Penanaman Modal Asing dan Keadilan Lingkungan

Down to Earth Nr 44   Februari 2000

Meskipun pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) baru berjalan selama tiga bulan, perkembangan yang terjadi menunjukkan gambaran jelas bahwa penanaman modal asing menjadi prioritas utama.

Pada awal tahun ini, Presiden dan sejumlah menteri mengadakan kunjungan keliling ke negara-negara Eropa guna mendorong para pengusaha dan mencoba meyakinkan para direktur perusahaan tentang kondisi yang menguntungkan di Indonesia bagi penanam modal asing.

Masih belum jelas bagaimana pemerintahan yang berorientasi pada pelaku bisnis ini dapat menjalankan dengan sungguh-sungguh komitmen mereka dalam penegakan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan, yang bertentangan dengan kepentingan para penanam modal asing. Sekarang ini terlihat pertanda perpecahan di dalam kabinet, seperti halnya antara pemerintah pusat dan daerah, dalam menangani masalah-masalah utama di dalam isu pertanahan dan hak-hak penguasaan sumberdaya bagi penduduk desa, kota dan masyarakat adat.

Di bawah rejim Suharto, hak-hak ini telah diabaikan begitu saja dan para penanam modal membangun proyek-proyek di atas lahan yang dirampas dari pemiliknya. Sejak kejatuhan Suharto, masyarakat telah berjuang kembali untuk merebut hak-hak mereka dari para pengusaha perkayuan, perkebunan dan pertambangan dan berupaya menghentikan aktivitas pabrik yang merusak lingkungan mereka. Dalam terbitan kali ini, Down To Earth menyajikan beberapa kasus di Sumatra (Pabrik Pulp Indorayon, PT TEL, Impor sampah beracun; sengketa tanah di Bintan dan kepulauan Mentawai); Sulawesi (Pertambangan Newmont); Kalimantan (Pertambangan) dan Papua Barat (Perusahaan perkebunan dan pertambangan).

Beberapa perusahaan yang menanamkan modal dalam proyek yang merusak lingkungan ini tengah berjuang melindungi kepentingan mereka dengan mengancam akan menarik modal mereka dari Indonesia apabila pemerintah tidak turun tangan. Dengan demikian, mereka sedang berusaha melakukan ancaman ekonomi untuk menjamin agar kepentingan mereka lebih diutamakan dibandingkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam.

Pemerintahan Gus Dur sendiri telah menyepakati kebijakan perbaikan ekonomi yang dirancang oleh kreditor utama mereka, dibawah pimpinan International Monetary Fund, IMF. Hal ini menyebabkan pemerintah harus bergandengan tangan dengan penanam modal asing untuk mengembangkan potensi-potensi sumber daya alam yang memberikan pemasukan pendapatan bagi pemerintah. Dengan mengikuti alur ini, maka pemerintah dipaksa untuk tunduk pada tuntutan para penanam modal.

Kelompok Koalisi Anti Hutang Luar Negeri di Indonesia, yang mewakili sekitar 180 Lembaga Swadaya Masyarakat, sekarang ini tengah menyerukan agar pemerintah tidak lagi menerima hutang luar negeri serta menuntut penghapusan kewajiban membayar hutang-hutang tersebut. Tetapi, pada pertemuan bulan Februari antara negara-negara kreditor Indonesia (Consultative Group on Indonesia, CGI), mereka menolak kehadiran pihak Koalisi untuk mengajukan tuntutannya dalam pertemuan tersebut.

Oleh karena itu, apabila tidak ada upaya serius untuk merumuskan kembali suatu strategi perbaikan ekonomi serta komitmen yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan dalam kebijakan utama pemerintah, maka proses marjinalisasi rakyat, kehancuran hutan dan polusi yang terjadi di lautan dan sungai-sungai seperti yang terjadi pada masa rejim Suharto akan terjadi kembali, atau bahkan lebih cepat dari sebelumnya.