Masyarakat adat dan Kendali Demokrasi

Down to Earth Nr 46  Agustus 2000

Hak dari puluhan juta masyarakat adat tidak mendapatkan pengakuan secukupnya dalam hukum Indonesia dan penduduk hutanlah yang paling dirugikan. Walaupun hukum adat sudah mendapat perhatian dalam Undang-undang Kehutanan 1999 dan produk hukum lainnya, hak tanah adat masih tidak diakui di wilayah hutan karena hutan digolongkan sebagai milik pemerintah.

Pada bulan Maret 1999, dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara terbentuk aliansi masyarakat adat tingkat nasional yang pertama di Indonesia. Salah satu tuntutan utama sesuai hasil konperensi adalah adalah kebutuhan pengakuan hukum adat dalam sistim hukum Indonesia.

''Hak politik masyarakat adat untuk mengatur perekonomian, masyarakat, undang-undang, dan budaya harus dipulihkan, termasuk hak kami atas tanah, sumber daya alam dan sumber kehidupan lainnya. Hal ini harus dilaksanakan melalui undang-undang baru yang khusus menangani hal ini''. (Lihat Congress's Main Demands, DTE Edisi khusus Oktober 1999)

Undang-undang Otonomi Daerah 1999 memberikan tanda-tanda yang membingungkan pada masyarakat adat. Tingkat otonomi yang masih bisa diperdebatkan diberikan kepada masyarakat adat di tingkat desa. Disini, penggunaan kata-kata yang kurang jelas bisa membuat salah pengertian. Misalnya, dalam hukum yang dibuat untuk mengubah pemerintahan tingkat desa, desa didefinisikan ''kesatuan hukum masyarakat yang secara hukum diakui dan mempunyai otoritas untuk mengendalikan dan memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat sesuai dengan asal muasal dan kebudayaannya.'' Hal ini membesarkan hati jika punya implikasi pembentukan ulang sistim pemerintahanan desa yang beragam, yang dulu pernah ada sebelum penyeragaman yang sangat merugikan pada tahun 1979. Walaupun demikian perbedaan makna yang diberikan kepada definisi hukum desa sebagai ''bagian dari sistim pemerintahan nasional" telah menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana masyarakat desa dapat menikmati otonomi dalam menyelesaikan permasalahan mereka.

 

Hal yang perlu diperhatikan masyarakat adat
  • Sudah tidak ada lagi keharusan sistim keseragaman model desa Jawa untuk seluruh Indonesia. Dimungkinkan untuk menggunakan peraturan guna menghidupkan kembali batas-batas dan identitas desa tradisional serta lembaga-lembaga pengambil keputusan.
  • Desa bisa diberi nama sesuai adat kebiasaan setempat misalnya nagari, kampung
  • Akan ada dua aspek pemerintahan desa : kepala desa/pejabat administrasi + majelis desa atau pemerintah desa yang mempunyai tugas membuat undang-undang.
  • Kepala desa akan dipilih oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh dewan desa. Ia bertanggung jawab pada masyarakat, bukan pada camat atau bupati
  • Anggota majelis desa dipilih secara langsung (tapi harus memenuhi persyaratan tertentu)
  • Peraturan desa tidak harus secara resmi disetujui oleh bupati - ia hanya perlu diberikan laporan.
  • Namun demikian majelis desa dan para kepala desa belum dipilih dan pemilihan mungkin akan ditunda --walaupun dengan demikian elemen penting bagi demokrasi lokal tidak terpenuhi sementara agenda otonomi daerah lainnya terus berjalan. Selama majelis desa belum ada maka tidak akan ada pertanggung-jawaban lokal.

 

Penerapan kembali hukum adat pada tingkat desa dibatasi karena pemerintah setempat dan hukum pedesaaan tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional -- yang tidak memasukkan atau meniadakan hak-hak adat -- dan ini berlaku pada semua tingkat pemerintahan. Secara teoritis, ini berarti bahwa bila pemerintah daerah otonomi ingin mengakui hak adat atas hutan, misalnya, maka hal ini tak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan hukum hutan nasional. Kebijaksanaan, yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mengenai bagaimana sumber daya alam harus dikelola - dengan titik berat pada aktivitas komersial berskala besar - sudah tentu akan bertentangan dengan pengakuan penuh atas hak-hak adat.

Konflik lebih lanjut akan terjadi di tempat-tempat proyek komersial yang sudah ada seperti pertambangan atau konsesi hutan, yang kontraknya harus dihormati menurut pemerintah pusat, yang berada di wilayah yang hak adat atas sumber daya diakui.

Ada juga masalah otonomi keuangan untuk tingkat desa. Menurut ekonom Anne Booth, tampaknya desa akan kehilangan dana INPRES yang selama ini mereka terima sejak tahun 1969. Mereka akan menjadi tergantung sepenuhnya pada daerah baik untuk dana rutin maupun pembangunan.

''Otonomi yang lebih besar pada tingkat daerah mungkin akan banyak mengurangi kapasitas pada tingkat desa.'' *

 

Hukum adat : Potensi Masalah

Bila masyarakat adat menggunakan otonomi desa sebagai alat untuk memberlakukan kembali hukum adat - perlu mempertimbangkan potensi masalah dalam memasukkan adat ke dalam sistim pemerintahan yang lebih luas. Sistim hukum masyarakat adat untuk warisan, kepemilikan tanah, pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam kurang dimengerti oleh pemerintah pusat dan pemerintah setempat, dan tidak sesuai dengan sistim hukum dan administrasi nasional. Di sini diperlukan sistim yang kuat untuk men-cek dan untuk menjaga keseimbangan di kalangan pemimpin tradisional guna menjamin bahwa, sebagai bagian dari sistim administrasi pemerintah, mereka tidak jadi lebih menjawab hirarki pemerintahan daripada menjawab kelompok adat yang mereka wakili.

Menurut pegiat hak-hak masyarakat adat dan direktur Program Masyarakat Hutan (kehutanan), Marcus Colchester. "satu-satunya jaminan yang sesungguhnya atas pemerataan pembangunan adalah sebuah proses pengambilan keputusan di tingkat desa yang melibatkan semua orang (khususnya wanita dan kelompok masyarakat bawah), yang dinamis, terbuka, transparan, dan adanya kebijakan yang bisa dipertanggung jawabkan pada tingkat masyarakat. Lembaga-lembaga hukum akan berkeja dengan sebaiknya jika mereka bekerja sejajar dan bukan sebagai bagian dari administrasi umum (pers com 28/mar/00).

* A. Booth, the Current regional crisis in Indonesia; were economic policies to blame?, School of Oriental and African Studies, University of London, June 2000.