Materi Gelap - kilasan global

Down to Earth No.85 - 86, Agustus 2010

Tulisan di bawah ini disarikan dari laporan khusus Roger Moody dari Nostromo Research, untuk Mines and Community, mengenai aspek lingkungan, ekonomi dan sosial dari ketergantungan batubara global-dengan referensi khusus untuk Indonesia dan India.

Laporan lengkap terdapat di www.minesandcommunities.org/article.php?a=10299.


Batubara termal, atau uap, merupakan sekitar 70% dari hasil produksi global bahan bakar fosil. Batubara ini dibakar untuk menciptakan uap yang memutar turbin. Mayoritas tenaga listrik dunia saat ini tergantung pada pembakaran batubara termal.

Sisa batubara yang ditambang digunakan terutama untuk pemanufakturan baja dan semen. Variasi metalurgi, atau kokas, ini biasanya memiliki mutu yang lebih tinggi daripada batubara yang digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik; dan harga pasarnya mencerminkan fakta itu.

Sejak 2008, Indonesia merupakan eksportir batubara termal utama di dunia; pangsa pasarnya pada tahun 2007 diperkirakan sedikit lebih dari seperempat dari jumlah totalnya (25,5%).1

Perdagangan batubara global secara keseluruhan boleh dibilang pasti akan bertambah besar dalam jangka pendek. Demikian juga penambangan domestik di beberapa negara. Untuk jangka yang lebih panjang (2012 - 2020) prospek ekspansi dalam outputnya tergantung pada sejumlah faktor yang belum ditentukan hingga sekarang ini.

Pada bulan Mei tahun ini, Administrasi Informasi Energi AS mengatakan bahwa, "dengan asumsi bahwa tak ada perubahan kebijakan energi [global]" (kualifikasi kritis), batubara akan terus menjadi bahan bakar terbesar dalam output listrik global pada tahun 2035, menghasilkan lebih dari 30 triliun kilowatt jam. Konsumsi batubara Cina dan India, akan mencapai 85% dari peningkatan ini, sementara negara lain di dunia akan mengonsumsi sedikit lebih banyak dibandingkan tahun 2010.2

Tetapi, jika akhirnya tercapai konsensus politik global untuk memangkas emisi gas rumah kaca global ke tingkat tahun 1990 (paling minimal) maka hari-hari ketergantungan pada materi hitam itu sudah akan bisa dihitung. Substitusi batubara termal dengan gas alam cair dan apa yang disebut bahan "terbarukan" (tenaga matahari, angin, gelombang) telah terjadi, meskipun masih sangat lamban dan tak banyak memberi dampak dengan segera. Para menteri dari tiga negara yang paling rakus mengonsumsi karbon - Cina, AS dan India-menyatakan bahwa mereka bermaksud mengurangi ketergantungannya pada batubara. Tetapi hal ini belum terjadi.

Dengan bukti yang ada saat ini, diperlukan waktu paling sedikit 10 tahun lagi sebelum produksi batubara mulai berkurang. Ini adalah "dekade tenggang waktu" yang sayangnya planet bumi tidak punya waktu untuk menunggu.

 

Jenis utama batubara - dan konsekuensi menambangnya

Tingkat - atau kualitas - batubara dihitung berdasarkan sejauh mana materi berubah dari aslinya menjadi karbon seiring berjalannya waktu.

Semakin tua batubara, biasanya semakin tinggi kandungan karbonnya. Secara umum, semakin tinggi kandungan karbonnya, semakin bersih batubara itu; dan semakin banyak panas yang dihasilkan per unit materi baku yang dibakar. Antrasit - dengan kandungan karbon tertinggi - memberikan panas yang tertinggi dibandingkan jenis lainnya. Batubara Bituminus (disebut demikian karena kandungan bitumennya) biasanya lebih kotor dari antrasit, sementara batubara Sub-Bituminus lebih kotor. Yang paling rendah mutunya adalah Lignit - bahan bakar yang paling kotor (lihat Boks).

Yang penting dalam menghitung potensi kerusakan yang ada dalam berbagai tubuh batubara adalah mengetahui proporsi sulfur di dalamnya. Proporsi ini bisa sangat beragam-bahkan dalam lapisan tertentu yang tampak tersendiri. Jika tidak dijaga dari kontak dengan oksigen dan air, tumpukan stok sulfur yang tinggi dan limbah terkait akan menghasilkan asam sulfur (SO2). Ini kemudian akan melepaskan logam berat beracun ke dalam biji, atau ke dalam tanah di sekelilingnya, yang mungkin sangat beracun bagi kehidupan laut. Jika terakumulasi dan membengkak secara hayati melalui rantai makanan, racun-racun ini akan menjadi berbahaya bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Uap sulfur, yang dikeluarkan dari pembangkit tenaga listrik, jika tidak ditangkap dengan baik dalam instalasi itu sendiri, juga merupakan kontributor utama (bersama-sama dengan amonium, nitrogen dan karbon) bagi "Hujan Asam " yang telah banyak menimbulkan kerusakan pada pertumbuhan hutan.

Berlawanan dengan persepsi umum, batubara kokas yang berkualitas lebih tinggi yang diperlukan untuk pabrik batubara juga mungkin mengandung sulfur dalam jumlah yang cukup besar (2% atau lebih). Meskipun secara tradisional dibakar di dalam kilang baja Eropa, jenis batubara ini sekarang kurang diminati oleh pelanggan Eropa. Meskipun demikian, pabrik baja di Cina dilaporkan sekarang mulai menggunakan jenis yang mengandung sulfur tinggi ini dan mencampurnya dengan batubara impor yang ditujukan bagi pembangkit tenaga listrik.3

 

Dari yang paling kotor ke yang tidak terlalu kotor

LIGNIT atau batubara muda (juga dikenal sebagai Batubara Cokelat) pada dasarnya adalah batubara yang ditambang, yang paling terkontaminasi, dan berpotensi untuk mencemari. Kandungan karbonnya berkisar antara 20% dan 40%; kandungan kelengasannya (kelembapan) dapat mencapai 70% dari volumenya; dan kandungan abunya dapat meningkat hingga sebesar 20%. Lignit biasanya mengandung lebih banyak sulfur daripada jenis batubara lainnya.

Bahan bakar ini juga mudah terbakar secara spontan sehingga dapat menimbulkan bahaya mulai dari pengangkutan hingga penyimpanannya. (MM Mei 2010). Lignit yang ditambang kupas dengan ekskavator, alat penggali tanah seperti shovel dan dragline serta alat peremuk terbesar di dunia (sebagian memiliki kapasitas untuk mengeduk 12.000 ton material setiap jam) (WC 5/2010) ini adalah campuran racun potensial, termasuk merkuri, logam berat lain, isotop radioaktif dan zat partikulat.

Meskipun terdapat di banyak negara, batubara cokelat secara historis adalah bahan bakar pokok bagi industrialisasi besar-besaran di Eropa pada abad 20, terutama digunakan oleh Jerman, Polandia, Serbia, Bosnia, Bulgaria, Yunani, Romania, Italia, Hungaria, Republik Ceko, Rusia dan Turki.

Tetapi gerakan masyarakat sipil di banyak negara-negara tersebut telah memaksa diterapkannya standar kualitas udara, air dan tanah yang lebih ketat - sehingga secara signifikan mengendalikan ekstraksi lignit di Eropa.

Meskipun demikian, Cina, Thailand, Indonesia dan Pakistan memiliki kandungan lignit dalam jumlah yang signifikan, dan juga menambang sebagian dari batubara itu. Demikian juga lignit terdapat di LaTrobe Valley di Australia dan sejumlah negara bagian AS di bagian tengah-barat dan selatan (MM 5/2010).

Batubara SUB-BITUMINUS (kadang-kadang disebut "lignit hitam") adalah batubara dengan mutu yang lebih tinggi dari lignit, mengandung lebih sedikit kadar kelengasan/kelembapan (antara 25%-30%), lebih sedikit sulfur, dan secara umum (meskipun tidak selalu) digunakan untuk pembangkit tenaga listrik termal. Potensi panasnya lebih tinggi dari lignit - berkisar dari 8.300 sampai 11.500 BTU/lb (19.306 - sampai - 26.749 kJ/kg). Tetapi, seperti lignit, batubara ini juga mudah terbakar dengan sendirinya jika tidak dikemas dengan cukup padat untuk mengeluarkan aliran udara. Di Indonesia, batubara sub-bituminus diproduksi oleh KPC di tambang Pinang dan Bengalon, keduanya untuk konsumsi domestik dan luar negeri (WC 5/2009) dan diminati terutama karena kadar sulfurnya yang rendah (0,2%) (WC, ibid).

PT Adaro juga mengeruk batubara dari tambang Tutupan, karena panasnya sedang dan memiliki kandungan sulfur, debu dan NOx (nitrogen oksida) yang "ultra rendah". Batubara ini juga digunakan di Indonesia sendiri dan juga dikirim untuk pelanggan di luar negeri (Sekilas tentang Adaro : www.adaro.com/overview/30).

Demikian juga halnya dengan tambang Torong milik Banpu yang memasok batubara dengan panas yang lebih rendah, sub-bituminus, produk yang diyakini memiliki kandungan sulfur sangat rendah, dikirim ke pembangkit tenaga listrik di darat dan untuk pasar asing (WC 5/2009).

BATUBARA BITUMINUS lunak, padat, dan hitam, dengan kadar kelengasan/kelembapan kurang dari 20%, digunakan untuk pembangkit listrik, dibuat menjadi kokas, dan dalam pemanasan ruang (pada pokoknya, meniupkan udara hangat ke dalam bangunan).

Panas potensial dari produk ini berkisar antara 6,8 dan 9 kW/kG, dan memiliki kandungan sulfur dan abu yang lebih rendah daripada jenis sub-bituminus. Tetapi, batubara kokas, yang dipasok oleh Indonesia ke Jepang, memiliki kandungan abu yang cukup signifikan sebesar 8% (Asia Energy, 4/4/2010).

Batubara semacam itu itu ditambang di Indonesia di tambang Satui dan Senakin milik PT Arutmin di Kalimantan Selatan (informasi dari PT Arutmin - lihat juga Thiess, di bagian berikutnya). KPC mengalokasikan batubara dengan mutu yang lebih tinggi ini hanya untuk ekspor, dari tambang Pinang dan Bengalon (WC 5/2009).

Tambang Bontang dan Trubaindo milik Banpu di Indonesia juga menghasilkan batubara uap bituminus dengan panas medium hingga tinggi hanya untuk ekspor.

ANTRASIT (alias Batubara Keras) hitam, mengkilap dan keras. Dengan kandungan sulfur rendah dan kandungan karbon tinggi (antara 86-98%), dan kadar kelengasan/kelembapan yang biasanya lebih rendah dari 15%, batubara ini memiliki nilai panas tertinggi di antara ke empat jenis batubara (9kW/kg). Antrasit yang digunakan terutama untuk pembangkit tenaga listrik ini pangsanya di pasar dunia sangat kecil dibandingkan dengan ke tiga jenis batubara yang lain.

Catatan: MM: Mining Magazine (bulanan) WC: Majalah World Coal (bulanan)

 

 

Indonesia - memimpin ekspor

Enam negara pengekspor batubara termal terbesar adalah Indonesia, Australia, Rusia, Afrika Selatan, Kolombia dan - hingga tahun lalu - Cina.4

Secara signifikan, Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara yang mengonsumsi batubara. Konsumsi domestik batubara tahun 2009 (sebesar 30, 5 mte* setara minyak) hampir tidak lebih dari konsumsi Inggris (dengan output hanya 195 mte).5

Proporsi yang tidak seimbang antara penggunaan batubara yang merupakan produksi dalam negeri untuk melayani pembangkit tenaga listrik dan industri domestik dan menyediakannya bagi negara lain, bahkan lebih nyata di Kolombia. Negara Amerika Latin itu mengonsumsi hanya 3,1 mte tahun lalu, sementara output yang ditambang oleh negara itu 15 kali lebih besar (hampir 47 mte).6

Jadi, Indonesia dan Kolombia menyerahkan jauh lebih besar nilai domestik dari batubara mereka bagi eksploitasi asing, daripada negara lain yang banyak menghasilkan batubara.

Ini sungguh berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan (yang menghasilkan batubara, kalau digabung, berjumlah kurang dari 2 mte pada tahun 2009) yang sekarang ini merupakan negara dengan urutan ke-4 dan ke-10 yang mengonsumsi batubara terbesar di dunia.7

Terlebih lagi, menjelang akhir tahun lalu, jumlah batubara Indonesia di dalam tanah hanya berjumlah 4.328 mt. Para pesaing utama Indonesia dalam perebutan kontrak ekspor batubara memiliki cadangan yang cukup untuk dapat terus berjualan sampai tahun-tahun mendatang. Tetapi Indonesia, sekarang berada di urutan ke-19 dalam hal cadangan dan sumber dayanya-hanya 0,5% dari total global.8

Harus diingat bahwa angka cadangan batubara yang telah terbukti dan sumber daya yang diperkirakan, bisa berubah menjadi lebih banyak menyusul perluasan eksplorasi.

Tetapi, saat ini-dan terus terang saja-Indonesia menghamburkan “warisan keluarga” dengan harga, dan boleh dibilang, yang tak dapat disaingi (murahnya) oleh negara mana pun di planet bumi.

 

Di balik angka - kenyataan gamblang

Statistik sering kali tampak datar dan membosankan. Meskipun demikian, statistik dapat membeberkan cerita penting. Mengetahui berapa besar panas (BTU) yang terkandung dalam bahan baku menunjukkan berapa banyak yang harus digali untuk menghasilkan "produk" berlabel tertentu. Penghitungan kadar kelengasan/kelembapan memungkinkan bahkan orang yang "bukan ahli" sekalipun untuk memperkirakan secara kasar jumlah proses yang diperlukan untuk mengubah batubara basah menjadi kering. Demikian juga halnya, jika biji besi memiliki kandungan tinggi sulfur yang juga zat yang berbahaya, kita paling tidak mendapatkan gambaran ringkas mengenai dampak lingkungan dan kesehatan yang mungkin terjadi – sepanjang proses penambangan hingga rantai pengguna akhir – dari kegagalan memisahkan unsur-unsur ini dan mengurangi racunnya.

Bahkan jika batubara yang banyak terkontaminasi ini "dicuci" - dan dengan tidak mengabaikan banyaknya air yang digunakan, yang diperlukan agar pencucian ini efektif - tetap masih ada masalah dalam pembuangan limbah yang mengandung asam ini secara permanen.

Suatu penyelidikan belum lama ini (Mei 2010) yang dilakukan oleh penulis dan rekan-rekan warga Indonesia atas kegiatan penambangan terbuka Kaltim Prima Coal (KPC) yang sangat luas di Kalimantan Timur menghasilkan bukti bahwa, hanya dalam satu atau dua kasus perusahaan menutup limbah penambangan dengan lembaran-lembaran yang kedap air, agar terlindung dari hujan deras dan tidak mencemari aliran air di sekitarnya.

Tim memang telah mengidentifikasi beberapa kejadian bocornya limpahan racun secara langsung ke danau dalam area konsesi; dan adanya buangan yang disalurkan melalui pipa ke kolam yang, meskipun telah diproses dengan kapur untuk mengurangi keasamannya yang tinggi, kemudian dialirkan ke sungai yang digunakan oleh warga desa.

Begitu kita sadar akan metode ekstraksi dan "rasio kupasan" (berapa banyak beban berlebih, dalam bentuk batu cadas, tanah dan tumbuh-tumbuhan, yang perlu disingkirkan untuk mencapai biji besi) kita dapat menduga seperti apa kira-kira dampak tambang itu terhadap habitat manusia; kapasitas masyarakat setempat untuk terus bercocok tanam, untuk memelihara ternak, untuk membudidayakan ikan, mencari bahan pangan lainnya, atau untuk terus dapat mempertahankan beragam mata pencaharian lain.

Semua pertambangan meninggalkan apa yang disebut “tapak (ekologis)” –yang meliputi tak hanya infrastruktur tambang itu sendiri, tetapi juga banyak hal lain: rute transportasi, pelabuhan laut dan sungai, fasilitas untuk pekerja, unit-unit pembuangan kotoran dan pembangkit tenaga listrik yang dibutuhkan bagi kegiatan ektraksi itu sendiri. Biasanya instalasi-instalasi ini dapat memengaruhi ketersediaan dan penggunaan sumber daya alam yang endemik di area yang jauh lebih luas daripada yang telah diperkirakan pada awal rencana konstruksi tambang itu. Kenyataannya instalasi-insatalsi itu mungkin merebut dan merusak wilayah hingga tiga puluh kali lebih luas tambang itu sendiri.

Dari dua metode utama yang digunakan untuk mengeruk batubara, ekstraksi bawah tanah biasanya membutuhkan lebih sedikit peralatan dan infrastuktur dibandingkan dengan tambang kupas, atau tambang terbuka. Tetapi, karena risiko yang selalu ada terkait dalam hal pelepasan metana yang berpotensi menimbulkan ledakan hebat, para pekerja selalu hidup dalam bahaya.

Tambang terbuka (terdapat di Indonesia dan merupakan praktik paling umum di seluruh dunia dengan perkecualian Cina) mungkin terbukti tidak terlalu berbahaya bagi pekerja (meskipun masih tetap ada risiko cedera akibat ledakan dan penggunaan peralatan yang tidak aman). Meskipun demikian, gas metana juga akan dilepaskan, atau dipompa ke udara dari deposit yang terpapar ke udara terbuka, dengan demikian meningkatkan kontribusi gas rumah kaca yang sangat kuat ini terhadap pemanasan global.

Kegiatan Kaltim Prima Coal di permukaan tanah yang luas, yang menjadi bagian dari konsesi Sangatta dan Bengalon di Kalimantan Timur, masing-masing terentang sepanjang satu kilometer, dengan kedalaman—dari puncak hingga ke dasar—hampir sejauh jarak yang sama. Penambangan itu mengakibatkan bentang alam mirip bulan yang, jika semua rencana KPC terlaksana, akan membuat lubang yang dalam selebar 30 mil (sekitar 48 km), membentang sepanjang 100 km di utara kota Sangatta.9 Menurut salah satu aktivis lingkungan dan HAM terkemuka, Chalid Muhammad, tambang Kaltim Prima mengorbankan 12.000 hektare tiap tahun—dan jumlah ini akan meningkat kecuali jika ekspansi Bumi Resources dan Tata dari India (investor utama KPC) sekarang ini dihentikan.

Satu hal yang pasti: mengenai rehabilitasi tambang bawah tanah yang telah ditutup, banyak limbah dapat dibuang ke parit-parit yang kosong. Tetapi hal ini tak dapat terjadi kalau batubara telah dikeruk dari bukit dan lembah serta sungai-sungai dan kali di permukaan tanah sudah terlanjur rusak. Yang tersisa adalah sederetan teras-teras penggalian yang juga dikenal sebagai jenjang, yang menurun vertikal pada tebing yang sangat curam sehingga sulit memastikan stabilitasnya pada jangka panjang, sementara tanah kehilangan nutrisi yang cukup untuk regenerasi tanaman yang memadai.

Bahkan, jika hal di atas tidak terjadi, proses ekstraksi akan merampas biota penting dari tanah, dan menghalangi regenerasi air yang berkelanjutan, dalam beberapa kasus selama bertahun-tahun.

Kota Sangatta – di jantung kerajaan mini KPC – telah mengalami kerusakan pada ekonomi lokalnya—mungkin untuk selamanya –karena ketergantungannya yang berlebihan atas perampokan sumber daya yang tak terbarukan. Paling tidak sebuah tanah pertanian masyarakat telah rusak akibat banjir yang diduga keras dipicu oleh penggundulan hutan di bagian hulu yang dilakukan KPC. Selain itu, bendungan utama yang menampung tailing (pembuangan limbah) perusahaan, tempat limbah pencucian batubara, kabarnya berada dalam kondisi membahayakan.10

 

Catatan

  1. International Energy Agency, Coal Information, 2008.
  2. The US Energy Information Administration's International Energy Outlook, 2010
  3. Commodities Now, 28/6/2010
  4. World Coal magazine 5/2009
  5. BP Statistical Review of World Energy 2010
  6. BP 2010 sda
  7. BP 2010 sda
  8. BP 2010 sda
  9. Informasi dari Jatam, Samarinda, 14/5/2010.
  10. Tim kami tak dapat mengunjungi area utama pembuangan tailing KPC. Tetapi seorang karyawan perusahaan yang baru-baru ini bertanggung jawab atas pengawasan standar operasional bendungan itu mengatakan bahwa sejumlah langkah pencegahan yang mendasar belum dilakukan.

     

*Catatan: Dalam laporan ini, "mte" = million metric tonnes (juta metrik ton), sedangkan "mt" = million short tons (juta short ton).