Kelompok adat menyambut terobosan deklarasi

Down to Earth No 70  August 2006

Masyarakat adat menyambut dengan hangat diterimanya Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB atau United Nations Human Rights Council yang baru dibentuk.

Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat, yang akan disampaikan kepada Majelis umum PBB untuk disetujui sebelum akhir tahun, diadopsi pada tanggal 29 Juni 2006 dengan 30 anggota mendukung, dua menolak, dan dua belas abstain. Secara luas, deklarasi tersebut dipandang sebagai perangkat penting untuk menghapuskan terjadinya pelanggaran HAM terhadap lebih dari 347 juta masyarakat adat di seluruh dunia serta memperoleh pengakuan dan perlindungan atas hak-hak mereka.

Perangkat semacam ini diperlukan sekali bagi negara seperti Indonesia, dimana masyarakat adat telah terpinggirkan selama beberapa dekade oleh pembangunan yang berjalan dari atas ke bawah (top-down), dan pola eksploitasi sumber daya yang telah berdampak menghancurkan bagi kehidupan mereka.

Victoria Corpus, pimpinan Forum Permanen PBB untuk permasalahan adat, menggambarkan penerimaan Deklarasi ini sebagai "peristiwa penting". Dalam sebuah pernyataan mengenai Kaukus Masyarakat Adat, yaitu kelompok adat yang membantu penyusunan draf deklarasi, dia mengatakan:

"Salah satu hasil paling penting bahwa semua pernyataan kami, kadang dalam bahasa kami sendiri, kami sudah berhasil mendidik masyarakat internasional tentang status, hak dan kehidupan masyarakat adat di setiap penjuru dunia...Warisan sesungguhnya dari Deklarasi merupakan jalan kami, masyarakat adat seluruh dunia, bersama-sama dengan negara, menjalani hidup di dunia ini......Ujian sebenarnya adalah bagaimana deklarasi ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat kami sehari-hari."

(Pernyataan penutup Kaukus Masyarakat Adat, 29 Juni 2006)

Deklarasi, yang menempuh perjalanan negosiasi selama sebelas tahun, memuat standar baru tentang hak-hak masyarakat adat, yaitu:

  • Hak untuk sepenuhnya menikmati, sebagai kelompok atau individu, seluruh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana yang tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan hukum internasional tentang HAM.
  • Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi.
  • Hak untuk menentukan nasib sendiri dan, didasarkan atas hak "mereka bebas menentukan, status politik mereka dan bebas meningkatkan status ekonomi, pembangunan sosial dan budaya mereka".
  • Hak atas otonomi dan mengatur sendiri masalah internal dan lokal.
  • Hal atas tanah, wilayah dan sumber daya yang secara tradisional telah mereka miliki, garap dan manfaatkan.
  • Hak untuk mendapat pemulihan kuasa atas tanah, wilayah dan sumber daya yang secara tradisional pernah mereka miliki, garap dan manfaatkan, dan yang telah dirampas atau dirusak tanpa prinsip persetujuan atas dasar tanpa informasi awal tanpa paksaan.
  • Hak untuk tidak menjadi sasaran pemaksaan asimilasi atau perusakan budaya mereka.
  • Hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan dalam hal yang akan mempengaruhi hak-hak mereka, melalui wakil yang mereka pilih sendiri menurut tata cara mereka sendiri, serta memelihara dan mengembangkan lembaga pengambilan keputusan mereka sendiri.

Deklarasi ini menyatakan bahwa masyarakat adat tidak dapat dipaksa pindah dari tanah atau wilayah mereka dan tidak akan ada relokasi tanpa prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari mereka, dan bila terjadi persetujuan akan diberikan kompensasi yang layak, jika mungkin, dengan membuka kemungkinan mereka untuk kembali. Deklarasi berisi serangkaian langkah untuk ditetapkan, termasuk kewajiban untuk:

  • Mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan sebelum mengadopsi dan mengimplementasikan hukum atau langkah administratif yang mungkin berdampak bagi mereka.
  • Mengambil langkah, bersama dengan masyarakat adat, untuk memastikan bahwa perempuan dan anak-anak adat menikmati perlindungan dan jaminan penuh terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
  • Memberi pengakuan dan perlindungan hukum kepada tanah dan sumber daya adat dengan menghargai sistem adat, tradisi dan hak atas tanah dari masyarakat adat yang bersangkutan.
  • Menjalankan konsultasi yang efektif dengan melalui prosedur yang layak dan melalui lembaga perwakilan mereka, sebelum menggunakan tanah atau wilayah mereka untuk kegiatan militer.
  • Melaksanakan konsultasi dan kerja sama dengan masyarakat adat, untuk melakukan langkah-langkah yang semestinya termasuk langkah-langkah legislatif, untuk mencapai tujuan-tujuan Deklarasi.

Dalam pernyataan-pernyataan sebelum dan setelah mengumpulkan suara, beberapa anggota Dewan 'memperjelas' posisi mereka pada bagian tertentu dari Deklarasi, yang mencerminkan kesulitan selama proses pembuatan draf yang lama. Diantara permasalahan yang paling mengemuka adalah penentuan nasib sendiri dan hak-hak kolektif. Beberapa negara, termasuk Inggris dan Jerman, melihat bahwa Deklarasi ini tidak mengikat secara hukum, dan mereka menafsirkan hak menentukan nasib sendiri sebagai sesuatu yang perlu dijalankan dalam suatu wilayah kekuasaan negara tanpa harus berakibat pada terkoyaknya integritas wilayah suatu negara. Inggris mengulangi pernyataan bahwa negara tersebut tersebut tidak menerima konsep hak-hak kolektif seperti tercantum dalam hukum internasional - sesuatu yang telah begitu lama dikritik oleh masyarakat adat dan kelompok Ornop. Wakil negara Jepang juga menyatakan bahwa negaranya tidak mengakui hak-hak kolektif.

Wakil dari Indonesia, Gusti Agung Wesaka Puja, mengatakan bahwa Indonesia mengikuti perjalanan negosiasi hampir selama 11 tahun terakhir dan mendukung diterimanya Deklarasi tersebut. Ia menambahkan bahwa Indonesia adalah negara multikultural yang tidak menerapkan diskriminasi terhadap penduduknya di daerah manapun. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tidak sependapat, dengan menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih hidup dalam kemiskinan dan mengalami pelanggaran HAM dikarenakan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka belum diakui. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan satu hari sebelum pengambilan suara Dewan, AMAN dan WALHI, mengecam tidak adanya dukungan Indonesia terhadap Deklarasi dan meminta para anggota yang berasal dari Indonesia untuk mendukung penerimaan Deklarasi tersebut. AMAN dan WALHI juga mendesak Indonesia untuk melakukan langkah politik untuk "menghormati, memenuhi dan mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat di Indonesia."

(Sumber: Pernyataan Pers AMAN &WALHI 28/Juni/2006; Pernyataan Penutup Kaukus Masyarakat Adat 29/Juni/2006; www.iwgia.org/sw248.asp; Pernyataan Pers Human Rights Council 29/Juni/2006, melalui AMAN.)

 

Indonesia dan Dewan Hak Asasi Manusia

Indonesia terpilih untuk duduk dalam Dewan Hak Asasi Manusia bersama-sama dengan anggota lainnya pada bulan Mei tahun 2006. Dewan ini menggantikan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Genewa, memiliki 47 kursi bagi 191 negara anggota PBB. Berbeda dengan Komisi HAM, Dewan HAM melakukan pertemuan sepanjang tahun dan membatasi keanggotaannya kepada negara-negara yang "taat pada standar HAM tertinggi". Indonesia merupakan salah satu dari 11 negara Asia yang secara resmi tercatat sebagai kandidat keanggotaan Dewan Hak Asasi Manusia.

Disamping Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat, Dewan juga mengadopsi Konvensi Internasional untuk Perlindungan kepada Semua Orang terhadap segala bentuk Penghilangan Secara Paksa.

Dalam pernyataannya pada sesi akhir Komisi Hak Asasi Manusia, Duta Besar Indonesia untuk PBB di Genewa, Makarim Wibisono, menyampaikan harapannya bahwa Dewan baru ini tidak akan terjebak dalam "politisasi", pilih kasih dan "standar ganda" sebagaimana yang dituduhkan kepada Komisi tersebut.

Indonesia sendiri bisa dituduh melakukan standar ganda. Tahun lalu, Indonesia menentang usulan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk membentuk Dewan ini. Disamping itu, pada tingkat internasional, Indonesia menjanjikan dukungan atas kerja Kantor Komisi Tinggi HAM (OHCHR). Akan tetapi, tahun lalu Indonesia mengatakan kepada OHCHR untuk mengakhiri misinya di Jakarta dan tidak akan memperpanjang ijin itu lagi.

Dibandingkan dengan kandidat negara Asia lainnya, Indonesia mengajukan rencana kerja paling lengkap untuk dilakukan pada tataran nasional dan internasional. Akan tetapi, Indonesia mengalami krisis kredibilitas yang serius karena sistem kekebalan hukum yang diberikan kepada aparat keamanan, khususnya pada situasi konflik bersenjata.

Amnesty International telah meluncurkan situs baru yang memuat daftar catatan HAM dari seluruh negara kandidat Dewan HAM PBB. Halaman tentang Indonesia menarik perhatian dengan adanya laporan penangkapan secara sewenang-wenang, pembunuhan yang tidak syah, penyiksaan dan perlakuan yang tidak pantas di Papua dan kenyataan bahwa lembaga pemantauan HAM independen di Indonesia dihambat dengan pembatasan ketat untuk akses ke daerah bagi wartawan asing dan pemantau HAM internasional lain, dan juga pelecehan dan intimidasi terhadap aktivis lokal.


Amnesty International menyebutkan pula:

"Anggota kepolisian telah menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam berbagai peristiwa, termasuk terhadap para demonstran dan tahanan. Pada bulan September 2005, 37 orang terluka ketika polisi melepaskan tembakan ke arah kerumunan petani yang berjumlah sekitar 700 orang di Tanak Awuk, Pulau Lombok. Mereka tengah berkumpul untuk merayakan Hari Tani Nasional dan membahas masalah pertanahan. Polisi mengatakan mereka membalas orang-orang yang menyerang polisi." (www.amnesty.org/un_hrc/indonesia.html)