Hutan: Masyarakat Berhadapan Dengan Penebang Kayu

Down to Earth Nr 45  Mei 2000

Masyarakat Adat yang hutannya sudah dijarah oleh perusahaan penebang kayu kini menuntut ganti rugi kerusakan. Dengan dicabutnya perlindungan yang mereka nikmati di bawah Presiden Suharto, kini perusahaan tersebut harus menghadapi hal ini dengan serius.

Masyarakat di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua Barat sedang mengusahakan perolehan hak-hak mereka atas sumber-sumber alam yang secara tradisional mereka miliki dan menuntut imbalan atas besarnya kerusakan hutan yang dilakukan perusahaan penebangan kayu.

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melaporkan bahwa pada Bulan Maret sedikitnya 50 perusahaan dengan konsesi total sekitar sepuluh juta hektar hutan di Papua Barat, Kalimantan dan Sulawesi, telah menghentikan penebangan kayu karena konflik dengan masyarakat setempat. Para penduduk desa menuntut kepemilikian konsesi dan mengancam para pekerja perusahaan, serta menyampaikan keluhan kepada Ketua APHI Adiwarsita Adinegoro. Di Kalimantan Timur 77 perusahaan penebangan kayu sudah mengancam akan tutup jika pihak yang berwenang gagal menyelesaikan sengketa di wilayah Kutai dan Bulungan, dimana orang-orang setempat merebut beberapa peralatan berat dan menuntut kompensasi yang nilainya mencapai milyaran rupiah.

Tanggal 3 Januari, 12 kepala suku Dayak dari Sungai Atan di wilayah Kutai, Kalimantan Timur, sepakat untuk menjatuhkan sanksi atas sembilan pemegang hak konsesi berdasarkan hukum adat. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Inhutani I. Para pemimpin Dayak mengatakan perusahaan tersebut telah mengesampingkan masyarakat adat di wilayah itu dan menolak mereka untuk mendapatkan akses kepada sumber-sumber tradisional mereka, sambil merusak hutan mereka lebih banyak setiap tahunnya. Mereka menuntut ganti rugi sebesar US$ 2 dollar untuk setiap meter kubik kayu yang ditebang sejak tahun pertama produksi, dan denda US$ 5/m3 ditambah dengan sarana bagi penduduk setempat. Gerakan ini didukung oleh pimpinan Dayak Sungai Atan dan Dayak Kenyah, Laden Mering, yang juga merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Jakarta.

Meningkatnya tuntutan ganti rugi ini sebagian disebabkan oleh perubahan iklim politik di Indonesia. Selama tiga dekade pemerintahan Suharto, hutan secara bengis dan sistematis dieksploitasi untuk diambil kayunya. Hak-hak adat dikesampingkan sementara kerajaan bisnis yang dikendalikan elite penguasa berlomba-lomba untuk mengeruk keuntungan secepat mungkin. Karena Suharto dan keluarganya yang paling banyak meraih keuntungan dari hiruk pikuk pengrusakan itu, maka merupakan harapan yang sia-sia bagi masyarakat hutan akan situasi yang akan membaik selama ia masih berkuasa.

Kini pemerintah Abdurrahman Wahid, yang terpilih secara demokratis dan lebih terbuka, sudah memberikan masyarakat adat lebih banyak harapan untuk memperbaiki ketidak-adilan di masa lalu. Mereka juga meraih kekuatan dari aliansi baru antara masyarakat-masyarakat yang berbeda - seperti AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang didirikan tahun 1999 - dengan LSM -LSM lain dan organisasi kemasyarakatan lain seperti sarikat petani. Walaupun undang-undang perhutanan yang baru disahkan pemerintah sebelumnya tahun 1999 masih menolak hak adat atas hutan, tuntutan untuk perubahan ini meraih momentum.

 

Penebangan Hutan di Papua Barat

Setelah hutan di Sumatera, dan hutan Kalimantan sudah ditebang secara besar-besaran, perusahaan penebangan kayu kini menengok ke Papua Barat. 57 perusahaan kayu menebang daerah seluas 11 juta hektar secara besar-besaran di Papua Barat, demikian menurut informasi terbaru yang diberikan oleh badan perlindungan lingkungan Bapedal di Jayapura. Total wilayah yang dirancang untuk penebangan hutan adalah 10 juta hektar, berarti ada wilayah hutan yang dilindungi termasuk dalam konsesi tersebut. Bapedal telah menyebutkan enam belas nama perusahaan dengan konsesi lebih dari 200.000 hektar yang menguasai total 6,812,770 hektar. Ketua Asosiasi Penebang Kayu Indonesia, Harbiansyah Hanafiah, mengatakan kebanyakan perusahaan penebangan hutan yang berhenti bekerja karena berkonflik dengan masyarakat setempat berlokasi di Papua Barat, dimana investasi bisnis penebangan kayu mencapai US$ 72 juta (Jakarta Post 4/Mar/00; Astaga.com 22/Mar/00). Konflik ini merupakan hasil yang tidak bisa dihindari, akibat dari praktek-praktek pelanggaran selama tiga dekade yang lalu pada saat perusahaan-perusahaan kayu, tambang dan minyak serta gas diberikan kebebasan untuk beroperasi di wilayah yang kaya sumber alam. Mereka mengabaikan hak-hak masyarakat adat orang Papua dan mendapat bantuan dari pasukan keamanan Indonesia jika masyarakat setempat melawan.

 

Perusahaan penebangan kayu harus menghadapi fakta bahwa mereka tidak bisa meneruskan penipuan terhadap masyarakat setempat dan pendapat umum dengan janji pemberian sedekah dan pembangunan masyarakat sambil terus memotong hutan-hutan. Mereka tidak bisa lagi menyandarkan diri pada pasukan keamanan untuk mengusir orang setempat, yang dinamakan penghuni liar oleh industri, karena pemerintah lokal tidak lagi bersedia atau mampu untuk menegakkan hukum dengan cara seperti itu.

Sebaliknya mereka menghadapi kemungkinan dihentikannya operasi atau melakukan perundingan dengan orang setempat --dan ini sudah mulai terjadi di Kalimantan Timur, 14 koperasi dan 4 dewan masyarakat adat diberi 20 % saham dari keuntungan atau dana masing-masing senilai Rp. 100 juta hingga Rp. 200 juta. Ini sesuai dengan peraturan kehutanan yang baru diberlakukan tahun lalu dan untuk pertama kalinya pemegang hak konsesi diwajibkan untuk memberikan sumbangan wajib seperti itu. Namun berbahayanya bagi masyarakat adat adalah mereka dibeli oleh perusaan penebang hutan baik melalui pembayaran satu kali maupun dengan pembagian saham, yang membuat mereka tinggal mendapatkan hutan yang sudah dirusak dan perusahaan bersangkutan pergi. 
(Kompas 18/Feb/00, Jakarta Post 18/mar/00, Suara Pembaruan 1/Feb/00)

 

Bob Hasan Ditahan, taipan dalam penyelidikan

LSM lingkungan Indonesia, WALHI, mengatakan sekitar 80 % konsesi hutan yang dimiliki oleh taipan-taipan kayu terbesar di negara itu dikuasai lewat korupsi. Para taipan itu adalah Bob Hasan, Prayogo Pangestu, Burhan Uray, Eka Tjipta Wijaya, Gunawan Sutanto, Windya Rahman, Anthony Salim, dan Budiono Widjaya. WALHI menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan terhadap semua orang tersebut karena mereka bertanggung-jawab atas pengrusakan 52 juta hektar hutan di Indonesia, atau dua kali luas Inggris.

Pada Bulan Maret kekayaan Bob Hasan turun curam jauh ke bawah ketika ia dikurung dalam ruang tahanan kantor Kejaksaan Agung, Jakarta. Penahanan awal berlangsung dua puluh hari kemudian diperpanjang. Taipan kayu ini, yang pernah disebut sebagai menteri kehutanan yang sesungguhnya karena kekuasaannya terhadap kehutanan dan orang-orang kehutanan, diselidiki dalam skandal korupsi senilai 87 juta dollar sehubungan dengan pemetaan hutan yang terlalu mahal yang dijalankan oleh perusahaannya, PT Mapindo. Ia ditahan agar ia tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.

Hasan, yang menguasai Kalimanis Group yang terdiri dari perusahaan-perusahaan industri kehutanan, Nusamba Group (lihat artikel Freeport) serta sejumlah perusahaan bisnis lainnya, juga diselidiki sehubungan dengan dugaan penyalah-gunaan Dana Reboisasi. Dana ini, yang dikumpulkan dari perusahaan penebangan kayu yang mestinya digunakan untuk reboisasi, dialihkan untuk penggunaan non-hutan, seperti pengembangan pesawat terbang dan pembangunan industri pulp yang dimiliki Hasan. Perusahaan-perusahana yang dimiliki taipan lainnya, seperti Prayogo Pangestu dituduh melakukan kecurangan dalam mengklaim dana dengan memberikan data-data palsu tentang luas tanah yang mereka rencanakan akan ditanami.

Pengalihan dana, yang kini sedang berada dalam penyelidikan, secara pribadi disetujui oleh Suharto. Mantan presiden tersebut sejauh ini menghindari diri dari penyelidikan soal ini: pengacaranya mengatakan ia tidak sehat walaupun hal ini dibantah oleh kantor Kejaksaan Agung. Bulan April ia dikenakan tahanan kota dan dilarang meninggalkan Jakarta.

Perusahaan-perusahaan kayu juga dituduh gagal membayar biaya reboisasi dan pajak-pajak lainnya. Diperkirakan Rp. 15 trilyun (atau sekitar US$ 2 milyar) merupakan hutang kepada pemerintah oleh perusahaan-perusahaan yang tidak membayar selama periode lima tahun.

Melemahnya supremasi industri penebangan kayu juga memperingatkan bahaya atas rusaknya keyakinan investor asing yang berulang kali terjadi dalam industri pertambangan. Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) --salah satu asosiasi industri kayu besar-- melaporkan pada Bulan Maret bahwa sepuluh investor asing dan pembeli kayu lapis dari Kalimantan mengancam untuk mundur dari kontrak mereka karena keprihatinan atas meningkatnya konflik dengan masyarakat setempat. Ketua MPI Soedradjat Djaja memperingatkan bahwa investor, yang sebagian besar berasal dari Korea Selatan, sudah mulai kehilangan keyakinan atas Indonesia dan mereka ''kuatir mengenai keamanan dan ketidak-pastian hukum dalam pelaksanaan bisnis di sini.''

 

Kritik Terhadap Proyek Kehutanan Bank

Sebuah pertemuan untuk mengevaluasi strategi kehutanan Bank Dunia di Asia tenggara sejak tahun 1991 berlangsung di Singapura pada saat buletin ini sedang naik cetak. Sebuah laporan tentang Indonesia--satu dari enam studi kasus yang disiapkan untuk pertemuan oleh Departemen Evaluasi Operasi (OED) Bank-- hasil dari strategi yang dijalankan di Indonesia dianggap tidak berhasil. NAmun demikian laporan itu gagal menyampaikan sebab-sebab utama dari kegagalan bank untuk melindungi hutan atau mengangkat kemiskinan. DTE telah menulis kritik terhadap laporan ini -- lihat www.gn.apc.org/dte/caoed.htm atau hubungi kami untuk mendapatkan copynya.

 

Pemerintah Jakarta tampaknya kurang memberikan perhatian cukup pada industri kayu jika dibanding dengan industri pertambambangan yang didominasi asing. Ini mungkin karena fakta bahwa sebagian besar industri kayu Indonesia dikuasai oleh konglomerat nasional yang berhubungan erat dengan rejim Suharto dan oleh karena itu merupakan sasaran yang masalahnya lebih kecil bagi pemerintah yang memusatkan perhatian pada investor asing. Menyerang kroni-kroni Suharto yang terkenal seperti Bob Hasan, Prayogo Pangestu dan anggota keluarga Suharto sangat disukai oleh masyarakat yang haus akan reformasi. Ini juga sejalan dengan persyaratan bantuan IMF bahwa Indonesia akan membasmi korupsi dan nepotisme di sektor ini.

Investor asing menjauh dari sektor kehutanan Indonesia walaupun mendapat dorongan dari pemerintah. Kunjungan Presiden ke negara-negara Eropa dan Asia untuk menghidupkan bisnis dari investor asing masih belum membuahkan hasil di dalam proyek-proyek sektor kehutanan 
(Jakarta Post 18, 29/Mar/00; Kompas 22/Feb/00, 31/Mar/00)

 

Otonomi Daerah

Apakah keengganan investor akan teratasi jika langkah-langkah desentralisasi sudah ditempuh masih belum diketahui. Sebelum peraturan yang mendukung Undang-undang Otonomi Daerah dan Keseimbangan Keuangan 1999 dikeluarkan (direncanakan pada Bulan Mei) maka kebingungan mengenai pengambilan keputusan kehutanan mungkin tak akan bisa dijernihkan. Menurut undang-undang, sumber-sumber daya alam yang penting tetap dikuasai oleh pemerintah, namun pernyataan pemerintah telah menimbulkan kontradiksi dalam hal ini. Beberapa pemerintah daerah sudah menuntut pembagian keuntungan kayu yang lebih besar. Anggota Majelis Permusyawaratan rakat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Kalimantan Timur menekan pemerintah untuk mengembalikan semua pungutan dana reboisasi dari perusahaan penebangan kayu kepada propinsi. Anggota MPR H. Harbiansyah Hanafiah sudah mengungkapkan ketidak puasannya dengan pembagian dana yang sekarang yaitu 60 % kepada pemerintah pusat dan hanya 40 % ke wilayah. Ia memperhitungkan bahwa propinsi bisa menerima sekitar Rp. 700 milyar dari dana reboisasi setiap tahunnya, yang cukup untuk meningkatkan 75 % perkampungan yang tergolong 'terbelakang.' Tampaknya dalam hal ini menurutnya jika lebih banyak keuntungan dari perusahaan penebangan kayu dikembalikan ke ekonomi lokal, maka orang akan lebih sejahtera. Namun hal ini mengabaikan fakta bahwa penebangan kayu, yang sekarang dilaksanakan oleh pemegang hak konsesi, tidak berkesinambungan dan, jika prediksi Bank Dunia benar, hutan komersial Kalimantan akan habis ditebang tahun 2010. Dan siapa yang menjamin bahwa dana ini akan benar-benar digunakan untuk keuntungan masyarakat?

Yang mencegah pemerintahan lokal mendukung penebangan kayu komersial yang lebih banyak adalah status mereka sebagai lembaga yang dipilih secara demokratis. Jika demokrasi secara lokal berjalan, maka mereka harus memberi jawaban kepada orang setempat dan diwajibkan untuk mengakomodir hak-hak mereka atas hutan dan tuntutan untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut. Yang dikuatirkan adalah jika demokrasi lokal tidak cukup kuat, paling tidak dalam tahun-tahun awal otonomi daerah, untuk mengatasi kapasitas korupsi yang berurat berakar serta pengkayaan diri sendiri yang sudah berlangsung lama di kalangan pejabat pemerintah dan teman-teman mereka di militer hingga sekarang.
(Suratkabar 13/Feb/00)

 

CGI Menuntut Aksi

Pertemuan Februari di kalangan kelompok pemberi hutang utama Indonesia,the Consultative Group on Indonesia (CGI) menuntut agar pemerintah Indonesia memperlihatkan komitmen terhadap reformasi kebijakan dan mengambil langkah-langkah yang efektif terhadap penebangan kayu gelap. Hal ini tampaknya ditanggapi serius oleh pemerintah yang kini sudah membentuk komite antar departemen, dengan anggota dari departemen kehutanan dan lingkungan, bersama-sama dengan militer, yang mengawasi kemajuan dalam rekomendasi CGI. Sebelum pertemuan, LSM-LSM Indonesia menuntut CGI untuk menghentikan bantuan hutang baru dan sebaliknya memberi hibah 
-- lihat DTE 44:3 (box 3).

 

Tanda-tanda positif...

Sementara penebangan gelap meraja-rela dan pembakaran terus berlangsung di wilayah hutan serta meningkatnya, seruan internasional agar dilakukan sesuatu terhadap hal tersebut, pada tingkat pemerintahan sedikitnya, muncul beberapa tanda-tanda positif. Secara umum pemerintah tampaknya menanggapi krisis kehutanan dengan lebih serius dibanding pendahulunya. Pemerintah juga mengaku peranan dari industri kayu dalam menciptakan krisis tersebut. Presiden Wahid sudah menyatakan dengan jelas bahwa simpatinya bukan pada pemilik hak konsesi. ''Konsesi-konsesi dipinjamkan kepada kelompok-kelompok kecil. Kami membiarkan mereka menebang hutan sebanyak yang mereka mau. Kemudian orang-orang hutan yang disalahkan...'' Dalam Departemen Kehutanan dan Perkebunan juga ada usaha-usaha baru untuk membasmi kolusi antara pejabat kehutanan dengan perusahaan-perusahaan kayu. Sekretaris Jenderal yang baru, Soeripto, yang tanggung-jawabnya membersihkan departemen, sudah menjadi sasaran penyuapan besar-besaran dari pengusaha yang tidak disebut namanya.

 

Menteri Minta Bantuan Reboisasi

Menteri Kehutanan Mahmudi minta pada Amerika Serikat dan Jepang untuk menyumbang US$ 2,5 milyar guna mendanai reboisasi 2,6 juta hektar hutan yang dirusak oleh perusahaan penebangan kayu. Menteri menegaskan kebutuhan bantuan hibah, bukan pinjaman, dengan tujuan tidak meningkatkan beban hutang yang besar. Bagaimana bentuk reboisasi itu, dan siapa yang akan melaksanakannya, belum jelas. Usaha-usaha sebelumnya terpusat pada penanaman pohon-pohon besar untuk industri kayu dan pulp. Skema HTI yang dilaksanakan oleh perusahaan kayu tidak membawa hasil yang memadai. Secara teori skema ini seharusnya untuk pengembangan di daerah-daerah yang rusak, namun sebaliknya banyak diantaranya yang justru membersihkan hutan-hutan alam, dan menjadi penyebab dari penggundulan hutan yang lebih banyak.
(Kompas 16/Feb/00; Surabaya Post 21/2/00; Jakarta Post 22/Feb/00)

 

Tapi mustahil kalau pernyataan Gus Dur dimotivasi oleh keprihatinan murni terhadap masyarakat hutan. Pernyataan itu lebih mungkin merupakan hasil dari tekanan kreditur internasional seperti IMF dan Bank dunia, keinginan untuk memisahkan diri dari cara-cara korupsi di masa lalu dan mendesaknya pencegahan kebakaran untuk mendorong pariwisata. Meskipun demikian, desakan yang meningkat ini disambut baik. Begitu juga dengan transparansi yang lebih besar di departemen kehutanan dengan lebih banyak informasi tentang keadaan hutan dan orang-orang yang bertanggung-jawab atas pengrusakannya.

Yang masih harus diubah pertama-tama sekali adalah pandangan pemerintah terhadap hutan Indonesia yang dianggap sebagai sebagai penghasil kayu, yang bisa dipanen untuk menghasilkan pendapatan negara. Fungsi hutan sebagai pemberi makanan, perumahan dan kebutuhan sehari-hari lainnya bagi jutaan penghuni hutan harus mendapat pengakuan penuh, dan juga sebagai tangkapan air yang dilindungi, pengatur cuaca dan pelindung satwa liar.

Yang juga kurang adalah kesadaran pemerintah bahwa menjamin keamanan penduduk merupakan hal krusial bagi kelangsungan hutan. Departemen Kehutanan menganggap konflik belakangan ini antara penebang hutan dengan masyarakat adalah 'kesalahan' atas tuntutan atas tanah serta 'kecumburuan sosial' yang ditimbulkan perusahaan kayu. Mereka menyatakan bahwa masalah ini bisa diatasi dengan cara melibatkan perusahaan penebangan kayu dalam skema pembangunan. Namun LSM dan masyarakat menyatakan bahwa seluruh sistem konsesilah yang melanggar hak-hak adat , jadi bukan hanya kesalahan dalam menjalankannya. Hutan harus dibersihkan dari tangan-tangan taipan kayu, dari kendali pemerintah pusat dan dilkembalikan ke masyarakat setempat. Apa yang menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia adalah duduk bersama dengan semua yang terlibat dan menyusun cara baru dalam mengelola hutan negara dengan mencerminkan kebutuhan masyarakat setempat serta generasi masa depan.
(Suara Pembaruan 21/Mar/00; Jakarta Post 25/Mar/00)