keberagaman pendekatan.


1Kelompok Mejabundar untuk Minyak Sawit Lestari.

2Kerjasama antara perusahaan perkebunan dan masyarakat sekitar dimana masyarakat biasanya berperan sebagai penyedia lahan dan tenaga kerja sedangkan perusahaan menyediakan paket penanaman lengkap mulai dari kredit sampai bibit dan pupuk.

3Filsuf Paine percaya bahwa setiap manusia pada dasarnya sama, memiliki hak yang sama, yang harus diakui oleh pemerintahan yang syah.

4Ada kelompok yang bersikap keras dan ada yang mengambil sikap lebih lunak.