Kematian wartawan membayangi peluncuran proyek pangan Papua

Siaran Pers

11 Agustus 2010 - Tewasnya seorang wartawan setempat menambah kekuatiran terkait dengan proyek raksasa perkebunan tanaman pangan yang diresmikan hari ini di Merauke oleh Menteri Pertanian Indonesia.

Tapol dan Down To Earth, - kampanye internasional untuk lingkungan hidup yang berkeadilan di Indonesia - ,  menyerukan agar dilakukan moratorium terhadap proyek pangan yang bertajuk MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) ini hingga proses penilaian mandiri akan dampak proyek terhadap faktor politik, ekonomi, sosial budaya dan gender telah tuntas dilakukan.  

Kematian wartawan Ardiansyah Matra’is yang mencurigakan pada akhir bulan Juli lalu, yang sebelumnya telah menerima sejumlah ancaman, terkait dengan liputan yang dibuatnya tentang pemilihan kepala daerah (bupati) Merauke yang berlangsung awal Agustus ini.

Selain Ardiansyah, sejumlah wartawan setempat lainnya juga menerima ancaman sejenis yang tampaknya merupakan upaya sistematis untuk membungkam kebebasan berpendapat menjelang pemilukada. Johannes Gluba-Gebze, bupati yang sedang menjabat, berperan besar dalam perencanaan dan promosi proyek pangan tersebut.

“Dampak buruk yang mungkin dari MIFEE bagi masyarakat setempat adalah besar sekali sehingga proyek ini perlu dilakukan secara transparan sepenuhnya dan bertanggung-gugat (akuntabel). Perlu ada media yang bebas bersuara untuk memastikan pengawasan yang demokratis atas proyek ini,” kata TAPOL dan Down To Earth yang terus memantau proyek tersebut.

“Ambisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk ‘memberi makan rakyat Indonesia setelah itu dunia’ bisa jadi  mengorbankan banyak rakyat Papua. Hal ini dapat menambah frustrasi yang meluas akibat kurangnya otonomi politik, sosial dan ekonomi di Papua,” tambah kedua organisasi tersebut.

Proyek ini kemungkinan akan mendorong peminggiran masyarakat adat Papua dengan mengambil tanah dan sumber daya yang mereka miliki dan merupakan sumber penghidupan mereka. Selain itu mungkin juga akan memperburuk masalah HAM yang ada selama ini dan mempercepat perusakan lingkungan dan penggundulan hutan.

TAPOL dan Down To Earth mengingatkan, “Penambahan pasukan keamanan yang kemungkinan akan terkait dengan pelaksanaan MIFEE juga akan meningkatkan ketegangan dan kerentanan masyarakat Papua, terutama karena Kopassus yang dikenal kejam juga beroperasi di kawasan tersebut.”

Latar belakang dan masalah. MIFEE adalah sebuah gabungan perkebunan komersial yang direncanakan akan mencakup wilayah seluas 1,6 juta hektare. Proyek ini dipromosikan sebagai cara untuk menstabilkan ketahanan pangan Indonesia. MIFEE mendapat dukungan pemerintah Indonesia dan Merauke telah ditetapkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus untuk menarik investasi sebesar US$8,6 milyar yang dibutuhkan proyek tersebut. Tigapuluh lebih investor dari Indonesia, Jepang, Cina, Singapura, Korea and Timur Tengah telah menyatakan minat untuk berinvestasi di MIFEE[i]. Keterlibatan mereka tampaknya merupakan bagian dari suatu kecenderungan global untuk mencari keuntungan dengan cara membeli tanah di luar negeri bagi produksi pangan.

Puluhan ribu pekerja pendatang, sebagian besar dari luar Papua, diperkirakan akan datang dan menetap di Merauke dan sekitarnya. Masyarakat adat Papua sudah pernah merasakan dampak program transmigrasi, yang pertama kali diterapkan pada masa penjajahan Belanda lalu dilanjutkan oleh rezim Suharto. Pertumbuhan penduduk, perubahan demografi penduduk dan hilangnya tanah dan sumberdaya alam akibat MIFEE dapat menimbulkan dampak merusak yang tidak dapat diperbaiki lagi terhadap penghidupan masyarakat setempat, terutama masyarakat adat Papua.  

Gelombang besar pendatang dari luar dapat membebani fasilitas layanan umum Merauke yang terbatas dan akan semakin meminggirkan masyarakat adat yang sudah menjadi minoritas di tanah sendiri. Komersialisasi tanah dan pengambilalihan tanah adat akan mengganggu penghidupan rakyat Papua dan menghambat proses alih pengetahuan, budaya dan bahasa dari satu generasi ke generasi berikutnya.  

Kearifan setempat yang masih berlangsung berupa pengetahuan akan batas-batas adat, hak atas tanah, tata guna lahan, aturan-aturan adat dan berbagai macam tabu semuanya tergantung pada adanya akses ke tanah dan penghormatan terhadap hak-hak adat atas tanah. Jika MIFEE terus dilanjutkan, masyarakat adat akan berhadapan dengan batas-batas baru dan tanaman pangan yang bukan tradisional seperti kelapa sawit, padi, tebu, jagung dan kacang kedelai.

Sejumlah LSM seperti SKP-KAM, FokerLSM, SORPATOM  dan juga AMAN telah mengungkapkan penolakan keras mereka terhadap MIFEE[ii]. Akan tetapi, kematian Ardiansyah Matra’is dan rangkaian teror yang dilancarkan kepada sejumlah wartawan setempat telah menutup ruang untuk menyampaikan kritik. Kelompok-kelompok tersebut menyampaikan keprihatinan mereka terhadap pengawasan dan intimidasi yang ditujukan kepada LSM dan para wartawan. Pada tahun 2009 LSM lingkungan Telapak dan LSM Inggris EIA (Environmental Investigation Agency) menyatakan bahwa ‘ada segerombolan orang pendukung [Johannes Gluba] Gebze beroperasi di Merauke’ dan mereka ‘bekerjasama dengan aparat keamanan untuk mengawasi dan mengintimidasi mereka yang bersikap kritis di wilayah tersebut.’

Strategi pengamanan bagi MIFEE tidak jelas, begitu juga apa akibat langsung dan tidak langsung strategi tersebut bagi masyarakat setempat tidaklah jelas. Merauke berada di dekat perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) dan sejak lama sudah merupakan daerah yang dijaga militer secara ketat. Laporan Human Rights Watch tahun 2009 memaparkan berbagai kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Kopassus, yang memiliki hubungan dekat dengan Gebze.

Di bagian lain Papua yang mengalami eksploitasi sumberdaya alam, aparat keamanan negara biasa dipekerjakan untuk melindungi aset-aset komersial. Bahkan di daerah-daerah tersebut semakin meruyak industri seks komersial dan alkohol, yang dijalankan oleh pendatang atau oleh polisi dan oknum militer sendiri. Dampak yang mungkin terhadap kesehatan penduduk juga sudah dipaparkan oleh FokerLSM, yang melaporkan bahwa Merauke merupakan daerah dengan angka kasus HIV/AIDS tertinggi setelah Mimika, tempat Freeport beroperasi.

Besarnya skala MIFEE menimbulkan keprihatinan besar terhadap kondisi lingkungan dan ekologi. Pengalihan fungsi hutan yang dilindungi menjadi kawasan pertanian juga mungkin terjadi, walaupun Menteri Kehutanan dan Menteri Koordinator Perekonomian menyatakan tidak akan terjadi konversi.

Deforestasi dengan ijin di Merauke yang meluas akan bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca hingga 26% pada tahun 2020. Kenyataan ini juga mengundang pertanyaan akan kesepakatan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) bernilai milyaran dolar dengan pemerintah Norwegia yang bertujuan untuk melindungi hutan hujan Indonesia, terutama di Papua.

SELESAI

Hubungi: Paul Barber (TAPOL) di +44 1420 80153 atau +44 7747 301 739 atau Carolyn Marr (DTE) di +44 16977 46266

 

Siaran Pers asli dalam bahasa Inggris. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Down To Earth.



[i]Medco Group; Jaringan Artha Graha Network; PT Bangun Cipta Sarana; Comexindo International; Sumber Alam Sutra; Korindo; PT Rajawali Nusantara Indonesia; Sinar Mas; PT Kertas Nusantara; Mitsubishi (Jepang); Wilmar (Singapura); LG International (Korea).  

[ii]Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung  Merauke (SKP-KAM); Forum Kerja LSM Papua  (FokerLSM); Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM); Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)