Kemiskinan dan harga beras

Down to Earth No 76-77  Mei 2008

Keprihatinan mengenai keamanan pangan dunia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga beras lebih dari dua kali lipat di beberapa negara pada tahun lalu, dan stok beras dunia mencapai angka terendah dalam beberapa dekade terakhir ini. Sementara itu, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan untuk meningkatkan produksi beras dan menjaga pasokan pangan bagi masyarakat miskin.


Organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO) mengungkapkan keprihatinannya ketika harga beras melonjak ke tingkat tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir pada akhir Maret lalu, dengan tingkat harga dunia lebih dari US$500 per ton. Pada awal April harga ekspor beras Thailand melebihi US$1000 per ton. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia, termasuk sebagian besar penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta orang.

 

Mengapa harga beras begitu tinggi?

Pasokan beras di pasar dunia semakin berkurang disebabkan karena kombinasi beberapa faktor. Penyebabnya antara lain adalah kondisi cuaca yang buruk di beberapa daerah penghasil beras, penggunaan lahan pertanian untuk perumahan dan kawasan industri serta untuk memenuhi kebutuhan agrofuel yang meningkat, perubahan pilihan makanan di China, dan spekulasi harga. Vietnam yang secara tradisional adalah penghasil beras yang selalu surplus, telah mencanangkan larangan ekspor. Sementara itu Bangladesh yang, biasanya merupakan pengimpor, telah mengalami gagal panen dan kekurangan cadangan makanan.

Berbagai negara merasa khawatir jika harga beras terus naik atau tetap dalam tingkat yang tinggi maka akan membahayakan kondisi ekonomi dan politik. Makanan adalah barang pengeluaran yang paling utama bagi keluarga yang berada di garis kemiskinan.2 Jika harga makanan pokok seperti beras meningkat, masyarakat miskin tidak banyak memiliki pilihan selain mengurangi konsumsi makanan atau memilih yang lebih murah, yang berartii pengurangan gizi; atau menghemat dengan tidak menyekolahkan anak. Semua pilihan tersebut memiliki dampak yang sangat besar bagi generasi mendatang. Tingginya harga bahan makanan juga meningkatkan ketidakstabilan politik. Lebih jauh lagi, beras adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat di Asia, terutama di kepulauan Indonesia bagian barat.

Robert Zeigler, ketua lembaga penelitian beras internasional (IRRI) yang berbasis di Philipina menyatakan bahwa kunci permasalahannya adalah: kekurangan lahan. Meskipun beras bukan bahan yang digunakan untuk memproduksi etanol, penggunaan produk sereal (grain) lain untuk memproduksi agrofuel dapat mempengaruhi pasokan sereal dan meningkatkan harga. "Di Asia sejumlah lahan dialihfungsikan untuk produksi biofuel. Tentu saja banyak yang tertarik untuk mengalihfungsikan lahan subur menjadi perkebunan sawit penghasil biodiesel.1 Hal itulah yang menjadi keprihatinan kami," kata Zeigler.

Pada bulan April, presiden Bank Dunia Robert Zoellick mencanangkan apa yang disebut sebuah 'pendekatan baru untuk kebijakan pangan dunia', yang tidak hanya berfokus pada kelaparan, kekurangan gizi dan ketersediaan pangan, melainkan juga pada saling keterkaitan antara energi, hasil panen, perubahan iklim, investasi, dan peminggiran kaum perempuan.

 

Pasokan beras di Indonesia

Pada awal tahun, Indonesia menyatakan tidak akan mengimpor beras selama tahun 2008 untuk melindungi hasil panen dalam negeri. Kepala Bulog Mustofa Abubakar, mengharapkan produksi beras Indonesia akan meningkat 6% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 35 juta ton pada tahun 2008. Dirjen Tanaman Pangan Sutarto Alimuso, memperkirakan angka yang lebih rendah yaitu sekitar 33 juta ton, meskipun terjadi banjir besar pada bulan Desember 2007 dan Januari 2008 yang telah merusakkan sekitar 70.000 ha lahan padi. Tingkat konsumsi beras Indonesia berada sedikit di bawah 34 juta ton pada tahun 2007, ketika Indonesia mengimpor 1,3 juta ton, terutama dari Thailand. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan para pejabat untuk mencegah ekspor beras illegal ke Philipina dimana harga beras di negara tersebut naik sangat tajam berkaitan dengan berkurangnya pasokan beras dunia.

Ini merupakan pertama kalinya sejak pertengahan tahun 1980 an Indonesia bahkan dapat mempertimbangkan untuk mengekspor surplus beras. Produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan pola perubahan konsumsi makanan. "Menurunnya jumlah lahan, kurangnya bibit padi yang berkualitas bersamaan dengan irigasi yang buruk menjadikan produksi tetap berada pada tingkat yang rendah," demikian menurut pakar ekonomi pertanian dari IPB, Priyarsono. Selama masa pemerintahan Suharto, program-program pemerintah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan produksi beras, seperti transmigrasi dan mega proyek PLG di Kalimantan - telah gagal dan menghabiskan banyak biaya dan merusak area hutan hujan yang luas (lihat artikel mengenai warisan Suharto)

Bulog membeli antara 10 sampai 15 % produksi beras di Indonesia, sisanya dibeli oleh pedagang dalam negeri. Lembaga ini memiliki tugas untuk mengimpor beras pada saat terjadi ketidakcukupan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, supaya harga tidak melonjak terlalu tinggi. Indonesia melarang impor beras oleh swasta sejak awal tahun 2004 untuk menghindari gejolak harga beras karena penyelundupan. Bulog menyediakan pasokan beras darurat pada saat terjadi bencana dan untuk masyarakat miskin.

Ketika harga beras naik sampai Rp 500 per kilogram, pemerintah Indonesia meningkatkan jumlah subsidi beras untuk keluarga miskin dari 10 kg menjadi 15 kg per bulan pada awal tahun 2008. Harga beras tersebut hanya Rp1600 per kg akan tetapi dengan kualitas yang rendah dan jumlah beras untuk program tersebut (beras untuk rakyat miskin atauraskin) kurang dari 2 juta ton. Tingkat konsumsi beras rata-rata per tahun per orang adalah sekitar 130 kg. Dengan sekitar 15 juta penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di daerah perkotaan saja jumlah raskin yang disediakan tidak mencukupi.

 

Perubahan iklim dan kegandrungan teknologi

Pertanian di Indonesia telah sangat dipengaruhi oleh variasi curah hujan yang disebabkan oleh ENSO (El Nino-Southern Oscillation). Kemungkinan besar juga akan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim jangka panjang. Sebuah penelitian yang diadakan oleh Stanford University di Amerika menggunakan hasil dari 20 model iklim global yang disediakan oleh IPPC (xxx antar pemerintah di bidang perubahan iklim) bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi curah hujan di Indonesia pada 50 tahun mendatang di daerah penghasil beras utama Jawa dan Bali.3

Para peneliti tersebut menemukan bahwa tingkat probabilitas terjadinya keterlambatan musim hujan lebih dari 30 hari dapat meningkat dua kali lipat pada tahun 2050, dari 9-18% saat ini menjadi 40-40%. Mereka juga memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami masa kemarau yang lebih panjang dengan curah hujan yang berkurang. " Merupakan tanggung jawab komunitas peneliti untuk mengembangkan jenis padi dan berbagai praktik pertanian yang memungkinkan petani untuk tetap dapat meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan yang meningkat," kata Zeigler.

Pada masa lalu, IRRI telah mendorong penelitian untuk menghasilkan berbagai varietas padi dengan rekayasa genetika demi menjawab persoalan kekurangan pangan dan peningkatan harga. Akan tetapi rekayasa genetik bukan merupakan jawaban satu-satunya. Lebih dari itu perlu diperhatikan mengenai siapa yang mengendalikan penelitian tersebut dan untuk tujuan apa. Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang bioteknologi dapat meningkatkan ketergantungan pada varietas benih dan input produksi dengan mengorbankan rakyat miskin. Jenis padi baru yang lebih menghasilkan dapat saja diproduksi dalam sepuluh tahun mendatang akan tetapi masalah sebenarnya bukan hal yang dapat diatasi oleh teknologi. (lihat DTE 43 (Bahasa Inggeris),49 (Bahasa Indonesia),50 (Bahasa Inggeris))

 

Politik beras

Pemerintah Indonesia menghadapi tugas sulit untuk menyeimbangkan antara kebutuhan menstabilkan harga dengan kepentingan-kepentingan petani. Banyak padi lahan ba dihasilkan oleh petani di Jawa yang mengelola lahan 0,5 ha atau kurang. Petani skala kecil tersebut tidak memperoleh manfaat dari kenaikan harga beras. Posisi tawar mereka sangat rendah. Hampir semua petani tidak memiliki sarana pergudangan, sehingga mereka harus segera menjual padi mereka secepatnya setelah panen kepada pedagang setempat. Banyak juga yang menjualnya jauh sebelum masa panen (dengan sistem ijon) sehingga mereka mendapat uang tunai yang sangat mereka butuhkan.

Apabila tingkat harga pembelian dari pemerintah dijaga untuk tetap rendah agar tersedia beras murah bagi masyarakat, maka petani kecil tidak memperoleh pendapatan yang cukup dan akan terpaksa menjual sawahnya. Jika harga beras tinggi pemerintah harus membayar lebih banyak subsidi untuk beras kepada kelompok miskin atau akan terjadi kekacauan pangan. Jika Bulog tidak menjaga stok beras nasional, satu-satunya yang mendapat untung adalah para pedagang yang dapat memanipulasi harga pasar melalui cara penimbunan.

Henry Saragih, ketua Serikat Tani Indonesia, menyalahkan pemerintah atas tingginya harga bahan pangan saat ini karena terlalu lama mengabaikan sektor pertanian. "Hampir semua petani saat ini bukanlah produsen, mereka adalah buruh tani. Mereka harus membeli beras, gandum dan kacang kedelai sendiri. Sementara produk-produk pertanian terutama dijual ke kota, ketika harga naik para petani kecil ini merupakan kelompok yang paling terpukul," katanya.

Indonesia, juga beberapa negara lainnya, perlu lebih memperhatikan masalah kerawanan pangan, terutama ketika perubahan iklim menimbulkan ancaman kekeringan dan banjir yang lebih sering. Hal ini membutuhkan kebijakan yang lebih mengutamakan keragaman produksi pangan dan pertanian lestari. Tapi yang paling penting adalah adanya kebijakan ekonomi yang secara sungguh-sungguh diarahkan pada pengurangan kemiskinan dan reformasi agraria yang memprioritaskan hak sumberdaya dan lahan bagi masyarakat miskin di pedesaan, termasuk buruh tani dan masyarakat adat.

Bencana alam dapat menyebabkan meningkatnya harga

Dengan adanya bencana di Burma dan China pada bulan Mei, harga beras internasional diperkirakan akan naik lebih tinggi. Angin topan Nargis menghancurkan area persawahan di daerah Delta Irrawaddy, yang memunculkan kekhawatiran akan adanya kerawanan pangan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang di Burma sendiri maupun pengaruhnya di negara - negara Asia.

(Times Online 6/Mei/08; BBCNews 7/Mei/08)

Catatan

1 Lihat penggunaan istilah 'biofuel' and 'agrofuel' di artikel tentang EU.
2 Garis kemiskinan di Indonesia dinyatakan dengan penghasilan US$1,55/hari, sementara Bank Dunia menggunakan angka US$2/hari (keduanya menggambarkan PPP - constant Purchasing Power Parity atau paritas daya beli tetap). Lihat Heriawan & Imawan, BPS, Feb 2008, presentasi pada sebuah seminar di New York mengenai 'Mengukur Isu Sosial yang Genting' unstats.un.org/UNSD/statcom/statcom_08_events/special%20events/New_directions_social/Rusman_Heriawan_Paper.pdf
3 Hasil penelitian dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, 2 Mei 2007

(Sumber: Reuter 16/Mar/08, Indonesia rice self-sufficiency plans stumble; oryza.com/news/Asia-Pacific/Indonesia-Market/Indonesia-Optimistic-Over-Rice-Output.html, 4/Jan/08, diakses pada 30/Mar/08; 
news.indahnesia.com/item/200802220/indonesia_claims_self-sufficiency_in_rice.php 22/Feb/08 diakses pada 30/Mar/08; Jakarta Post 25/Mar/08; Philippine Daily Inquirer, 28/Mar/08;
www.bbc.co.uk/radio4/factual/foodprogramme.shtml, 30/Mar/08; Siaran persn UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs 4/Apr/08; 
www.irinnews.org/Report.aspx?ReportId=77608Antara 4/Apr/08 
www.antara.co.id/en/arc/2008/4/4/news-focus-indonesia-planning-to-export-rice/The Observer, 6/Apr/08; Siaran pers World Bank, 11/Apr/08;
web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:21726628~pagePK:64257043~piPK:437376~theSitePK:4607,00.htmlReuters 11/Apr/08; 
www.bps.go.id/papers/statpaper13.pdf;Tempo Interaktif 16/Apr/08, www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk,20080416-121350,id.html, 7/Mei/08 
www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/05/07/brk,20080507-122657,id.html; Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan 1996-2006
www.bps.go.id/releases/files/eng-kemiskinan-02jul07.pdf?Kompas 23/Apr/08 & 25/Apr/08)