Proyek Gas Tangguh: Merosotnya perlindungan HAM dalam iklim politik yang memburuk

Down to Earth Nr 60  Februari 2004

Memburuknya konteks politik dan meningkatnya militerisasi Papua Barat membuat komitmen BP untuk penegakan HAM dan kebijakan keamanan berbasis komunitas menjadi semakin rentan.

Pada tahun 2003, Papua Barat masih mengalami dampak represi militer yang buruk. Peperangan di Aceh dan ancaman penyebarannya ke Papua Barat menjadi alasan munculnya kembali TNI sebagai kekuatan dominan dalam politik nasional Indonesia melalui tindakan pembungkaman gerakan pro-kemerdekaan. Sepanjang tahun tersebut, muncul keprihatinan terhadap gejala pembentukan milisi-milisi yang terbentuk atas dukungan TNI. Selain itu, terdapat pula aksi-aksi ”penyapuan” brutal oleh pihak militer yang ditujukan terhadap para pembela HAM yang tinggal di desa-desa dataran tinggi.

Beberapa pelanggaran HAM serius yang terjadi di wilayah itu adalah:

  • Tewasnya sekitar 16 orang akibat kelaparan pada saat berlangsungnya operasi-operasi militer yang dilakukan Kopassus dan Kostrad. Aksi militer itu adalah reaksi yang muncul atas penyerbuan gudang amunisi di Wamena pada bulan April 2003 yang menyebabkan dua tentara dan seorang Papua tewas. Kecurigaan merebak bahwa insiden itu sengaja diciptakan pihak militer untuk menciptakan kekacauan dan membenarkan langkah represi mereka;
  • Pembunuhan terhadap sepuluh orang Papua pada bulan Oktober 2003 dengan para pelaku adalah anggota pasukan TNI. Termasuk di antara mereka yang tewas adalah komandan wilayah OPM, Yustinus Murib;
  • Penangkapan empat puluh dua orang Papua pada bulan November 2003 atas keterlibatan mereka dalam pengibaran bendera. Aksi pengibaran bendera itu adalah bagian dari peringatan hari kemerdekaan versi gerakan pro-kemerdekaan. Laporan media massa mengatakan bahwa tujuh diantaranya akan dibawa ke pengadilan atas tuduhan pengkhianatan.
  • Penahanan berkepanjangan-setelah melalui persidangan yang tidak adil-16 aktivis politik di kota dataran tinggi Wamena, termasuk di antaranya Pendeta Obeth Komba. Obeth Komba adalah pendeta lokal yang mewakili penduduk Wamena dalam Dewan Presidium Papua. (1)

     

TNI berperan besar dalam proses peningkatan kekerasan di Papua Barat dan banjir darah di Aceh yang berkelanjutan dalam upaya mempertahankan ketertiban dan meningkatkan kebijakan pengawasan keamanan di Jakarta. Insiden-insiden kekerasan, dengan menjadikan gerakan separatis yang mengancam integritas teritorial republik Indonesia sebagai kambing hitam, adalah langkah yang sengaja diciptakan guna membangun opini publik mengenai peran penting militer sebagai penjaga keutuhan integritas nasional. 'Perpecahan' Indonesia dinyatakan sebagai upaya-upaya yang dilakukan pihak-pihak luar. Pada bulan Januari 2004, Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Ryamizard Raycudu memperingatkan bahwa Indonesia akan kehilangan Aceh dan Papua akibat konspirasi asing. Ia juga mengatakan bahwa separatisme akan menarik hati sekitar 30 juta rakyat Indonesia.

Sejak peran militer dalam parlemen di tingkat distrik, propinsi dan nasional dihapuskan sesuai dengan hasil pemilu pada bulan April 2004, motivasi memanfaatkan konflik-konflik yang terjadi di Aceh dan Papua menjadi semakin kuat. Aparat militer bisa bertindak semena-mena di wilayah tersebut tanpa hukuman. Tak dapat dipungkiri bahwa tujuh perwira Kopassus telah dijatuhi hukuman ringan atas tuduhan pembunuhan terhadap pemimpin PDP, Theys Eluay pada tahun 2001. Tetapi masih banyak tindak kejahatan yang dilakukan pihak militer tanpa hukuman. Pada bulan Januari 2004, KOMNAS HAM mengatakan bahwa mereka akan melakukan investigasi dua dari tujuh kasus peristiwa pelanggaran HAM berat di Papua Barat.

Motivasi kedua TNI mempertahankan fungsi dan keberadaan mereka di Papua adalah persoalan akses sumber daya alam dan kesempatan mengeruk keuntungan dalam kegiatan penebangan hutan, penambangan, perikanan dan perlindungan bisnis di Papua (lihat DTE 57 tentang isu ini).

Dalam kondisi seperti itu, bukanlah hal mengherankan bila militerisasi Papua Barat terus berlanjut. Pada tahun 2003, jumlah pasukan di Papua meningkat menjadi sekitar sepuluh ribu personil dari 4350 personil yang telah ditempatkan di Papua sejak tahun 2002. Selain itu, jumlah personil polisi juga meningkat. Pada awal tahun 2004, telah diumumkan adanya penambahan sekitar 3000 personil polisi yang akan dikirim ke Papua Barat. Penambahan itu dikatakan sebagai upaya menjaga pelaksanaan pemilu pada bulan April di wilayah tersebut. Namun, aktivis-aktivis ORNOP prihatin bahwa penambahan itu mencerminkan penerapan tangan besi polisi, mengingat penunjukkan Kolonel Timbul Silaen sebagai pejabat kepala polisi di Papua. Silaen adalah personil polisi yang dituduh terlibat aksi-aksi teroris yang didukung TNI pada saat berlangsungnya jajak pendapat di Timor-Timur tahun 1999. Unit Kejahatan Besar Timor-Timur menuduh bahwa Kolonel T. Silaen adalah salah seorang pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur.

Sementara itu, pengumuman penambahan sejumlah 2000 personil militer pada bulan Agustus 2003 dapat dilihat sebagai tanggapan pemerintah atas munculnya protes terhadap pemekaran wilayah Papua Barat menjadi tiga propinsi, khususnya protes atas pembentukan propinsi “Irian Jaya Tengah” yang dideklarasikan di Timika pada tanggal 23 Agustus 2003. Bentrokan yang terjadi antara pendukung dan penentang pembentukan propinsi baru telah menyebabkan lima orang Papua tewas dan lima puluh lainnya luka-luka. Akibatnya pemerintah pusat di Jakarta memutuskan untuk menunda rencana pemekaran wilayah di Papua. Namun, penundaan itu bukanlah pembatalan.

Pemekaran Papua menjadi tiga propinsi berbeda, masing-masing Irian Jaya Barat, Tengah dan Timur pada dasarnya merupakan proyek jangka panjang dari pihak militer Indonesia untuk menghancurkan gerakan separatis di Papua dan mempermudah militerisasi Papua. Kebijakan yang sebelumnya telah dikembangkan pihak militer sejak dekade 1980an dan mulai diupayakan penerapannya pada masa kepresidenan Habibie pada tahun 1999, sesungguhnya sangat bertentangan dengan pendekatan lunak dalam menghadapi gerakan pro-kemerdekaan melalui kebijakan Otonomi Khusus yang semula akan mulai diterapkan pada bulan Januari 2002. Namun rencana itu tidak sempat terwujud akibat halangan yang muncul dari Jakarta.

Meskipun muncul keprihatinan yang dilontarkan pemerintah-pemerintah asing, pemerintah Indonesia sama sekali tidak mengubah tindakan mereka yang brutal dalam menghadapi tuntutan penentuan nasib sendiri (self-determination) orang-orang Papua. Pemerintah Inggris, seperti pemerintah negara lainnya yang mendukung pelaksanaan otonomi khusus sebagai jalan satu-satunya mengatasi konflik di Aceh dan Papua Barat, pada akhirnya menjadi tidak terlalu perduli terhadap jalannya agenda otonomi khusus. Mereka sepertinya lebih peduli mengejar target kebijakan politik luar negerinya: perdagangan dan investasi. Dengan mengabaikan peringatan kalangan ORNOP, pemerintah Inggris menyetujui peningkatan penjualan senjata kepada Indonesia-yang meningkat dari 2 juta poundsterling pada tahun 2000 menjadi 41 juta poundsterling pada tahun 2002. Di Papua Barat, pemerintah Inggris mendukung investasi BP sampai pada akarnya: Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Richard Gozney menghadiri suatu pertemuan yang membahas persoalan kebijakan keamanan perusahaan tersebut. Seperti tercantum dalam laporan TIAP (lihat boks), DfID, badan bantuan luar negeri pemerintah Inggris terlibat dengan BP dalam mengembangkan proyek bersama di wilayah kepala burung Papua Barat. Kegiatan yang mereka lakukan adalah penguatan kapasitas pemerintah lokal dan pertumbuhan yang berkelanjutan di wilayah tersebut-termasuk dukungan untuk mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan investasi dalam proyek Tangguh.

Ironinya, pada saat perusahaan Inggris mendapatkan keuntungan atas perdagangan dan investasi, orang-orang Papua menanggung beban penderitaan akibat militerisasi wilayah itu dan operasi-operasi militer yang dilakukan TNI, dampak lingkungan atas eskploitasi sumber daya alam yang merusak, masalah kesehatan yang mungkin berkait dengan pelaksanaan investasi tersebut, seperti AIDS, yang telah menjadi masalah serius di Papua.

Dalam kondisi seperti itu, eksploitasi sumber daya alam di Papua Barat terus berlanjut. Pertambangan Freeport yang dimiliki Inggris/Amerika Serikat telah menggali batuan yang mengandung tembaga sebanyak lebih dari 200.000 ton setiap harinya. Hanya karena terjadi bencana longsor di lubang penggalian pada bulan Oktober 2003 maka tingkat produksi untuk sementara menurun. (lihat DTE 59). Bencana longsor lainnya-kali ini tanpa korban jiwa-dilaporkan terjadi pada bulan Desember tahun lalu.

Perampokan hutan juga terus berlanjut akibat semakin banyak perusahaan penebangan kayu yang bergerak ke wilayah Indonesia timur untuk menebang kayu di hutan-hutan Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Forest Watch Indonesia, sebuah ORNOP yang mengawasi masalah hutan menyatakan bahwa selama bulan Agustus/September, sekitar 60.000 meter kubik kayu diselundupkan keluar dari Papua. Pada tahun sebelumnya, sekitar 600.000 meter kubik diperdagangkan secara ilegal. Menurut FWI, mafia-mafia asing bergerak masuk ke Indonesia atas dasar kerjasama yang mereka bangun dengan para pejabat Indonesia.

Dalam situasi ini, kita mesti berpikir bagaimanakah situasi akan berkembang dengan pelaksanaan proyek Tangguh di tengah situasi politik, HAM dan lingkungan yang semakin buruk?

 

Kunjungan TIAP Kedua

Pada tanggal 13-21 Juni 2003, berlangsung kunjungan tahunan kedua yang diwakili empat anggota Tangguh Independent Advisory Panel (Badan Penasehat Independen Tangguh). Senator Amerika Serikat, George Mitchell, menjadi ketua tim. Sedangkan tiga anggota lainnya adalah Pendeta Herman Saud dari Papua Barat, Sabam Siagaan, mantan duta besar Indonesia dan Lord Hannay, seorang crossbench peer (anggota majelis tinggi yang tidak mewakili suatu partai) dari Inggris. TIAP memiliki mandat melakukan penyelidikan dan membuat laporan mengenai berbagai aspek di luar kepentingan bisnis dari pelaksanaan proyek Tangguh.

Meskipun demikian, kemandirian TIAP masih diragukan mengingat peran BP sebagai pemrakarsa pembentukan dan pendanaan badan tersebut. Selain itu, BP berperan sebagai fasilitator kunjungan tim tersebut. Di lain pihak, Sabam Siagian, adalah anggota komisaris Kaltim Prima Coal, perusahaan pertambangan raksasa milik Rio Tinto dan BP yang telah dijual kepada pihak Indonesia.

Dalam kesimpulan umum laporan yang disusun TIAP, terdapat pernyataan bahwa orang-orang Papua telah memiliki penerimaan positif atas pelaksanaan proyek Tangguh. Meskipun demikian, masih banyak persoalan-persoalan penting berkait dengan dampak proyek Tangguh dan pengaruh negatif yang mungkin muncul.

Laporan lengkap TIAP dan tanggapan BP terhadapnya yang sebelumnya terpampang dalam situs internet BP, telah ditarik saat tulisan ini dibuat. Sedangkan laporan pertama TIAP dan tanggapan BP masih dapat dilihat dalam situs www.bp.com, dan analisis terhadap laporan itu dapat dilihat dalam DTE 57.

 

Persetujuan Tanpa Paksaan (prior informed consent)

Satu persoalan penting mengenai proyek Tangguh adalah kegagalannya mendapatkan persetujuan tanpa paksaan (prior informed consent) dari penduduk lokal yang tanah, sumberdaya dan mata pencahariannya akan terpengaruh proyek tersebut. Nampaknya ini telah menjadi hal umum dari setiap pelaksanaan proyek ekstraksi sumberdaya alam di Indonesia yang selalu mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya dan lahan. Akibatnya adalah potensi penolakan yang muncul terhadap pelaksanaan proyek dan bentuk konflik yang lebih tinggi dibanding apabila masyarakat memiliki kesepakatan dan mendapatkan informasi lengkap sebelum pelaksanaan proyek.

John Rumbiak, direktur kelompok ELSHAM Papua, mengatakan bahwa pengingkaran terhadap persetujuan tanpa paksaan adalah salah satu alasan dibalik “dinamika penghancuran dan kekerasan,” di Papua Barat. Untuk mengakhirinya, Rumbiak menyerukan kepada komunitas internasional, khususnya investor internasional, agar:

“pertama-tama dan yang utama, harus mengakui hak-hak dasar komunitas adat untuk menempuh jalan pembangunan sendiri, dan mengelola sumber daya, mengembangkan kehidupan tradisional dan budaya, dan juga dapat berkata TIDAK terhadap kegiatan-kegiatan perusahaan multinasional di wilayah mereka. Kegagalan untuk mengakui hak dasar komunitas untuk “mengatakan tidak” adalah sumbu utama terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan konflik.”

(John Rumbiak, ELSHAM, Pidato di hadapan Columbia University's Center for the Study of Human Rights, 2003).

 

Keamanan dan Hak Asasi Manusia

Sistem keamanan proyek Tangguh adalah masalah utama yang menjadi perhatian masyarakat, kelompok hak asasi manusia dan ORNOP. Kekhawatiran mereka bersumber pada pertimbangan bahwa keberadaan BP akan semakin mendorong peningkatan pemusatan pasukan keamanan dan juga peningkatan pelanggaran HAM di wilayah itu. BP saat ini masih bernegosiasi dengan pihak kepolisian dan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Negara (BP Migas) mengenai rencana penerapan konsep “keamanan berbasis komunitas.” Namun, sejak awal pihak TNI belum memberikan persetujuan terhadap konsep itu.

Sistem keamanan berbasis komunitas berpijak pada prinsip pelatihan dan penggunaan orang-orang Papua lokal untuk menjalankan keamanan. Sejauh ini sekitar 100 orang dilibatkan dalam pelatihan untuk memberikan kesan bahwa mereka adalah bagian dari pelaksanaan proyek. Shields, perusahaan internasional yang bergerak dalam bidang keamanan, telah dikontrak untuk melakukan pelatihan keamanan tersebut.

Dalam laporan TIAP (lihat boks) terdapat pandangan bahwa posisi militer dalam strategi keamanan Tangguh 'tetap merupakan isu paling sensitif dalam pelaksanaan proyek.” Laporan itu juga mencatat bahwa para mitra utama menyepakati konsep keamanan berbasis komunitas, namun rincian tentang penerapan konsep itu masih terus dikembangkan. TIAP memperingatkan agar konsep itu harus segera diselesaikan. TIAP juga mencatat bahwa pasukan keamanan swasta yang disewa untuk menjaga Tangguh tidak secara langsung berada dibawah pengawasan BP, tetapi tetap dibawah pihak kontraktor. Oleh karena itu, dalam laporannya TIAP menekan BP untuk menjamin agar pihak kontraktor benar-benar memenuhi komitmen memberikan pekerjaan kepada orang-orang Papua, selain pelatihan yang layak dengan tujuan mengurangi penggunaan tentara seperti yang telah ditetapkan dalam Prinsip-Prinsip Kesukarelaan tentang Keamanan (3).

Inti dari strategi keamanan BP dalam proyek Tangguh adalah upaya mencegah situasi buruk seperti terjadi di pertambangan Freeport. Freeport telah membayar TNI untuk menjaga operasi-operasi pertambangan yang menyebabkan munculnya berbagai kasus pembunuhan ekstra-judisial, penyiksaan dan penghilangan paksa.

Faktor kunci apakah Tangguh memiliki status “proyek vital” yang penting secara nasional (PROVIT). Sampai sekarang, TNI berpendapat bahwa mereka terikat secara legal untuk menjaga proyek-proyek semacam itu, terlepas apakah pihak perusahaan meminta mereka atau tidak. Sejak terungkapnya skandal pembayaran Freeport kepada TNI tahun lalu, kewajiban TNI terhadap PROVIT telah menjadi perhatian publik. Juru bicara militer telah mengeluarkan pernyataan bertentangan mengenai apakah TNI memiliki landasan legal untuk menyediakan keamanan bagi aset-aset nasional yang vital dan apakah praktek tersebut akan terus berlangsung. Sekarang ini, keputusan presiden tengah digodok untuk mengatur keamanan proyek semacam itu oleh pihak kepolisian dan memutuskan kriteria-kriteria tentang proyek vital.

Meskipun demikian, status proyek Tangguh sampai sekarang masih belum jelas. Pihak militer dalam pernyataan mereka mengatakan bahwa proyek itu adalah proyek vital. Tetapi laporan TIAP menunjukkan bahwa ketika presiden Megawati meresmikan Tangguh pada bulan Desember 2002, ia menyebutnya sebagai “proyek nasional” dan tidak menyebutnya sebagai “proyek nasional yang vital” yang “menuntut keamanan khusus.” (TIAP 2003, p. 7)

Terlepas dari masalah penggunaan istilah, faktanya tetap saja menunjukkan bahwa TNI yang akan menentukan dan apabila dimungkinkan, terlepas Tangguh membutuhkan perlindungan mereka, dan tak peduli apakah BP menginginkannya. Masih diragukan apakah BP memiliki kemauan kuat untuk mencegah kemungkinan tersebut.


Pembayaran BP kepada Polisi

Pembahasan tentang PROVIT mengabaikan masalah tentang kekuatan polisi-termasuk Brimob-yang telah menjaga proyek-proyek lain di wilayah itu. Masih belum jelas bagaimana komandan polisi setempat, Kolonel Timbul Silaen-yang terkenal memiliki latar belakang buruk dalam kasus Timor-Timor-akan menyelesaikan masalah tersebut. Namun prospeknya terlihat kurang bagus.

Salah satu aspek yang mengkhawatirkan dalam laporan TIAP adalah penerimaannya bahwa BP harus memberikan sumbangan terhadap peningkatan biaya kepolisian di wilayah itu, sebagai akibat pembentukan wilayah kabupaten baru di Teluk Bintuni pada tahun 2003. Hal ini berarti BP telah memasuki hubungan keuangan dengan kekuatan polisi yang dipimpin oleh seorang yang memiliki tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan-sebuah posisi yang sangat bertentangan terhadap klaim perusahaan untuk menegakkan ham.

TIAP melaporkan bahwa mereka diberitahu oleh polisi wilayah bahwa unit Brimob harus hadir disetiap wilayah distrik. TIAP menyimpulkan:

“BP harus menghadapi realitas untuk memberikan dukungan atas peningkatan biaya yang terjadi.”

TIAP memberikan rekomendasi bahwa laporan itu harus disetujui oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas negara, BP MIGAS, bahwa mereka harus taat pada hukum Indonesia, dan tetap konsisten menerapkan konsep keamanan berbasis komunitas, transparan, dan konsiste terhadap standar Prinsip Kesukarelaan mengenai Keamanan, Deklarasi HAM PBB dan standar-standar lainnya.

Laporan TIAP juga memberikan pendapat bahwa pembayaran terhadap pihak militer nampaknya akan tetap terjadi. “Standar yang sama harus juga diterapkan kepada TNI.”

Pembayaran kepada personil polisi dan militer sangat ditentang oleh ORNOP-ORNOP Papua, Indonesia dan Internasional, karena hubungan finansial yang tercipta akan berarti bahwa pasukan keamanan akan menetapkan prioritas terhadap kepentingan perusahaan dibandingkan komunitas. Para pemegang saham di tambang Freeport juga telah menyerukan agar perusahaan itu menghentikan pembayaran mereka kepada pihak keamanan dengan alasan yang sama.

John Rumbiak dari ELSHAM juga percaya bahwa “Perusahaan harus menghentikan dukungan finansial mereka kepada personil militer dan polisi yang ditempatkan di wilayah operasi mereka. Pasukan-pasukan itu berada dibawah pemerintah untuk pertahanan nasional dan hanya dibayar dan diarahkan oleh wakil-wakil yang dipilih secara demokratis.

(Sumber: Tangguh Stakeholders' Update, 31/Oct/2003, TIAP report 2003; AFP 30/Dec/2003; Jakarta Post 29/Nov/2003; 6, 9,10/Jan/04; TAPOL press release 17/Dec/03; Laksamana.Net 16/Sep/03; John Rumbiak, ELSHAM, Speech to Columbia University's Center for the Study of Human Rights, 2003, October 23, Elsham News Service, October 28, 2003; Miningindo 30/Jan/04).). (1) Untuk informasi lebih lengkap, lihat Tapol Bulletin No 173/174, December 2003. Informasi selanjutnya dapat dilihat di Sydney Morning Herald 7/Jan/ 04) (2) Angka pada tahun 2003 dalam laporan Reuters dikutip dari komandan militer Zainal Nurdin (Reuter 10/Sep/03); sedangkan angka tahun 2002 dikemukakan oleh juru bicara angkatan bersenjata, Mayor Jendral Sjafrie Sjamsoeddin pada bulan Maret 2002 (PINA Nius Online, 16 March 2002) (3) Diluncurkan pada tahun 2000. BP, Rio Tinto dan Freeport adalah penandatangannya. Lihat www.state.gov/www/global/human_rights/001220_fsdrl_principles.html)

 

Update Proyek Tangguh

Konstruksi: konstruksi utama proyek Tangguh diharapkan dimulai pada awal tahun 2004 dan akan berlangsung selama 38 bulan. Biaya pembangunan proyek tersebut diperkirakan mencapai sekitar US $ 2,2 milyar untuk membangun sumur gas dan pabrik LNG (DJNewswires 6/Jan/04). Sebuah konsorsium yang terdiri dari Kellog, Brown and Root (Amerika Serikat); JGC Corporation (Jepang) dan PT Pertafenikki Engineering (modal patungan Jepang-Indonesia) tahun lalu telah memenangkan tender untuk rekayasa, prokuremen dan konstruksi kompleks LNG Tangguh senilai US $ 1,4 milyar. Beberapa pekerjaan konstruksi telah dimulai yaitu, landasan lapangan udara sepanjang 1300 meter di Babo yang memungkinkan pesawat komersial mendarat di wilayah itu, serta dermaga baru yang dibangun di Babo.

 

Cadangan Gas: Menurut BP, Tangguh terbukti memiliki sekitar 14,4 trilyun kaki kubik (tcf). Cadangan lainnya diperkirakan mengandung sekitar 24-25 tcf.

 

Penguasaan Saham dan Pendanaan: BP memiliki 37,2% saham proyek Tangguh dan perusahaan Cina, CNOOC belum lama ini telah meningkatkan jumlah saham mereka menjadi 16,7%. LNG Japan-sebuah konsorsium antara Nissho Iwai Corp. Dan Sumitomo Corp-telah meningkatkan jumlah saham mereka menjadi 7,4% setelah perusahaan Inggris BG Group plc menjual bagian saham mereka. (Jakarta Post, 3/02/04). Pemegang saham lainya adalah Nippon Oil Exploration Berau (sekitar 12%), KG Companies (10%) dan INPEX Corporation (16%) (Rigzone.com 14/Agustus/2003)

Dalam lampiran laporan pertama TIAP (2002), BP memberikan catatan bahwa sekitar US$2.250 milyar diperlukan untuk membiayai dua terminal pertama yang akan dibangun. Dana yang dibutuhkan dikatakan akan datang dari Japan Bank for International Co-operation (JBIC). (Reuters 5/Sep/03).

 

Penjualan LNG: Pada bulan Januari 2004, diumumkan bahwa Tangguh akan menjual sekitar 3,7 juta ton gas per tahunnya kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Sempra Energy, berdasarkan kontrak selama 20 tahun yang dimulai pada tahun 2007. Tangguh sekarang ini telah mendapatkan jaminan sekitar 6 juta ton penjualan tahunan, lebih dari cukup untuk membiayai dimulainya proyek konstruksi. Ini adalah kesepakatan besar ketiga. BP MIGAS telah menandatangani kontrak awal senilai 1,5 milyar dollar dengan perusahaan penyulingan minyak SK Corp. dari Korea Selatan pada bulan Agustus 2003 untuk jumlah produksi 580.000 ton LNG/pertahun yang dimulai pada tahun 2005. Pada bulan yang sama, BP MIGAS menandatangani kesepakatan penjualan senilai US$ 1,43 juta dari 550.000 ton LNG setiap tahunnya selama dua puluh tahun kepada perusahaan pembuat baja terbesar, Posco (yang juga berasal dari Korea Selatan). Pada bulan Januari, BP MIGAS mengatakan mereka akan menyelesaikan proses negosiasi dengan para pembeli lainnya dan mengharapkan kesepakatan kontrak dapat diselesaikan pada bulan April. (JP, 7 Januari 2004)

Meskipun demikian, Tangguh gagal mendapatkan kontrak untuk memasok 1,6 juta ton LNG ke Taiwan pada tahun lalu, dan pada tahun 2002 kalah dalam mendapatkan kontrak penting dengan perusahaan Cina CNOOC untuk memasok terminal Guangdong. Namun, Tangguh ditawari memberikan pasokan sebanyak 2,6 juta ton setiap tahun untuk terminal minyak di provinsi Fujian, Cina, pada tahun 2007. Pada tahun 2001, Pertamina juga telah menandatangani MoU dengan GNPower untuk memasok sekitar 1,3 juta ton LNG ke Filipina.

 

Pendapatan untuk Papua: diperkirakan jumlah pendapatan yang masuk di Papua mencapai antara 100 juta dollar/tahun pada tahun 2016 sampai 225 juta dolar/tahun pada tingkat produksi puncak, tergantung pada seberapa banyak terminal LNG dibangun. Bagaimanapun, dalam laporan keduanya tim TIAP menunjukkan bahwa “ketidakpastian” berkait dengan masalah pembagian pendapatan dimasa datang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah di tingkat lokal dan propinsi.

 

Pemukiman Kembali: Panel pemukiman kembali World Bank telah mengunjungi Tangguh selama empat hari pada bulan Oktober 2003 untuk memeriksa kemajuan tentang relokasi Tanah Merah, yang mana penduduknya telah dipindahkan untuk pelaksanaan pembangunan pabrik LNG. Konstruksi desa baru telah dimulai pada bulan Februari 2003. Langkah aktual sekarang ini direncanakan berjalan pada awal 2004. TIAP menyebutkan tentang adanya kontras yang “tajam” antara rumah-rumah di desa asal dengan rumah-rumah di desa yang baru dibangun. Laporan itu mengatakan bahwa beberapa “isu signifikan masih tetap muncul berkait dengan relokasi dan kompensasi,” namun juga disebutkan tentang sikap penduduk desa yang memiliki keinginan pindah. (Tangguh Stakeholder's Update 31/Oktober/2003, TIAP hal. 12).

 

Pekerjaan: Diperkirakan akan terdapat 3.500 pekerja di Tangguh selama tahap konstruksi yang kemudian berkurang menjadi beberapa ratus. BP memperkerjakan orang-orang Papua lokal sebagai penjaga keamanan, pembersih dan transport-yang jumlahnya ratusan. Kemungkinannya akan terdapat sekitar 250 penjaga keamanan pada saat puncak pekerjaan konstruksi. BP juga telah mengajukan program pelatihan buat orang-orang Papua untuk bekerja membangun tempat pemukiman kembali. Masih belum jelas seberapa jauh program itu dikatakan berhasil. BP juga belum melaporkan berapa banyak orang Papua yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi. Menurut laporan Reuter yang diedarkan oleh BP, satu pemimpin klan di desa Babo telah meminta penjelasan dimana saja pekerjaan itu muncul, mengingat menurut pengalaman “hanya pendatang baru yang mendapatkannya.” (Reuter 10/Sep/03). BP juga telah membuat komitmen untuk menyediakan pekerjaan bagi satu anggota keluarga di masing-masing tempat dari sembilan desa yang “terkena pengaruh langsung” pelaksanaan proyek BP. BP juga telah merekrut 23 sarjana Papua yang telah dilatih untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan “yang lebih rumit” dalam kegiatan LNG. (TIAP 2003, hal. 21).

TIAP juga mencatat bahwa aktivitas kontraktor-kontraktor BP membutuhkan sistem monitoring yang mengawasi sistem rekrutmen dan pelatihan bagi orang Papua, kondisi kerja yang adil dan lain sebagainya sehingga kontraktor tidak bisa berkelit dengan melaporkan bahwa tidak ada orang-orang Papua yang cukup terlatih untuk menjalankan pekerjaan. TIAP menganggap isu ini sangat penting “dengan memperhatikan bahwa para pejabat pemerintahan di Papua yang duduk bersama dengan Panel mengajukan keprihatinan mereka soal pekerjaan bagi orang-orang Papua sebagai harapan utama dan keuntungan besar yang akan mereka dapatkan dari proyek Tangguh.

 

Pengembangan Masyarakat: program-program ini tengah berlanjut di sembilan 'desa yang terpengaruh langsung” di utara dan pantai selatan Teluk Bintuni. Sejauh ini program yang berjalan telah memasukkan pembangunan jalan setapak dan fasilitas mencuci. Dana untuk kegiatan pengembangan masyarakat mencapai sekitar US$ 30.000 setiap tahunnya. “Pengelolaan harapan/ekspektasi,” -yang menekankan bahwa masyarakat lokal memahami bahwa BP tidak dapat memenuhi semua kebutuhan desa dengan segera-adalah bagian utama dari pekerjaan kemasyarakatan BP seperti yang dilaporkan oleh wartawan Reuter yang berkunjung ke tempat itu pada bulan Agustus 2003. Tim TIAP sepakat: dikatakan bahwa “sejauh ini baru sedikit keuntungan nyata yang terjadi di wilayah kepala burung propinsi Papua dari program-program yang telah dijalankan BP terhadap desa-desa yang terpengaruh proyek mereka, dan juga pembangunan di Babo. TIAP mengatakan: “Oleh karena itu penting sekali agar program itu menunjukkan hasil yang lebih besar dalam bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur saat kegiatan konstruksi dimulai. Pandangan itu muncul dengan menyadari bahwa “sampai sekarang tidak ada keuntungan material dalam bidang penting bagi orang Papua seperti pendidikan dan air bersih.” Dengan dimulainya langkah pekerjaan konstruksi dalam waktu dekat ini maka waktunya menjadi lebih sempit lagi. Adalah penting untuk diingat bahwa kesepakatan pendanaan Tangguh memprioritaskan pembayaran kepada pihak investor sebelum pendapatan yang substansial mulai mengalir ke Papua.

Laporan itu juga menunjukkan ketegangan antar komunitas di pantai utara Teluk Bintuni dengan mereka yang tinggal di bagian selatan. Orang-orang di bagian Utara memandang bahwa mereka tidak menerima keuntungan yang sama. (Pabrik pengolahan LNG terletak di selatan, sementara fasilitas-fasilitas utama, yan juga bagian dari ladang gas terletak di bagian utara). TIAP memberikan rekomendasi untuk mengembangkan dana pembangunan yang terpisah untuk pelayanan kesehatan tambahan, infrastruktur dan termasuk juga air bersih bagi komunitas yang tinggal di bagian pantai utara.

Manager bidang Kemasyarakatan, Paul Watory, menyatakan keprihatinannya kepada tim TIAP tentang pengaruh kedatangan orang-orang dari luar wilayah mereka saat konstruksi proyek berlangsung. Hal ini akan menciptakan kecemburuan sosial, khususnya jika para pendatang non-Papua mendominasi perdagangan seperti yang terjadi di tempat lainnya di Papua. TIAP memuji partisipasi BP dengan USAID dan DfID dalam Aliansi Kepala Burung (Bird's Head Alliance) yang mengupayakan pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang serta peningkatan kapasitas pemerintah lokal di wilayah tersebut. Meskipun demikian, laporan itu juga memperingatkan bahwa “terdapat kemungkinan besar muncul masalah-masalah seperti alkohol, obatan-obatan dan pelacuran. TIAP mengatakan agar BP siap dalam mengatasi hal ini. TIAP juga memberikan rekomendasi terhadap kontraktor-kontraktor Engineering, Procurement dan Konstruksi, bahwa mereka seharusnya tidak saja memberikan imbalan atas keberhasilan mencapai target, tetapi juga sanksi moneter terhadap para subkontratoktor yang harus memperhatikan sanksi-sanksi moneter yang terdapat dalam Kaidah Perilaku (Code of Conduct) BP.

 

Kehidupan masyarakat Lokal dan lingkungan: TIAP menekankan pentingnya kegiatan penangkapan udang bagi penduduk desa Tanah Merah dan menyatakan bahwa aktivitas penangkapan udang tersebut tidak terganggu. Hal ini berkait dengan kenyataan bahwa konstruksi pabrik LNG telah menyebabkan relokasi desa dan membatasi kegiatan penangkapan udang penduduk desa. TIAP berulang-ulang merekomendasikan dari laporan pertama dan kedua mereka bahwa BP harus membantu modernisasi perahu-perahu penangkapan udang yang terpengaruh proyek konstruksi. Tim TIAP juga mencatat bahwa dua isu serius yang muncul di wilayah tersebut adalah 1) tekanan yang muncul terhadap hutan bakau dan 2) kemerosotan persediaan ikan di Teluk Bintuni akibat ulag kapal trawl. Karena proyek Tangguh akan memperparah proses tersebut, maka BP seharusnya memperkuat dukungannya untuk melindungi hutan bakau dan mendukung pengembangan manajemen perencanaan penangkapan ikan, termasuk terhadap data dasar ikan yang ada. TIAP juga merekomendasikan agar BP mendorong dan mendukung pembentukan sistem perencanaan manajemen yang ditujukan untuk perlindungan jangka panjang terhadap sumber daya kehidupan penduduk desa, persediaan ikan dan juga kondisi lingkungan. Keprihatinan juga dikemukakan kepada TIAP oleh pihak ORNOP-ORNOP pada tahun lalu bahwa orang-orang luar, dibandingkan penduduk setempat, nampaknya lebih menguasai teknologi baru dan penangkapan ikan dengan teknologi tradisional akan menjadi korban dari proses ini.

Menurut JATAM, Jaringan Advokasi Tambang di Indonesia, Teluk Bintuni memiliki 300.000 hektar ekosistem hutan bakau, dan merupakan wilayah hutan bakau terbesar di Asia tenggara. Ekosistem itu mendukung berbagai jenis kehidupan laut dan menjadi tempat berkembang biaknya ikan dan udang, serta memberikan sumber daya kehidupan dan pelayanan bagi berbagai komunitas berbeda di wilayah itu.

JATAM mengatakan bahwa kaum perempuan akan menjadi pihak yang paling dirugikan dari proses transformasi yang terjadi dalam lingkungan mereka, karena merekalah yang melakukan penangkapan kepiting -sumber protein utama selain juga memberikan pendapatan -dan kehidupan kepiting itu sangat tergantung pada hutan bakau.

Transparansi: TIAP mengatakan bahwa banyak tujuan, program dan keuntungan BP yang tidak dikomunikasikan dengan efektif. Oleh karena itu BP memerlukan strategi informasi publik yang lebih luas dan efektif. Laporan itu mengatakan bahwa banyak orang yang “nampaknya tidak sadar” tentang keuntungan yang muncul dan juga “pandangan yang tidak lengkap” mengenai proyek Tangguh. Laporan itu merekomendasikan sebuah gaya jurnalistik, dan penyebaran informasi dari bahasa Indonesia dengan butir-butir penting untuk mempermudah pemahaman dan BP juga harus mengundang para pembentuk opini seperti editor dan wartawan untuk melihat keuntungan dari proyek tersebut.

Menarik juga bahwa TIAP mencatat tentang semakin besarnya kesadaran program bantuan komunitas BP dan keuntungan lokal lainnya bagi kalangan ORNOP internasional dibandingkan komunitas ORNOP lokal. Kenyataan ini sesungguhnya sejalan dengan prioritas perusahaan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar terhadap opini para pihak terkait.