Permainan kartu "teroris" ExxonMobil di Aceh

Down to Earth No 53/54  Agustus 2002

Perusahan minyak terbesar di dunia ini tengah berjuang menghadapi tuntutan HAM dengan menyatakan bahwa kasus itu akan memperburuk hubungan-hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Pada dengar pendapat dalam forum International Labor Rights Fund bulan April lalu sehubungan dengan tuntutan hukum terhadap ExxonMobbil, perusahaan itu mengatakan bahwa Indonesia adalah "tempat di mana pejuang-pejuang terlatih al-Quaeda bermukim". Tuntutan ILRF diajukan ke pengadilan pada akhir Juni atas nama 11 penggugat dari Aceh yang tak ingin disebutkan namanya. Mereka semua adalah orang-orang yang mengalami penderitaan pelanggaran HAM berat oleh pihak militer sebagai penjaga keamanan operasi penambangan gas Exxon di Aceh Utara.

Perusahaan tersebut berhasil melobi hakim pengadilan distrik Washington untuk menerima permintaan saran terhadap kasus tersebut dari Sekretariat Negara Amerika Serikat. Hakim meminta Sekretariat Negara untuk membuat suatu opini -yang diharapkan berlangsung pada awal bulan Agustus nanti- tentang apakah pelaksanaan pengadilan tersebut akan mempengaruhi hubungan Amerika Serikat dan Indonesia. Exxon menyatakan bahwa tuntutan tersebut akan memberikan pengaruh karena hakim "akan dipaksa untuk memberikan penilaian terhadap perilaku pemerintah Indonesia, yang merupakan sekutu Amerika Serikat yang tak terlalu penting, untuk menentukan apakah tuduhan-tuduhan dalam tuntutan tersebut berkaitan dengan masalah pembunuhan atau peperangan yang sah melawan pemberontak fundamentalis yang akan memecah belah Indonesia melalui pemboman atau kegiatan teroris lainnya.

Argumen-argumen ini adalah penggunaan dengan sengaja bahasa yang emotif seperti yang digunakan sebagai pembenaran "perang melawan teroris". Ini adalah upaya sengaja untuk mengalihkan perhatian dari substansi utama kasus IRLF yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan teroris internasional, tetapi lebih pada persoalan pelanggaran HAM, termasuk di dalamnya perkosaan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang sipil tak bersenjata yang tinggal berdekatan dengan kegiatan Exxon Mobil (untuk informasi lebih lengkap tentang kasus ini, lihat DTE 50 atau bacalah berkas aduan lengkap di situs web ILRF www.laborrights.org/)

Pada bulan Juni, enam belas anggota Kongres dan 2 orang senator telah berkirim surat kepada Kementrian Negara yang memperingatkan bahwa suatu intervensi "akan memberikan pesan yang keliru: bahwa Amerika Serikat mendukung iklim impunitas terhadap pelanggaran HAM di Indonesia."

Dengan menyatakan adanya teroris-teroris terlatih Al Quaeda di Indonesia, Exxon menggunakan isu yang tak relevan untuk menghindari tuduhan-tuduhan serius pelanggaran HAM. Pihak militer Indonesia juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur Al Quaeda di negara mereka, dan mencoba membujuk Amerika Serikat untuk menyediakan dana untuk menjalankan kegiatan anti-teroris beserta perlengkapan militer. Pihak militer menginginkan agar Amerika Serikat mencabut embargo bantuan militer mereka kepada Indonesia (isu ini sedang diperdebatkan di Kongres) dan menyatakan bahwa Gerakan Aceh Merdeka sebagai "organisasi teroris."

Penciptaan karakter oleh Exxon terhadap para korban penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan sebagai "pemberontak fundamentalis" adalah upaya sengaja untuk menutup-nutupi kenyataan bahwa korban yang paling menderita dalam peperangan di Aceh adalah penduduk sipil, bukan para gerilyawan. Dalam setiap aksi "penyisiran" secara rutin yang dilakukan pihak militer Indonesia, terjadi pula aksi-aksi pembakaran rumah, pengepungan penduduk desa yang dianggap bersimpati terhadap GAM serta penembakan terhadap mereka.

Bahkan apabila orang-orang yang dibunuh tersebut dinyatakan sebagai anggota GAM, label 'fundamentalis' sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat. Penentangan GAM terhadap penguasa Jakarta bukan didasarkan pada masalah perbedaan agama dengan Indonesia, tetapi lebih merupakan gabungan antara motivasi sejarah, kebudayaan politik dan ekonomi.

Bahkan, ketika pemerintah Jakarta memberlakukan penerapan hukum syariat Islam di Aceh–sebuah kebijakan untuk memikat hati orang-orang Aceh—organisasi-organisasi masyarakat sipil menyebutnya sebagai kebijakan yang tak diinginkan dari Jakarta. Dalam pandangan orang-orang Aceh, pembentukan citra orang-orang Aceh sebagai kaum 'fundamentalis' tak lebih sebagai upaya pengalihan perhatian isu-isu HAM dan politik. Selain itu, citra tersebut berguna pula untuk membujuk dunia luar agar tidak mendukung perlawanan di Aceh. (lihat Tapol Bulletin 166/167)

Orang awam di Aceh merasakan pentingnya pemulihan perdamaian, penghentian penindasan militer dan keadilan terhadap kejahatan masa lalu. Tetapi, pembentukan komando militer baru di wilayah ini, meskipun oleh para Jendral di Jakarta hal tersebut dinyatakan sebagai kebutuhan menghancurkan gerakan separatis, serta rencana menerapkan undang-undang darurat di Aceh, memberikan petunjuk tidak adanya perubahan dalam pendekatan dasar Indonesia terhadap masalah Aceh. Hal itu juga menyebabkan undang-undang Otonomi Khusus yang diterapkan sejak bulan Januari tahun ini menjadi seperti lelucon. Padahal, dalam kerangka otonomi khusus, Aceh dianggap memiliki mekanisme sendiri dalam menyelesaikan masalah mereka.

Perundingan-perundingan damai antara GAM dan pemerintahan Jakarta, dengan Henry Dunant Center sebagai penengah, sekarang ini telah usai. Namun, pertemuan tersebut masih mengabaikan keterlibatan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Sebuah pertemuan masyarakat sipil yang bertujuan membahas kemajuan perundingan damai telah dilarang pada bulan Mei lalu. Lebih jauh lagi, kesepakatan-kesepakatan yagn dibuat oleh para perunding nampaknya tidak memiliki arti apapun di lapangan. Jumlah rata-rata korban yang tewas pada awal bulan tahun ini mencapai 20 orang setiap harinya. Ini merupakan peningkatan dari tahun 2001 yang jumlah rata-ratanya mencapai 10 orang tewas setiap harinya.

 

Aksi Pemegang Saham

ExxonMobil terus-menerus mendapat tekanan dari berbagai organisasi-organisasi HAM dan Lingkungan, termasuk Amnesty International. Tekanan tersebut ditujukan agar Exxon segera menerapkan kebijakan HAM pada pertemuan umum tahunan dalam bulan Mei. Amnesty International dan sembilan organisasi lainnya yang memiliki saham di perusahaan tersebut telah menandatangani suatu resolusi yang menuntut bahwa Exxon harus mulai memasukan agenda kebijakan HAM dalam aktivitas mereka, menghentikan pengeboran di wilayah-wilayah dengan kondisi lingkungan yang sensitif, menghentikan pembuangan bahan kimiawi berbahaya dan menghentikan sumbangan-sumbangan politik mereka. Sebagai catatan, Exxon adalah penyumbang terbesar kedua dalam kampanye pemilihan presiden Bush yang lalu.

Seorang perempuan Aceh yang hadir dalam rapat tahunan pemegang saham, Cut Zahara Hamzah, bercerita kepada para pemegang saham tentang bagaimana tentara Indonesia masuk ke desa-desa dengan alasan mencari para gerilayawan GAM dan "menangkap, menahan, menyiksa dan ... menghilangkan orang-orang desa yang tak berdosa."

Nampaknya semakin hari Exxon telah menjadi perusahaan pariah, baik atas kaitan mereka dengan pelanggaran HAM dan pandangannya terhadap isu-isu lingkungan. Pada bulan Juni, perusahaan ini berusaha membungkam Greenpeace dengan pengajuan tuntutan pengadilan di Prancis terhadap penggunaan logo Exxon dalam kampanye bersama pemboikotan Exxon (www.stopesso.com) . (Esso adalah nama usaha bagi minyak Exxon yang dijual di Eropa). Perusahaan itu menuntut 80.000 Euro atas pencemaran nama baik dan 80.000 Euro lainnya setiap hari apabila Greenpeace tetap menggunakan logo tersebut.

 

Zona Keamanan

Kembali ke Aceh, ExxonMobil sekarang ini menyandarkan strategi perlindungan keamanan untuk menjalankan operasinya dengan semakin memperbanyak jumlah pasukan dan memperketat kebijakan keamanan mereka. Tahun lalu, ladang gas ExxonMobil dan pabrik pengolahan LNG ExxonMobil dan rekan usaha mereka terpaksa ditutup untuk beberapa bulan lamanya. Baru-baru ini terbit sebuah artikel di New York Time yang menguraikan tentang lebih dari 3.000* pasukan berpatroli di perusahaan tersebut " di mana kegiatan pertambangan gas tersebut menembus hutan subur dan hidup berdampingan dengan pemukiman-pemukiman penduduk yang termasuk paling miskin di dunia." Artikel itu juga menguraikan tentang pihak eksekutif yang tidur di kapal kontainer bermil-mil jauhnya." Pada bulan Mei, ada laporan tentang penculikan terhadap dua orang pekerja kontrak Exxon. Dalam waktu kurang dari dua bulan, terjadi lagi peristiwa penculikan kedua. Namun, perusahaan minyak negara, Pertamina, yang merupakan rekan pembagian produksi Exxon, mengatakan bahwa mereka tidak bersedia membayar uang tebusan untuk membebaskan para pekerja tersebut. Pertamina mengatakan bahwa para penculik mengaku sebagai anggota GAM.

* Sumber-sumber lokal menyebutkan angka yang lebih tinggi.

(Sumber: The Nation 14/Jun/02; AFP 30/May/02; IRLF website www.laborrights.org/ Tapol Bulletin Apr-May/02; Washington Times 4/Apr/02 via Joyo Indonesia News;The Guardian 25/Jun/02; New York Times 14/Jul/02; Dow Jones Newswires 6/May/02; Far Eastern Economic Review, 11/Jul/02)