BP dan Uji Coba Tangguh

Down to Earth No 52  Februari 2002

Sejak laporan terakhir DTE tentang Proyek Tangguh bulan Agustus 2001 (DTE 50), profil internasional pembangunan gas Tangguh milik BP menegaskannya sebagai "uji coba" untuk menerapkan niat baik perusahan dalam praktek. Meskipun demikian, sejauhmana komitmen BP dinyatakan dengan ikhlas masih dipertanyakan. Selain itu, seberapa jauh faktor-faktor eksternal –seperti pihak militer di Indonesia- akan membatasi kemampuan perusahaan melakukan apa yang mereka rencanakan.

British Protelum (BP) adalah salah satu dari tiga besar perusahaan minyak multinasional di dunia. Belakangan profil mereka semakin meningkat karena keberhasilan mereka mendapatkan pengakuan sebagai perusahaan dengan kepekaan lingkungan dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam lingkup/sektor industri perminyakan. BP telah dianggap sebagai perusahaan yang memiliki keterlibatan (pro-enggagement), dan upayanya memikat opini kalangan LSM dengan mendanai berbagai organisasi yang bergerak bidang pelestarian lingkungan. Malahan mereka juga telah menandatangani berbagai kesepakatan yang menyatakan komitmen mereka terhadap hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan.

Perusahaan itu juga mengemukakan aspek "penghijauan" dalam aktivitas mereka sendiri melalui penanaman modal terhadap pengembangan teknik penggunaan tenaga matahari dan pengurangan emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca.

Meskipun demikian, kelompok-kelompok LSM dan masyarakat yang berpengalaman langsung berhadapan dengan BP berpendapat lain. Berdasarkan pengalaman, aktivitas BP di berbagai tempat terbukti bertentangan dengan citra publik yang ingin mereka kembangkan.

Sebagai contoh, BP telah dituduh terkait dengan berbagai tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kolombia. Di lembah delta Orinoco, Venezuela, BP juga bertentangan dengan masyarakat adat penghuni hutan wilayah itu. Kontroversi lebih lanjut muncul dalam aktivitas BP dalam berbagai proyek dan aktivitas penanaman modal di Angola, Tibet, Sudan dan Alaska.* Semua ini menunjukkan lebarnya jurang antara kata dan perbuatan.

Orang-orang yang mengkritik BP menyatakan bahwa dana yang ditanamkan BP untuk pengembangan energi matahari kecil saja jumlahnya dibandingkan dana yang dikeluarkan dalam seluruh aktivitas perusahaan. Para pengkritik BP menegaskan sesungguhnya kepentingan BP adalah pengolahan minyak mentah.

Meskipun demikian, BP bersikeras bahwa proyek gas alam cair (LNG) Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, selayaknya tidak dinilai berdasarkan aktivitas mereka dalam berbagai proyek sebelumnya. Meskipun demikian, tidak ada bukti kongkrit yang bisa mereka ajukan untuk membela diri dalam kegiatan tersebut. Di Indonesia, kegiatan pertambangan BP melalui perusahaan Kaltim Prima Coal – sebuah perusahaan milik bersama dengan perusahaan tambang multinasional Inggris Rio Tinto plc — sama sekali tidak menunjukkan bukti yang meyakinkan. (Lihat bagian tentang KPC di bawah)

Oleh karena itu penting juga untuk mengenal siapa rekan utama BP dalam proyek Tangguh. Perusahaan itu adalah Pertamina, sebuah perusahaan minyak negara yang terkenal korup dan memiliki catatan buruk dalam bidang hak asasi manusia. Pertamina juga merupakan partner Exxon Mobil di Aceh. Mereka membayar tentara Indonesia untuk menjaga keamangan instalasi gas. Di tempat itulah terjadi berbagai tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan semua pelanggaran tersebut kini telah terdokumentasikan dengan baik. (lihat DTE 50)

 

Beberapa Pengaruh

Bagi penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan sekitar Teluk Bintuni, proyek BP menyebabkan terjadinya perubahan yang tidak dapat mereka hindarkan. Lebih dari 500 orang akan dipindahkan dari tempat tinggal mereka di Tanah Merah ke desa baru yang letaknya 3,5 kilometer ke arah barat di Saengga. Selain itu, hutan-hutan akan ditebang – yang pada akhirnya akan menyebabkan musnahnya sumberdaya dan keragaman hayati di wilayah tersebut. Belum lagi dengan platform gas, jalur pipa, pabrik penyulingan, fasilitas pelabuhan, airstrip dan akomodasi bagi pegawai yang akan dibangun di atas tanah seluas 3.416 hektar bagi proyek tersebut. Belum lagi dengan meningkatnya lalu lintas perkapalan di Teluk Bintuni, yang akan mengganggu aktivitas penangkapan ikan lokal. Selain itu, akan terjadi gelombang arus pendatang asing dari para pekerja yang datang untuk membangun rangkaian fasilitias di wilayah itu.

Pengaruh-pengaruh potensial yang dapat diramalkan berdasarkan studi yang dilakukan oleh BP sendiri adalah:

  • Kebisingan dan polusi ringan;
  • Emisi gas termasuk sulphus dioxide, nitrogen dioxide, karbon dioksida dan hidrogen sulphide; termasuk juga limbah cair dan padat dari pengeboran gas, pengolahan LNG, kendaraan dan kapal. Limbah-limbah, termasuk juga bahan merkuri yang terkontaminasi oleh karbon aktif;
  • Limbah rumah tangga
  • Aktivitas pelabuhan yang akan mengganggu perikanan dan tambak udang serta transportasi antar desa
  • Pelabuhan udara yang kemungkinan akan mengundang/memudahkan "pemukiman gelap" yang akan menambah beban tinggi ekosistem lokal; Air kotor dari tankers LNG yang mungkin akan merubah/memperkenalkan spesies eksotik di ekologi Teluk.

Perubahan-perubahan terhadap lingkungan fisik kebanyakan memang dapat diduga. Berbagai rencana bisa disusun untuk mengurangi efek-efek negatif yang ditimbulkan. Cara inilah yang sedang dilakukan BP dalam melakukan proses analisa dampak lingkungan (ANDAL). Tetapi masih ada perubahan-perubahan lain yang tidak mudah diramalkan. Termasuk dalam kategori ini adalah pertanyaan utama tentang masalah keamanan di tempat kerja – dan juga rancangan-rancangan untuk menjaga situs tersebut — yang akan sangat tergantung pada faktor-faktor eksternal di luar kendali perusahaan.

 

Keamanan dan HAM

Berkaitan dengan operasi BP di Tangguh, ada kekhawatiran yang muncul tentang kemungkinan rekayasa pihak militer Indonesia (TNI) untuk menciptakan konflik di wilayah yang berdekatan dengan operasi BP. Tujuannya sekedar memperkuat pembenaran perlunya pengamanan yang kuat terhadap operasi BP.

Dalam berbagai pertemuan dengan staf BP, penduduk desa secara gamblang mengungkapkan kecemasan mereka terhadap persoalan tersebut. Sebagai contoh, penduduk desa Sidomakmur tempat pemukiman yang oleh BP disebut sebagai "wilayah yang terkena pengaruh langsung", penduduknya menyatakan "keprihatinan Proyek Tangguh pada akhirnya akan menggunakan pihak militer dalam kegiatan-kegiatan mereka. Sebelumnya mereka telah memiliki pengalaman tentang kehadiran pihak militer dalam menjaga keamanan pabrik pengolahan dan penebangan kayu". (BP TOR ANDAL 6.1)

Pada tahun lalu, pihak militer melakukan aksi represif di sekitar wilayah Wasior. Tindakan itu dilakukan erat kaitannya dengan pelaksanaan proyek Tangguh. Akibat aksi tersebut, sepuluh orang tewas dibunuh, sedang lainnya hilang dan banyak lagi rumah penduduk hancur dibakar.

Menurut para pengamat Papua, pembunuhan lima perwira brimob yang kemudian disusul dengan berbagai operasi militer secara intensif di Wasior, berkaitan erat waktunya dengan waktu kunjungan duta besar Inggris ke wilayah itu pada bulan Juni tahun lalu. Kesan yang muncul dari peristiwa tersebut adalah adanya niat terselubung sebagai pesan kepada BP bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa tanpa "bantuan" pasukan keamanan. (Lihat juga DTE 50 tentang peristiwa ini).

Tidak dapat dipungkiri, pihak TNI merasa sangat berkepentingan dengan adanya proyek-proyek besar yang memberi peluang besar untuk mendapatkan bayaran tambahan sebagai penjaga keamanan situs proyek. Kondisi semacam inilah yang melahirkan intesitas pelanggaran HAM yang tinggi di berbagai tempat, baik di wilayah pertambangan Freeport/Rio Tinto di Papua Barat dan juga di instalasi gas Exxon Mobil di Aceh.

Di Teluk Bintuni sendiri, sudah ada pasukan brimob yang kehadirannya membawa pengaruh negatif terhadap penduduk. Menurut Far Eastern Economic Review,perusahaan Djayanti Group yang bergerak di bidang penebangan kayu, perkebunan dan perikanan di Teluk Bintuni, telah membayar 20 orang detasemen polisi "untuk memaksa pengambil alihan lahan dari penduduk lokal."

Saat diajukan pertanyaan tentang masalah-masalah keamanan, staf BP bersikukuh bahwa mereka akan mengurangi ketergantungan kepada militer. Dalam tahapan ini, gagasan menciptakan "zona bebas militer" di Tangguh menjadi mengambang. Dokumen Strategi Pembangunan Masyarakat perusahaan tersebut mengatakan bahwa kepercayaan dan penerimaan penduduk lokal merupakan persoalan yang sangat penting: "Kami bekerja sama dengan Pertamina untuk menjamin bahwa sumberdaya-sumberdaya nasional yang kritis dilindungi, khususnya melalui penerimaan penduduk lokal terhadap aktivitas kami sebagai perusahaan yang bertanggungjawab, menghargai keberadaan anggota masyarakat setempat. Strategi ini akan menghapuskan keperluan meminta bantuan besar-besaran dari pihak keamanan untuk melindungi dan menjaga orang dan fasilitas-fasilitas yang ada."

 

Studi Tentang Pengaruh Hak Asasi Manusia

Bagaimanakah kemungkinannya BP mengatasi tantangan pihak militer terhadap strategi keamanan mereka? Persoalanan ini sampai sekarang masih bersifat rahasia dan belum diungkapkan kepada publik. Padalah ini adalah isu penting yang harus diperhatikan dalam studi BP tentang pengaruh HAM.