Bali dan pertemuan berikutnya - perjuangan untuk keadilan iklim

Down to Earth No 76-77  Mei 2008

Bulan Desember 2007 tempat wisata Nusa Dua Bali dipenuhi oleh ribuan pejabat pemerintah, para akademisi, wakil kalangan bisnis dan aktivis untuk menghadiri konferensi antar pemerintah tentang perubahan iklim PBB dan ratusan acara paralel lainnya. Konferensi resmi menyepakati suatu 'peta jalan' sebagai langkah kunci menuju proses pasca-Kyoto untuk mengatasi perubahan iklim. Namun kegagalan pertemuan tersebut untuk memasang target penurunan emisi gas rumahkaca dan kepercayaan pada mekanisme pasar untuk menyikapi pemanasan global telah menimbulkan kecemasan di kalangan banyak aktivis.

Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang, komunitas yang miskin dan terpinggirkan di Indonesia diduga memikul penderitaan akibat efek dari perubahan iklim. Dampak yang diprediksi meliputi curah hujan dan banjir yang lebih hebat, ancaman terhadap ketahanan pangan, ketinggian air laut meningkat yang merugikan masyarakat pantai dan meningkatnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah.1 Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap peningkatan ketinggian air laut, badai dan pengelantangan batu karang (coral reef bleaching) yang diakibatkan oleh pemanasan global yang mengancam masyarakat pantai dan penghidupan mereka, baik itu karena pola iklim yang makin tak dapat diprakirakan untuk musim tanam maupun panen (lihat pula artikel Meratus).

Laporan terkini tentang Indonesia oleh United Nations Development Programme (UNDP) mendesak agar masalah adaptasi masyarakat miskin terhadap dampak perubahan iklim diberikan perhatian lebih besar. Laporan berjudul The Other Half of Climate Change memperingatkan bahwa perubahan iklim "meningkatkan risiko dan kerentanan yang dihadapi rakyat miskin, menimbulkan tekanan lebih banyak pada mekanisme pertahanan diri yang sudah menipis" dan “menghambat upaya atau orang miskin untuk membangun kehidupan dengan lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka."2

Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa para juru runding pemerintah yang menghadiri konferensi Desember lalu (resminya bertajuk UN Framework Convention on Climate Change 13th Conference of Parties, UNFCCC COP13) tidak dapat mencapai kesepakatan untuk menargetkan penurunan drastis emisi gas rumahkaca yang dibutuhkan sangat mendesak untuk memperlambat perubahan iklim. Uni Eropa, Cina dan sebagian besar negara berkembang mendesak negara-negara kaya untuk memangkas emisi mereka sebesar 25-40%, namun hal ini dihalangi oleh AS. Pada akhirnya, dokumen utama hanya menyatakan bahwa perlu adanya 'pemangkasan besar' pada emisi global. 3

Bali Action Plan, salah satu dari serangkaian dokumen yang disepakati yang dinamakan Bali Roadmap, mengikat negara-negara peserta penandatanganan untuk mencapai kesepakatan baru pada tahun 2009 (COP15 di Kopenhagen). Kesepakatan baru tersebut akan berlaku pada tahun 2012, saat periode komitmen pertama yang tercakup dalam Protokol Kyoto berakhir. 4 Konvensi PBB tentang perubahan iklim menguraikan bahwa ia harus memuat tujuan global jangka panjang untuk mengurangi emisi, dengan memperhitungkan perbedaan tanggungjawab negara-negara, kapabilitas dan kondisi sosial dan ekonomi.

Bali Action Plan atau Rencana Aksi Bali menyusun langkah untuk diskusi, mitigasi perubahan iklim, adaptasi terhadap dampak yang ditimbulkannya, pengembangan dan alih teknologi, dan pendanaan serta investasi. Dalam butir mitigasi, Rencana Aksi tersebut memberi lampu hijau bagi 'pencegahan deforestasi' atau skema penurunan emisi dari penebangan hutan dan degradasi hutan atau reduced emissions from deforestation and forest degradation (REDD) untuk dimasukkan ke dalam kesepakatan baru.

Satu keputusan Bali Roadmap yang diterima adalah yang menyangkut Dana Adaptasi (Adaptation Fund), suatu dana yang sebelumnya diatur dalam Protokol Kyoto untuk inisiatif perubahan iklim yang praktis di negara berkembang, tetapi belum dilaksanakan. Di Bali, penempatan perwakilan yang lebih adil dari negara-negara berkembang untuk mengelola Dana telah dinegosiasikan. Namun demikian, keputusan untuk mengundang GEF, yang dikelola bersama dengan Bank Dunia, sebagai sekretariat sementara, kurang diterima.5 Kesepakatan itu harus membuka pintu untuk pendanaan komunitas rentan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, misalnya, mereka yang tinggal di area pantai yang rawan banjir.

 

Hasil tidak resmi

Selain negosiasi-negosiasi resmi, pertemuan Bali tersebut merupakan panggung pertemuan aktivis global - lahan subur untuk menggalang solidaritas internasional, pemahaman lintas budaya dan menempa aliansi baru.

Salah satu titik temu adalah ketika perwakilan masyarakat adat disisihkan dari acara resmi. Titik-titik temu yang lain menyangkut kekuatiran tentang promosi sesat atas agrofuel sebagai 'alternatif ramah lingkungan' dari bahan bakar fosil; tentang pendanaan untuk menangani perubahan iklim beserta dampaknya (khususnya oleh Bank Dunia); dan tentang dampak sosial merusak yang potensial dari skema pencegahan deforestasi (untuk melihat lebih jauh mengenai hal ini, lihat artikel berikutnya).

Koalisi yang terdiri dari tiga puluh organisasi masyarakat sipil Indonesia menyelenggarakan serangkaian acara di dalam dan di luar negosiasi PBB bagi peserta nasional dan internasional dengan judul Civil Society Forum. Mereka diantaranya adalah WALHI, Sawitwatch, AMAN, Greenpeace Asia Tenggara, Telapak, ICEL, JATAM, WWF, Raca Institute, FWI dan Solidaritas Perempuan. Kegiatan dipusatkan di sekitar panggung utama dan lokakarya di mana masyarakat menyampaikan pengalaman-pengalaman mereka. Beberapa kelompok bergabung untuk menyampaikan pernyataan posisi, memajang display, mengadakan diskusi dan melakukan demonstrasi untuk menginformasikan dan menekankan kepedulian mereka kepada para delegasi konferensi resmi dan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya.

Sebagai hasilnya, dibentuklah jaringan baru yaitu Climate Justice Now! Para aktivis dari seluruh penjuru dunia setuju untuk saling bertukar informasi dan bekerjasama satu sama lain dan kelompok lainnya dengan tujuan mengintensifkan aksi untuk mencegah dan menyikapi perubahan iklim, dengan isu keadilan sebagai jantung dari sikap tersebut. Pada siaran pers yang dilakukan di Bali, jaringan tersebut memaparkan bahwa carbon offset , perdagangan karbon untuk hutan, agrofuel, liberalisasi dan privatisasi perdagangan sebagai pemecahan masalah yang sesat untuk perubahan iklim. Masyarakat terkena dampak, masyarakat adat, perempuan dan petani pedesaan menuntut jalan keluar yang benar, yang meliputi:

  • Menurunkan konsumsi energi;
  • Transfer finansial yang besar dari Utara ke Selatan, didasarkan atas tanggung jawab historis dan hutang ekologis, untuk biaya adaptasi dan mitigasi, yang dibayarkan dengan mengalihkan anggaran militer, pajak inovatif dan penghapusan hutang;
  • Meninggalkan bahan bakar fosil dan berinvestasi dalam bidang energi yang efisien dan tepat, serta energi terbarukan yang aman, bersih dan diprakarsai masyarakat;
  • Konservasi sumberdaya alam berbasiskan hak yang mendorong hak atas tanah adat dan mempromosikan kedaulatan penduduk atas energi, hutan, tanah dan air;
  • Pertanian keluarga yang lestari dan kedaulatan pangan bagi penduduk.6

Down to Earth bersama dengan Elang (LSM dari Riau), dan Aliansi Masyarakat Adat Riau, berpartisipasi dalam pameran dalam acara sampingan utama Forest Day yang diselenggarakan oleh Centre for International Forestry Research (CIFOR). Tujuannya adalah untuk mengangkat suara penduduk desa yang terkena dampak perluasan perkebunan kelapa sawit. Pameran bersama itu, dirancang dengan bantuan Forest Watch Indonesia, membawa pesan yang kuat bahwa agrofuel yang berasal dari minyak sawit Indonesia sama sekali tidak 'hijau' sebab ia menimbulkan dampak parah terhadap mata pencaharian lokal serta menyebabkan kerusakan hutan. Wakil dari Elang bahkan sempat memberikan selebaran kepada Menteri Kehutanan Indonesia dan rombongannya.

Materi publikasi dua bahasa disiapkan untuk acara tersebut termasuk poster, spanduk, pameran foto dan selebaran, serta empat halaman 'Bali Briefing'.7

DTE juga menghadiri acara sampingan lainnya yang berkaitan dengan hutan, penduduk, agrofuel, dan perubahan iklim; berpartisipasi dalam insiatif yang dilakukan oleh Ornop dari Riau untuk melindungi hutan gambut yang telah dicaplok oleh perkebunan untuk bubur-kayu; dan ambil bagian dalam berbagai lokakarya, termasuk yang membahas peran Lembaga Keuangan internasional, bantuan dan hibah dalam skema terkait perubahan iklim.

 

Pertemuan Bangkok sepakat atas rancangan waktu, pasar karbon dan aktivitas terkait hutan

Apa yang terjadi sejak pertemuan Bali untuk membawa kemajuan agenda perubahan iklim? Pertemuan penting pasca Bali diselenggarakan di Bangkok, 31 Maret - 4 April 2008. Sebuah kelompok kerja baru dibawah UNFCCC, yang dinamakan Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention atau AWGLCA

(kelompok kerja ad-hoc untuk kerjasama jangka panjang dibawah konvensi perubahan iklim), telah diberi tugas menyusun kesepakatan baru. Kelompok baru tersebut dijadwalkan bertemu tiga kali tahun ini, diakhiri dengan COP14 di Polandia. Kelompok yang ada sebelumnya, Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under Kyoto Protocol atau AWG (kelompok kerja untuk komitmen berikutnya bagi anggota di dalam Annex 1 di bawah Protokol Kyoto), juga bertemu di Bangkok untuk melanjutkan negosiasi komitmen pasca 2012 oleh negara-negara berkembang.

Pertemuan mencapai kesepakatan atas kerangka waktu untuk negosiasi yang akan diputuskan di Kopenhagen tahun 2009 dan, menurut Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Beer, pertemuan sepakat untuk membagi tugas menjadi lebih kecil agar memudahkan. Ia menyatakan bahwa diskusi AWG telah meletakkan fondasi untuk melanjutkan mekanisme berbasis pasar - sinyal penting bagi kalangan bisnis bahwa pasar karbon akan dilanjutkan setelah 2012. "Dunia bisnis telah meminta penjelasan akan hal ini" katanya, "dan kini mereka telah mendapatkannya." AWG juga sepakat untuk memasukkan aktivitas terkait kehutanan dalam periode yang disebut sebagai periode komitmen kedua Protokol Kyoto (2012-2016)8 (lihat pula artikel berikutnya).

Nicholas Stern, yang membuat banyak pemimpin dunia menjadi lebih serius menanggapi isu perubahan iklim setelah mengeluarkan laporannya pada tahun 2006, kini percaya bahwa emisi gas rumah kaca bertambah lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya.9 Hal ini meningkatkan tekanan kepada pemerintah dan kalangan bisnis untuk lebih banyak berinvestasi dalam teknologi baru dan menurunkan secara drastis emisi karbon. Sir Stern, mantan Ekonom Kepala dari Bank Dunia, berpendapat dalam tulisan terbarunya, Key Elements of on Global Deal on Climate Change, bahwa solusi berbasis pasar haruslah menjadi jantung dari aksi internasional mendesak yang berskala besar.10 Ia juga menyatakan bahwa penyusunan naskah untuk perjanjian pasca Kyoto "akan segera dimulai pada musim panas 2008".


Catatan: 
1 Lihat DTE 74
2 UNDP, The Other Half of Climate Change. Why Indonesia Must Adapt to Protect its Poorest People, 2007
3 Bali Action Plan, unfccc.int/ ;The Guardian 17/Des/07
4 Lihat DTE 74 dan DTE 69,
5 Lihat misalnya penjajakan awal konferensi Bali oleh Tearfund di www.tearfund.org/
6 'What's Missing From the Climate Talks? Justice!' Siaran Pers dari Climate Justice Now! Coalition 17/Des/07. 
7 Bali Briefing
8 'Pertemuan Bangkok tentang Perubahan Iklim mencapai kata sepakat', unfccc.int/meetings/items/4347.php
9 Independent 17/Apr/08
10 Siaran pers LSE, 30/Apr/08