CSF Mendukung Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

CSF Mendukung Upaya Adaptasi Perubahan Iklim

Sumber: website CSF

Jakarta, 23 Maret 2011. Dewan Perwakilan Rakyat RI mencatat utang pemerintah untuk perubahan iklim sepanjang 2008 hingga 2010 sebesar  USD 1907 juta dari Jepang, Perancis dan Bank Dunia. Sayangnya publik tidak tahu dipakai untuk apa dana tersebut.  Nelayan, petani dan petambak hanya tahu bahwa mereka berjuang sendirian menghadapi cuaca ekstrim dan perubahan musim, pontang panting bertahan hidup, lebih sulit dari sebelumnya.
 
Dampak perubahan iklim mengancam proses produksi pangan. Cuaca ekstrim membuat jam terbang nelayan melaut berkurang. Petani menghadapi resiko kekeringan dan banjir, ledakan hama, berakibat gagal panen. Jika situasi ini terus berlangsung maka dapat mengacam ketahanan pangan serta peningkatan resiko kelaparan dan kasus gizi  buruk.  
Warga kampung Cantigi di Indramayu, selama 10 tahun terakhir digempur musim kering lebih panjang dan banjir pasang saat hujan. Gerusan gelombang laut menghancurkan lebih 218 hektar sawah. Mereka pun beralih menjadi petambak. Kalaupun ada lahan pertanian, hama dan penyakit semakin gencar menyerang. Nelayan di Marunda, Jakarta Utara serupa susahnya. Cuaca buruk, gelombang besar membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya harga ikan melonjak tajam, tapi bisnis penangkapan ikan merosot hingga 50 persen, pendapatan nelayan turun, antara 50 – 70 persen. Dampak lain, peningkatan serangan hama dan penyakit. Beberapa tahun kebelakang, banyak hama dan penyakit yang awalnya tidak penting berubah menjadi hama penyakit yang dominan. 
 
Memahami dampak perubahan iklim cukup serius maka berbagai upaya adaptasi perlu segera dilakukan. Bagi masyarakat terutama petani dan nelayan, upaya mitigasi jawaban hari esok yang entah mereka masih akan alami atau tidak. Tetapi adaptasi diperlukan menjawab persoalan hari ini. Sayangnya,  pemerintah justru sibuk mengurus  persoalan hari esok, mengabaikan mereka. 
 
Hingga 2010, praktis enam tahun telah dihabiskan Indonesia paska ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto menyusun kebijakan pengurangan emisi (mitigasi). Melupakan panduan lengkap dan mobilisasi dukungan adaptasi menghadapi dampak perubahan iklim. Menurut Agus Purnomo, kata Ketua Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, masalah terbesar adalah mengenai kesiapan dari berbagai sektor dan pemangku kepentingan untuk bekerja bersama.
 
Petani, nelayan dan petambak tak bisa menunggu. Banyak yang mulai mengembangkan strategi dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Di Indramayu, petani memuliakan benih tahan kering, melakukan uji coba budi daya di lahan bergaram, mengubah pola tanam menjadi gogoranca. Di Brebes,  petani menanam varietas tahan asin, mengembangkan sabuk hijau mangrove, dan banyak lagi. Mereka bagai membuat sekolah, belajar kembali, menemukan pengalaman dan pengetahuan baru. Ilmu yang akan membantu mereka bertahan, selamat di tengah iklim ekstrim. 
 
CSF  meyakini, nelayan petani dan petambak memiliki  pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan dalam bertahan hidup. Tapi  tanpa kehadiran Negara,  krisis karena dampak perubahan iklim akan membuatnya makin sulit. Forum Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim (CSF) mendesak pemerintah segera melakukan tindakan nyata membantu  warganya menghadapi dampak perubahan iklim.
 
CSF mendukung upaya penguatan warga menghadapi dampak perubahan iklim. Untuk itu, pada 28 – 31 Maret 2011, CSF bekerjasama dengan Yayasan Kehati, KRKP, IPPHTI dan BMKG-ICCTF akan menyelenggarakan “Temu Sekolah Komunitas”, yang akan mempertemukan 16 komunitas petani, petambak dan nelayan dari empat propinsi di Jawa. Mereka akan saling berbagi pengalaman, dan menentukan upaya yang bisa dilakukan bersama menghadapi dampak perubahan iklim.
 
 
Untuk informasi lebih lanjut:
Ina Nisrina
085277753686