AMAN di Papua Barat

Down to Earth Nr 65  Mei 2005

Nota diskusi dari wawancara DTE dengan Alex Sanggenafa, focal point untuk wilayah Yapen Waropen, Papua Barat, Bogor, April 27, 2005.

 

AMAN dan tantangannya dalam konteks Papua

Pada dasarnya kecurigaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia masih sedemikian tinggi, sehingga beberapa usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengambil hati masyarakat Papua masih sering dipertanyakan agenda dibalik usaha-usaha tersebut. Sesungguhnya sikap tersebut dapat dimaklumi sebagai perwujudan sikap kehati-hatian atau lebih tepatnya trauma yang berkepanjangan sebagai akibat dari pengalaman ketertindasan selama ini. Masyarakat Papua yang mengklaim dirinya sebagai Indigenous Peoples atau Masyarakat Adat merasakan banyak perlakuan diskriminatif pemerintah dengan program pembangunannya. Proses-proses pembangunan di Papua lebih banyak menutup ruang partisipasi Masyarakat Papua (yang sebenarnya dialami juga oleh hampir semua Masyarakat Adat di Indonesia) yang nota bene disadari pemerintah Indonesia bahwa partisipasi dalam pembangunan adalah hak asasi. Program pembangunan yang dijalankan sebenarnya tidak lebih dari praktek-praktek eksploitasi sumber daya alam. Celakanya eksploitasi sumberdaya alam yang sejatinya berada di tanah-tanah adat dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat setempat atau bahkan konsultasipun tidak terjadi. Apa yang terjadi adalah sebaliknya, pemaksaan, intimidasi dan penghancuran nilai dan tatanan kehidupan masyarakat Papua.

Dalam konteks Papua, perkembangan AMAN di Papua sebagai organisasi masyarakat adat juga menghadapi masalah sebagai akibat pengalaman buruk masyarakat Papua dengan Pemerintah Indonesia. Kecurigaan terhadap AMAN sebagai bagian dari alat Pemerintah Indonesia masih terasa, artinya bahwa AMAN dianggap oleh sebagian dari masyarakat Papua sebagai bagian dari Indonesia. Tetapi tidak hanya itu, pengalaman lain menunjukkan bahwa pengorganisasian masyarakat adat secara umum juga mengalami pasang surut. Lembaga yang diharapkan sebagai mobilisator/dinamisator juga sering mengalami masalah internal yang berujung pada masalah finansial dan kecemburuan sosial. Pengalaman seperti ini juga mengakibatkan resistensi terhadap usaha-usaha pengorganisasian masyarakat adat di sebagian tempat di Papua.

Usaha-usaha pengorganisasian tidak berhenti dengan masalah-masalah tersebut meskipun masalah-masalah dana dan komunikasi masih menjadi masalah utama dalam pengorganisasian masyarakat adat di Papua. Inisiatif untuk melakukan konsolidasi masyarakat adat di Papua dilakukan dengan pendekatan mulai dari tingkat basis (komunitas) karena cara ini dianggap yang paling realistis meskipun akan memakan waktu lama. Hal ini juga untuk menghindari konflik kepentingan jika konsolidasi dilakukan langsung pada tingkat yang lebih tinggi, misal kabupaten atau propinsi. Saat ini Alex sedang merintis upaya konsolidasi dalam rangka pembentukan Dewan Adat Daerah Waropen.

 

Membangun organisasi masyarakat adat dan otonomi khusus

Saat ini upaya pengembangan organisasi masyarakat adat di Papua seperti dua sisi mata uang antara peluang dan ancaman. Terutama yang berkenaan dengan UU Otonomi Khusus, ini bisa menjadi peluang sekaligus ancaman. Menjadi peluang jika UU Otonomi Khusus ini segera dilaksanakan sepenuhnya dengan sungguh-sungguh, tetapi akan menjadi ancaman jika tidak dijalankan dengan serius oleh pemerintah pusat. Yang terlihat sekarang adalah ketidakseriusan pemerintah sehingga UU Otonomi Khusus lebih cenderung manjadi ancaman bagi pengembangan dan penguatan Organisasi Masyarakat Adat di Papua. Yang terjadi sejak Undang-undang itu disahkan adalah justru membagi Papua menjadi dua propinsi: Propinsi Papua dan Irian Jaya Barat bukan menjalankan mandat UU Otonomi Khusus dengan membangun aturan-aturan pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Selain implementasi UU Otonomi Khusus yang tidak jelas, di sisi lain UU Otsus (Otonomi Khusus) tersebut tidak pernah di diseminasikan ke masyarakat Papua dengan baik. Inisiatif implementasi UU Otonomi Khusus yang diambil oleh Pemerintah Daerah dianggap tidak sah dan dimentahkan kembali. Peluang lain yang bisa dimanfaatkan adalah SK Mendagri tentang Pembentukan Dewan Adat Daerah dan Lembaga Musyawarah Adat.

Dalam Sidang Adat III di Manokwari, salah satu dari beberapa keputusan penting yang diambil antara lain adalah: Penetapan Deadline (Agustus 2005) untuk implementasi Otonomi Khusus secara serius dengan aturan-aturan pendukung pelaksanaan yang lebih jelas. Jika seruan ini tidak direspon baik oleh Pemerintah Pusat maka UU Otonomi Khusus dan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua akan dikembalikan ke Pemerintah Pusat.

Keberadaan dan Posisi AMA Papua dianggap sebagai salah satu peluang dalam pengembangan kelembagaan adat yang ada, paling tidak sebagai mitra (dalam pengembangan dan penguatan kapasitas maupun jaringan) bagi Dewan Adat, Lembaga Musyawarah Adat maupun Presidium. Kesadaran untuk mengembangkan jaringan sudah terbangun dengan memperjelas hubungan antar lembaga baik Dewan Adat, Lembaga Musyawarah Adat, Presidium maupun AMA Papua serta bagaimana masing-masing tersebut menjadi jaringan penguat oragnisasi basis dan mendorong organisasi basis sebagai orrganisasi yang otonom.

Keinginan komunitas (basis) untuk mengorganisir diri secara umum di Papua cukup kuat dan merata, hanya saja kendala yang masih dihadapi sampai saat ini adalah sarana komunikasi, kondisi geografis (termasuk sarana transportasi). Saat ini sedang diusahakan bagaimana kendala-kendala tersebut bisa diatasi khususnya masalah komunikasi.

Saat ini anggota AMAN di Papua tersebar di 9 kabupaten di Papua (dan Irian Jaya Barat). Hal tersebut menunjukkan potensi AMAN yang besar di Papua sebagai organisasi masyarakat adat, hanya saja potensi yang sedemikian besar tersebut masih kurang terkonsolidasi. Isu yang berhubungan dengan Otonomi Khusus dan (Pembentukan) Majelis Rakyat Papua bisa dimanfaatkan sebagai ajang (venue) untuk konsolidasi dan memperkuat posisi, terutama untuk hal yang berhubungan dengan “kontrol terhadap pengelolaan sumber daya alam dan hak atas tanah”. Situasi tersebut akan terbangun dengan catatan bahwa Pemerintah Daerah Papua (Propinsi dan Kabupaten) harus serius untuk membangun kapasitas masyarakat, memberi kepercayaan dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses-proses implementasi Otonomi khusus dan pembangunan Papua.

Kasus Yapen Waropen bisa menjadi pelajaran dalam implementasi Otonomi Khusus dan Pembangunan Papua, sebuah marjinalisasi pembangunan dengan mengatasnamakan pemekaran wilayah untuk kelancaran pembangunan. Dulu tiga wilayah (Biak, Yapen dan Waropen) tergabung dalam satu kabupaten yaitu Kabupaten Biak, dalam perkembangannya terjadi pemekaran menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Biak dan Kabupaten Yapen Waropen dan terakhir menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Biak, Kabupaten Yapen dan Kabupaten Waropen. Jika saja pemekaran tersebut berdasarkan semangat desentralisasi tentu akan baik, tetapi kenyataannya pemekaran kabupaten justru lebih ditujukan untuk menguatkan kontrol pusat terhadap daerah melalui pembenaran politik. Hal tersebut dilihat dari konsekuensi logis pemekaran yang berarti akan bertambahnya KODIM (Komando Distrik Militer) di setiap Kabupaten baru. Isu keamanan dan politik lebih mengemuka dari pada isu pembangunan dan pemberdayaan. Pembangunan sumber daya manusia dirasakan masih sangat rendah di Papua, marjinalisasi tersebut lebih karena alasan politis, dengan membangun stigma bahwa masyarakat (adat) Papua adalah oposan pemerintah. Sehingga tuntutan-tuntutan partisipasi masyarakat, terjamin dan terlindunginya hak-hak masyarakat adat akan tanah dan sumber daya alamnya lebih dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas ekonomi dan politik. Secara tegas Alex mengungkapkan bahwa Masyarakat Papua sedang dalam proses genocide dalam segala bidang (ekonomi, politik dan sosial).


Alex juga menunjuk bahwa ketidakseriusan pelaksanaan Otonomi Khusus bisa menjadi ancaman disintegrasi Indonesia. Contoh diskriminasi lain yang ditunjukkan Alex adalah bagaimana penanganan / program tanggap darurat pasca gempa di Nabire (Alex membandingkan dengan penanganan pasca gempa tsunami di Aceh) dan juga bagaimana sikap Pemerintah Pusat membangun dialog dengan Gerakan Separatis Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), sangat berbeda dengan yang dilakukan di Papua, di mana pendekatan bersenjata dan represif yang dilakukan untuk menjawab isu-isu separatisme.

 

Isu Illegal Logging

Operasi Illegal Logging yang dilakukan di Papua pada dasarnya mempunyai maksud baik hanya saja tidak didasari pemahaman yang cukup tentang konteks Sosiokultural dan Politik Ekonomi di Papua ditambah pemahaman tentang Otonomi Khusus. Sehingga Operasi Illegal Logging yang hanya mendasarkan pada UU 41/1999 tentang Kehutanan sama dengan menegasikan UU Otonomi Khusus Papua. Pada akhirnya IPKMA (Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat) dianggap menjadi sebab-sebab terjadinya Illegal Logging, padahal yang salah adalah lebih pada aturan-aturan IPKMA yang tidak melibatkan dan memberdayakan masyarakat Papua serta lemahnya fungsi kontrol Dinas Kehutanan selaku instansi yang mengeluarkan IPKMA. Di sisi lain berhubungan dengan masalah posisi peraturan antara UU Kehutanan dan UU Otonomi Khusus Papua, jika ada azas “Lex Specialis derogate Lex Generalis” maka kedudukan kedua UU tersebut dapat diperdebatkan mana yang lebih special. Secara umum penyimpangan pelaksanaan IPKMA adalah tanpa melibatkan masyarakat sebagai aktor kunci, sebagai pemilik hutan, yang implikasinya adalah pengelolaan dan kontrol terhadap sumber daya hutan semestinya ada ditangan masyarakat adat di Papua. Hal ini juga mengandung arti bahwa pengembangan kapasitas masyarakat adat Papua dalam hal pengelolaan hutan untuk tujuan komersial adalah hal penting dari konsekuensi dikeluarkannya IPKMA, sayangnya hal ini tidak dijalankan. Kesalahan yang terjadi adalah IPKMA kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat yang cenderung merusak hutan. Akibatnya pelaksanaan operasi Hutan Lestari II di Papua lebih banyak menyengsarakan rakyat, karena lebih banyak menangkap orang-orang lapangan yang lebih banyak rakyat (masyarakat adat) Papua. Termasuk bagaimana polisi secara membabi buta memasang “police line” yang akhirnya semakin mempersempit akses masyarakat terhadap hutan. Belum lagi insiden-insiden kontak senjata (baku tembak) antara Polisi pelaksana operasi dan Tentara yang membekingi para cukong illegal logging, yang sangat meresahkan masyarakat. Di lapangan Operasi Anti Illegal Logging juga kerap kali menjadi bahan intimidasi terhadap masyarakat dengan stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka) untuk masyarakat yang dianggap tidak kooperatif.

Tidak adil bagi masyarakat adat Papua jika kemudian hutan menjadi tertutup dan tidak boleh di akses lagi oleh masyarakat Papua hanya karena pelaksanaan IPKMA yang salah dan pertentangan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Ini merupakan bukti bahwa Pemerintah Pusat tidak serius menjalankan UU Otonomi Khusus dan pembangunan di Papua. Pemerintah lebih mementingkan eksploitasi sumber daya alam Papua dengan kedok pembangunan.

 

Isu TNI

Sudah menjadi rahasia umum sebenarnya bahwa peran dan kontrol militer sangat tinggi di banyak bidang kehidupan (Sosial, Politik dan Ekonomi) di masyarakat Papua. Konsekuensi yang terjadi bagi masyarakat Papua adalah rendahnya partisipasi masyarakat Papua dalam bidang pembangunan politik, ekonomi dan sosial karena tingkat kepercayaan terhadap masyarakat yang rendah. Hal yang sering terjadi adalah segala bentuk pertemuan masyarakat selalu diawasi oleh pihak militer; intel (intelejen) disebarkan diseluruh pusat-pusat kegiatan masyarakat termasuk pasar-pasar dan kontrol militer terhadap pelaksanaan pemerintahan daerah. Jadi bisa dibayangkan kekuasaan militer di Papua, belum lagi bisnis keamanan yang dijalankan dengan perusahaan multi nasional, bisnis kayu illegal dan legal dan masih banyak lagi.

Stigma oposan pemerintah dengan label OPM atau separatis sering digunakan menjadi alat penekan terhadap masyarakat, bahkan sering terjadi kasus penangkapan, pemukulan/penyiksaan dan penculikan tanpa bukti dan dasar hukum yang jelas. Hal ini tercermin dalam proses-proses pemekaran wilayah baik kabupaten maupun propinsi, meskipun UU Otonomi Khusus sudah diberlakukan. Hal lain yang berkaitan dengan isu gerakan merdeka, menurut Alex adalah transparansi sejarah, menurut Alex ada upaya-upaya sistematis untuk menutupi sejarah bergabungnya papua ke dalam Indonesia bahkan ada upaya-upaya penyimpangan. Seharusnya untuk kebaikan semua pihak sejarah-sejarah tersebut perlu diluruskan terutama dari tokoh-tokoh yang terlibat banyak dalam “Pepera” (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969.

Saat ini dengan upaya militerisme, bahasa-bahasa kekerasan militer dan pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Papua di tambah lagi dengan pelaksanaan Otonomi Khusus yang setengah hati semakin menjadi alasan untuk menyuburkan gerakan kemerdekaan di Papua. Keinginan-keinginan untuk referendum pun sudah mulai digagas dan ingin diajukan ke MPR.

Bagi Alex, kunci pembangunan yang utuh di Papua adalah dijalankannya Otonomi Khusus Papua secara serius termasuk keseriusan membangun potensi sumber daya manusianya dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembangunan.