PUSAKA di Tanah Papua

Plaque in Domande village, detailing Rajawali agreement with the local community. (Photo: Adriana Sri Adhiati)

DTE 89-90, November 2011

Franky Samperante, Direktur PUSAKA

Fokus dan minat perhatian dari program PUSAKA adalah mendukung gerakan masyarakat adat di Indonesia. Kebanyakan  masyarakat adat berdiam dan hidup di sekitar kawasan hutan dan pesisir pantai. Mereka menjadi sasaran proyek-proyek sosial dan kemiskinan. Kekayaan alam dan tanah mereka dirampas dan dieskploitasi untuk dan atas nama pembangunan. Masyarakat adat telah mengalami ketidakadilan, kekerasan, kriminalisasi, diskriminasi dan marginalisasi dalam mempertahankan hak-haknya. 

Semenjak tahun 2009, PUSAKA bekerja di dua daerah yang mempunyai status daerah otonomi khusus (Otsus), yakni: Aceh dan Papua. Dalam sejarah politik Indonesia, dua daerah yang memiliki kekayaan alam ini seringkali terlibat konflik dengan pemerintah yang berkuasa, utamanya pada era pemerintahan Orde Baru. Operasi dan pendekatan militer terjadi bertahun-tahun terkesan ‘sah’, dilakukan untuk mengamankan kepentingan pemodal maupun atas nama menumpas gerakan separatisme. Puluhan ribu korban tewas di kedua tempat. Masyarakat trauma dan kecewa atas ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan dan peminggiran yang mereka alami. 

Meskipun sudah menyandang status daerah Otsus, tidak serta merta konflik menjadi surut.  Perubahan sosial terjadi dan kesejahteraan masyarakat mengalami peningkatan berarti. Desentralisasi kewenangan diikuti dengan perpindahan permasalahan dari pemerintah pusat ke daerah.

Di Aceh, misalnya, pemerintah daerah menerbitkan ijin lokasi untuk perkebunan sawit kepada perusahaan PT. Fajar Bajuri dan PT. Inti Makmur Sawita pada kawasan hutan di kampung-kampung yang ada di Mukim Lhok Kruet, Panga, Krueng Beukah dan Teunom, Aceh Jaya. Tidak ada proses perundingan dan pengambilan kesepakatan. Di Mukim Lamloeut, Aceh Besar, perusahaan tambang biji besi PT. Tambang Indrapuri Raya, yang dioperatori oleh mantan ‘kombatan’ GAM, menambang di kawasan hutan yang telah ditetapkan pemerintah Aceh sebagai kawasan strategis untuk proyek REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).

PUSAKA bekerjasama dengan YRBI (Yayasan Rumpun Bambu Indonesia) dan  MDPM (Majelis Due Pakat Mukim) Aceh Besar mengorganisasikan dan membicarakan dengan masyarakat dan pimpinan Imeum Mukim[1] tentang permasalahan dan hak-hak mereka, merumuskan upaya yang dilakukan dalam memulihkan dan menguatkan hak-hak atas tanah dan otoritas Imeum Mukim.

Rendahnya komitmen pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam, membuat masyarakat khawatir kehilangan hak-hak mereka. Reaksi mereka bersikap pasrah saja, atau sebaliknya, melawan. Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam kerja pengorganisasian yang lebih sistematis di Aceh.

 

FPIC atau Padiatapa[2]

Pada bulan September 2007, diumumkan Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Ketentuan tentang hak FPIC (Free Prior and Informed Consent) atau Padiatapa dalam UNDRIP yang menyebutkan bahwa masyarakat adat mempunyai hak menentukan sikap dalam  setiap kebijakan dan proyek pembangunan, telah mengundang banyak perhatian dan memberikan ‘amunisi’ kekuatan bagi gerakan masyarakat adat dan orang kampung. Pekerjaan advokasi dan peningkatan kapasitas berhubungan dengan prinsip dan hak FPIC maupun penerapannya, telah mengantar PUSAKA keliling ke beberapa daerah di Tanah Papua.

Dalam konteks dinamika sosial politik Papua dan status daerah otonomi khusus, mestinya pengakuan dan penerapan prinsip dan hak FPIC dalam pembangunan di Papua merupakan sebuah tindakan penegasan untuk memenuhi rasa keadilan dan penghormatan terhadap orang asli Papua. PUSAKA bekerjasama dengan mitra JASOIL (Jaringan Sosial dan Lingkungan) di Manokwari, Papua Barat, mengadakan pertemuan-pertemuan di kampung dan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan FPIC. Kegiatan tersebut dilakukan bersama komunitas suku Arfak di Prafi dan Sidey, suku Mpur di pedalaman Mubrani dan Kebar, berdialog dengan pemerintah daerah dan instansi teknis yang berhubungan dengan isu pengakuan hak atas tanah dan hutan. Kegiatan serupa juga dilakukan bersama komunitas di beberapa kampung di Waropen, Mamberamo, Mimika dan Merauke.

 

Praktik ‘tipu-tipu’

Komunitas-komunitas tersebut pernah dan sedang mengalami konflik karena pemerintah secara diam-diam tanpa persetujuan masyarakat menetapkan dan memberikan tanah dan hutan adat mereka kepada perusahaan untuk dijadikan kawasan perkebunan, pembalakan kayu dan hutan tanaman industri, proyek REDD dan program transmigrasi. Proyek-proyek ini mengakibatkan perubahan tatanan penguasaan dan peruntukan lahan dan hutan,  yang sangat mempengaruhi dan memaksa perubahan corak produksi dan konsumsi masyarakat Papua. Orang Papua sangat tergantung pada tanah dan hutan dengan sistem pengelolaan tradisional yang mengandalkan tenaga keluarga. Proyek REDD yang dikelola sebagaimana program konservasi akan berisiko membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan.

Frans Muktis dan anggota marganya tidak mengetahui kalau tanah dan kawasan hutan milik mereka di Sidey menjadi lokasi perkebunan sawit milik anak perusahaan PT. Medco Grup. Mereka tidak pernah mendapatkan informasi tentang manfaat dan dampak proyek, nasib hak mereka atas tanah, mata pencaharian mereka yang sangat tergantung pada hutan. Mereka hanya diiming-imingi uang dan fasilitas. Tidak ada kejelasan dampak dan risiko proyek. Masyarakat pasrah menerima uang ganti rugi tanah sebesar Rp.50,- per meter persegi. Mereka menyesali apa yang terjadi dan kini tinggal di tanah ‘orang lain’.

Hal yang serupa dialami oleh komunitas Malind Anim di Merauke. Anak perusahaan Medco Grup, PT. Selaras Inti Semesta, yang mendapatkan ijin hutan tanaman, telah melakukan penebangan di hutan adat marga di Kampung Zenegi. Masyarakat mendapat ganti rugi atas kayu yang diambil dengan harga jauh di bawah harga pasar, yaitu Rp2.000 per meter kubik.

Suara dan tuntutan mereka dimanipulasi dan jarang sampai kepada pengambil kebijakan, perusahaan dan pejabat setempat. Suara mereka diwakili oleh elite lokal di tingkat distrik dan di kampung. Para elite tersebut aktif mewakili dan menyuarakan kepentingan masyarakat korban, meskipun seringkali kepentingan mereka hanya bersifat jangka pendek dan penuh siasat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ada empat organisasi di Papua yang berhubungan dengan masyarakat Papua yaitu Dewan Adat Papua (DAP), Lembaga Masyarakat Adat (LMA), Ketua Adat dan Kepala Marga. Namun menurut aturan adat setempat, hanya marga pemilik lahan yang paling berhak memutuskan pengalihan hak dan penggunaan tanah.

 

Membuka ruang dialog

PUSAKA memilih strategi membangun dan mendorong gerakan masyarakat dari kampung masuk ke kota pusat kekuasaan dan membuka ruang dialog. Memang bukan perkara gampang, orang kampung diperhadapkan dengan pengambil kebijakan, di tengah-tengah situasi krisis politik di mana hubungan masyarakat dengan pemerintah buruk. Masyarakat sudah sering jadi korban ‘tipu-tipu’.  Mereka trauma dengan ancaman dan kekerasan aparat. Mereka juga kerap direndahkan karena pemahaman hukum yang terbatas. Karenanya, perlu persiapan, pengetahuan dan kapasitas, yang bisa dilakukan melalui pertemuan-pertemuan, belajar dari pengalaman dan membuat aksi kecil menyuarakan persoalan dan hak-hak masyarakat. Solidaritas dan dukungan antara kelompok, antara kampung, dan antara daerah perlu dibangun.

Demianus Blamen adalah salah satu pemimpin marga Blamen, di Kampung Nakias, Distrik Ngguti, yang jaraknya lebih dari 100 kilometer dari Kota Merauke. Demianus tidak banyak mengetahui situasi di luar kampung,  apalagi kebijakan dan hak-hak masyarakat. Hanya ada aturan adat dan hak-hak moral yang mengatur hubungan di antara mereka. Mereka tidak  mengetahui prinsip dan hak FPIC. Kehadiran perusahaan perkebunan sawit PT. Dongin Prabawa yang menggusur dan menghilangkan ribuan hektare kawasan hutan adat mereka, memaksa Demianus dan warga setempat untuk mendapatkan pengetahuan tentang FPIC, agar hak-hak FPIC mereka dipenuhi, tanpa mengabaikan kekuatan dan pengetahuan adat yang mereka miliki.

Menariknya, dalam konteks kebijakan pembangunan ekonomi rendah karbon di Provinsi Papua dan Papua Barat, prinsip FPIC diterima sebagai salah satu prasyarat proyek REDD di Papua. Apakah ini hasil tekanan dari atas dan mandat dari kesepakatan perundingan international? Ataukah ini hanya langkah oportunistis belaka,  sebagai upaya memenuhi syarat mendapatkan akses relasi dan pendanaan proyek?

Tantangan hari ini adalah bagaimana mengupayakan agar teks produk politik hukum seperti Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dapat diterapkan untuk melindungi dan memberdayakan hak-hak dasar orang asli Papua. Juga perlu dibuat rambu-rambu dan program aksi yang lebih jelas, tegas dan detail, serta dipahami oleh petugas penyelenggara kebijakan tersebut.

“PUSAKA” terkesan kuno. Sebutan ini dipilih tanpa sengaja oleh pendiri yayasan, sebagai kependekan dari Pusat Studi Pendokumentasian dan Advokasi Hak-hak Masyarakat Adat. Banyak yayasan dan organisasi di Indonesia menggunakan nama ‘PUSAKA’.



[1] Imeum Mukim adalah kepala atau pimpinan mukim, unit pemerintahan antara gampong dan kecamatan menurut hukum adat Aceh. Sebuah mukim biasanya terdiri dari beberapa gampong

[2] Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan