Kekerasan Perhutani di Blora dan Banten

Down to Earth No 55  November 2002

Peristiwa-peristiwa yang diuraikan di bawah ini menunjukkan bahwa perusahaan hutan milik negara, Perhutani, tetap merupakan perusahaan seperti pada masa Suharto, yang menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam menghadapi perlawanan dari masyarakat terhadap rencana-rencana mereka. Tindakan itu merusak upaya-upaya perusahaan untuk menampilkan diri kepada pembeli asing sebagai produser yang maju secara sosial dan lingkungan.

Sebelumnya Perhutani telah menghadapi kesulitan untuk mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan oleh organisasi eko-labelling, The Forest Stewardship Council (FSC). Pada bulan Agustus 2001, Smartwood, pemberi sertifikat yang dikeluarkan FSC, menunda pemberian sertifikat kayu dari empat perkebunan Perhutani di Jawa (Untuk latar belakang, lihat DTE 51). Tahun ini, LSM kehutanan Indonesia, LATIN, menarik diri dari hubungan mereka dengan Smartwood berkaitan dengan persoalan sertifikasi terhadap unit-unit Perhutani. Oleh karena itu, kekerasan dan perusakan di Blora dan Banten sama sekali tidak memberikan sumbangan bagi perbaikan citra Perhutani.

 

Penyiksaan sampai mati di Blora

Seorang pria berusia 40 tahun tewas setelah disiksa oleh petugas Perhutani. Menurut laporan media setempat yang disebarkan oleh LSM ARuPA, Wiji, yang berasal dari desa Jomblang, (Kecamatan Jepon, Jawa Tengah) ditangkap pada bulan Oktober oleh staf Perhutani saat dalam perjalanan pulang setelah membeli kayu dari Payaman, sebuah desa yang terletak di tanah hutan di kecamatan Jiken. Setelah disiksa oleh petugas Perhutani KPH Cepu selama tiga jam, Wiji akhirnya jatuh koma dan mengeluarkan darah dari kupingnya. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal beberapa hari kemudian. Keluarganya menuntut kompensasi untuk biaya perawatan dan rumah sakit serta kerugian lainnya, dan menuntut pula agar orang yang bertanggungjawab dipecat.

Sebagai tanggapan, Perkumpulan Kepala Desa Kabupaten Blora mengeluarkan daftar tuntutan, termasuk penyelesaian segera kekerasan dan penyiksaan terhadap penduduk Blora; hukuman kepada orang yang bertanggungjawab; perubahan manajemen hutan di Blora dengan tujuan memberikan keuntungan bagi penduduk desa yang tergantung pada hutan, dan pembentukan kelompok kerja untuk memonitor tindakan-tindakan yang dilakukan Perhutani dalam menangani konflik perhutanan. (Sumber: Radar Bojonegoro 14/Oct/02; ARuPA 20/Oct/02 dan lainnya).

 

Banten: petani masih terus jadi korban

Staf Perhutani telah melakukan penangkapan dan pembakaran rumah-rumah di desa Cibaliung, Banten, dalam upaya mereka mengusir para petani dari lahan yang diklaim perusahaan

Dalam serangkaian peristiwa pada bulan September dan Oktober 2002, orang-orang Perhutani membakar dan merusak sedikitnya 56 rumah, merusak tanaman dan membakar ruang pertemuan desa yang digunakan oleh petani. Orang-orang tersebut juga melontarkan ancaman kepada petani dan keluarga mereka yang menolak untuk menghentikan menanam di atas lahan tersebut.

Pada akhir bulan Oktober, dua petani Cibaliung ditangkap. Salah seorang di antara mereka, Roji (45), ditangkap oleh staf Perhutani dan Polisi, yang menembakkan ke udara saat para petani mencoba mencari tahu kenapa ia ditangkap. Tahanan kedua, Durahman (85), juga ditangkap polisi. Sebelumnya Roji diberitahu oleh para staf Perhutani supaya ia menanam pohon jati di atas lahan yang ingin dijadikannya sebagai lahan pertanian.

Pembakaran, penangkapan dan ancaman-ancaman adalah kelanjutan dari aksi kekerasan dan intimidasi oleh Perhutani terhadap para petani Cibaliung. Akhir November lalu, 47 petani dikepung dalam serangan subuh di desa mereka. Beberapa diantara mereka diborgol dan dipukuli selama penyerangan tersebut, yang melibatkan anggota Brimob dan militer bersenjata. Saat di tahanan, rumah dan harta benda mereka dibakar. Para petani ditangkap karena sebelumnya mereka telah menduduki kembali lahan mereka, yang telah diambil alih oleh Perhutani pada tahun 1980. (Untuk keterangan lebih lanjut, lihat DTE 52)

Dari kesembilan petani, kecuali satu orang, adalah anggota Serikat Petani Banten. Mereka semua masih dalam tahanan. Mereka dituduh atas dasar pencurian kayu dan perusakan hutan di bawah Undang-Undang Kehutanan 1999 dan pada bulan Mei tahun ini, mereka dihukum antara satu tahun dan satu tahun sepuluh bulan. Anggota serikat lainnya, Dasa (54), ditangkap pada bulan Juni 2002.

Konflik tanah di Banten adalah satu dari dua kasus yang diselidiki pada bulan April tahun ini oleh tim pencari fakta internasional dari kelompok HAM dan gerakan petani dari 6 negara (Jerman, Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand dan Timor-Timur) dan anggota-anggota organisasi petani lainnya dari berbagai propinsi di Indonesia. Misi ini dilakukan sebagai bagian dari Kampanye Global untuk Reforma Agraria, yang diluncurkan oleh FIAN International dan La Via Campesina.

Pada bulan Februari, dua organisasi mengeluarkan seruan kepada para warganegara yang peduli untuk menulis surat kepada Presiden Megawati, mendesaknya untuk menyelidiki persoalan tersebut dan menjamin bahwa tanah dikembalikan kepada petani penggarap.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: fian@fian.orgwww.fian.org atau viacam@gbm.hn

(Sumber: SP-Banten, 4 Juli/02 & 29/Okt/02; Via Campesina/FIAN Hotline 0204HIDO 22/Feb/02)