Info terkini tentang kebijakan agrofuel, DTE Juli 2011

Pada bulan Januari 2011, DTE memberitakan perkembangan terakhir mengenai kebijakan Uni Eropa (UE) tentang Panduan Energi Terbarukan (RED, 2009/28/EC) dan Panduan Kualitas Bahan Bakar. Fokusnya adalah tentang Rencana Aksi Energi Terbarukan Nasional dan riset ilmiah terbaru yang menilai potensi dampak perubahan penggunaan tanah secara tak langsung (ILUC)[1] karena meningkatnya permintaan akan agrofuel (lihat Info Terkini tentang Kebijakan Agrofuel, DTE Januari 2011 untuk informasi lebih lanjut).

Komisi Eropa akan mengumumkan kebijakan baru untuk mengatasi dampak ILUC pada bulan Juli dan hal ini meningkatkan tekanan terhadap UE untuk memastikan keberlanjutan agrofuel (bahan bakar nabati). Info terkini DTE, yang diterbit bulan Juli 2011, menjabarkan perkembangan penting sejak dikeluarkannya laporan Komisi Eropa mengenai perubahan penggunaan tanah secara tak langsung terkait dengan biofuel (bahan bakar hayati) dan bioliquid (cairan hayati) (Desember 2010) dan membahas sebagian pandangan dan kekhawatiran mengenai pilihan yang tengah dipertimbangkan.

Untuk melihat rangkuman singkat mengenai perkembangan penting dari kebijakan tahun lalu, klik di sini.

 

Perdebatan mengenai agrofuel tahun 2011 – dari sini mau ke mana?

2011 merupakan tahun yang kritis bagi UE untuk menghentikan kerusakan permanen akibat dari kebijakan agrofuel sekarang ini. Laporan keberlanjutan, yang akan diterbitkan Komisi Eropa bulan Juli tahun ini, akan menetapkan arahan bagi standar keberlanjutan agrofuel di masa mendatang. Apakah Eropa akan mengambil langkah yang tepat untuk menekan emisi dari produksi agrofuel dan mengeluarkan kebijakan yang mendorong keberlanjutan agrofuel di masa mendatang?

Perdebatan mengenai ILUC – pandangan yang bertentangan mengenai penilaian keberlanjutan

Sudah diperhitungkan bahwa selama jangka waktu 20 tahun penggunaan biodiesel tak akan dapat menghemat emisi gas rumah kaca seperti bahan bakar fosil yang digantikannya.[2] Sejumlah kajian menunjukkan bahwa, kalau ILUC diperhitungkan, maka emisi dari agrofuel tertentu dapat lebih besar dari bahan bakar fosil,[3]  Tantangan untuk memasukkan dampak ILUC dalam penilaian keberlanjutan menimbulkan perdebatan terkait dengan faktor politik, metodologi dan ilmiah yang rumit. Pandangan mengenai solusi mencakup spektrum yang luas. Saat ini Panduan Energi Terbarukan (RED) menyebutkan bahwa “penghematan emisi gas rumah kaca dari penggunaan biofuel dan bioliquid haruslah paling sedikit 35%” agar dapat memenuhi kualifikasi menuju target penggunaan energi terbarukan sebesar 20% hingga tahun 2020.[4] Para petinggi dalam industri agrofuel kebanyakan menolak menaikkan batas pengaman (safeguard) keberlanjutan. Géraldine Kutas, pejabat sementara Ketua Asosiasi Industri Tebu Braszil (UNICA) untuk UE, berkata bahwa ilmu pengetahuan “tidak cukup matang” untuk membenarkan penerapan faktor ILUC. Ia menyatakan bahwa kalkulasi besarnya dampak ILUC sekarang ini merupakan “angka ajaib” sehingga tak dapat dijadikan dasar yang kuat bagi pembentukan kebijakan.[5]

Laporan yang belum lama ini dikeluarkan oleh Öko Institute[6] dari Jerman (yang mendapat mandat dari komite lingkungan hidup Parlemen Eropa) diserahkan kepada anggota Parlemen Eropa bulan Mei 2011. Laporan itu menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sudah cukup maju untuk dijadikan dasar bagi UE untuk memasukkan dampak ILUC dalam kriteria keberlanjutan. Hal ini meningkatkan tekanan terhadap Komisi Eropa untuk melakukan perubahan legislasi agar ada penilaian keberlanjutan yang lebih ketat.  

Menyikapi dampak ILUC dalam penilaian keberlanjutan

Di tahun 2009, Komisi Eropa mengakui perlunya pengaman lingkungan/hijau dan menetapkan legislasi tentang keberlanjutan dalam RED. Untuk itu agrofuel harus menghemat paling sedikit 35% emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil.[7] Saat ini hanya skema sertifikasi sukarela yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa yang digunakan untuk menilai apakah agrofuel memenuhi kriteria keberlanjutan itu. Sejauh mana skema ini dapat mendorong adanya perbaikan masih dipertanyakan. Selain itu, kriteria keberlanjutan sekarang ini tidak memasukkan dampak ILUC.

Seperti yang kami sampaikan dalam info sebelumnya mengenai perkembangan terakhir agrofuel, penilaian dampak ILUC oleh Komisi Eropa difokuskan pada 4 pilihan tindakan kebijakan:  

  1. tak ada tindakan yang diambil untuk sementara, sambil terus memantau,
  2. meningkatkan batas minimal penghematan gas rumah kaca untuk agrofuel (tidak membedakan antara masing-masing jenis bahan baku), 
  3. memberikan persyaratan tambahan mengenai keberlanjutan untuk kategori agrofuel tertentu.
  4. mengaitkan sejumlah emisi gas rumah kaca dengan agrofuel yang mencerminkan penggunaan tanah secara tak langsung yang diperkirakan (sama halnya dengan pilihan no.3, tak dibedakan antara jenis-jenis bahan baku). 

Pilihan 1 kecil kemungkinannya untuk diterima karena semakin banyaknya bukti mengenai dampak ILUC. Pilihan 2 dan 4 dikecam oleh kelompok hijau dan hak asasi manusia (HAM) karena gagal menangani dampak khusus dari bahan baku agrofuel yang paling merusak (seperti kelapa sawit yang tumbuh di tanah gambut yang kaya karbon). Kekhawatiran lain adalah bahwa skema sertifikasi sukarela yang ada lemah dan dapat disalahgunakan dalam lobi industri dan tekanan politik. Peningkatan batas penghematan gas rumah kaca dapat menimbulkan celah dalam penilaian dampak bahan baku tertentu dan kalangan industri dapat memasarkan citra hijau tanpa menangani dengan efektif dampak utama sosial dan lingkungan (seperti yang tertulis dalam rangkuman 2010 [link to this]).  Pilihan 3, yang dapat menambahkan ‘nilai penalti’ pada masing-masing bahan baku agrofuel, merupakan skema yang belakangan ini diusulkan dan dikenal sebagai ‘Faktor ILUC’. Faktor ILUC dengan bahan baku tertentu dimaksudkan untuk mengidentifikasi agrofuel mana yang akan meningkatkan atau membantu menurunkan emisi gas rumah kaca, dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Pilihan ini dapat dengan lebih baik mengidentifikasi (dan berpotensi untuk mengeliminasi) bahan baku yang benar-benar memiliki risiko meningkatkan emisi gas rumah kaca. 

Mungkin cara paling efektif untuk menghindari dampak ILUC adalah dengan menetapkan mandat RED[8] yang tak terlalu ambisius dan memanfaatkan jenis energi terbarukan lain.  David Laborde dari International Food Policy Research Institute (IFPRI, Institut Riset Kebijakan Pangan Internasional), yang mendapat tugas dari Komisi Eropa untuk mengkaji dampak iLUC, mempertanyakan target UE bahwa 10% bahan bakar transportasi berasal dari energi terbarukan hingga 2020.[9] Laborde menyarankan ‘mandat yang tak terlalu ambisius’. Pilihan itu saat ini sedang tidak dipertimbangkan oleh Komisi Eropa.

Dari pilihan yang saat ini sedang dipertimbangkan, faktor ILUC merupakan potensi yang paling efektif untuk memastikan bahwa kebijakan agrofuel UE menuju ke arah yang lebih berkelanjutan untuk menekan emisi gas rumah kaca. Tetapi faktor ILUC tidak menyikapi dampak sosial dan lingkungan terkait dengan perebutan lahan untuk produksi makanan, pelanggaran HAM dan hilangnya keanekaragaman hayati. 

Agrofuel dan hak asasi manusia: jauh di mata, jauh di hati?

Produksi agrofuel melanggar HAM mendasar kalau “membahayakan ketahanan pangan lokal atau membuat masyarakat setempat tergusur dari lahan yang menjadi tumpuan penghidupan mereka sehari-hari “[10] – dan dapat menjadi isu HAM jika “mengancam ketahanan lingkungan melalui kerusakan atau degradasi ekosistem dan sumber daya alam yang penting bagi kesehatan dan kehidupan masyarakat”[11]

(Dewan Bioetika Nuffield, 2011)

Ketergantungan pada negara produsen untuk memasok agrofuel (terutama negara berkembang seperti Indonesia dan Brasil) membuat negara UE mengimpor agrofuel yang menguntungkan mereka tetapi mengabaikan dampak sosial di negara lain. Meskipun faktor ILUC diterapkan, agrofuel tetap memiliki dampak negatif terhadap HAM dan ketahanan lingkungan. Menurut berbagai kajian, biodiesel (yang berasal dari minyak sayur) memiliki risiko lebih tinggi untuk meningkatkan emisi gas rumah kaca daripada bioetanol (yang berasal dari tanaman seperti tebu dan gandum).[12]  Faktor ILUC kemungkinan akan menghasilkan peraturan tentang keberlanjutan yang lebih ketat untuk bahan baku biodiesel (seperti minyak sawit dari Indonesia). Tetapi produksi bahan baku bioetanol, yang kemungkinan lulus penilaian keberlanjutan, bisa jadi akan meningkat. Hal ini dapat meningkatkan kompetisi untuk mendapatkan lahan yang akan digunakan untuk produksi pangan, kerusakan keanekaragaman hayati dan memperburuk masalah HAM di negara-negara seperti Brasil – salah satu produsen bioetanol terbesar di dunia.

Etika agrofuel

Pemerintah Eropa menutup mata atas implikasi kebijakan berupa pelanggaran HAM yang terjadi sebagai akibat langsung atau tak langsung dari permintaan UE atas agrofuel. Mereka bersikap demikian meskipun terdapat banyak bukti, misalnya dari Indonesia, mengenai kejadian intimidasi dan kekerasan terhadap anggota masyarakat oleh aparat keamanan ketika pengembang perkebunan kelapa sawit menyerobot tanah masyarakat setempat tanpa ijin mereka.[13]

Laporan yang belum lama ini dikeluarkan oleh Nuffield Council on Bioethics (Dewan Bioetika Nuffield) menyoroti masalah-masalah tersebut. Laporan itu juga memberikan rekomendasi dan kerangka kerja bagi pembuatan kebijakan yang lebih etis di masa mendatang. Untuk mendapatkan rangkuman laporan Nuffield, “Biofuel: Persoalan Etika”, klik di sini.

Organisasi seperti Dewan Bioetika Nuffield dan IFPRI tetap optimis bahwa teknologi baru untuk agrofuel dalam bentuk yang lebih berkelanjutan dan memerlukan lebih sedikit lahan dan pupuk akan meminimalkan dampak lingkungan dan sosial.[14] Tetapi, tanpa insentif dari pemerintah di dunia internasional, kemajuan teknologi untuk mengembangkan agrofuel yang lebih berkelanjutan terlalu lamban dan biayanya terlalu tinggi.

Tugas etis untuk memperbaiki kebijakan yang ‘cacat’

Semakin jelas bahwa tak akan ada solusi yang mudah bagi agrofuel seperti yang tadinya diharapkan pemerintah. Melalui pemberian mandat bagi agrofuel yang tidak berkelanjutan, Komisi Eropa meremehkan kebijakan perubahan iklimnya sendiri.  

Pembuatan kebijakan RED dari awalnya sudah salah karena mendorong adanya produksi agrofuel secara cepat dan dalam skala besar ketika ilmu pengetahuan belum cukup maju untuk meramalkan dampak lingkungan dan sosial terkait dengan produksi besar-besaran seperti itu. Terlebih lagi, kebijakan agrofuel dipengaruhi oleh pemangku kepentingan dan kelompok yang berkepentingan, yang lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada perlindungan lingkungan atau HAM.

Komisi Eropa memiliki tugas etis untuk mengakui kelemahan dalam kebijakan yang sekarang ini dan secara cepat menanggapi riset ilmiah mengenai dampaknya. Komisi Eropa harus belajar dari kegagalannya mengambil langkah pencegahan untuk menangani perubahan iklim pada tahap dini. Selama dua dekade ini, kepentingan bisnis yang kuat dan mereka yang tidak percaya adanya perubahan iklim gencar berupaya melemahkan penerapan kebijakan mitigasi perubahan iklim, dan menyangkal bahwa pendekatan pencegahan diperlukan meskipun terdapat bukti ilmiah yang kuat. Demikian pula, kepentingan bisnis sekarang ini berusaha untuk meremehkan bukti-bukti ilmu pengetahuan yang semakin banyak, yang jelas-jelas menunjukkan masalah besar terkait dengan penggunaan agrofuel. Sikap mereka menghambat keputusan kebijakan yang mendesak untuk mengurangi dampak negatif agrofuel.

Parahnya dampak potensial dan tingkat risiko terkait dengan agrofuel menegaskan perlunya pendekatan pencegahan dalam pertimbangan perubahan legislasi untuk kriteria keberlanjutan.

Komisi Eropa harus berpegang pada komitmennya seperti yang dinyatakan dalam laporan[15] Desember 2010, untuk menggunakan pendekatan pencegahan dan memprioritaskan pilihan kebijakan yang meminimalkan dampak lingkungan dan sosial dari produksi agrofuel. Juga harus jelas bahwa prinsip pencegahan dibuat untuk melindungi masyarakat dan lingkungan, bukan kepentingan bisnis.

DTE yakin bahwa:

  • Pengetahuan ilmiah telah cukup maju untuk mengakui bahwa produksi agrofuel generasi pertama, dalam skala yang disyaratkan untuk memenuhi mandat RED, tidak berkelanjutan dari sisi lingkungan dan tak dapat diterima secara etika.
  • Mandat RED yang ada harus diubah secara radikal untuk memastikan ditolaknya semua agrofuel yang merugikan. Fokusnya harus pada kebijakan yang mengurangi konsumsi energi dan mendorong digunakannya bahan alternatif terbarukan untuk pembangkit energi dan transportasi yang sungguh-sungguh berkelanjutan baik dari sisi sosial maupun lingkungan.
  • Insentif dan dana untuk riset harus disalurkan bagi riset untuk teknologi energi alternatif yang berkelanjutan, yang tidak memerlukan area tanah yang luas dan pupuk serta tidak melanggar HAM masyarakat yang rentan di negara berkembang.
  • Salah satu dampak negatif potensial perkembangan agrofuel skala besar terkait dengan kebijakan RED adalah kapasitas masyarakat di negara produsen (seperti Indonesia) untuk mengembangkan produksi agrofuel skala kecil yang berkelanjutan bagi kebutuhan energi di tingkat masyarakat. Pengambilan keputusan atas RED perlu mempertimbangkan hal ini. [16]
  • Komisi Eropa harus menjelaskan hal yang mendesak sehubungan dengan langkah apa yang segera akan diambil untuk mengatasi pelanggaran HAM dan dampak negatif sosial terkait dengan industri agrofuel yang memasok pasar UE.


[2] Tekanan Meningkat untuk Mengubah Kebijakan Biofuel UE. 28 April 2011. Jennifer Rankin, European Voice.com.

Dapati dilihat di: http://www.europeanvoice.com/article/imported/growing-pressure-to-change-eu-biofuel-policy/70930.aspx

[3] Seperti di atas

[4] Panduan 2009/28/EC Parlemen Eropa dan Dewan tanggal 23 April 2009 mengenai peningkatan penggunaan energi dari sumber terbarukan. Pasal 17. Kriteria keberlanjutan untuk biofuel dan bioliquid. P36 (2). Dapat dilihat di: http://www.r-e-a.net/document-library/thirdparty/rea-and-fqd documents/REDDoc_090605_Directive_200928EC_OJ.pdf

[5] Tekanan Meningkat untuk Mengubah Kebijakan Biofuel UE. MAARS NEWS (online). April 2011. Dapat dilihat di: http://news.maars.net/blog/2011/04/30/growing-pressure-to-change-eu-biofuel-policy/

[6] Standar Keberlanjutan untuk Bioenergi. Öko-Institut e.V., Darmstadt. Diterbitkan oleh WWF German, November 2006. Dapat dilihat di: http://www.biofuelstp.eu/downloads/WWF_Sustainable_Bioenergy_final_version.pdf

[7] Panduan 2009/28/EC Parlemen Eropa dan Dewan tanggal 23 April 2009 mengenai peningkatan penggunaan energi dari sumber terbarukan. Pasal 17. Kriteria keberlanjutan untuk biofuel dan bioliquid.. P36 (2). Dapat dilihat di: http://www.r-e-a.net/document-library/thirdparty/rea-and-fqd-documents/REDDoc_090605_Directive_200928EC_OJ.pdf

[8] Seperti di atas

[9] Tekanan Meningkat untuk Mengubah Kebijakan Biofuel UE. 28 April 2011. Jennifer Rankin, European Voice.com.

Dapat dilihat di: http://www.europeanvoice.com/article/imported/growing-pressure-to-change-eu-biofuel-policy/70930.aspx

[10] Dewan Bioetika Nuffield. Biofuel: Persoalan Etika. Bab 4: Kerangka Kerja Etika,  Bagian 4.12:  http://www.nuffieldbioethics.org/sites/default/files/files/Biofuels_ethical_issues_%20chapter4.pdf

[11] Dewan Bioetika Nuffield. Biofuel: Persoalan Etika. Bab 4: Kerangka Kerja Etika,  Bagian 4.12:  http://www.nuffieldbioethics.org/sites/default/files/files/Biofuels_ethical_issues_%20chapter4.pdf

[12] Ecofys. September 2010. Dampak tak langsung produksi biofuel: Mengungkapkan angka. Dapat dilihat di:http://www.theicct.org/workshops/iluc_sep10/ICCT_ILUC_workshop_Ecofys_Sep2010.pdf. Lihat catatan 6 untuk tautan ke penelitian lain

[13] DTE sering melaporkan pelanggaran HAM terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/story/100-years-oil-palm untuk informasi lebih lanjut.

[14] Dewan Bioetika Nuffield. Biofuel: Persoalan Etika. Bab 4: Kerangka Kerja Etika,  Bagian 4.12:  http://www.nuffieldbioethics.org/sites/default/files/files/Biofuels_ethical_issues_%20chapter4.pdf

[15] Komisi Eropa. Desember 2010. Laporan Komisi tentang perubahan penggunaan tanah secara tak langsung dalam kaitannya dengan biofuel dan bioliquid. Brussels, 22.12.2010 COM(2010) 811 final. Dapat dilihat di: http://ec.europa.eu/energy/renewables/biofuels/doc/land-use-change/com_2010_811_report_en.pdf

[16] Hal ini dibahas dalam Dewan Bioetika Nuffield. Biofuel: Persoalan Etika. Bab 4: Kerangka Kerja Etika,  Bagian 4.12:  http://www.nuffieldbioethics.org/sites/default/files/files/Biofuels_ethical_issues_%20chapter4.pdf