Pengambilan Keputusan Perempuan Adat

Pelatihan nasional PEREMPUAN AMAN di Toraja (Foto: PEREMPUAN AMAN)

DTE 99-100, Oktober 2013

Seringkali perempuan adat dihalangi untuk membuat keputusan penting bagi dirinya sendiri, sehingga mereka tidak berdaya untuk memastikan ada pemahaman dan penanganan terhadap ketidakadilan gender yang berdampak langsung terhadap perempuan, keluarga dan komunitas mereka. Pemberdayaan perempuan adat di Indonesia adalah tugas yang kompleks, yang ditangani oleh PEREMPUAN AMAN, organisasi perempuan adat Indonesia, dimulai dengan pelatihan untuk pengambilan keputusan. Artikel ini disusun oleh DTE berdasarkan informasi dari PEREMPUAN AMAN yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia di situs AMAN. Tulisan ini telah diedit dan ditinjau oleh PEREMPUAN AMAN.

Melatih perempuan adat untuk memainkan peran mereka dalam pengambilan keputusan - dalam masyarakat mereka serta di ruang publik yang lebih luas - adalah prioritas utama bagi organisasi perempuan adat, PEREMPUAN AMAN. Sebuah program pelatihan di berbagai lokasi di seluruh Indonesia sudah berlangsung sejak April 2013.  Sesi Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainer -ToT) ini ditujukan untuk menciptakan kelompok pelatih perempuan yang kuat yang akan melanjutkan pemberian sesi pelatihan bagi perempuan adat di daerah dan komunitas masing-masing.

Menurut PEREMPUAN AMAN, laki-laki dan perempuan adalah sama, tetapi di jalan menuju kesetaraan, posisi perempuan masih berada di bawah.

Dalam rumah tangga hingga ranah publik … perempuan masih dianggap sebagai nomor dua, hingga akhirnya membuat kebijakan pemerintah juga kurang menghargai perempuan dan dengan demikian membuatnya tidak setara dengan laki–laki.[1]

Oleh karena itu PEREMPUAN AMAN berfokus pada peningkatan kepercayaan diri dan kapasitas perempuan adat untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Sesi dimulai dengan dua bagian dari enam hari sesi ToT pada bulan April 2013 dan Mei untuk para perempuan anggota AMAN daerah Jawa, Sumatera, Bali Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Papua dan Sulawesi. Pelatihan mengenai ‘perempuan adat dan pengambilan keputusan tingkat nasional’ dipandu oleh Mia Siscawati[2]  dari Sayogjo Institute, Nur Amalia dari Lembaga APIK, Devi Anggraini dari Sajogyo Institute, dan Rena Herdiyani dari Kalyanamitra. Bagian pertama diadakan di Ciptamulya, Sukabumi (Jawa Barat) dan yang kedua di Toraja, Sulawesi Selatan, pada bulan Mei.

Pelatihan tingkat nasional ini diikuti oleh anggota dan pengurus PEREMPUAN AMAN dari 7 region  diikuti oleh lebih dari 30 orang peserta ditambah dengan beberapa peserta yang berasal dari komunitas Kasepuhan Ciptamulya. Pelatihan ini tidak melibatkan lak-laki secara penuh, walaupun acara pembukaan dihadiri oleh ketua adat Kasepuhan Ciptamulya dan bapak kepala desa.

Ada rencana tindak lanjut untuk sesi pelatihan di tingkat regional sehingga pelatih bisa melanjutkan kerja pengembangan kapasitas di wilayah masing-masing.

Pelatihan untuk tingkat region Jawa-Bali-Nusa Tenggara diselenggarakan pada bulan Juni 2013, Kalimantan dan Sumatra (keduanya di Juli 2013), Sulawesi, (Desember 2013), Maluku (Februari 2014) dan Papua (Mei 2014).

Tujuan dari serial pelatihan ini adalah:

  • Membangun kapasitas dan rasa percaya diri perempuan adat agar  mampu terlibat dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Melatih 30 orang perempuan adat sebagai pelatih yang  akan melatih perempuan adat di region masing-masing.
  • Melatih 75 orang perempuan adat sebagai pelatih yang akan melatih perempuan adat di wilayah adat masing-masing sampai pada komunitas.[3]

 

Pelatihan di Maluku

Salah satu sesi pelatihan regional berlangsung selama tiga hari pada Februari 2014 di Maluku. Acara ini dihadiri oleh 27 peserta dari 10 hoana [Hoana adalah kumpulan 1-2 atau beberapa kampung yang merupakan 1 komunitas adat] kabupaten Halmahera Utara,  provinsi Maluku Utara dan Maluku. Menyambut peserta, Jois Duan, Kepala Dewan Daerah AMAN di Maluku Utara, berharap sesi pelatihan dan pengetahuan bersama itu akan dimanfaatkan dengan baik sesudahnya. “Laki-laki dan perempuan mempunyai potensi, kekuatan, dan energi yang sama. Tergantung pada diri kita masing-masing, apakah kita mau mengembangkannya atau tidak," katanya.

Saat ini kita juga harus mempersiapkan pemilihan umum, menurutnya: " perempuan adat juga harus mampu menentukan pilihannya masing-masing tanpa intervensi".[4]

Dua Tahun PEREMPUAN AMAN

Staff DTE Clare McVeigh beruntung bisa menghadiri pertemuan di Tobelo pada April 2012, di Pulau Halmahera, Maluku, dimana PEREMPUAN AMAN resmi didirikan.[5]  Aleta Baun dari Molo, Nusa Tenggara Timur, adalah salah satu anggota dewan PEREMPUAN AMAN yang juga seorang pemimpin masyarakat adat terkemuka dan pemenang hadiah Goldman'.

Tentu saja, perempuan adat sudah melakukan pertemuan dan mengorganisasikan diri beberapa tahun sebelumnya untuk membahas dan mengatasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan adat secara khusus, termasuk pada pertemuan AMAN yang pertama  di tahun 1999.[6] Sebuah laporan perkembangan gerakan perempuan adat oleh PEREMPUAN AMAN menjelaskan bagaimana organisasi Aliansi Perempuan Adat Nusantara (APAN) dibentuk pada tahun 2001. Ketika ini gagal berkembang, tahun 2007 pada kongres ketiga AMAN direktorat pemberdayaan perempuan didirikan. Kongres ketiga ini juga memandatkan AMAN untuk membentuk dua sayap yaitu pemuda dan perempuan dengan tujuan untuk membantu AMAN melatih dan membangun kapasitas perempuan dan pemuda di seluruh nusantara.

Delegasi perempuan adat dari tujuh wilayah keanggotaan AMAN berkumpul di Bogor pada bulan Mei 2011 untuk mengkaji semua proses yang melibatkan perempuan adat di AMAN. Mereka menyepakati bahwa mereka memerlukan wadah terpisah sebagai ruang untuk belajar dan mengkonsolidasikan cara kerja untuk mengatasi banyaknya tantangan keterbelakangan perempuan dibandingkan laki-laki.  Mereka lalu memutuskan bahwa tidak cukup hanya bekerja di organisasi utama. Hal ini yang kemudian pada tahun berikutnya membuat PEREMPUAN AMAN dibentuk sebagai sayap terpisah dari AMAN di Tobelo.

Seringkali perempuan adat mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pihak aparat dan bahkan oleh penyusun kebijakan negara. Ada banyak contoh yang dialami oleh pejuang perempuan adat, diantaranya intimadasi dari aparat seperti yang dialami oleh Sangaji Pagu, nama gelar adat dari Ibu Afrida Erna Ngato. Ibu Afrida ditangkap saat memimpin masyarakat adat yang saat itu melakukan aksi menutup pintu masuk ke area tambang emas PT NHM[7] pada tanggal 24 November 2012. Bersama 31 orang masyarakat adat Pagu dia mendapat perlakuan kasar dari aparat. Mereka dibentak dan alat komunikasi mereka dirampas, sebelum akhirnya mereka dibawa ke Polres Halmahera Utara dengan menggunakan truk oleh oleh aparat yang menjaga aksi damai yang dilakukan oleh masyarakat adat Pagu, Halmahera Utara itu, meskipun kemudian mereka dilepaskan.[8]

Kotak: Mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan adat

Perempuan adat mengalami diskriminasi ganda karena mereka adalah perempuan dan juga mereka adalah masyarakat adat.

“Perempuan adat mau menutupi hal-hal seperti itu karena menganggap hal yang biasa, sebagai kodrat perempuan, juga karena tidak mau orang banyak mengetahuinya dan ini membuat diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan terus terjadi, sebab kesadaran perempuan akan hak-haknya belum memadai.”[9]

Ini adalah ucapan dari Romba Marannu Sombolinggi’, kepala dewan PEREMPUAN AMAN, membuka konsultasi nasional tentang kekerasan terhadap perempuan adat di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh Aleta Baun, pimpinan PEREMPUAN AMAN dan perwakilan organisasi masyarakat sipil, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan difasilitasi oleh Nur Amalia dari Walhi. 

Pertemuan ini membahas bagaimana kekerasan terhadap perempuan adat sering diabaikan oleh pihak berwenang dan bagaimana perempuan menderita bukan hanya dari kekerasan fisik tapi juga dari kekerasan psikis.

Pertemuan ini bertujuan untuk merumuskan strategi mengatasi kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan adat dan untuk berbagi peran advokasi tentang masalah ini di tingkat lokal, nasional dan internasional.

 

RUU PPMHA, MK35, perubahan iklim...

DTE mewawancari PEREMPUAN AMAN

Akankah RUU PPMA menjawab kebutuhan perempuan dalam komunitas adat seperti laki-laki?

Dalam RUU PPHMA yang sedang diperjuangkan AMAN saat ini belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kebutuhan perempuan adat, jika poin-poin masukan dari hasil Konsultasi Nasional Perempuan Adat terhadap RUU PPHMA ini belum diakomodasi di dalamnya. Sebagai contoh, poin masukan perempuan adat terhadap RUU PPHMA adalah mengenai definisi ‘masyarakat adat” ditambahkan “...adalah sekelompok masyarakat terdiri dari laki-laki dan perempuan”, poin masukan yang lain ditambah satu pasal dalam RUU PPHMA  mengenai restitusi.

 Apakah adat perlu disesuaikan atau dikembangkan untuk mengakomodasi peningkatan kebutuhan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan? Apa gagasan PEREMPUAN AMAN untuk menjawab masalah ini?

Adat tidak bersifat statis, adat mengikuti perkembangan. Maka aturan-aturan adat yang tidak relevan dengan perkembangan saat ini termasuk jika ada aturan adat yang melanggar hak asasi perempuan, aturan adat tersebut tidak lagi berlaku.

Bagaimana laki-laki dilibatkan atau diinformasikan tentang isu pemberdayaan perempuan; apakah mereka mendapat kesempatan untuk ikut lokakarya dan/atau ada diskusi mengenai tantangan yang dihadapi mereka sebagai laki-laki? Bagaimana AMAN mendapatkan informasi mengenai aktivitas PEREMPUAN AMAN?

Berdasarkan pengalaman selama ini laki-laki dengan mudah mendapatkan informasi tentang isu pemberdayaan perempuan, karena laki-laki cenderung lebih cepat mengakses informasi daripada perempuan. Dalam beberapa kesempatan PEREMPUAN AMAN berdiskusi lepas dengan para pengurus AMAN baik di tingkat nasional maupun daerah mengenai isu-isu pemberdayaan perempuan adat termasuk pemberdayaan ekonomi.

Semua aktivitas yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN diketahui oleh AMAN karena dalam mekanisme organisasi PEREMPUAN AMAN adalah merupakan organisasi sayap AMAN. Pada dasarnya semua aktivitas organ sayap harus diketahui oleh organ induk.

Bagaimana MK35 berdampak terhadap perempuan secara khusus? Apakah ada diskusi tentang bagaimana langkah tindak lanjut berdampak terhadap perempuan dan laki-laki secara berbeda?

Sejak keputusan MK 35 tahun 2012 yang lalu belum terlihat secara signifikan dampak positif terhadap perempuan adat. Namun, di beberapa komunitas adat kegiatan ‘plangisasi’ hutan adat dilakukan oleh kelompok perempuan adat.

AMAN mendukung Jokowi sebagai Presiden – menurut Anda bagaimana kebijakan dan sikapnya terhadap perempuan dibandingkan kandidat lainnya?

AMAN mendukung Jokowi sebagai presiden karena hanya dalam visi misi calon presiden ini AMAN melihat kepentingan masyarakat adat (termasuk perempuan adat) diakomodasi. AMAN tidak melihat adanya visi misi mengenai apa yang diperjuangkan masyarakat adat pada visi misi calon presiden lainnya sehingga AMAN bertekad mendukung Jokowi sepenuhnya. 

Apakah mudah untuk mendapatkan pendanaan bagi prakarsa-prakarsa PEREMPUAN AMAN?

Hal ini agak sulit, karena PEREMPUAN AMAN memiliki berbagai keterbatasan komunikasi dengan pihak luar terutama dalam komunikasi bahasa Inggris, sehingga beberapa rencana program pemberdayaan dan penguatan kapasitas untuk perempuan adat belum terkomunikasi secara maksimal kepada semua pihak. 

Apakah PEREMPUAN AMAN melihat pada dampak perubahan iklim terhadap perempuan adat atau bagaimana posisi perempuan adat mengenai adaptasi perubahan iklim?

Perempuan adat paling merasakan dampak perubahan iklim. Mereka tidak bisa lagi memprediksi musim menanam dan panen karena cuaca yang tidak menentu. Banyak tanaman endemik (termasuk tanaman obat-obatan) yang punah akibat dari perubahan cuaca ekstrim yang membuat tanaman-tanaman tidak mampu beradaptasi.

Namun, perempuan adat selalu punya cara mengatasi perubahan iklim dengan menanam tanaman yang tahan akan cuaca ekstrim dan tanaman untuk cadangan pangan.

Bagaimana anda menyampaikan pesan atau menjangkau perempuan yang buta aksara?

Komunikasi intensif yang dilakukan PEREMPUAN AMAN kepada pengurus dan anggota adalah melalui telepon seluler dan email. Yang paling sering dilakukan adalah via telepon karena masih banyak anggota dan pengurus PEREMPUAN AMAN belum dapat mengakses internet.



[1] Perempuan Adat dan Perkembangannya, 16 April 2013 oleh Surti Handayani, Sekretaris Eksekutif, Perempuan AMAN. Dimuat dalam situs AMAN www.aman.or.id/2013/04/16/perempuan-adat-dan-perkembangannya.

[2] Kontributor Newsletter DTE ini.

[3] Perempuan Adat dan Pengambilan Keputusan, AMAN, 2 April 2013, http://www.aman.or.id/2013/04/02/perempuan-adat-dan-pengambilan-keputusan/#.VA628lfCd1o

[4] Pelatihan Perempuan Adat Kep. Maluku untuk Pengambilan Keputusan, AMAN, 12 Februari 2014, http://www.aman.or.id/2014/02/12/pelatihan-perempuan-adat-kep-maluku-untuk-pengambilan-keputusan/#.VA64OFfCd1o

[6] Lihat, contohnya, laporan lokakarya perempuan pada Kongres AMAN ketiga tahun 2007 yang dihadiri oleh DTE: http://www.downtoearth-indonesia.org/story/indigenous-womens-workshop-aman-congress, dan laporan kami tentang lokakarya perempuan pada Kongres pertama tahun 1999 di http://www.downtoearth-indonesia.org/old-site/SIwom.htm.

[7] Nusa Halmahera Minerals

[8] Perempuan Adat dan Perkembangannya,16 April  2013, oleh Surti Handayani, Sekretaris Eksekutif Perempuan AMAN. Dimuat pada situs AMAN www.aman.or.id/2013/04/16/perempuan-adat-dan-perkembangannya

[9] Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Adat, 31 Mei, situs AMAN, http://www.aman.or.id/2014/05/31/penyelesaian-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-adat/#.VA665lfCd1o.