Kekhawatiran mengenai REDD kian mendalam

Down to Earth No.82, September 2009

Sementara Indonesia terus mendesak maju dengan rencananya mengenai REDD, Bank Dunia dan pihak-pihak lain membuat perjanjian yang tidak dipersiapkan dengan baik mengenai pendanaan proyek di Indonesia. Bahkan Bank Dunia tampaknya tak menghiraukan kebijakannya sendiri tentang pengadaan konsultasi dengan masyarakat penghuni hutan dan perlindungan bagi kepentingan mereka.

Bank Dunia menempatkan dirinya menjadi salah satu penyandang dana utama REDD (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara-Negara Berkembang)1, melalui Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) dan Program Investasi Hutan (FIP).2

Indonesia menyerahkan Rancangan 'Proposal Perencanaan Kesiapan' (R-PP)3 kepada FCPF pada bulan Mei, yang segera mengundang badai kecaman dari organisasi masyarakat madani di dalam maupun di luar negeri serta seruan untuk menunda persetujuan atas rencana itu hingga kelemahannya yang menonjol diperbaiki. Ini mencakup:

  • Kurangnya konsultasi dengan pemangku kepentingan utama, seperti masyarakat adat, kurangnya akses akan informasi, termasuk hampir tak adanya informasi dalam bahasa Indonesia;
  • Kegagalan untuk membahas tentang kerangka kerja hukum nasional yang kurang memadai dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan kegagalan untuk mengemukakan perihal hak-hak ini dalam R-PP itu sendiri;
  • Kurangnya perhatian atas isu tata kelolanya , dan potensi korupsi dalam pelaksanaan proyek REDD, khususnya karena kurangnya kejelasan seputar status 'forest land' yang diklaim oleh negara, dan klaim peruntukan lahan yang tumpang tindih dari sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan;
  • Konsentrasi 'kepemilikan' REDD dalam departemen kehutanan, yang mengarah pada risiko bahwa legislasi yang bertentangan, mengenai perkebunan dan lahan gambut misalnya, akan terus mendorong deforestasi.4

LSM di Indonesia, Inggris, A.S. dan Norwegia juga telah menulis kepada pemerintah mereka, menyerukan perbaikan dalam proses persetujuan FCPF sebelum R-PP Indonesia diloloskan. Mereka menyoroti kekhawatiran termasuk kecenderungan untuk membuat keputusan tanpa referensi standar perlindungan Bank Dunia dan standar internasional, meskipun terdapat kebutuhan agar hal ini dijabarkan dalam Piagam FCPF. Misalnya, piagam ini mensyaratkan bahwa kegiatan itu, termasuk R-PPP

"mematuhi Kebijakan dan Prosedur Operasional Bank Dunia, mengingat kebutuhan akan partisipasi efektif Masyarakat Adat yang Tergantung pada Hutan dan Para Penghuni Hutan dalam keputusan yang dapat memengaruhi mereka, menghormati hak-hak mereka sesuai dengan undang-undang nasional dan kewajiban internasional yang dapat diterapkan." (Prinsip 3.1(d), Piagam FCPF).

Perlindungan utama Bank Dunia untuk REDD adalah OP4.10 mengenai Masyarakat Adat, OP4.36 mengenai Hutan dan OP4.12 mengenai Pemukiman Kembali Tidak dengan Suka Rela.5 Kewajiban Internasional yang Relevan termasuk Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat, juga instrumen internasional lainnya mengenai HAM dan lingkungan hidup.6

R-PP Indonesia dipertimbangkan oleh Komite Peserta FCPF 7 pada bulan Juni, tetapi keputusan untuk menerima atau tidak proposal itu ditunda hingga bulan Juli. Menerimanya berarti memberi Indonesia akses akan USD3,6 juta dalam pendanaan FCPF menuju kegiatan 'kesiapan'. Pertemuan Komite Peserta berikutnya akan berlangsung pada bulan Oktober dan LSM-LSM telah menyerukan agar setiap keputusan mengenai R-PP Indonesia ditunda paling tidak hingga berlangsungnya pertemuan itu. Mereka berargumentasi bahwa penentuan standar yang rendah bagi persetujuan akan rencana awal yang tengah dipertimbangkan (termasuk rencana Indonesia) akan memberi pertanda bagi negara lain bahwa mereka akan dapat menyerahkan Rencana Kesiapan yang di bawah standar pada masa mendatang. Tanpa perlindungan yang memadai bagi penghuni hutan, sangat kecil kemungkinannya REDD akan dapat mencapai hasil yang positif dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, karena pengingkaran akan hak diakui secara luas sebagai penyebab utama deforestasi itu sendiri.8

Peraturan mengenai REDD

Menteri Kehutanan Indonesia kini telah mengeluarkan paling tidak tiga peraturan terkait dengan REDD. Peraturan Menteri Kehutanan No. 68 tahun 2008 mengenai proyek percontohan REDD, peraturan utama mengenai REDD, No. 30, 1 Mei 2009 dan peraturan nomor 36, 22 Mei 2009,9 mengenai peraturan pembagian pendapatan untuk REDD (lihat boks, halaman selanjutnya).10 Peraturan No.30 dikeluarkan meskipun terdapat permintaan dari Komite PBB mengenai Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) untuk mengubahnya agar dapat mengakomodasi hak-hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengendalikan kawasan tradisional mereka.11

Semua peraturan itu didasarkan atas UU Kehutanan Indonesia tahun 1999, yang gagal mengakui kepemilikan adat atas hutan dalam 'zona hutan negara', suatu areal yang mencakup hingga sekitar 70% total areal lahan di Indonesia.12

Alih-alih, peraturan mengenai REDD dimaksudkan untuk memastikan bahwa pemerintah pusat tetap secara kuat mengendalikan pengaturan untuk REDD serta pendapatan yang diperoleh dari REDD.

 

Pembagian pendapatan bagi proyek karbon hutan di Indonesia (Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/2009)

No

Pemegang Izin/Pengembang – jenis hutan

Pemerintah

Masyarakat

Pengembang

1

IUPHHK-HA

(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam)

20%

20%

60%

2

IUPHHK-HT

(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman)

20%

20%

60%

3

IUPHHK-RE

(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Restorasi Ekosistem dalam hutan alam)

20%

20%

60%

4

IUPHHK-HTR (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat)

20%

50%

30%

5

Hutan Rakyat

10%

70%

20%

6

Hutan Kemasyarakatan

20%

50%

30%

7

Hutan Adat

10%

70%

20%

8

Hutan Desa

20%

50%

30%

9

KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)

30%

20%

50%

10

KHDTK (Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus)

50%

20%

30%

11

Hutan Lindung

50%

20%

30%

Sumber: diambil dari http://news.mongabay.com/2009/0713-redd_indonesia.html

Catatan: peraturan tambahan mengenai hutan adat belum disetujui. Rancangan peraturannya baru-baru ini dikecam oleh AMAN karena tidak memberikan solusi atas konflik yang ada saat ini atas hutan.13

 

Proyek Australia bersiap-siap untuk perdagangan karbon

Australia turut menyumbang dana untuk FCPF14, tetapi juga telah membuat kesepakatan bilateral dengan Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah:

    Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia yang ditandatangani pada tanggal 13 Juni 2008, untuk membangun dan meresmikan kerja sama praktis jangka panjang yang telah ada antara Indonesia dan Australia mengenai REDD. Kerja sama ini mencakup $30 juta untuk Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan serta paket dukungan bilateral senilai $10 juta untuk Indonesia bagi hutan dan iklim (lihat juga di bawah ini). Tiga bidang utama telah diidentifikasi: dialog kebijakan strategis mengenai perubahan iklim; peningkatan kapasitas Indonesia dalam penghitungan karbon; dan identifikasi serta implementasi kegiatan percontohan REDD yang berdasarkan insentif.
  • Peta Langkah bagi Akses akan Pasar Karbon Internasional disepakati pada bulan November 2008. Ini merupakan "strategi bertahap yang membantu Indonesia mengembangkan prasyarat teknis, sistem dan keuangan yang diperlukan bagi partisipasi dalam pasar karbon internasional di masa mendatang bagi REDD."
  • Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (KFCP)digambarkan sebagai kegiatan percontohan REDD yang pertama dan berskala besar di Indonesia. Tujuannya adalah untuk "menunjukkan pendekatan yang terpercaya, adil dan efektif bagi REDD, termasuk pengurangan emisi dari degradasi lahan gambut, yang dapat menginformasikan kesepakatan perubahan iklim pasca 2012 .... mencoba pendekatan yang inovatif, berorientasi pada pasar bagi pembiayaan dan pelaksanaan langkah-langkah untuk REDD." Fokus awalnya tertuju pada areal lebih dari 100.000 hektar hutan lahan gambut yang telah terdegradasi di Kapuas, Kalimantan Tengah. Tujuan awalnya adalah untuk melindungi 50.000 hektar hutan rawa gambut, dan selanjutnya untuk merehabilitasi 50.000 hektar lahan gambut yang telah terdegradasi untuk menciptakan penyangga di sekeliling hutan yang ada. Target keseluruhannya adalah untuk melestarikan hingga 70.000 hektar hutan rawa gambut dan untuk kembali mengairi, merehablitasi dan mereboisasi 200.000 hektar lahan gambut yang telah terdegradasi.
  • Kegiatan percontohan REDD yang kedua, yang telah disetujui oleh Australia dan Indonesia untuk dikembangkan pada bulan November tahun lalu. Kegiatan percontohan kedua ini bermaksud untuk menguji aspek-aspek yang berbeda dari REDD pada lokasi dan jenis hutan yang berbeda dari proyek percontohan pertama di Kalimantan.
  • Paket dukungan bilateral bagi Indonesia untuk hutan dan iklim, untuk "membantu Indonesia mengembangkan Sistem Informasi Sumber Daya Hutan Nasional dan Sistem Penghitungan Karbon Nasional, untuk mendukung pengembangan kerangka kerja kebijakan serta strategi nasional untuk REDD, dan agar dapat memantau, mengelola dan mencegah kebakaran hutan berskala besar di Indonesia dengan lebih baik."15

Seperti yang jelas dinyatakan dalam uraian tersebut, kesepakatan ini sangat berorientasi pada perdagangan karbon. Menurut REDD, ini berarti kredit karbon yang diperoleh dengan mengurangi emisi di hutan dapat dijual di pasar internasional dan dibeli oleh perusahaan yang ingin melakukan ofset bagi emisi mereka sendiri. Pemerintah Australia berargumen bahwa "(meskipun) pembiayaan dari negara maju akan memainkan peran, pada akhirnya pasar karbon merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat memobilisasi investasi pada skala yang diperlukan untuk mendukung dan menyediakan insentif bagi REDD."16

Tetapi, argumen yang menentang tindakan ofset itu meyakinkan: pengurangan emisi perlu dilakukan di negara maju juga di negara berkembang, jika kita ingin memiliki banyak peluang untuk menghindari tingkat yang membahayakan dari pemanasan global.17 Perdagangan karbon telah ditolak oleh banyak organisasi masyarakat madani, termasuk oleh jaringan Climate Justice Now! dan Friends of the Earth International, serta Pertemuan Tingkat Tinggi Global Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim, yang diselenggarakan di Anchorage pada bulan April tahun ini.18

Kesepakatan Australia-Indonesia juga kurang memiliki komitmen untuk melindungi hak dan penghidupan penghuni hutan, dengan hanya menawarkan, seperti yang tertuang dalam KFCP misalnya, tujuan untuk "meningkatkan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan..." Lembar fakta KFCP menyatakan bahwa proyek tersebut "menjalin kerja sama yang erat bersama masyarakat setempat" dan berhubungan dengan inisiatif yang ada serta badan internasional yang bekerja di kawasan itu.

Dokumen awal 'pelajaran yang dapat dipetik' diserahkan oleh Indonesia dan Australia untuk pertemuan UNFCCC di Poznan pada bulan Desember 2008. Hal ini menunjukkan bahwa proyek berpegang erat pada apa yang telah digariskan oleh departemen kehutanan mengenai kendali atas hutan di Indonesia. Dokumen itu menyimpulkan bahwa pemerintah nasional dari negara yang menjadi tuan rumah REDD harus diajak berkonsultasi dan menyetujui lokasi kegiatan percontohan, tetapi pemerintah setempat dan masyarakat setempat hanya perlu diajak berkonsultasi saja. Juga disebutkan bahwa "hak legal yang sejati dan dapat ditegakkan atas karbon hutan merupakan hal yang fundamental bagi berhasilnya kegiatan percontohan REDD", tetapi lalu dikatakan bahwa KFCP tengah melakukan pendekatan akan isu ini dalam konteks undang-undang kehutanan Indonesia.19 Karena undang-undang ini gagal melindungi hak masyarakat adat, seperti yang telah berulang kali dinyatakan oleh AMAN dan sekarang ditegaskan oleh CERD, dalam kenyataannya, pendanaan Australia bagi REDD berarti dukungan bagi berlanjutnya rezim pengelolaan hutan yang tidak adil yang telah secara sistematis meminggirkan masyarakat hutan dan melanggar hak-hak mereka akan tanah dan sumber daya.

Di atas itu semua, kerja sama dengan sektor swasta tengah didorong dalam proyek ini. Misalnya, kesepakatan KFCP menyebutkan perusahaan tambang terbesar di dunia BHP-Billiton, sebagai salah satu anggota pendiri kesepakatan itu - meskipun fakta ini tak disebutkan dalam dokumen KFCP yang lain. Kesepakatan itu tak menyebutkan berapa banyak yang telah disediakan oleh BHP dari target sebesar $100 juta itu, tetapi hanya mengatakan bahwa kontribusinya akan berfokus pada kegiatan "yang bertujuan untuk menghindari deforestasi lebih lanjut dari daerah dengan nilai konservasi yang tinggi di Jantung Kalimantan yang merupakan bagian dari Indonesia."20 Perusahaan yang telah beroperasi di Kalimantan itu, banyak dikecam karena terus melakukan penambangan batu baraâ€"bahan bakar fosil terkotor dalam hal emisi gas rumah kaca.21

 

Masyarakat Kalimantan Tengah tak menginginkan REDD

Suatu pernyataan yang dibuat untuk perundingan UNFCCC di Bonn pada bulan Juni tahun ini menegaskan bahwa REDD dianggap sebagai ancaman bagi penghidupan dan sumber daya lokal di Kalimantan Tengah, ketimbang sebagai alat untuk melindungi hutan rawa gambut.

Dalam pesannya yang ditulis dengan kata-kata yang keras, Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG) menyerukan agar UNFCCC menghentikan negosiasi perubahan iklim yang mendandani proyek eksploitasi sumber daya sebagai konservasi dan yang memaksa negara seperti Indonesia menjadi semacam "kolonialisme konservasi."

ARPAG, yang mengaku memiliki 7.000 anggota dari masyarakat petani, nelayan dan masyarakat adat di 52 desa di Kalimantan Tengah, mengacu pada Undang-Undang Dasar Indonesia dan Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat sebagai dasar bagi hak masyarakat lokal untuk mengelola lahan gambut yang mereka miliki secara adat.

Kelompok itu telah menanami kembali pohon-pohon rawa gambut, merehabilitasi kebun tanaman rotan dan karet mereka, rerumputan, kolam ikan tradisional dan sawah, serta menjaga 200.000 hektar hutan adat. Mereka juga mendirikan 'sekolah gambut' dan telah mengadakan dialog dengan pemerintah daerah dan pusat serta jaringan LSM.

ARPAG menentang pembangunan 377.000 hektar taman nasional di kawasan itu karena ini akan mengancam akses masyarakat akan sumber daya penghidupan. Aliansi ini juga menentang perkebunan kelapa sawit seluas 360.000 hektar yang, kata ARPAG, akan menghancurkan ekosistem gambut untuk memasok minyak sawit bagi negara-negara maju bagi produk pangan dan bahan bakar agro.22

 

 

 

Situs web baru REDD Indonesia

Situs web baru, www.redd-indonesia.org, yang dikelola bersama oleh CIFOR, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI), telah diluncurkan untuk memberikan kontribusi bagi diskusi nasional yang berkembang mengenai REDD.

 

 

 

Catatan

1 Lihat DTE 79, DTE 80-81 dan DTE 80-81 untuk lebih banyak latar belakang mengenai REDD dan rencana REDD di Indonesia.
2 Lihat FIP dan FCPF, Fern serta DTE 76-77 untuk latar belakang.
3 Versi bulan Mei 2009 sebelumnya tersedia secara online di www.forestcarbonpartnership.org/fcp/Node/180
4 Keprihatinan ini dinyatakan antara lain dalam surat dari HuMa untuk FCPF, 15 Juni 2009; dari Sawit Watch dan AMAN untuk Menteri Kehutanan MS Kaban, 15 Mei 2009; dari Rainforest Foundation Norwegia untuk FCPF, 14 Juli 2009, dari Rainforest Foundation Inggris untuk pemerintah Inggris, 16 Juli 2009.
5 Informasi lebih lanjut terdapat di Forest Peoples Programme website dan Bank Information Center
6 Safeguarding rights in the FCPC, Presentasi oleh Marcus Colchester, Forest Peoples Programme, Rights & Resources Initiative and Chatham House Dialogue on Forests, Governance & Climate Change, London, 8/Jul/09
7 Untuk melihat daftar peserta FCPF klik di sini. Indonesia ada dalam daftar negara peserta REDD.
8 Surat FPP, RFN dan RFUK seperti di atas dan surat Bank Information Center untuk Senator Leahy 13/Jul/09.
9 Versi dalam bahasa Inggris dan Indonesia tersedia di aseanforest-chm.org/document_center/knowledge_networks/arkn_fcc/redd_documents/indonesian_minister_of_forestry_regulation_on_redd_permenhut_p_30_menhut_ii_2009.html
10 Peraturan ini dapat dilihat dalam bahasa Indonesia di www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5428.
11 Lihat DTE 80-81
12 Lihat DTE 79, dan laporan khusus DTE Forests, People & Rights, 2002.
13 Lihat DTE 80-81
14 Australia telah menyediakan AUD 11,7 juta bagi FCPF dan menyumbang AUD 10 juta bagi Program Investasi Hutan, lihat www.climatechange.gov.au/international/publications/fs-ifci.html diakses 22/Jul/09.
15 Lihat www.climatechange.gov.au/international/publications/fs-ifci.html
16 www.climatechange.gov.au/international/publications/fs-ifci.html, diakses 24/Jul/09
17 Lihat DTE 80-81, dan publikasi Friends of the Earth, A Dangerous Distraction, Juni 2009.
18 Lihat DTE 80-81, Deklarasi Anchorage dapat diakses di www.tebtebba.org
19 Lihat www.climatechange.gov.au/international/publications/pubs/a_redd.pdf
20 Lihat www.climatechange.gov.au/international/publications/pubs/kalimantan.pdf
21 Australia meluncurkan Lembaga Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Global pada bulan April tahun ini - anggota pendiri termasuk pemerintah Australia, Indonesia, Inggris dan UE juga perusahaan tambang BHP Billiton dan Rio Tinto. Banyak LSM yang skeptis bahwa penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) dapat terus berjalan serta menganggapnya sebagai jalan keluar bagi pemerintah yang ingin menghindari mengutak-atik perusahaan pembangkit energi bertenaga batu bara. Lihat Global Institute website and DTE 80-81.
22 ARPAG: Menyelematkan Ruang Hidup Rakyat dan Ekologi Gambut, melalui situs web Sarekat Hijau. Lihat juga www.petakdanum.blogspot.com/ and www.sekolahgambut.blogspot.com/.