Ornop mendesak Indonesia memperhatikan seruan moratorium terhadap MIFEE

Submisi ke UPR oleh 10 organisasi masyarakat sipil

Terjemahan Juni 2013 dari DTE Update, November 29, 2011

Submisi bersama kepada Tinjauan Periodik Universal (UPR) PBB tentang HAM oleh 10 Ornop nasional dan internasional

Pada bulan November 2011, sepuluh ornop nasional dan internasional, Down to Earth termasuk di antaranya, menyoroti permasalahan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, dalam sebuah laporan mengenai HAM dan pengelolaan sumber daya alam dan perubahan iklim. Laporan diserahkan kepada Tinjauan Periodik Universal PBB, yang merupakan sebuah proses untuk mengkaji ulang catatan mengenai HAM di seluruh 192 negara anggota PBB yang dilangsungkan setiap 4 tahun sekali. Pada bulan Juni 2012, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang ditinjau dalam sebuah pertemuan Kelompok Kerja UPR.

Dokumen-dokumen yang akan menjadi landasan tinjauan adalah: 1) informasi yang diberikan oleh negara yang sedang ditinjau, yang dapat berupa "laporan nasional"; 2) informasi yang dimuat dalam laporan-laporan oleh para ahli dan kelompok independen tentang HAM, yang dikenal sebagai Special Procedures (Prosedur Khusus), badan-badan traktat HAM, serta badan PBB lainnya; 3) informasi dari pemangku kepentingan lainnya termasuk ornop dan lembaga HAM nasional. 

Sepuluh ornop yang menyampaikan laporan tertanggal 21 November 2011 masuk dalam kategori ketiga tersebut.

Dalam halaman ini, kami menggarisbawahi paragraf dalam tinjauan yang mempersoalkan proyek MIFEE. Untuk membaca selengkapnya Submisi Pemangku Kepentingan kepada sesi ke 13 Kelompok Kerja UPR (21 Mei - 1 Juni 2012) yang disampaikan oleh HuMa, Pontianak Institute, DTE, Pusaka, WALHI Kalteng, AMAN, FPP, Yayasan Merah Putih dan RFN, bisa dilihat di sini.

Informasi lebih lanjut mengenai UPR dapat dilihat di sini http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/BasicFacts.aspx

 

Petikan tentang MIFEE dari laporan bersama Organisasi Masyarakat Sipil yang diserahkan kepada UPR

Kami juga ingin menarik perhatian terhadap dampak atas hak-hak asasi manusia dari kebijakan dan legislasi Indonesia yang ditujukan untuk mempromosikan pengembangan bahan bakar nabati sebagai suatu alternatif terhadap bahan bakar fosil. Peningkatan produksi tanaman termasuk minyak sawit, jatropha dan singkong sedang didorong secara aktif oleh Pemerintah Indonesia untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan internasional sebagai alternatif dari bahan bakar fosil, khususnya berdasarkan rencana penanggulangan perubahan iklim. Kebijakan-kebijakan ini berkontribusi terhadap pengembangan perkebunan skala besar yang semakin cepat dan intensif di banyak wilayah di Indonesia, dan munculnya megaproyek yang diprakarsai oleh negara seperti skema agroindustri lumbung pangan dan energi terpadu Merauke (MIFEE)  di Papua. Proyek-proyek tersebut mengarah pada penggusuran masyarakat yang tinggal di wilayah yang ditargetkan oleh para pengembang perkebunan industri, dan kemudian hilangnya sumber penghidupan, budaya, identitas dan martabat manusia dari masyarakat tersebut.

Proyek MIFEE mencakup sekitar 2 juta hektare lahan yang merupakan tanah adat masyarakat Malind dan masyarakat adat Merauke lainnya. Negara memperuntukkan tanah tersebut bagi perusahaan besar  tanpa menghormati hak-hak (seperti hak milik dan lain-lain) dari masyarakat adat ini yang dilindungi secara internasional.  Sebaliknya skema tersebut mengarah pada penyangkalan hak-hak tersebut. Dampak negatif terhadap hak-hak asasi manusia dari keberatan pemerintah Indonesia terhadap Pasal 1 dari Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjadi semakin terbukti dengan berlanjut terusnya proyek MIFEE tersebut. Hal ini telah terangkum dalam permohonan yang terbaru atas nama masyarakat yang terkena dampak tersebut kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), Pelapor Khusus untuk Keamanan Pangan dan Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.[1] Ketua CERD telah menyampaikan keprihatinannya menyangkut proyek ini kepada Pemerintah Indonesia.[2]

Dampak negatif MIFEE yang terdokumentasi mencakup praktik pemaksaan dan manipulasi untuk memperoleh sertifikasi yang menyatakan bahwa masyarakat adat telah melepaskan tanah mereka; konflik dan kekerasan antar etnis yang meningkat; dan pembabatan hutan di mana masyarakat Malind dan masyarakat adat lainnya bergantung secara langsung dan nyaris sepenuhnya untuk penghidupan mereka, untuk memberi tempat bagi perkebunan tanaman tunggal berdasarkan kontrak sewa jangka panjang antara negara dan perusahaan swasta. Pelanggaran yang terkait dengan proyek MIFEE juga mencakup pelanggaran hak kebebasan berkumpul, berbicara dan hak atas kebebasan dari ancaman terhadap integritas fisik seseorang. Hal ini dicontohkan dengan sangat jelas oleh pelecehan dan intimidasi terhadap pemuka dan wakil masyarakat oleh wakil-wakil dari polisi daerah Papua dan intelijen militer nasional selama berlangsungnya sebuah pertemuan pada bulan Juli 2011 tentang MIFEE dan hak-hak asasi manusia yang diadakan di Merauke.[3]...

...Berdasarkan hal-hal di atas, masyarakat sipil merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah berikut:...

  • Mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Masyarakat Adat, Bahan Pangan Yang Layak, Perempuan; Anak-anak; Hak-hak Asasi Manusia dan Akses terhadap Air Minum yang Aman dan Sanitasi; Hak-hak Asasi Manusia dan Perusahaan Transnasional dan Usaha Bisnis Lainnya; dan Pengaruh Reformasi Kebijakan Ekonomi dan Utang Luar Negeri terhadap Hak-hak Asasi Manusia. Secara khusus Pemerintah Indonesia dimohon segera mengundang Pelapor Khusus untuk Hak Atas Pangan agar mengunjungi wilayah proyek MIFEE di Merauke, yang sejalan dengan permohonan yang diajukan atas nama masyarakat adat di Merauke kepada Pelapor Khusus pada 9 Agustus 2011; dan mengundang Pelapor Khusus tentang situasi hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar masyarakat adat, sebagaimana diminta oleh Ketua CERD dalam suratnya kepada Pemerintah Indonesia mengenai MIFEE yang bertanggal 2 September 2011.
  • Mengindahkan tuntutan untuk menangguhkan secepatnya proyek MIFEE hingga saat hak-hak masyarakat adat telah dijamin secara nyata dalam hukum dan praktik – khususnya, hak kepemilikan mereka atas tanah, wilayah dan sumber daya tradisional mereka dan hak mereka untuk memberikan atau menunda persetujuan mereka atas dasar informasi awal tanpa paksaan terhadap pembangunan lebih lanjut yang menyertainya

[1] Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat di Merauke, Provinsi Papua, Indonesia, berdasarkan Prosedur Tindakan Segera dan Peringatan Dini dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Sidang ke-79, 8 Agustus – 2 September 2011, Diajukan oleh Sawit Watch dan Forest Peoples Programme dan 11 organisasi lainnya, 31 Juli 2011.

Surat kepada Olivier De Schutter, Pelapor Khusus PBB, Hak atas Pangan, IHCHR-UNOG, hal: Permohonan Bantuan Segera untuk Mengatasi Ancaman Nyata terhadap Hak Atas Pangan dari Masyarakat Adat di Merauke, Provinsi Papua, Indonesia, ditandatangani oleh Abetnego Tarigan, Sawit Watch dan Fergus Mackay, Forest Peoples Programme, atas nama 22 organisasi pemohon, 9 Agustus 2011. Surat kepada Ariranga Govindasamy Pillay, Ketua, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR), hal: Ratifikasi Indonesia terhadap Kovenan dan Kegagalan Menyerahkan Laporan Awal Kovenan, ditandatangani oleh Abetnego Tarigan, Sawit Watch dan Fergus Mackay, Forest Peoples Programme, atas nama 22 organisasi pemohon, 9 Agustus 2011.

[2] Surat dari Anwar Kemal, Ketua Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial kepada Bapak Dian Triansyah Djani, Duta Besar, Misi Tetap Indonesia, Jenewa, 2 September 2011, Referensi GH/ST.

[3] Lihat juga Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat di Merauke, Provinsi Papua, Indonesia. Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, Sidang ke-79, 8 Agustus – 2 September 2011, diajukan oleh 13 organisasi masyarakat sipil atas nama masyarakat adat Merauke.

 

LampiranUkuran
Submission Report to Human Rights Council-Indonesian.pdf195.63 KB