Kam-kam Relokasi: laporan dari Aceh

Down to Earth Nr 64  Maret 2005

Tulisan ini dikompilasi oleh staf DTE pada awal Februari

Kira-kira dua minggu setelah gempa, ada keprihatinan serius tentang kondisi yang menyedihkan dari ratusan ribu orang yang kehilangan rumah akibat gempa tsunami. Mereka tinggal di bawah terpal atau tenda-tenda dalam situasi yang hiruk-pikuk, yang semakin buruk ketika hujan lebat. Kekhawatiran terhadap epidemik tifes, kolera, dan penyakit-penyakit lain mendorong pemerintah mengambil langkah darurat untuk mengadakan 'akomodasi sementara'. Mereka mengidentifikasi beberapa tempat untuk itu dan meminta perusahaan-perusahaan swasta membangun barak-barak dari kayu yang bisa digunakan selama 1-2 tahun sementara akomodasi permanen dibangun. Rencana itu berlangsung begitu cepat tanpa adanya konsultasi dan diumumkan hanya 4 minggu sebelum fase pertama relokasi selesai.

rencana itu berubah terus-menerus dan banyak aspek yang masih belum jelas. Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab untuk mengembangkan program ini dan Departemen Sosial bertanggung jawab dalam mendaftar orang, memindahkan mereka dan membantu mereka. Perencanaan kedua departemen itu tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga Rinciannya tergantung pada siapa yang bicara. Semua keputusan penting dibuat di Jakarta oleh Badan Koordinasi Bencana Nasional (Bakornas), bukan oleh Satkorlak (Satuan Koordinator Pelaksana), badan tingkat lokal di Aceh. Hubungan antara kedua badan ini dan polisi dan pemerintah ditingkat provinsi merupakan hal penting untuk diawasi, terutama jika Aceh tetap dalam status darurat sipil. Keputusan mengenai rehabilitasi dan perbaikan kembali Aceh adalah, paling tidak sebagian, diambil berdasarkan tarik-menarik berbagai kekuatan politik di Jakarta �" terutama antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Kalla (lihat box, artikel terpisah). 'Keamanan' di Aceh merupakan isu utama bagi pemerintah.

Program relokasi pengungsi itu bercirikan:

  • Skala besar
  • Top-down
  • Akomodasi sangat dasar yang distandarisasikan
  • Tidak pas secara kultur
  • Mengganggu/mengacaukan secara sosial
  • Tidak mempertimbangkan aspek lingkungan
  • Sangat tergesa-gesa

Program itu menunjukkan banyak elemen yang sama dengan program transmigrasi tahun 1980-an. LSM di Aceh dan Jakarta menduga bahwa seluruh program didisain untuk mengontrol rakyat Aceh secara lebih ketat. Secara teoritis, pilihan untuk orang-orang yang tidak punya tempat tinggal ini adalah:

  • Pindah ke 'pusat relokasi' (barak);
  • Tinggal di rumah tetangga, saudara atau teman;
  • Kembali ke lokasi asal dan memperbaiki atau membangun kembali rumah mereka
  • Pindah ke lokasi baru (disediakan oleh pemerintah?) dan membangun rumah baru.

Rakyat tidak diberi informasi yang cukup mengenai pilihan-pilihan yang ada sehingga tidak bisa menentukan pilihan. Rencana pemerintah sangat condong kearah 'pusat relokasi'. Pemerintah mengatakan bahwa relokasi ke barak-barak pengungsian itu bersifat sukarela. Akan tetapi, banyak pejabat pemerintah membuat pernyataan publik bahwa mengijinkan orang kembali ke tempat tinggal semula itu tidak praktis atau tidak diinginkan. Tingkat kehancuran di kota Banda Aceh dan sepanjang pesisir barat yang seperti itu maka memindahkan mereka ke tempat yang benar-benar baru jelas merupakan pilihan yang paling murah bagi pemerintah daripada membersihkan dan membangun kembali komunitas mereka.

Dari 400.000 jumlah resmi mereka yang tidak punya tempat tinggal, hampir 200.000 berada di 'kam'. Ini termasuk bangunan-bangunan umum seperti sekolah dan kantor-kantor pemerintah; masjid; terpal perlindungan; tenda-tenda besar militer dan tenda-tenda yang lebih kecil. 200.000 lebih tinggal di rumah teman, saudara atau tetangga. Mungkin ada paling tidak 20.000 orang yang tidak punya tempat di Medan dan sekitarnya, tetapi orang-orang ini tidak termasuk dalam rencana yang sekarang dibuat. Jumlah pengungsi di Sumatra Utara tidak jelas ketika tulisan ini dibuat. Gubernur Sumatra Utara mengatakan bahwa semua orang ini akan dikembalikan ke Aceh, tapi tidak ada rencana resmi mengenai bagaimana dan kapan ini akan dilakukan.

Semua tempat penampungan orang-orang yang tidak punya tempat tinggal di Banda Aceh sudah dipetakan dan diberi kode oleh UNDP, yang sekarang mengerjakan pemetaan tempat di kabupaten Aceh Besar. Banyak, walau tidak semua, tempat kemana pengungsi lain melarikan diri juga diketahui oleh pemerintah dan badan-badan bantuan. Bagaimanapun juga, banyak kelompok masih berpindah-pindah dan ada sejumlah tempat 'spontan' di 55 kecamatan.


Pendaftaran

Pendaftaran untuk pusat relokasi dimulai minggu lalu. Pemerintah memulai dengan mengeluarkan formulir untuk orang-orang yang menghuni kam. Tidak diketahui apakah pemerintah menginformasikan pilihan-pilihan lain kepada mereka sebelum mereka mendaftar untuk relokasi. Ada resiko bahwa orang akan menjadi bingung tentang tujuan formulir itu karena banyak dari mereka masih mengalami 'kelelahan ditanyai' karena mereka disurvei berkali-kali oleh organisasi yang berbeda-beda.

Formulir yang sama mungkin juga digunakan untuk mendata orang-orang yang tinggal di rumah-rumah lain, tetapi berbagai organisasi pemerintah rupanya belum mempertimbangkan pemikiran ini hati-hati. Banyak dari mereka ini dilaporkan kepada pemerintah lokal sebagai penghuni sementara. Bagaimanapun juga, beberapa hal belum dan akan sulit dilacak. Ada kemungkinan mereka tidak terlihat oleh pemerintah, terutama bila mereka kehilangan kartu identitas dan surat-surat resmi mereka ketika bencana. Ini berarti bahwa mereka tidak akan mendapatkan bantuan sosial, dalam hal ini bayaran bulanan atau tunjangan-tunjangan lainnya. Rencana fase pertama adalah memindahkan 55.000 orang (14.000 keluarga) di Aceh ke 28 tempat pada 15 Februari 2005. 150.000 orang sisanya di kam-kam di Aceh dipindahkan ke barak-barak pada tanggal 15 Maret (fase kedua). Berbagai organisasi internasional mencoba melibatkan diri dengan pemerintah untuk memodifikasi rencana ini (terutama dengan mempertimbangkan kepentingan perempuan dan anak-anak), tetapi pemerintah masih berada di minggu dimana rencana meningkatkan jumlah tempat dan orang yang direlokasi dalam jadwal yang sama. Akan ada lebih dari 30 tempat dengan kapasitas total 62.000 orang (karena jumlah orang yang tidak punya tempat tinggal lebih ini lebih dari yang dipikirkan pemerintah) dalam fase awal dan total mungkin lebih dari 50 tempat.

Banyak tempat yang dianggap tidak sesuai setelah peninjauan yang dilakukan oleh badan-badan PBB. Jadi mesti memliliki tempat pengganti. Beberapa dari tempat itu berada di tanah 'publik' seperti lapangan sepak bola kamung, tepi sungai. Yang lain berada di tanah perorangan. Beberapa mungkin ada di tanah 'negara'. Beberapa dari tempat ini merupakan daerah banjir, tetapi diharapkan bisa menampung beberapa ribu orang dalam 2-3 minggu. Departemen Pekerjaan Umum memperkirakan perlu waktu 10 hari untuk membangun setiap barak. Ini semua menuntut pasokan air dan sanitasi, disamping konstruksi bangunan dan pemindahan orang. Konstruksi barak berada diluar jadwal.

Sektor swasta terlibat bahkan sejak awal fase rekonstruksi di Aceh. Para kontraktor membangun barak-barak dan perusahaan-perusahaan lokal sekarang diminta untuk mempercepat proses itu. Perusahaan-perusahaan ini deseleksi secara langsung (kerangka waktu membuat sulitnya tender terbuka). Mentri mendesak perusahaan-perusahaan itu untuk merencanakan pembuatan barak-barak itu secara cepat dan dengan standar tinggi, "karena mata dan telinga dunia akan tertuju pada kita". Perkiraan biaya perkeluarga/unit adalah US$ 1.000 Standar barak yang direncanakan adalah: 11m x 40m, dibuat dari kayu dengan lantai semen dan atap seng. Tiap barak dibagi menjadi 3m X 4m. Tujuan semula adalah 'satu keluarga setiap ruangan", tetapi diuabah menjadi 4m x 5m untuk keluarga yang lebih besar. Jadi sekarang ada dua standar. Tiap barak akan menampung 20 keluarga, yang memungkinkan 100 orang tinggal. Pada rencana semula, makan, tidur dan sembahyang dilakukan oleh seluruh keluarga di satu ruang. Area luar dibawah barak dibuat untuk memasak dan ada dua tolilet atau kamar mandi untuk setiap barak. Rencana yang sudah dimodifikasi memperlihatkan tempat memasak dan mencuci, dengan panggung tertutup untuk sembahyang dan pertemuan. Jarak antar barak sangat dekat, tapi keadaan sebenarnya sebelum ditinjau oleh PBB bahkan lebih buruk. Perwakilan PBB mengklaim bahwa 'pusat relokasi' sekarang sekarang sesuai dengan standar internasional.

Pengelolaan barak-barak yang baru ini memunculkan isu juga sebagaimana pembangunannya. Tidak diketahui seberapa besar kebebasan bergerak keluar masuk kam. Kam-kam itu tidak akan dikelilingi oleh kawat berduri, tapi ada patroli ketertiban keamanan yang barangkali untuk mencegah kontak dengan GAM.


Perumahan Permanen

Rencana pembuatan perumahan permanen sama mengkhawatirkannya. Rencana untuk percontohan 1000 rumah sudah disusun dengan baik. Banyak orang yang kehilangan tempat tinggal percaya bahwa pemerintah akan menyediakan rumah baru dan permanen bagi mereka �" sama dengan rumah mereka sebelumnya, atau lebih baik. Faktanya, hal ini sangat tidak memungkinkan. Kasus pemindahan orang-orang di wilayah Gunung Leuser mungkin sangat relevan. Transmigran dari Jawa yang memaksa keluar dari Aceh selama konflik sebelum tsunami diberi jatah makan dan tempat permanen sebagai pengganti pemberhentian status tak bertempat tinggal mereka, tapi keberadaan mereka di Taman Nasional itu bermasalah, karena mereka tidak punya kekuatan hukum untuk tinggal disana.

Orang-orang yang tinggal di barak akan dipasok makanan dan pasokan dasar lainnya. Mereka akan sepenuhnya tergantung pada uluran tangan pemerintah. Mereka tidak punya apa-apa untuk hidup dan tidak punya pekerjaan (selain kemungkinan tenaga kerja intensif padat karya atau skema 'makan untuk kerja').

Isu lainnya adalah lokasi akomodasi resmi untuk orang-orang yang kehilangan tempat tinggal karena bencana. Tujuan yang dinyatakan oleh pemerintah adalah memindahkan seluruh komunitas dari kam ke tempat baru, menjaga mereka tetap bersama dalam satu area. Bagaimanapun, anggota dari banyak komunitas ini telah terbagi dalam beberapa tempat dan 'pusat relokasi' untuk Banda Aceh jauh dari pusat kota. Ada indikasi kuat bahwa orang tidak akan diijinkan menghuni wilayah tepi pantai yang akan ditanami mangrove sebagai pencegah gelombang datang. Hingga kini, 'cetak biru untuk Aceh' yang baru belum diumumkan kepada publik oleh pemerintah dan rencana penggunaan tanah/zona akan dilakukan ulang.


Implikasinya terhadap Lingkungan

Tidak banyak perhatian mengenai hubungan antara gundulnya hutan dan program rekonstruksi Aceh. Respon seorang pejabat senior PBB terhadap pertanyaan tentang dampak lingkungan karena besarnya jumlah kayu yang dibutuhkan untuk membangun barak-barak adalah bahwa ini "terserah pemerintah". Dalam merespon bencana seperti ini, perlu melakukan segala hal pada waktu yang tepat...itu mungkin menjadi bagian dari perencanaan jangka panjang". Kepala konsultan untuk perencanaan perumahan permanen mengatakan bahwa "kayu yang bersertifikat dari Jawa atau tempat lain di Indonesia akan diutamakan". Ini menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai persoalan keberlanjutan hutan di negara ini. Hanya ada sedikit diskusi publik mengenai isu-isu hak atas tanah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi besar atau internasional LSM.

Pemerintah bergerak begitu cepat sehingga perwakilan PBB dan LSM-LSM besar tidak punya waktu untuk menyetujui respon bersama sebelum rencana ini dilaksanakan. Banyak diantara mereka yang sangat peduli, tapi tidak memberikan kritik secara langsung karena takut pemerintah akan menutup akses ke Aceh untuk semua orang asing (Ada beberapa masalah visa untuk para pemberi bantuan pada minggu-minggu awal), LSM internasional sepertinya tergabung dalam dua kelompok: LSM-LSM seperti OCHA & World Vision, yang bekerja dengan pemerintah dan memberikan banyak dananya secara langsung dalam peningkatan program relokasi; dan LSM-LSM yang lebih suka memberikan dananya untuk hal-hal lain daripada membuat program relokasi lebih efektif.

Kelompok yang kedua memutuskan mengadopsi strategi yang memfokuskan pada pemberian bantuan (program pendidikan, kesehatan, sanitasi) di tingkat kecamatan dimana orang-orang yang kehilangan tempat tinggal ini berada. Mereka berharap ini akan mengurangi tekanan antara orang-orang didalam dan diluar kam sehingga mereka semua bisa berbagi fasilitas yang sama.

Mereka juga mencoba menggali data dari sejumlah orang yang ingin kembali ke rumah dan menaksir dukungan macam apa yang mungkin mereka butuhkan. UNDP memulai survey mengenai orang-orang ini di 55 kecamatan dalam 10 hari berikutnya (yaitu sebelum tenggat waktu fase pertama rencana relokasi). Survei ini akan mengumpulkan informasi mengenai kondisi mereka saat ini dan aspirasi mereka di masa mendatang, serta implikasi dari tersedinya fasilitas kesehatan, pendididikan, air/sanitasi dan pilihan-pilihan yang diperlukan bagi kehidupan mereka. Rencana awal untuk men-survei semua kebutuhan orang-orang ini diperkecil skalanya dalam rapid assessment sample populasi. OXFAM sudah melakukan studi yang lebih detil di 10 kecamatan dimana saat ini ada banyak tempat yang dihuni oleh orang-orang ini. Hasilnya akan dipresentasikan kepada pemerintah dalam upaya mempersuasi pemerintah bahwa kembali ke rumah semula mungkin merupakan pilihan yang layak bagi orang-orang ini.