Inisiatif Hak dan Sumber Daya Dialog Kesembilan tentang Hutan, Tata Pemerintahan dan Perubahan Iklim

DTE 88, April 2011

Area kunci perdebatan dalam COP16 dan REDD+

Pada 8 Februari 2011, DTE bergabung dengan 140 peserta yang berkumpul di London untuk Dialog Kesembilan Inisiatif Hak dan Sumber Daya (RRI) tentang Hutan, Tata Pemerintahan dan Perubahan Iklim.[1]

Dialog RRI bertujuan untuk menyediakan sebuah forum bagi para pengambil keputusan dan organisasi masyarakat sipil untuk mendiskusikan secara kritis peran hutan dalam agenda perubahan iklim. Acara ini diselenggarakan bersama oleh Forests Peoples Programme (FPP), Forest Trends dan Tebtebba (Pusat Internasional Penelitian Kebijakan dan Pendidikan Masyarakat Adat), dan diikuti oleh para peserta dari berbagai sektor di seluruh dunia termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta dan pemerintah.

Dialog Kesembilan memusatkan perhatian pada Konferensi Para Pihak Keenambelas (COP16) dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) yang diadakan di Cancun Mexico pada akhir 2010. Tujuannya adalah mendorong refleksi kritis terhadap perkembangan mengenai hak-hak dan REDD+ (lihat kotak), peran pemulihan hutan dan reforestasi untuk mitigasi dan adaptasi iklim, dan merumuskan mekanisme-mekanisme perangkat pengaman dan hak menuntut ganti rugi yang lebih terkait bagi masyarakat dalam program-program REDD+.[2]

Konferensi tersebut diselenggarakan dalam empat sesi panel, dengan diskusi-diskusi yang memusatkan perhatian pada:

  1. Implikasi global Perjanjian Cancun tentang Aksi Kooperatif Jangka Panjang (LCA) terhadap hutan dan masyarakat (lihat kotak)
  2. Implikasi Perjanjian Cancun di tingkat nasional dan masyarakat;
  3. Memastikan bahwa REDD+ melengkapi kerja restorasi, penanggulangan kemiskinan dan adaptasi;
  4. Mempromosikan dan menjalankan perangkat pengaman dan akuntabilitas.

Artikel ini bertujuan untuk menyoroti hanya beberapa dari tema-tema kunci dan pandangan-pandangan yang bertentangan yang muncul selama konferensi tersebut: keuangan dan peran pasar; pemerintahan dan pendanaan; perangkat pengaman, standar dan akuntabilitas.[3]

Perjanjian Cancun tentang Aksi Kooperatif Jangka Panjang (LCA)

LCA (Keputusan 1/CP.16) merupakan salah satu dari dua hasil utama Konferensi Para Pihak 16 (COP16) di Cancun Meksiko, 2010 (yang lainnya adalah Perjanjian Cancun mengenai Komitmen Lebih Lanjut Para Pihak Annex 1 berdasarkan Protokol Kyoto (Keputusan 1/CMP.6)

LCA bertujuan menetapkan jadwal untuk menyelesaikan sebuah kesepakatan baru yang komprehensif yang akan mencakup aksi oleh SEMUA pihak dalam semua aspek yang berbeda dari Rencana Aksi Bali yang disetujui pada 2007.

Untuk informasi lebih lanjut kunjungi: http://beta.searca.org/kc3/index.php/k-resources/199-the-cancun-agreements

 

Apa perbedaan antara REDD dan REDD+? 

Perbedaan penting antara REDD dan REDD+ adalah bahwa REDD+ mencakup peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan –dengan tujuan kunci untuk mendukung pembangunan ‘pro-kaum-miskin’.

REDD+ mengakui bahwa “keterlibatan dan penghormatan penuh terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan lainnya” adalah mutlak untuk memelihara daya lenting ekosistem hutan dan karenanya daya lenting terhadap perubahan iklim dapat ditingkatkan. ‘Manfaat ganda’ ini merupakan sebuah karakter kunci penentu dari REDD+ dan menjadi inti dari pembangunan strategi dan implementasi program-program REDD+.

Untuk informasi lebih lanjut kunjungi:http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx 

 

Pendanaan, keuangan dan peran pasar 

Kesepakatan Kopenhagen mencatat “perlunya sebuah komitmen kolektif dari negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya bagi REDD ‘yang mendekati 30 milyar dolar AS’ untuk 2010-2012, dan sebuah tujuan sebesar 100 milyar dolar AS per tahun pada tahun 2020’[4]. Pemerintah di seluruh dunia dihadapkan dengan tantangan yang hebat untuk ‘menutup jurang’ antara jumlah total ini dengan jumlah sebenarnya yang bersedia mereka janjikan agar dapat memastikan pendanaan tersebut terpenuhi dan digunakan secara efektif.

Dari perspektif pemerintah, keuangan dan sektor bisnis jurang pembiayaan untuk REDD+ dapat dan seharusnya diisi oleh sektor swasta.[5] Pendanaan publik seharusnya digunakan untuk menstimulasi pasar dan memobilisasi investasi sektor swasta melalui inisiatif-inisiatif seperti Inisiatif Iklim Pasar Modal London[6]

(yang pada awalnya memfokuskan pada proyek-proyek di sub-Sahara Afrika.

Walaupun investasi dari sektor swasta dianggap sebuah cara yang efektif untuk menyediakan suatu bentuk pendanaan yang lebih berkelanjutan ketimbang dana pemerintah, pemerintah Inggris menekankan bahwa sifat dan sumber keuangan swasta perlu diklarifikasi.

Peningkatan kapasitas dan keterlibatan dini dengan sektor swasta, yang didukung oleh pembentukan kemitraan antara sektor publik dan swasta (termasuk organisasi masyarakat sipil seperti RRI) dianggap sebagai unsur penting untuk memastikan dukungan dari sektor swasta.[7]Pentingnya menentukan harga karbon dengan tepat dianggap sebagai ”teramat penting”. [8] Menetapkan target-target pemerintah menjadi penting untuk menentukan suatu harga karbon yang sah dan menetapkan ‘produk-produk’ pasar karbon seperti obligasi karbon hutan.[9 Perbaikan perangkat pengaman dan standar dianggap penting untuk menghilangkan ketidakpastian pasar.

Pemerintah Inggris mengakui adanya tantangan yang signifikan yang dihadapi oleh dana multilateral untuk mendistribusikan uang dalam suatu cara yang dapat membawa perubahan di lapangan, dan menyimpulkan bahwa pekerjaan teknis mendatang menyangkut standar dan kinerja umum akan disambut baik.[10] Setara dengannya, kejelasan mengenai ‘penambahan’ (di mana keuntungan karbon tidak akan terjadi tanpa pembayaran karbon melalui sebuah skema yang spesifik) dianggap penting untuk memastikan masyarakat adat mendapat keuntungan dari REDD+.[11] Pemerintah menyambut Dana Iklim Hijau[12] namun mengakui adanya berbagai tantangan dalam menetapkan bagaimana proses pendanaan akan diimplementasikan, dan dalam mengatasi kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pasar. Dianjurkan bahwa pembentukan pasar karbon REDD+ harus mengikuti pembentukan perangkat pengaman untuk menghindari risiko bahwa suatu mekanisme pasar dapat mengakibatkan kehancuran modal sosial dan distorsi struktur pengelolaan dan hak-hak masyarakat adat [13].

 

Tata Pemerintahan

Tantangan tata pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, REDD+ dan Perjanjian Cancun diakui secara luas. Pemahaman kebutuhan dan keinginan masyarakat di lokasi dan penetapan sistem dan metodologi yang sesuai untuk melaksanakannya muncul sebagai suatu ranah yang memerlukan pekerjaan lanjutan yang signifikan. Para peserta menyampaikan pendapat yang bertentangan menyangkut tingkatan di mana tantangan-tantangan dari tata pemerintahan sedang ditangani secara efektif, dan besarnya kemauan politik untuk menangani isu-isu tersebut.

Pemerintah Inggris menganggap penting sekali kebutuhan terhadap tata pemerintahan yang baik dan kerangka pengaturan di negara-negara berkembang dan menyatakan bahwa ‘pembicaraan yang lebih kuat’ dengan masyarakat hutan di lokasi menjadi mutlak. Pemerintah Inggris mengakui perlunya menjaga penghidupan masyarakat penghuni hutan dan membangun pemahaman yang jelas tentang tata pengelolaan hutan dan isu-isu tata guna tanah yang lebih luas. Perlu diantisipasi bahwa hal ini akan mensyaratkan pemerintah untuk bekerja sama lebih dekat dengan masyarakat penghuni hutan melalui program-program multilateral dan bilateral demi membangun hubungan yang lebih kuat, serta membangun suatu proses kaji ulang resmi dengan para pemangku kepentingan yang penting dan penetapan sistem implementasi sub-nasional. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kurangnya kejelasan menyangkut distribusi dan kepemilikan sumber daya, dan bagaimana hal ini menimbulkan tantangan-tantangan yang signifikan dalam mengidentifikasi hak-hak karbon dan kepemilikan karbon.

Seorang wakil dari Program Pembangunan PBB (UNDP) memaparkan secara ringkas apa yang sedang dikerjakan UNDP saat ini yakni menyusun penilaian tata pemerintahan yang partisipatoris dan sebuah kerangka pedoman untuk memonitor tata pemerintahan REDD+. Hasil kerja ini untuk Badan Subsider untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) dari UNFCCC untuk mengidentifikasi para pendorong deforestasi dan degradasi.[14]

Masyarakat adat harus diakui sebagai agen tata pemerintahan yang baikPenghormatan atas hak-hak masyarakat adat merupakan topik perdebatan sepanjang diskusi. Seorang wakil Bank Dunia berkilah bahwa banyak unsur REDD+ dari Perjanjian Cancun berkisar seputar hak-hak masyarakat adat.[15]  Sebaliknya, wakil-wakil dari gerakan masyarakat sipil memaparkan suatu penilaian yang lebih kritis mengenai jurang yang semakin lebar antara retorika dan kenyataan tentang apa yang tengah terjadi di lapangan[[16] dan ketiadaan pemahaman mengenai hak-hak di tingkat nasional.[[17] Indigenous peoples must be recognised as agentsof good governance [18] and a clear definition and appreciation of ‘participatory governance’ is needed, according to an indigenous participant.[19] dan diperlukan sebuah definisi yang jelas dan apresiasi terhadap ‘tata pemerintahan partisipatoris’, menurut seorang peserta wakil masyarakat adat.

Beberapa wakil masyarakat sipil mengutarakan kekhawatiran bahwa sejumlah besar uang yang diinvestasikan dalam REDD tidak akan mencapai orang-orang yang secara langsung terpengaruh di tingkat komunitas.[20].  Pertimbangan-pertimbangan yang kontekstual dan mengikuti arahan masyarakat adalah hal yang penting untuk terus mendorong REDD+ dan kaitan-kaitannya dengan praktik-praktik adaptasi perubahan iklim secara lokal. Hak-hak kepemilikan dan akses perempuan atas tanah; reformasi sistem kehutanan; dan kejelasan yang lebih dalam tentang mekanisme pendanaan, termasuk akses pada dana dianggap sebagai wilayah kunci yang harus dibahas jika REDD+ dan penanggulangan kemiskinan ingin ditangani secara efektif.[21]. Tantangannya terletak dalam memastikan bahwa kerangka nasional tidak menghalangi kesempatan bagi masyarakat lokal untuk ‘mengelola-sendiri’[22]. Seorang peserta memperingatkan pemerintah akan risiko-risiko penerapan praktik outsourcing (pelimpahan pada kontraktor) untuk pekerjaan teknis, termasuk pekerjaan pengukuran, pelaporan dan verifikasi emisi (MRV)[23].

Kekhawatiran dikemukakan menyangkut ‘tuntutan yang bertolak belakang’ dari para pemerintah; masyarakat adat diharapkan untuk melindungi hutan dan mengurangi perubahan iklim, tapi mereka juga dibebani dengan proyek-proyek pengerukan besar-besaran. Pengikutsertaan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan dianggap lemah menurut beberapa wakil masyarakat sipil. Bahkan ketika delegasi masyarakat adat berpartisipasi dalam negosiasi, terasa bahwa suara-suara mereka seringkali tidak didengarkan.[24].  Ini diperburuk dengan ketiadaan rujukan dalam Perjanjian Cancun terhadap Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) bagi masyarakat adat [25]. Kekuatan PADIATAPA untuk memperkuat rujukan pada penguasaan lahan direkomendasikan sebagai sebuah titik fokus untuk perhatian internasional lebih lanjut.[26].

 

Perangkat pengaman, standar dan akuntabilitas

Ada kesepakatan umum mengenai perlunya merancang dan melaksanakan perangkat pengaman yang efektif dan untuk menetapkan standar yang tepat demi akuntabilitas. Secara keseluruhan, para wakil dari pemerintah, sektor swasta dan organisasi internasional berbicara secara positif tentang potensi dan kemajuan terbaru yang dilakukan menuju pembentukan perangkat pengaman yang lebih efektif. Pandangan yang bertolak belakang muncul dari para wakil masyarakat sipil yang mempertanyakan kemampuan Perjanjian Cancun, pemerintah dan organisasi internasional (seperti Bank Dunia) untuk memastikan akuntabilitas pada sektor swasta, dan untuk memaksakan standar dan perangkat pengaman yang layak demi kepentingan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat.

Pemerintah Inggris[27] menekankan bahwa fokus yang jelas mengenai perangkat pengaman merupakan sebuah hasil kunci yang positif dari Cancun. Untuk memperbaiki akuntabilitas, diperlukan lebih banyak detail yang eksplisit dalam hal motif dan maksud keterlibatan sektor swasta dalam skema REDD+. Pemerintah mengakui bahwa walaupun mutlak diperlukan penetapan standar, namun hal ini mungkin harus dilakukan di luar PBB.

Seorang wakil sektor keuangan menyoroti pentingnya mendorong keterlibatan sektor swasta dalam rancangan dan penegakan perangkat pengaman, pembentukan standar yang layak dan penanganan penghitungan. [28].

Sebaliknya, organisasi masyarakat sipil mengemukakan kekhawatiran menyangkut efektivitas jaminan bagi perangkat pengaman adat, [29]yang merujuk pada laporan yang baru saja diterbitkan oleh FERN dan Forest Peoples Programme, Asap dan Cermin,[30] yang menganalisis delapan dari Proposal Persiapan Kesiapan (RPPs)[31] yang diajukan ke Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) Bank Dunia. Laporan tersebut menyatakan bahwa ketimbang memperkuat dan mengimplementasikan perangkat pengaman Bank Dunia, banyak perangkat pengaman malah dilemahkan dan dibuat tidak jelas.[32] Penghormatan terhadap hak atas Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaandalam kebijakan FCPF dan perangkat pengaman Bank Dunia yang ada saat ini oleh beberapa wakil masyarakat sipil dianggap tidak memadai. [33] Seorang peserta menyatakan bahwa kurangnya penghormatan atas peran masyarakat adat dan hak-hak mereka atas wilayah telah mengakibatkan konflik di beberapa negara misalnya Peru. Masyarakat adat mengkritik habis-habisan rencana-rencana pemerintah tentang REDD karena rencana tersebut gagal menangani konflik lahan dan klaim-klaim wilayah yang luar biasa.[34]  Kepercayaan terhadap efektivitas perangkat pengaman telah dilemahkan lebih lanjut lagi dengan ketiadaan PADIATAPA bagi masyarakat adat dalam Perjanjian Cancun.[35]

Untuk mencapai hasil positif bagi hutan, masyarakat dan perubahan iklim, dipandang mutlak adanya partisipasi masyarakat adat dalam rancangan dan implementasi inisiatif-inisiatif REDD+, perlindungan hak-hak atas tanah, dan keberanian untuk menangani korupsi dan tata pemerintahan yang lemah di sektor hutan.[36] Para peserta diingatkan bahwa kegagalan melakukan hal tersebut dapat meningkatkan musnahnya hutan dan melemahkan hak penguasaan masyarakat.[37] Meksiko disebut sebagai sebuah contoh ‘praktik yang baik’ dari implementasi REDD+. Penerimaan positif Meksiko terhadap REDD+ dikaitkan dengan kepastian relatif hak-hak kepemilikan masyarakat adat dan kondisi kelembagaan lainnya, yang kesemuanya berkontribusi pada ‘kesiapan’ [38] negara tersebut terhadap REDD.[39]

Membangun ‘mekanisme sosial’ dalam kerangka REDD adalah mutlak untuk mendorong keterlibatan dan kepemilikan di lapangan. [40]Beberapa peserta merasa bahwa, ketika didukung oleh kepastian hak-hak kepemilikan yang jelas, REDD+ memberikan sebuah peluang yang baik bagi masyarakat untuk membangun ‘modal sosial’ dan sebuah landasan yang kukuh untuk menggabungkan dan menata kebijakan.[41] Hal ini memerlukan pengakuan atas tingkat kemampuan, pelatihan dan pendidikan yang berbeda-beda di dalam masyarakat – dan penghargaan terhadap pengetahuan dan keahlian yang ada. Saat sistem pengelolaan hutan yang baru sedang dibangun dengan tujuan untuk memperoleh ‘manfaat ganda’ yang dituntut oleh REDD+, kementerian pemerintah harus memastikan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang lama tetap dihargai dalam proses itu.[42]

Konferensi Dialog RRI ke-9 memberikan sebuah potret penting akan kerja yang sedang dikerjakan di seluruh dunia untuk menyiapkan REDD+. Walau demikian, jelas bahwa ada jurang yang lebar antara masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang kritis di satu sisi, dan pemerintah dan sektor swasta di sisi lainnya berkaitan dengan pendanaan, PADIATAPA, perangkat pengaman dan tata pemerintahan. Upaya menyeimbangkan tujuan untuk mengurangi emisi dan hilangnya hutan, sambil menghormati hak asasi manusia, akan terus menghadapi tantangan-tantangan moral dan keuangan. Konferensi tersebut menggarisbawahi bahwa para pengambil keputusan harus segera menangani isu-isu hak penguasaan lahan dan karbon, tata pemerintahan dan korupsi, dan memastikan adanya perangkat pengaman yang memadai bagi pemangku kepentingan yang terpinggirkan, untuk menghindari risiko nyata berupa konflik yang semakin marak dan memburuk dan pelemahan tujuan-tujuan mendasar REDD+

Untuk latar belakang lebih jauh mengenai REDD dan REDD di Indonesia lihat DTE 84.

 

Notes:

[1]RRI adalah “suatu koalisi strategis organisasi internasional, regional dan masyarakat yang terlibat dalam pembangunan, penelitian dan konservasi”, lihat http://www.rightsandresources.org/pages.php?id=92

[2]  Rights and Resources Initiative Dialogue Bulletin: A Summary Report of the Ninth Rights and Resources Initiative (RRI) Dialogue on Forests, Governance and Climate Change. Published by the International Institute for Sustainable Development (IISD) in collaboration with the Rights and Resources Initiative. Tersedia daring di http://www.iisd.ca/ymb/rri/dfgcc9/. Volume 173, number 3, Wednesday, 9 February 2011

[3] Artikel ini berdasarkan catatan yang dibuat saat menghadiri konferensi tersebut, didukung oleh informasi dari Laporan Ikhtisar RRI tentang Dialog Kesembilan Inisiatif Hak dan Sumber Daya (RRI) mengenai Hutan, Tata Pemerintahan dan Perubahan Iklim. Untuk laporan yang lebih komprehensif mengenai konferensi dan pandangan seluruh peserta, silakan kunjungi http://www.iisd.ca/download/pdf/sd/ymbvol173num3e.pdf. Untuk ‘Sejarah Singkat Dialog RRI dan UNFCCC Terkait Dengan REDD+’(‘A Brief History of the RRI Dialogues and UNFCCC in Relation to REDD+’ ) lihat halaman satu dari laporan tersebut.

[4]Ibid, hal 2

[5]David Capper, Head of Climate Finance, Institutions and Forests, UK Department of Energy and Climate Change; Gregory Barker, Minister of State, Department of Energy and Climate Change, UK; Abyd Karmali, ManagingDirector and Global Headof Carbon Emissions, Bankof America Merrill Lynch

[6]Untuk informasi lebih lanjut mengenai Inisiatif Iklim Pasar Modal, kunjungi: http://www.decc.gov.uk/en/content/cms/news/pn_098/pn_098.aspx

[7]Adyd Karmali (ibid)

[8]Andreas Dahl-Jørgensen, penasihat Inisiatif Iklim dan Hutan Internasional Norwegia (panelis konferensi RRI)

[9]David Capper (ibid.). Untuk informasi lebih lanjut mengenai obligasi hutan, kunjungi http://www.forestbonds.com/about

[10]David Capper (ibid)

[11]Onel Masardule, Direktur Eksekutif, Yayasan Promosi Pengetahuan Adat, Masyarakat Kuna, Panama (panelis konferensi RRI)

[12]Dana Iklim Hijau (GCF) dibentuk pada COP 16, Desember 2010, akan ditetapkan sebagai suatu entitas pengoperasian mekanisme keuangan dari Konvensi tersebut berdasarkan Pasal 11. GCF bertujuan untuk mendukung proyek, program, kebijakan dan aktivitas lainnya di negara berkembang. Untuk informasi lebih lanjut kunjungi: http://unfccc.int/cancun_agreements/green_climate_fund/items/5869.php

[13]Laporan ikhtisar konferensi RRI, hal. 4; Onel Marsardule (idem) 

[14]Tim Clairs, Penasihat Teknis Senior, Kelompok REDD, Lingkungan dan Energi-PBB, UNDP (panelis konferensi RRI)

[15]Charles DiLeva, Penasihat Kepala, Perubahan Iklim, Pembangunan Berkelanjutan dan Hukum Internasional, Bank Dunia (panelis konferensi RRI)

[16]Saskia Ozinga, Coordinator, FERN; Onel Marsardule (ibid) 

[17]Victoria Tauli-Corpuz, Direktur Eksekutif, Tebtebba, Ketua Forum Permanen PBB mengenai Masalah-masalah Adat (dan anggota delegasi Filipina dalam negosiasi REDD+ di Cancun) (panelis konferensi RRI)

[18]Victoria Tauli-Corpuz, (ibid)

[19] Victoria Tauli-Corpuz (ibid)

[20]Onel Masardule (ibid); Saskia Ozinga (ibid)

[21]Cecile Njdébet, Direktur, Cameroon Ecology (panelis konferensi RRI )

[22]Florence Daviet, Co-Manager, Inisiatif Tata Pemerintahan Hutan, World Resources Initiative (panelis konferensi RRI) 

[23]Tony La Viña, Dekan, Sekolah Pemerintahan Ateneo, Filipina (panelis konferensi RRI)  

[24]Onel Masardule (ibid)

[25]Onel Marsadule (ibid)

[26]Kristen Hite, Pengacara, Program Perubahan Iklim, Centre for International Environmental Law (pembicara tamu konferensi RRI)  

[27]David Capper (ibid)

[28]Abyd Karmali (ibid)

[29]Onel Masardule (ibid); Victoria Tauli-Corpuz

[30]Dooley, K., Griffiths, S.,Martone, F., and Ozinga, T. 2011. Smoke and Mirrors: A critical assessment of the Forest Carbon Partnership Facility. FERN & Forest Peoples Programme. Tersedia daring di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2011/03/smokeandmirrorsinternet_0.pdf

[31]Sebuah Proposal Persiapan Kesiapan (R-PP) adalah suatu dokumen yang akan menentukan langkah-langkah dan ‘persyaratan minimum’ bagi suatu negara untuk mencapai ‘Kesiapan’. Untuk informasi lebih lanjut lihat Smoke and Mirrors: A critical assessment of the Forest Carbon Partnership Facility. FERN & Forest Peoples Programme. Halaman 85. Tersedia daring di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2011/03/smokeandmirrorsinternet_0.pdf

[32]Saskia Ozinga (ibid); Smoke and Mirrors report (ibid)

[33]Saskia Ozinga (ibid)

[34]Chris Lang. Maret 2011. red-monitor.org. Smoke and Mirrors: A critical assessment of the Forest Carbon Partnership Facility. Tersedia daring di:  http://www.redd-monitor.org/2011/03/15/smoke-and-mirrors-a-critical-assessment-of-the-forest-carbon-partnership-facility/

[35]Onel Marsardule (ibid)

[36]Onel Masardule; Saskia Ozinga; Victoria Taili-Corpuz (seluruhnya ibid.)

[37]Saskia Ozinga (ibid)

[38]  REDD-Kesiapan adalah suatu strategi nasional untuk mempersiapkan negara-negara untuk melaksanakan aktivitas REDD dan mengelola pendanaan REDD.

[39]Andy White, Koordinator RRI (ketua konferensi RRI); Juan Manuel Torres-Rojo, Direktur Jenderal Komisi Kehutanan Nasional Meksiko (panelis konferensi RRI)

[40]Juan Manuel Torres Rojo (ibid)

[41]Juan Manuel Torres Rojo (ibid)

[42]Tony La Viña (ibid)