Perempuan menderita dampak terburuk dalam pertambangan - kasus-kasus di Indonesia

Down to Earth Nr 56  Februari 2003

Dampak yang amat merusak terhadap perempuan dalam pertambangan mendapat perhatian utama dalam sebuah laporan yang baru di terbitkan oleh Oxfam Community Aid Abroad pada tanggal 25 November, berjudul International Day for the Elimination of Violence Against Women (Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan atas Perempuan).

Laporan Oxfam Community Aid', Tunnel Vision: Women, Mining and Communities, adalah kumpulan kertas kerja yang disampaikan dalam sebuah forum yang diadakan di Melbourne bulan Juni tahun lalu dalam usaha untuk mengeksplorasi dampak pertambangan terhadap kaum perempuan dalam masyarakat setempat. Para penulis memberikan contah kegiatan pertambangan di masyarakat adat Australia, India, Indonesia, Filipina dan Papua Nugini yang tidak memperdulikan atau mentelantarkan hak-hak perempuan, mengakibatkan semakin meningkatnya marjinalisasi dan kemiskinan kaum perempuan. Ada dua tulisan mengenai Indonesia dan satu mengenai Papua.

Dalam kritiknya terhadap kebijaksanaan pertambangan Indonesia, Meentje Simatauw, koordinator program LSM Indonesia Pikul, mengatakan pemerintah Indonesia telah 'dengan berani' menggadaikan nasib generasi mendatang, mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, penderitaan masyarakat adat, menurunnya kualitas hidup masyarakat setempat, meningkatnya kejahatan terhadap perempuan, dan rusaknya ekologi kepulauan.

Kertas kerja Meentje Simatauw menggambarkan bagaimana kebijaksanaan pertambangan ditujukan untuk melayani kepentingan investor dan pemerintah serta bagaimana hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya dipinggirkan demi terlaksananya penggalian mineral. Sebagai contoh perusahaan pertambangan yang menyalahgunakan hak-asasi manusia, adalah PT Freeport Indonesia, perusahaan pertambangan raksasa emas dan tembaga di Papua yang sebagian dimiliki oleh perusahaan Inggris Rio Tinto; PT Indo Muro Kencana, perusahaan pertambangan emas di Kalimantan Tengah yang baru saja ditutup, yang sampai tahun lalu dikelola oleh perusahaan Australia Aurora Gold; dan PT Kelian Equatorial Mining, perusahaan yang dimiliki Rio Tinto yang menambang emas di tanah milik masyarakat adat di Kalimantan Timur.

Perempuan di Indonesia mengalami dampak pertambangan melalui berbagai cara :

  • Kegiatan pertambangan emas tradisional dihentikan ketika perusahaan besar masuk : Pria dan perempuan Dayak di Kalimantan Selatan dan Timur menambang emas dengan menggunakan metode tradisional sebelum kedatangan PT Indo Muro Kencana dam PT KEM – mereka mempunyai penghasilan cukup untuk hidup dan menyekolahkan anak.
  • Sumber lainnya sudah tidak lagi tersedia: Kegiatan pertambangan Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa melarang produksi gula aren, aktivitas ekonomi yang biasanya dijalankan oleh kaum perempuan – mengakibatkan hilangnya pemasukan sekitar Rp. 20.000,- per hari. Pertambangan batubara di Kalimantan Selatan menutup kemungkinan kaum perempuan untuk memperoleh pendapatan dari perkebunan karet. Kaum perempuan yang tinggal dekat pertambangan emas Newmont di Sulawesi Utara melihat berkurangnya ikan, sumber utama pendapatan mereka dari teluk Buyat–tempat Newmount membuang limbah pertambangannya di dasar laut.

Dampak pertambangan PT IMK terhadap kehidupan seorang perempuan Dayak Siang Bakumpai digambarkan sebagai berikut :

Ibu Satar pernah memiliki tanah seluas 10-15 hektar di tanah masyarakat adat. Diatas tanah ini, ia dapat menghasilkan panen cukup untuk setahun, malah terkadang lebih. Dengan adanya penambangan di daerah itu ia kehilangan satu hektar tanah yang digunakan oleh perusahaan pertambangan. Akibatnya dia harus membeli kurang lebih 3 kantong beras per bulan seharga Rp. 39.000,- per kantong. (harga bulan Januari 1998). Terlebih lagi, operasi pertambangan menciptakan polusi atas sungai yang kini tak dapat lagi digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan tak lagi menghasilkan ikan. Sebelumnya, Ibu Satar memasak ikan segar setiap hari. Sekarang dengan adanya polusi, ia harus membeli ikan asin. Bila uangnya cukup, ia membeli 2 kilo ikan asin perbulan seharga Rp. 15,000 per kilo. Untuk mandi dan air minum, ibu Satar harus berjalan ke sumber air yang belum terpolusi limbah. Kehidupan ibu Satar semakin terancam karena kehilangan dua kerbau miliknya yang mati di pinggiran sungai yang tertercemar.

[catatan DTE : Masyarakat Dayak yang terkena dampak pertambangan perusahaan IMK menuntut Aurora sebesar 40.000 dollar Amerika atas kerusakan yang terjadi dan hilangnya 380.000 gram emas (lihat DTE 55]. Kasus ini sedang ditangani oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan.]

Laporan tersebut juga menguraikan bagaimana kaum perempuan dalam masyarakat yang terkena dampak pertambangan mengalami penderitaan dua kali lipat di tangan perusahaan pertambangan. Mereka tidak hanya diusir dari tanah mereka, tapi juga sumber daya yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup dasar mereka diabaikan bahkan dirusak namun ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan biasanya hanya untuk para pria, yang mengakibatkan semakin meningkatnya marjinalisasi atas kaum perempuan. Menurut laporan tersebut, inilah yang terjadi pada kaum perempuan di Amungme yang tinggal dekat pertambangan Freeport/Rio Tinto di Papua. Kenyataan bahwa pembayaran ganti rugi hanya diberikan untuk kaum pria mengakibatkan meningkatnya konsumsi alkohol, bar dan pekerja seks, kekerasan terhadap perempuan serta kejahatan dalam rumah tangga.

Di pertambangan Kelian milik Rio Tinto di Kalimantan Timur, perempuan menderita kekerasan seksual di tangan para pegawai pertambangan. Pencari kerja perempuan di pertambangan sering "dipaksa harus memenuhi kebutuhan seks pegawai yang tingkatnya lebih tinggi*. Namun penyalahgunaan semacam ini sering disembunyikan. Organisasi buruh dan pekerja pertambangan yang didominasi oleh pria tidak mengungkapkan kasus kekerasan atas hak asasi manusia terhadap perempuan, tapi cenderung memusatkan perhatian terhadap bayaran dan kondisi kerja.

*Uraian lengkap mengenai pelecehan seksual serta insiden-insiden pemerkosaan perempuan setempat oleh pegawai PT KEM dimasukkan dalam laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang diselesaikan tahun 2001, tapi belum diterbitkan. Tindakan kriminal tersebut bertentangan dengan pernyataan perusahaan yang mengaku menjalankan prinsip hak asasi manusia –lihat juga bagian Rio Tinto dibawah.

(Sumber : The Polarisation of the People and the State in the Interests of the Political Economy and Women's Struggle to Defend their Existence; a critique of mining policy in Indonesia. Meentje Simatauw, diterjemahkan oleh Laurinda Bailey, Juni 2002)

 

Inco
Kertas kerja antropolog Kathryn Robinson terfokus pada perempuan yang hidup di dekat kompleks pertambangan dan peleburan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan, yang dijalankan oleh anak perusahaan milik Kanada di Indonesia, Inco. Disini kehidupan sosial serta perubahan lingkungan ditempa oleh pertambangan, dimana pemuda-pemuda dari Soroako hampir secara keseluruhan bekerja untuk perusahaan atau kontraktornya. Distribusi kekuasaan antara pria dan perempuan dan definisi maskulinitas dan feminitas berubah sepenuhnya oleh peraturan tenaga kerja baru yang berhubungan dengan dominasi pertambangan terhadap perekonomian setempat dan pemikiran tradisional mengenai jenis kelamin (gender) yang diterapkan oleh rejim Soeharto.

Robinson menceritakan sebuah insiden yang mengejutkan penduduk desa. Seorang perempuan, yang semula diperkirakan mati, didiagnosa oleh rumah sakit perusahaan sebagai kekurangan gizi dan menderita penyakit TBC. Penduduk desa yang sakit itu adalah seorang janda tidak punya tanah dengan dua anak yang sebelum adanya pertambangan bekerja di tanah orang dengan bayaran bagian beras hasil panen.

"Perubahan ekonomi, dimana tak ada lagi sawah untuk menanam padi (sawah dengan paksa diambil alih oleh perusahaan pertambangan) membuatnya sulit untuk mencari nafkah. Sehingga dia hanya menjadi pekerja kontrak. Anak remajanya membantu mencari nafkah dengan bekerja keras mengumpulkan rotan dari hutan. Setelah terjangkit TBC, ia tak lagi bisa melakukan pekerjaan yang ringan sekalipun dan kondisinya semakin memburuk. Cerita ini memberi gambaran atas dampak monetitasi perekonomian (perekonomian yang diukur melulu dengan nilai uang).

(Labour, Love and Loss: Mining and the displacement of women's labour, Kathyrn Robinson, Senior Research Fellow, Australian National University.)

 

Pertambangan dan HIV di Papua Barat 
Pertambangan Freeport/Rio Tinto di Papua Barat telah tercatat sebagai perusahaan yang banyak sekali mengakibatkan dampak buruk terhadap masyarakat dan lingkungan setempat. Satu aspek yang jarang dipublikasikan adalah dampak kesehatan – terutama melalui HIV/Aids. Dalam kertas kerjanya , Dr Nurlina Silitonga, seorang dokter umum Indonesia, menguraikan permasalahan ini dan dampak spesifiknya terhadap perempuan di kota pertambangan Timika, yang mempunyai jumlah penderita Aids tertinggi kedua di Papua. Papua sendiri memiliki tingkat tertinggi di Indonesia. Perempuan setempat terutama sangat mudah terjangkit karena rendahnya tingkat melek huruf dan pengetahuan tentang virus Aids dan meningkatnya kejahatan yang berhubungan dengan alkohol, penyelewengan, pemerkosaan, dan pelacuran di kota.

(Mining, HIV/AIDS and Women Timika, Papua Province, Indonesia, Nurlina Silitonga with A. Ruddick, Wignall FS)

Tunnel Vision bisa di akses langsung di www.caa.org.au/campaigns/mining.

 

Dampak terhadap Perempuan

Beberapa dampak dari operasi skala besar pertambangan terhadap perempuan disampaikan dalam laporan Oxfam CAA sebagai berikut:

  • Negosiasi perusahaan hanya dilakukan antara kaum pria, membuat perempuan bukan menjadi bagian atau yang mendapat keuntungan dari pembayaran royalti atau ganti rugi. Akibatnya, perempuan kehilangan alat untuk mencari status atau kekayaan yang secara tradisional mereka miliki;
  • Perusahaan tidak mengakui adanya hubungan agama atau spiritual perempuan adat dengan lingkungan dan tanahnya, terutama bila mereka dipindahkan untuk kegiatan pertambangan;
  • Perempuan biasanya memiliki sedikit atau sama sekali tak ada kekuasaan untuk memperoleh manfaat atas pembangunan pertambangan. Dengan demikian mereka menjadi semakin tergantung pada pria yang lebih mempunyai akses dan mengatur kepentingan ini;
  • Peran dan tanggung jawab tradisional perempuan menjadi marjinal karena masyarakat menjadi sangat tergantung pada ekonomi yang berdasarkan uang yang diciptakan oleh pertambangan;
  • Beban kerja perempuan meningkat karena pria bekerja di perekonomian berdasarkan uang hasil pertambangan dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap rumah tangga dan penyediaan makanan melalui cara tradisional;
  • Perempuan memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita kemiskinan, terutama rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan;
  • Perempuan menanggung tekanan fisik sekaligus mental akibat pertambangan, terutama bila terjadi penggusuran;
  • Perempuan menderita atas meningkatnya resiko HIV/AIDS dan infeksi penyakit kelamin lainnya, kejahatan keluarga, pemerkosaan dan prostitusi – sering disebabkan oleh pengaruh penyalahgunaan alkohol dan/atau para pekerja pria sementara;
  • Perempuan menderita diskriminasi aktif dan terkadang brutal di tempat kerja.
Tunnel Vision: Women, Mining and Communities, Forum Report, November 2002