Papua Barat: Gerakan Kemerdekaan Meraih Momentum

Down to Earth Nr 45  Mei 2000

Papua Barat menghadapi situasi politik yang bisa meledak: para pemimpin Papua diberi kebebasan yang lebih besar untuk bertemu dan mengungkapkan tuntutan mereka di bawah penguasa Indonesia dibanding sebelumnya, namun hal ini terjadi dengan latar belakang penindasan politik dan sekaligus penolakan Jakarta untuk membahas kemerdekaan. Pada saat yang sama, dilaporkan lebih banyak pasukan akan tiba di wilayah itu sebelum pawai kemerdekaan pro-kemerdekaan yang direncanakan pada Bulan Mei.

Sebuah kumpulan massa para pemimpin pro-kemerdekaan dan pendukungnya di Sentani, dekat Jayapura pada Bulan Februari, telah meningkatkan kampanye bagi kemerdekaan Papua Barat. Pertemuan itu, yang dihadiri 500 perwakilan dari seluruh papua Barat, termasuk 26 orang pegiat yang hidup di pengasingan di Papua Nugini, memilih tokoh kemerdekaan yang blak-blakan, Theys Eluay, yang memimpin Dewan Adat Papua Barat, dan pemimpin masyarakat adat Tom sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan. Pernyataan yang dikeluarkan dalam pertemuan Majelis Agung Papua Barat itu terpusat pada manipulasi 'Undang-undang Pemilihan Bebas' Tahun 1969, yang diorganisasikan oleh Indonesia untuk mendapatkan dukungan internasional terhadap pencaplokannya wilayah itu.

Pernyataan itu menyatakan bahwa Undang-undang tersebut 'meniadakan hak dan kebebasan politik orang Papua Barat dengan cara intimidasi politik, penangkapan, penahanan dan pembunuhan orang Papua Barat oleh militer...'' dan menunjuk bahwa 99,2 % para penduduk tidak mendapatkan hak untuk memberikan suara atas masa depan negara mereka. Pernyataan itu menegaskan keinginan orang Papua Barat untuk merdeka, yang disampaikan kepada Presiden Habibie pada tahun 1999 (lihat DTE 43:6), dan janji bahwa gerakan kemerdekaan akan 'mengusahakan dialog dan jalan damai serta demokratis untuk mewujudkan keinginan orang Papua Barat dengan tujuan menjamin adanya kesepakatan dengan pemerintah Indonesia (Pernyataan Majelis Agung, 23 - 26 February 2000).

Pertemuan selanjutnya pada Bulan April memutuskan untuk menyelenggarakan Kongres Papua ke-II dari tanggal 29 Mei hingga 3 Juni. Kongres pertama, yang menyatakan kemerdekaan Papua Barat, diselenggarakan pada tahun 1961 ketika wilayah ini masih berada di bawah kekuasan Belanda. Peringatan kongres ini dirayakan dengan kumpulan massa dan penaikan bendera pada bulan Desember lalu (lihat DTE 44:16)

Theys Eluay juga mengumumkan kampanye untuk mempopulerkan Kongres 1 Mei, yang ditandai sebagai hari berduka dan berdoa bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. Eluay mengutuk keputusan Jakarta untuk mengirimkan lebih banyak pasukan ke Papua sebagai antisipasi terhadap kerusuhan.

Jakarta sudah memberikan toleransi bagi pegiat pro-kemerdekaan, namun hanya sampai batas tertentu saja. Dalam hal yang tampak sebagai kelanjutan dari kebijakan yang kontradiktif, pertemuan Februari diijinkan untuk berlangsung walaupun dalam kenyataannya sejumlah pemimpin kemerdekaan, termasuk Eluay, sedang diadili untuk 'kejahatan' kemerdekaan sebelumnya. Belakangan polisi mengumumkan bahwa sembilan pemimpin kemerdekaan, lagi-lagi termasuk Theys Eluay-- akan didakwa sehubungan dengan tiga insiden, termasuk unjuk rasa Bulan Desember dan Majelis pada Bulan February!

Militer telah mengulang kembali peringatan keras tentang kebutuhan untuk memberangus kaum separatis, sambil membantah kalau pengembangan pasukan berhubungan dengan meningkat pesatnya gerakan kemerdekaan maupun untuk memerangi pasukan gerilya kemerdekaan bersenjata OPM. Menurut komandan militer setempat, Letnan Kolonel Susanto, dikirimnya baru-baru ini 450 pasukan Kostrad merupakan bantuan bagi program pengembangan masyarakat dan merupakan pengganti, bukan pasukan tambahan. Pernyataan seperti ini, yang biasanya disertai dengan kehadiran pasukan baru, tidak pernah bisa dibuktikan secara independen.

 

Aksi Mendesak TAPOL Inggris Raya

TAPOL, pengkampanye hak asasi manusia Indonesia, meminta orang-orang di Inggris untuk menulis kepada anggota parlemen mereka untuk meminta anggota parlemen menandatangani Mosi Hari Awal 475. Mosi ini mengakui bahwa Undang-undang Kebebasan Memilih tahun 1969 'bukanlah tindakan penentuan nasib sendiri yang benar yang sesuai dengan 'praktek internasional' dan menyerukan pemerintah Inggris untuk mendesak PBB agar menyelidiki undang-undang itu 'dengan pandangan melaksanakan undang-undang yang tepat dalam penentuan nasib sendiri atas wilayah itu.

Tahun lalu pemerintah Belanda setuju untuk meninjau undang-undang ini 
(lihat DTE 44:16)

Para penduduk Inggris Raya sebaiknya menulis kepada anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat, London SW1A 0AA. TAPOL juga mendesak orang menulis kepada pemerintah Inggris Raya untuk mendesak aksi internasional atas Papua Barat. Untuk rincian lebih lanjut hubungi tapol@gn.apc.org

 

Setelah meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia dan setuju untuk menggunakan nama 'Papua' bagi wilayah itu, Presiden Wahid tetap berkeras bahwa kemerdekaan bukanlah sebuah pilihan. Sebaliknya ia ingin orang Papua menerima otonomi wilayah. Bulan Maret ia mengatakan kepada sekelompok pengusaha Belanda bahwa masalah di Aceh, Papua Barat dan Maluku 'dalam tahap akhir penyelesaian.' Sangat sulit untuk melihat bagaimana hal itu, karena otonomi wilayah sudah ditolak secara meluas di Papua Barat dan kedua belah pihak terpisah amat jauh dalam masalah kemerdekaan.

Pandangan LSM hak asasi manusia setempat, IHRSTAD, adalah bahwa situasi politik buntu. Situasi akan lebih mudah meledak lagi jika harapan akan kemerdekaan makin meningkat di kalangan orang Papua Barat sementara pemerintahan Wahid terus mengabaikan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Indonesia di wilayah itu.

IHRSTAD ingin melihat sebuah dialog yang murni diprakarsai antara Jakarta dan orang Papua Barat, sebuah pemerintahan yang punya komitmen terhadap tindakan hukum atas kejahatan masa lalu, pembebasan tahanan politik dan penghentian penahanan lebih lanjut atas orang-orang yang ikut serta dalam unjuk rasa kemerdekaan. IHRSTAD ingin pemerintah Indonesia membuka sebuah proses resolusi konflik dengan orang-orang Papua. Dalam seruan tertanggal 5 April, IHRSTAD mendesak Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Mary Robinson, menggunakan pengaruhnya atas pemerintah Indonesia untuk mendesakkan tuntutan tersebut. Seruan ini juga mendaftar contoh-contoh tebaru dari pembunuhan, penyiksaan, dan penahanan oleh pasukan keamanan. Mereka memperingatkan kekuatiran akan munculnya milisia pro-Jakarta yang dibentuk oleh tentara dan polisi. Hal ini tampaknya serupa dengan malapetaka yang dibuat di Timor-Timur tahun lalu. Ada 2000 orang milisia pro-Indonesia di Fak-fak dan 300 di Manokwari, sebagian dari mereka adalah pendatang yang bukan orang Papua yang dipersenjatai dengan senjata dan amunisi buatan sendiri. IHRSTAND mengatakan hal ini merupakan petunjuk jelas bahwa pemerintah Indonesia dan tentara terlibat dalam berlangsungnya penekanan dengan kekerasan atas orang-orang Papua Barat.

(Sumber : Seruan 5/Apr/00, Jakarta Post 17&18/Mar/00; Antara 2/Mar/00, Suara Pembaruan 20&22/APr/00)