Rio Tinto menutup tambang Kelian - sejarah penyalahgunaan hak asasi manusia

Down to Earth No 65  Mei 2005

Rio Tinto, perusahaan yang berkantor pusat di Inggris menutup tambang Kelian di Kalimantan Timur bulan Februari tahun ini setelah 13 tahun beroperasi.

Tambang tersebut dibangun di atas tanah milik masyarakat adat Dayak yang tidak punya pilihan kecuali pindah. Sejarahnya ditandai dengan protes atas pengusiran, kekerasan dan intimidasi pihak keamanan terhadap rakyat yang melakukan protes dan kekerasan terhadap wanita serta pencemaran lingkungan.

Menurut laporan Jakarta Post, rencana penutupan tambang Rio Tinto termasuk mengubah tanah miliknya seluas 6.670 hektar menjadi hutan lindung ditambah program pengembangan masyarakat melalui Yayasan Anum Lio (YAL) miliknya. 11 juta dollar Amerika telah disisihkan untuk hutan dan 2,4 juta dollar Amerika untuk program YAL.

Program masyarakat termasuk rencana pelatihan untuk pegawai, mencakup peternakan, perikanan dan keahlian teknik. Perusahaan juga akan melanjutkan program pengembangan masyarakat melalu YAL, termasuk program keamanan makanan untuk meningkatkan produksi beras dan program pembasmian tuberkulosis di daerah Kutai Barat.

Wakil direktur untuk hubungan luar, Anang Rizkani Noor, mengatakan perusahaan akan mengisi kedua lokasi bekas penambangan seluas 113 hektar dan 455 hektar waduk tailing dengan air, dan mengubahnya menjadi danau. Tempat pabrik pengolahan akan diubah menjadi lahan basah untuk menyaring air danau dan mengalirkannya lewat proses alami bioremediasi. Dia berkata bahwa perusahaan akan terus mengawasi tingkat pencemaran air sampai tahun 2013.

Rencana ini dikritik oleh para wakil masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat karena tidak cukup untuk menjaga kesehatan dan keamanan jangka panjang masyarakat setempat. Pertanyaan yang dipersiapkan oleh DTE untuk rapat umum tahunan Rio Tinto dua tahun lalu masih tetap relevan. Isinya mengkritik bahwa danau dan rawa-rawa buatan tersebut akan mengandung limbah minyak yang tidak terurus yang mengandung sianida, logam berat dan bahan-bahan beracun lain.

"Tindakan-tindakan tersebut bisa mengkontaminasi sumber-sumber air dan masuk ke rantai makanan. Metode-metode yang mendapat nama-nama indah seperti 'tutupan basah' dan 'lahan basah' masih bersifat percobaan. Keamanan jangka panjangnya belum terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan. Air tanah dan air permukaan dari tempat ini akhirnya akan diserap oleh sungai sungai di sekitarnya yang digunakan oleh ribuan penduduk setempat. Waduk bisa rusak atau banjir, yang lagi-lagi akan mengotori air yang mengalir ke sungai-sungai di sekitarnya. Permasalahan pembuangan batu asam yang sedang berlangsung tidak akan terselesaikan hanya dengan menutup timbunan limbah lain dengan tanah"
(www.minesandcommunities.org/Company/rioagm2003.htm)

Organisasi masyarakat setempat LKMTL telah berulangkali meminta Rio Tinto dan KEM untuk bertanggung jawab atas keamanan lingkungan jangka panjang serta perlindungan atas kesehatan dan mata pencarian masyarakat. Permintaan mereka termasuk jaminan atas pengawasan lingkungan yang independen dan fasilitas rumah sakit gratis. Pada tahun 2003 LKMTL mngundurkan diri dari Panitia dan Kelompok Kerja Penutupan Tambang KEM, karena merasa komite tersebut hanyalah bersifat basa-basi dan tidak memikirkan kekhawatiran dan menyelesaikan masalah masyarakat dengan serius. Para wakilnya kemudian dipaksa untuk kembali oleh pengelola PT KEM yang mengancam akan memotong pembayaran yang dijanjikan untuk organisasi masyarakat.

Rio Tinto mengatakan mereka telah menyelesaikan permasalahan sehubungan dengan penghancuran lingkungan dan penyalahgunaan hak asasi manusia dan telah membayar kompensasi mencapai 49 milyar Rupiah (5,4 juta dollar Amerika) pada tahun 2004 atas semua tuntutan. PT KEM sebelumnya telah menyetujui pembayaran 60 milyar Rupiah dalam negosiasi yang berlarut-larut dengan masyarakat.

Penutupan tambang Kelian tidak berarti bahwa Rio Tinto akan meninggalkan Kalimantan. Anang berkata bahwa perusahaan telah memohon ijin untuk melakukan survei tembaga dan emas di Kalimantan Tengah dan Barat serta nikel di Sulawesi Tengah dan Tenggara.

Rio Tinto juga mengeduk 40% keuntungan dari perluasan produksi di tambang emas dan tembaga besar Grasberg di Papua Barat - proyek yang juga memiliki catatan buruk terhadap lingkungan dan hak asasi manusia

(Jakarta Post 31/Jan/05. Lihat juga DTE 57 untuk mengetahui lebih jauh tentang Rio Tinto and Kelian).